A. Pendahuluan
Setiap makhluk yang hidup di dunia ini pasti akan mengalami kematian. Tidak ada seorangpun yang dapat menghindarinya. Kapanpun, dimanapun dan dalam keadaan apapun kita. Jika akhir hayat sudah menjemput maka kita tidak berdaya untuk menolaknya. Bertentangan dengan praduga orang munafik pada peristiwa perang uhud, mereka mengira bahwa akhir hayat dapat dihindarkan.[1] Padahal,
siapapun kita tidak luput dari yang namanya kematian. Allah maha kuasa kepada segala sesuatu. Allah ialah khaliq yang menciptakan segala sesuatu. Maka semua makhluk akan kembali terhadap-Nya.
Kematian ialah kata yang sangat ingin disingkirkan orang, untuk membicarakannya. Hal ini tidak lain alasannya adalah kata tersebut identik dengan sesuatu yang seram. Ada beberapa faktor yang mengakibatkan perasaan takut pada diri seseorang kalau mendengar perumpamaan ajal ini. Selengkapnya akan dibahas pada makalah ini. Namun demikian, rasa panik ini disikapi oleh Islam dengan rasa optimis menghadapi maut. Bagaimanakah psikologi Islam membicarakan wacana kematian. Inipun akan dibahas dalam makalah ini.
Selanjutnya, kematian memberi imbas terhadap orang yang ditinggalkan. Kehilangan orang yang tercinta merupakan hal yang menyedihkan bagi mereka. Bagaimana pula persepsi psikologi Islam mengenai hal ini. Dan bagaimana seorang muslim menyikapi hal tersebut. Ini juga akan dibahas pada pembahasan makalah ini.
B. Psikologi Kelahiran
Setiap insan yang dilahirkan selalu mempunyai makna dan memiliki jalur kehidupannya sendiri, dimana makna itu akan berkembang seiring dengan pertumbuhan sang manusia yang telah terisi kehidupannya. Manusia pun sesungguhnya sadar bahwa dia terlahir untuk meraih kehidupan infinit, ialah ajal. Maka dari itu perlu disadari oleh tiap manusia, untuk tidak berhenti di satu titik meski tetap meningkat . Disini penulis menekankan, saban hari adalah syukur, akhir hayat memang tidak mampu diprediksi alasannya merupakan rancangan dari Sang Khalik, namun sedianya syukur, penyerahan diri, dan pertobatan haruslah dilaksanakan. Salah satunya yakni dengan merasakan “everday is my birthday”, dimana tiap harinya adalah rasa syukur akan nafas hari ini.[2]
Dalam bab pertama ini penulis melukiskan bagaimana insan mendalami makna kehidupannya, dengan bersyukur, meningkat dan mengabadikannya baik melalui tulisan ataupun cerita-kisah guna membangun bangsa yang lebih baik kedepannya.
Studi psikologi tentang kelahiran relatif gres dibandingkan dengan studi medis, studi psikologis perihal kelahiran lebih difokuskan pada bagaimana pengauruhnya terhadap pasca lahir, dan sejumlah faktor lain yang mempengaruhi kemajuan sebelum dan sehabis lahir. Para jago psikologi pertumbuhan membagi proses kelahiran dalam tiga tahap :
1. Terjadi kontraksi peranakan yang berlangsung 15 hingga 20 menit pada permulaan dan selsai sampai 1 menit.
2. Dimulai dikala kepala bayi bergerak melalui leher rahim dan saluran kelahiran. Tahap ini rampung dikala bayi benar-benar keluar dari tubuh ibu. Tahap ini berjalan kira-kira 1,5 jam.
3. Setelah bayi lahir pada waktu ini ari-ari tali pusar dan selaput lain dilepaskan dan dibuang. Tahap final inilah yang paling pendek berlangsung hanya beberapa menit saja.[3]
Studi fsikologis dan medis sudah memberikan beberapa kondisi yang menjadikan imbas kelahiran kepada kemajuan pasca lahir, diantaranya :
1. Jenis kelahiran
2. Pengobatan ibu
3. Lingkungan pra lahir
4. Jangka waktu priode kehamilan
5. Perawatan pasca lahir
6. Sikap orang renta [4]
Dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa Allah sangat menghargai kesusahan dan penderitaan ibu dikala melahirkan. Untuk menghargai hal ini, Allah memberikan kewajiban kepada insan untuk berbuat baik kepada orang tuanya, utamanya ibu, alasannya tanggung jawab reproduksi yang dimilikinya.
