Wacana Lupa

Pengalaman sehari-hari memberikan kepada kita, bahwa tidak semua yang telah kita alami dan kita pelajari menempel dalam kenangan kita. Seringkali terjadi, justru yang telah kita pelajari dengan sungguh-sungguh sukar diingat dan mudah dilupakan; sedangkan yang kita alami/pelajari secara sepintas kemudian, usang menempel dalam jiwa kita dan tidak pernah dilupakan. Apakah yang menjadikan kita lupa kepada sesuatu yang pernah dialami atau dipelajari?
Dahulu banyaak yang beropini bahwa lupa itu utamanya disebabkan oleh lamanya waktu antara terjadinya pengalaman dengan terjadinya proses ingatan. Karena sudah usang maka dilupakan. Akan tetapi sesudah diadakan pengusutan lebih lanjut oleh para mahir psikologi, ternyata bahwa usulan tersebut tidak benar. Sekarang orang lebih condong untuk mendapatkan bahwa lupa itu tergantung kepada :
  1. Apa yang diamati,
  2. Bagaimana suasana dan proses pengamatan itu berlangsung,
  3. Apakah yang terjadi dalam rentang waktu berselang itu, dan
  4. Bagaimana suasana dikala berlangsungnnya ingatan itu.
Keempat faktor tersebut diatas berafiliasi dekat dan saling efek mensugesti satu sama lain.
Tidak selalu bahwa yang lama kita alami mudah menjadi lupa. Banyak orang-orang tua justru dapat mengenang dan menceritakan pengalaman-pengalaman periode kecilnya dengan terang dan teratur, dibandingkan dengan orang-orang yang gres menginjak setengah umur, mengapa?, Belum tentu pula bahwa sesuatu yang menggembirakan lebih lama kita ingat daripada sesuatu yang tidak menyenangkan. Kadang-kadang justru pengalaman yang sangat mengenaskan lebih berkesan dalam jiwa kita, sehingga tidak pernah/susah dilupakan. 
Dalam hubungan ini perlu kiranya dikemukakan disini, bahwa sifat lupa yang ada pada setiap insan itu tidak selamanya merugikan. Ada kalanya lupa memberi kebaikan kepada kita. Coba bayangkan betapa berat penderitaan yang akan dialami insan bila ia tak mampu melupakan yang mungkin pernah dialami dalam dirinya.
Demikianlah persoalan lupa bukanlah persoalan waktu; bukan soal jarak waktu antara observasi dan kenangan, melainkan masalah kejadian-peristiwa atau gangguan-gangguan tertentu di dalam jiwa manusia. Ada beberapa hal yang dapat menimbulkan kita lupa terhada sesuatu yang pernah dialami.
Pertama, sebab apa yang dialami itu tidak pernah digunakan lagi, atau tidak pernah dilatih/dikenang lagi. Sesuatu yang tidak pernah dipakai/dikenang lagi usang kelamaan dilupakan. Hukum ini disebut law of disuse yang berasal dari Thorndike. Pendapat ini didasarkan atas eksperimen-eksperimen yang dikerjakan kepada binatang.
Kedua, lupa dapat juga disebabkan oleh adanya hambatan-hambatan yang terjadi alasannya adalah gejala-gejala/isi jiwa lainnya. Seorang profesor, jago ilmu hewan, dan andal mempelajari nama-nama ikan dalam bahasa latin. Ia ingin mengetahui dan hafal nama-nama mahasiswanya. Akan tetapi aneh, setiap beliau hafal nama salah seorang mahasiswa beliau lupa akan nama sesuatu nama ikan. Dari contoh ini terperinci kiranya bahwa pelajaran/isi jiwa yang satu mampu mendesak/menghambat (inhibition) pelajaran/isi jiwa yang lain. Retro-active inhibition ini sering sekali terjadi bila bahan-materi yang dipelajari banyak persamaanya. Maka dari itu tidak baik mencampur-adukkan pelajaran-pelajaran dalam asumsi kita waktu mencar ilmu. Karena akan saling menghambat/merintangi satu sama lain.
Ketiga, ialah lupa yang disebabkan karena represi. Tanggapan-tanggapan atau isi jiwa lainnya ditekan ke dalam ketidaksadaran oleh Das Uber-Ich atau Superego, Karena selalu mengalami tekanan itu maka lama-kelamaan menjadi lupa (psikologi dari Freud). Biasanya tangapan-jawaban yang selalu ditekan ke dalam ketidaksadaran itu yaitu tanggapan-balasan yang tidak baik/yang merugikan kita, yang bersifat asusila/amoral dan asosial.