Dalam hal ini Allah berfirman :
Artinya :
“Kami perintahkan terhadap manusia biar berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan sukar payah (pula). mengandungnya sampai menyapihnya yaitu tiga puluh bulan….”(QS. Al-Ahqaf 46 : 15)
“Dan kami perintahkan terhadap insan (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya Telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun[1180]. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, Hanya kepada-Kulah kembalimu.” (QS. Luqman 31 : 14)
Hadits menyatakan bahwa ibu merupakan orang yang paling berhak untuk mendapatkan perhatian dan pelayanan, bahkan dibandingkan ayah sekalipun, atau orang lain yang depat.
“Seorang sobat mengajukan pertanyaan, “Ya Rasulullah, siapa yang paling berhak menerima pelayanan dan persahabatanku? “Nabi Saw. Menjawab “Ibumu…Ibumu..Ibumu. lalu ayahmu dan lalu yang lebih erat kepadamu dan lebih bersahabat kepadamu. (mutaffak’ alaih).
Menit-menit pertama sehabis kelahiran merupakan waktu yang sungguh khusus bagi seorang Ibu. Menurut observasi 6 hingga 12 jam sehabis kelahiran ialah priode sensitif untuk terjadinya ikatan emosional antara ibu dan anak. Ayah juga mengalami campuran antara emosi negatif dan aktual, antara panik dan kegembiraan. Keduanya kesengsem kepada kelahiran bayi dan ingin menyentuh. Namun terdapat beberapa perkara di mana Ibu mengalami kondisi negative yang disebabkan oleh gangguan hormon.[5]
C. Aging
Aging adalah proses alami yang disertai adanya penurunan keadaan fisik, psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain.[6] Dengan demikian, proses aging mampu disamakan dengan proses penuaan. Dalam menjalani kehidupan, manusia mengalami era pertumbuhan dan kemajuan sejak dari bayi hingga tua sampai ajal menjemput.
Manusia modern mempunyai sudut pandangnya menurut ilmu pengetahuan dan teknologi. Dia percaya bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi mempunyai balasan untuk semua pertanyaan tergolong penuaan. Sudah hari-hari dikala orang-orang yang dipakai untuk berpikir bahwa penuaan dan mati yaitu bab dari proses.[7]
Masa lansia sering dimaknai selaku abad kemunduran, khususnya pada keberfungsian, fungsi-fungsi fisik dan psikologis. Penyebab kemunduran,fisik yaitu pergantian pada sel-sel tubuh bukan alasannya penyakit khusus namun karena proses menua. Kemunduran dapat juga mempunyai penyebab psikologis. Sikap tidak bahagia terhadapap diri sendiri, orang lain, pekerjaan dan penghidupan kebanyakan dapat menuju kepada kondisi uzur. Karena terjadi pergeseran pada lapisan otak, alhasil orang menurun secara fisik dan mental dan mungkin akan segera mati.[8] Masa lansia baisa jadi juga disertai dengan berbagai penyakit yang menyerang dan menggorogoti kehidupan lansia sekalipun tidak semua lansia yakni berpenyakit. Tapi kebanyakan lansia rentan terhadap penyakit-penyakit tertentu balasan kondisi organ-organ badan yang telah aus atau mengalami kemunduran, juga fungsi imunisasi (kekebalan badan) yang juga menurun.
Masalah-problem lain seperti kemunduran dari aspek sosial ekonomi. Secara ekonomi, lansia ialah periode pension. Produktivitas menurun, otomatis penghasilan juga berkurang. Bahkan bisa jadi nihil. Yang menimbulkan lansia menjadi tergantung atau menggantungkan diri pada orang lain mirip anak atau keluarga lainnya. Kemunduran dari sisi sosial ditandai dengan kehilangan jabatan atau posisi tertentu dalam sebuah organisasi atau penduduk yang sudah menempatkan dirinya selaku individu dengan status terhormat, dihargai, mempunyai efek, dan didengarkan pendapatnya.[9]
Diusia lanjut, saat perkembangan fisik menyurut, secara psikologis insan merasa dirinya berada dalam kondisi yang serba terbatas. Dikala itu, kesadaran akan nilai-nilai spiritual menapak perkembangannya.
Artinya :
Dia-lah yang menciptakan kau dari tanah Kemudian dari setetes mani, sehabis itu dari segumpal darah, Kemudian dilahirkannya kau sebagai seorang anak, Kemudian (kau dibiarkan hidup) supaya kau hingga terhadap masa (remaja), Kemudian (dibiarkan kamu hidup lagi) hingga bau tanah, di antara kamu ada yang diwafatkan sebelum itu. (Kami perbuat demikian) agar kamu hingga kepada akhir hayat yang ditentukan dan agar kau mengerti(nya).(QS. Al-Mukminun 40 : 67)
Pada tahapan umur bau tanah akan tampak tanda-tanda capek seseorang kekuatannya mulai menurun bertahap. Tahapan ini oleh rasulullah dimana kala pergulatan dengan kematian yakni usia enam puluhan sampai umur tujuh puluhan.[10]
Dalam tahapan umur tua, biasanya seseorang cenderung untuk kembali terhadap allah swt,selalu memparhatikan diri dengan memperbanyak ibadah,zuhud terhadap segala kenikmatan dunia, tekun dalam amal ketaatan dan melipat gandakan perjuangan untuk bederma kebaikan. Hal ini pastinya bagi orang yang menerima taufik dan hidayah dari allah swt. Inilah saatnya untuk mejaga kehormatan diri, khusu’terhadap allah, menjauhi segala permainan hidup dan perbuatan sia-sia. Oleh karena itu, siapa yang telah meraih umur ini sedang moral dan kelakuannya masih belum menjelma baik, maka beliau dianggap segai orang yang jelek nasibnya, jelek tingkah lakunya dan patut beroleh kecaman.[11]
Oleh sebab itu, dengan bertambahnya usia, seseorang hendaknya lebih mempertahankan dirinya dan lebih malu kepada-nya untuk berbuat perbuatan keji.
Apabila seseorang telah memasuki usia tua, maka rambut putihpun mulai tumbuh di kepala dan itu adalah Nur (cahaya) bagi orang islam, sebagaimana dalam hadits.
Artinya :
“Telah berfirman Allah SWT. Demi kemuliaan-Ku. Kebesaran-Ku dan kebutuhan sekalian makhluk-Ku, sebenarnya saya merasa malu menyiksa hamba-Ku, baik laki-laki atau perempuan yang sudah beruban alasannya adalah mencapai umur bau tanah di dalam Islam. Kemudian Rasulullah menangis kemudian ditanyakan kepanya : apa sebab ingkau menangis ya Rasulullah? Jawab beliau : saya menangis orang bau tanah yang Allah aib kepadanya, sedang ia tidak aib terhadap Allah SWT”
Imam Ghazali sebagaimana dikutip oleh Allamah mengomentari hadits di atas bahwa dalam hal ini terdapat sebuah jaminan mengembirakan, bahwa orang sering menghormati orang tua, umurnya akan diberkahi oleh Allah, di samping ia menemukan banyak pahala atas kebaikannya itu.[12]
Setelah itu, orang akan beralih pula dari abad renta menjadi bau tanah tua dan lanjut usia ialah umurnya dari usia tujuh puluhan sampai selesai umur yang ditetapkan oleh Allah SWT, berdasarkan pembagian Ibnu Jauzi seorang insan akan tetap menamakan orang tua juga betapapun beliau meraih umur lebih jauh dari itu sampai menemui ajalnya.[13] Dalam tahapan umur ini, biasanya kekurangan menimpa manusia serta semua panca inderanya dan anggota badannya, sehingga ada kalanya ia sama sekali tidak berdaya atau berkekuatan lagi. Allah sudah berfirman :
Artinya : Allah, dialah yang membuat kau dari kondisi lemah, Kemudian dia menjadikan (kau) setelah kondisi lemah itu menjadi besar lengan berkuasa, Kemudian ia menjadikan (kau) sehabis Kuat itu lemah (kembali) dan beruban. ia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan dialah yang Maha mengetahui lagi Maha Kuasa.
Umur renta tua yang ddimaksud disini ialah abad pikun dan tidak menentunya anggapan. Umur yang paling baik ialah umur yang diberkati Allah yang diberi taufiq untuk melakukan amalan shaleh dan kebajikan-kebajikan lain. Baik yang biasa maupun yang khusus. Adakalanya, Allah menunjukkan berkat-Nya pada umur yang pendek bagi sebagian hamba-Nya yang terpilih sehingga amalannya menjadi lebih banyak kebaikannya dan lebih terasa manfaatnya dari pada orang yang dipanjangkan umurnya.[14] Seseorang yang sudah memasuki usia renta pun sebaiknya tetap semangat dalam menjalani hidup. Dalam pandangan psikologi sekalipun mengalami kemunduran pada beberapa aspek kehidupannya, bukan berarti lansia tidak mampu menikmati kehidupannya. Lansia pasti mempunyai peluangyang bisa dimanfaatkan untuk mengsi hari-harinya dengan hal-hal yang bermanfaat dan menghibur. Segala kesempatanyang dimiliki oleh lansia mampu dijaga, dipelihara, dirawat dan dipertahankan bahkan diaktualisasikan untuk meraih kualitas hidup lansia yang optimal (optimum aging). Optimum aging mampu diartikan selaku kondisi maksimum atau optimal. Sehingga memungkinkan mereka mampu menikmati periode tuanya dengan sarat makna membahagiakan, berarti dan bermutu. Aktivitas-kegiatan kognitif mirip membaca, berdiskusi, mengaja akan sangat berguna bagi lansia untuk mempertahankan fungsi kognitifnya sebab otak yang sering dilatih dan diransang maka akan semakin berfungsi baik. Berbeda bila fungsi otaknya tidak pernah dilatih maka itu akan mepercepat lansia mengalami kurun dimensi dini. Aktivitas-kegiatan spritualitas dan sosial akan memberikan nilai tertinggi bagi lansia untuk mendapatkan kebermaknaan dan rasa harga dirinya, dengan banyak berzikir dan melaksanakan ibadah sehari-hari, lansia akan menjadi lebih tenang dalam hidupnya. Dengan aktif dalam acara sosial mirip tergabung dalam paguyuban lansia akan menjadi ajang bagi mereka untuk saling bertukar asumsi, berbagi pengalaman dan saling menawarkan perhatian kegiatan ini akan sangat membantu para lansia untuk mencapai mutu hidup yang maksimal.[15]
Namun tidak dapat dibantah pula bahwa pada tahap umu yang sungguh lanjut, biasanya seseorang akan sakit hingga menjinjing ajal. Kadang-kadang ia mati tanpa mengidap penyakit, namun ini jarang terjadi dibandingkan orang yang mati disebabkan suatu penyakit. Tapi tidak jarang juga orang yang mati dengan tiba-tiba, andaikan tidak mati datang-tiba, hendaknya senantiasa ingat bahwa sakit senantiasa datang datang-tiba. Dan bila seseorang sakit, maka dia tidak akan mampu lagi melakukan amal shaleh, sedangkan itu yakni bekal untuk darul baka.[16] Dengan demikian memanjangkan impian dan mati merupakan masalah yang dibenci dan dihentikan. Allah berfirman :
Artinya :
Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melupakan kamu dari mengingat Allah. barangsiapa yang berbuat demikian Maka mereka Itulah orang-orang yang merugi. Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang Telah kami berikan kepadamu sebelum tiba ajal kepada salah seorang di antara kamu; lalu dia berkata: “Ya Rabb-ku, Mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang bersahabat, yang menjadikan Aku dapat berinfak dan Aku termasuk orang-orang yang saleh?” Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (ajal) seseorang kalau Telah datang waktu kematiannya. dan Allah Maha mengenal apa yang kau lakukan.
Dengan demikian kita mesti ingat akan kehidupan darul baka. Kita mengenang akan kehidupan yang infinit, tanpa melewatkan kebahagiaan di dunia, alasannya adalah dunia ialah tempat berladang amal dan akan dipanen nantinya di alam baka kelak. Islam tidaklah mengabaikan perkara dunia pemahaman bahwa kehidupan dunia diabaikan berimplikasi negatif bagi umat insan dan dapat mengiring mereka terhadap kefakiran dan keterbelakangan. Adapun yang perlu dipertegas yaitu akhirat berdasarkan Islam lebih abadi dari dunia, idealnya amal yang kekal harus lebih optimal dari pada umat yang fana. Juga perkara dunia mesti disertai dengan amat baik mirip tidak mengambil hak orang lain. Menolong orang lain dan sebagainya, semuanya itu tergolong amalan darul baka, di mana pelakunya akan mendapat ganjaran pahala dari Allah SWT.[17] Allah SWT berfirman :
Artinya : Dan carilah pada apa yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri darul baka, dan janganlah kau melalaikan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat setuju (terhadap orang lain) sebagaimana Allah Telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kau berbuat kerusakan di (tampang) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menggemari orang-orang yang berbuat kerusakan.(QS. Al-Qasas 28:77)
Jika seseorang sakit, hendaklah ia lelalu bertobat dan memperbanyak istigfar, mengingat Allah dan mohon diampuni segala kesalannya serta dimaafkan segala kelalaiannya dimasa-kala yang kemudian. Penyakit-penyakit yang menimpa manusia mengingatkannya kepada darul baka dan mendorongnya untuk kembali terhadap Allah SWT maka bila seseorang menderita sakit, dia hendaknya membuat wasiat yang dibutuhkan ihwal hal-hal penting yang berkaitan dengan persoalan akhirat dan dunia, utamanya kalau ada hak-hak orang lain yang masih ada ditangannya.[18] Selain itu dalam abad sakitnya, hendaknya ia menempatkan diri pada puncak persangkaan baik terhadap Allah sesuai sabda Rasulullah :
Artinya :
“janganlah seseorang di antara kamu mati, kecuali dia menyimpan sangkaan baik terhadap Allah SWT.” Hadits Qudsi: “Aku senantiasa akrab dengan sangkaan hamba-Ku ihwal Aku, dan saya bersamanya selama dia mengenang-Ku”.
Hendaknya dia tetap menjaga shalatnya sesuai dengan kondisinya, sambil duduk telentang atau dengan cara apapun yang mampu dia lakukan. Jangan sampai dia melewatkan tiang agama ini. Kerabat dan sahabat-sahabat yang berada disampingnya hendaknya mendorongnya supaya melaksanakan shalat dan menolong serta selalu mengingatkannya. Dan hendaknya ia menyadari bahwa kewajiban shalat itu tidak akan gugur selama nalar dan pikirannya masih sehat.[19] Kemudian jikalau memang akhir hayat telah bersahabat, orang sekitar juga hendaknya membimbingnya membacakan kalimah tauhid diakhir hayatnya.
D. Kematian (Death and Dying)
Kematian adalah hal yang pasti dan kematian merupakan kejadian menakutkan, maka pada umumnya orang lebih memilih tidak memikirkannya dan berusaha menghindarinya biar mampu mencicipi kebahagiaan setiap saat yang dilaluinya. Namun untuk orang kebanyakan bayang-bayang akhir hayat yang selalu menghantui bukan karena takut akan masuk neraka tapi takut berpisah dengan duniawi, merasa masih belum melakukan apa-apa , takut kehilangan orang-orang yang disayangi, dan takut meninggal secara “kagetan”, lebih baik diawali sakit karena itu bisa saja menunjukan akan hadirnya ajal, insting akhir hayat atau yang lebih dikenal dengan death instinct dalam psikologi
Padahal kematian sebaiknya merupakan idaman, karena itu memiliki arti kita setapak mendekati Tuhan. Dimana kerinduan ini dimulai dengan adanya pendalaman agama dan kerinduan ini akan terbalaskan begitu akhir hayat menyambut.[20]
Kematian ialah sebuah keniscayaan. Setiap makhluk yang hidup pasti akan merasai mati. Kematian membawa insan kea lam kehidupan baru yang sama sekali asing. Tempat tinggal megah “tergusur” pindah tempat tinggal baru ialah kubur. Menempati unit liang lahat dikomplek perkuburan. Tempat kediaman yang secara fisik lebih sempit dari pada hidup sendiri dalam kesepian dalam alam penantian barzah “menanti kala penyelamatan kealam selanjutnya”. Yakni alam darul baka.
Kata maut sebenarnya telah sangat bersahabat dengan pendengaran manusia. Namun manakala masih berada dalam kenikmatan hidup, manusia sering lengah dan lupa dengan kematian. Sebaliknya, bila usia semakin sepuh atau didera sakit, maka baying-bayang akhir hayat mulai timbul. Secara psikologis turut mensugesti perilaku dan prilaku insan.
Menurut Islam, kematian pada insan terjadi dikala ruh terlepas dari tubuh manusia dan tidak kembali lagi. Al-Qur’an menceritakan peran malaikat untuk mengambil ruh insan dan memisahkannya dari tubuh pada dikala ajal. Contoh dari ayat ini yaitu :
Artinya :
Katakanlah: “Malaikat kematian yang diserahi untuk (mencabut nyawa)mu akan mematikanmu, Kemudian Hanya kepada Tuhanmulah kau akan dikembalikan.” (QS. Al – Sajadah 11)
Islam juga mengajarkan bahwa kematian bersifat permanen (kematian) atau sementara. Kematian dapat bersifat permanen bersifat menetap sampai hari kebangkitan, ia tidak akan hidup kembali. Islam mengajarkan tidur sebagai bentuk maut kecil, dimana manusia dapat bangun kembali sesudah hilang kesadarannya yang bersifat sementara. Dalam al-Qur’an dinyatakan :
Artinya :
Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, selaku ketetapan yang Telah diputuskan waktunya. barang siapa menginginkan pahala dunia, niscaya kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala darul baka, kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. dan kami akan memberi akibat kepada orang-orang yang bersyukur.(QS. Ali – Imran 145)
Islam juga membicarakan usia impian hidup. Usia keinginan hidup ialah rata-rata usia dimana seseorang pada sebuah kawasan mengalami maut. Dalam hadits dinyatakan :
Artinya :
Mereka berkata :”Ya Rasulullah, berapakah ketetapan umur-umur umatmu?” jawab ia “saat ajal mereka (kebanyakan) antara usia enam puluh dan tujuh puluh”. Mereka bertanya lagi: “Ya Rasulullah bagaimana dengan umur delapan puluh?” Jawab ia “sedikit sekali umatku yang mampu mencapainya. Semoga Allah merahmati orang-orang yang mencapai umur delapan puluh”. (HR. Hudzaifah Ibn Yamani).
Untuk insan mengalami maut berlawanan-beda antara yang satu dengan yang yang lain. Ada yang lebih panjang dan ada yang lebih pendek. Namun sebaliknya, maut juga bukan sesuatu yang dapat dihindarkan. Setiap manusia akan mengalami maut. Tidak dapat pengecualiannya, baik pada ketika ini maupun pada ketika nanti. Hal inilah yang sering kali menghadirkan perasaan takut pada seseorang yang membahas maut serta ketidaktahuan kapan kematian akan menjemput mereka. Al-Qur’an menyatakan:
Artinya :
Tiap-tiap yang berjiwa akan mencicipi mati. kami akan menguji kau dengan kejelekan dan kebaikan selaku cobaan (yang sebenar-benarnya). dan Hanya terhadap kamilah kamu dikembalikan. (QS.Al-Anbiya 35)
Selanjutnya agama juga mengajarkan wacana adanya hari kebangkitan. Alam gres dalam kehidupan “lain” yang akan dialami oleh manusia mati. Dipercaya bahwa saat itu manusia akan dihidupkan kembali guna diminta pertanggungjawabannya. Perbuatan jelek akan diganjar dengan hukuman berupa siksaan neraka. Oleh alasannya adalah itu, hari kebangkitan ini juga disebut selaku hari pembalasan.[21]
Agama mengajarkan wacana adanya hari kebangkitan. Alam baru dalam kehidupan lain yang mau dialami oleh manusia mati. Dipercaya bahwa saat itu manusia akan dihidupkan kembali guna diminta pertanggungjawabannya. Perbuatan baik akan menemukan kenikmatan hidup surgawi. Sebaliknya, perbuatan buruk akan diganjar dengan hukuman berupa siksaan neraka. Oleh alasannya itu, hari kebangkitan ini juga disebut selaku hari pembalasan.[22] Pembalasan tersebut tergantung pada amal ibadah yang telah dikerjakan insan selama hidup didunia. Atas dasar keyakinan ini, maka penganut agama berupaya memenuhi tuntunan aliran agama supaya dihari kebangkitan kelak, mereka akan memperoleh tempat pantas. Diterima oleh Khaliq selaku hambanya yang berbakti.
Kemudian dalam aliran Islam, hari kebangkitan ialah bagian dari rukun kepercayaan. Mengenai hari kebngkitan ini dikemukakan oleh Abul A’la al-Maududi: yang wajib kita beriman kepadanya tentang hari itu, yaitu :[23]
a. Bahwa Allah akan menghapuskan semesta ini dan sekalian makhluk yang ada didalamnya pada suatu hari yang dikenal dengan hari akhir zaman.
b. Kemudian Allah Swt. Akan menghidupkan mereka kembali lagi dan menghimpun merekan dihadapan-Nya itu yakni padang mahsyar atau hari kebangkitan.
c. Kemudian segala sesuatu yang diperbuat oleh insan, yang baik dan yang buruk dalam kehidupan mereka, diajukan kepada pengadilan Allah tanpa dikurangi dan dilebihkan.
d. Allah menimbang bagi tiap orang terhadap perbuatannya yang baik dan yang jelek.
e. Orang-orang yang diampuni-Nya masuk surga dan yang disiksanya masuk neraka.
Dalam keterkaitannya dengan hari kebangkitan, al-Qur’an menyatakan yang artinya :
Maha Suci Tuhan yang Telah membuat pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka pahami.
Kebangkitan itu sendiri digambarkan lewat amsal (istilah) oleh Allah dalam firmannya :
Artinya :
Hai manusia, bila kamu dalam keraguan ihwal kebangkitan (dari kubur), Maka (ketahuilah) Sesungguhnya kami Telah menyebabkan kamu dari tanah, Kemudian dari setetes mani, Kemudian dari segumpal darah, Kemudian dari segumpal daging yang Sempurna kejadiannya dan yang tidak tepat, semoga kami jelaskan kepada kamu dan kami menetapkan dalam rahim, apa yang kami kehendaki sampai waktu yang telah ditentukan, Kemudian kami keluarkan kamu sebagai bayi, Kemudian (dengan berangsur- angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kau ada yang diwafatkan dan (adapula) di antara kau yang dipanjangkan umurnya hingga pikun, semoga beliau tidak mengenali lagi sesuatupun yang dahulunya Telah diketahuinya. dan kau lihat bumi Ini kering, Kemudian kalau Telah kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam berkembang-tumbuhan yang indah.
Artinya :
Yang demikian itu, Karena Sesungguhnya Allah, dialah yang haq[977] dan Sesungguhnya dialah yang menghidupkan segala yang mati dan Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, Dan Sesungguhnya hari kiamat itu Pastilah datang, tak ada keraguan padanya; dan sesungguhnya Allah menghidupkan semua orang di dalam kubur.(al-Hajj 6-7)
Firman Allah ini merupakan rujukan dalam mendalami nilai-nilai imani. Keyakinan kepada adanya hari kebangkitan di golongan penganut agama Islam. Secara psikologis, dogma akan adanya hari kebangkitan akan berpengaruh pada perilaku dan prilaku manusia, baik dalam kehidupan individu maupun sosial. Besar kecilnya dampak iman tersebut tergantung dari tingkat penghayatan masing-masing. Semakin mendalam kepercayaan dan penghayatan, akan makin terlihat terang pengaruhnya dalam kehidupan seseorang.[24]
Beriktut ini suatu ungkapan komarudin hidayat dalam bukunya psikologi maut. “saya merasa ajal bersahabat”. Perasaan ini sangat mensugesti sikap hidup dan keberagamaan aku. Andaikan hati dan fikiran mampu meyakini bahwa kehidupan itu selesai segala-galanya. Yang berarti dibalik ajal tidak ada lagi kehidupan, mungkin saya tak begitu peduli dengan agama, ada benarnya psikolog, it is death that create religion[25]
Dengan demikian, adanya proses yang dilalui insan berupa kematian akan mengikat jiwa insan pada eksistensi agama. Mengapa kematian begitu menyeramkan sedangkan dunia sangat sayang untuk ditinggalkan. Ada segolongan orang yang memandang kematian selaku sebuah bencana yang merampas kenikmatan hidup sehingga mereka memilih jalan hidup hedonistis sebelum kamatian tiba mereka memuja kenikmatan duniawi, mumpung masih hidup. Masa muda dipandang selaku periode golden years of life (kurun keemasan dalam hiup). Sebaliknya, ada juga yang percaya bahwa hidup di dunia cuma sesaat dan kehidupan darul baka lebih mulia. Lebih utama dan kekal. Selanjutnya, ada juga kelompok yang tak mauberfikir soal ajal alasannya adalah dianggap tidak begitu berguna dipikir alasannya risikonya akan datang juga. Mereka melupakan soal kematian dan cuma mempertimbangkan apa yang ada didepan mata.[26] Berdasarkan kalangan tersebut, tentu saja yang disayangi Allah adalah orang yang mengetahui dan meyakini bahwa kehidupan didunia ini tidaklah awet, kehidupan akhiratlah yang kekal. Keyakinan ini terefleksi dlam tindakannya yang tidak menyimpang dari norma-norma allah selaku bekal diakhirat kelak. Mereka ialah orang-orang yang optimis yang menganggap bahwa perjalanan manusia mencapai kesempurnaannya haruslah melalui pintu maut. Disamping itu, mereka yakin bahwa ajal bukan simpulan wujud insan.
Ketika mengatakan tentang kematian, agama Islam berusaha mempertebal optimesme penganutnya sekaligus meminimalisir rasa khawatir dan takut mereka. Ketakutan yang salah satunya disebabkan oleh kemisteriusan apa yang dihadapi sehabis maut dikurangi oleh pemikiran Islam dengan membuka sedikit tabir ajal. Ada sekitar puluhan, bahkan sebagian pakar berkata 300 ayat yang mengatakan tentang akhir hayat dan apa yang dialami oleh seseorang dikala menghadapinya. Yang taat akan menerima kenyamanan, kebahagiaan, dan surge yang penuh kenikmatan, (QS. Al-Wagi’ah : 89), sedangkan yang durhaka saat kematian akan dikunjungi oleh para petugas kematian dan mencabut paksa ruhnya yang enggan keluar, alasannya sadar atau diperlihatkan kepada meereka daerah yang hendak mereka kunjungi.[27] Boleh jadi juga rasa takut itu disebabkan alasannya mempertimbangkan perihal sanak keluarga yang mau ditinggal. Kecemasan ini diusik dengan janji bagi yang taat supaya tak perlu galau alasannya adalah para malaikat akan mengelola mereka (QS. Al-Fushilat : 30-31). Boleh jadi juga ketakutan itu alasannya merasa bahwa tempat yang dikunjungi sangat buruk. Tidak ada penangkal lain untuk hal ini kecuali membangun istana disana dengan amal-amal kebajikan.
Menurut Adnan Syarif, ada beberapa masalah yang muncul berkaitan dengan maut. Dan dilema ini sangat mempunyai efek kepada psikologis manusia dalam menghadapi akhir hayat. Permasalahan tersebut yaitu umur yang pendek, menyangkut siksaan ajal, kehidupan pasca akhir hayat, takut sakit dan perasaan was-was, tidak meyakini maut dan mengasihi kehidupan dunia.[28]
Islam memandang hidup ini sungguh berarti memang tidak ada yang luput dari keluh kesah dan kesulitan “sesungguhnya kami telah membuat insan kedalam sussah payah “QS: al-Balad : 4. Kalau kekurang tidak menimpa dirinya, maka yang meresahkannya boleh jadi anak, istri dan sanak keluarganya. Kalau era mudanya terjamin, pikirannya akan terbang kemasa depan yang juga merisaukannya. Namun kesusahan bukan berarti tanpa imbalan. Karena itu kehidupan dunia mesti disyukuri dan dijadikan sasaran untuk menuju kealam kekakalan yang tidak memedulikan rasa takut atau kesedihan.[29]
E. Duka Cita
Setiap orang jikalau ingin berkembang dan maju mesti menerjang banyak ujian dari front yang berbeda dan banyak bentuknya, dimana tiap fase tidaklah sesuai dengan kesanggupan kita tetapi tidak melampaui daya kita dan rintangan itu umumnya diatas kesanggupan kita, guna berbagi pribadi selaku langsung yang lebih matang dan siap dalam menghadapi dunia. Dalam perumpamaan sufi, diri kita terdapat arassy atau singgasan Tuhan, sehingga jika seseorang mampu menyerap sifat-sifat yang kuasa ke dalam hatinya, maka ia akan lebih besar ketimbang langit dan bumi.
Namun apa kesudahannya ketika agama berhenti menjadi teladan dan semua warisan agama menjadi dagelan belaka, maka Auguste Comte secara radikal berkesimpulan bahwa dalam penduduk saintifikteknokratik, agama tak lagi mempunyai posisi yang harus diperhitungkan, bahkan dianggap sebagai sisa-sisa keterbelakangan dari abad lampau. Berbeda dengan Huston Smith yang berpendapat bahwa Agama adalah pintu gerbang yang paling terang. Melalui pintu gerbang itulah kekuatan kosmos yang tidak terhingga tercurah ke dalam eksistensi insan. Agama juga diyakini sebagai cahaya tembus kabut dimana kian tinggi kesadaran keberagaman seseorang makin tinggi pula mutu kemanusiaannya.
Namun dalam penduduk terbaru kita akan mengenal suatu duduk perkara yang dikenal dengan proses alienasi suatu masalah kejiwaan insan, dimana manusia ialah penyebab hadirnya tetapi juga yang mesti menanggung kesannya dan masalah alienasi ini sungguh berkaitan dekat dengan masalah epistemology. Menyangkut proses alienasi itu manusia pun menjadi haus akan spiritualitas keagamaan yang diyakini sebagai keleluasaan dari derita alienasi alasannya adalah Tuhan yaitu Pesona yang Maha hadir (Omnipresent) dan Maha mutlak. Spiritualitas sendiri jika dilihat bukannya sebagai objek keilmuan, melainkan penghayatan posisinya justru menjadi amat sentral. Dan menolong manusia mencari kedamaian.[30]
Setiap masusia sangat menginginkan kehidupan yang sejahtera, hening, sentosa, senang. Namun sudah menjadi sunnatullah bahwa setiap manusia yang hidup didunia ini pasti akan mengalami perputaran roda kehidupan. Terkadang mereka berada diatas dan kadang-kadang mereka berada dibawah. Terkadang mereka mengalami kejadian yang membuat mereka sedih, galau, bingung. Kesedihan, kerisauan dan kekhawatiran tersebut dapat disebabkan oleh musibah.
Musibah merupakan pengalaman yang dicicipi tidak menyenangkan alasannya adalah dianggap merugikan oleh korban yang terkena musibah. Dilihat dari asal katanya, petaka mempunyai arti lemparan (al-Ramah) yang kemudian dipakai dalam makna bahaya, celaka atau tragedi dan bala. Menurut al-Qurthubi, bencana alam ialah apa saja yang menyakiti dan menimpa diri seseorang atau sesuatu yang berbahaya dan menyusahkan manusia, betapa kecilnya bencana alam dapat menjadikan penderitaan maupun kesengsaraan bagi korbannya. Oleh alasannya adalah itu, setiap orang berupaya menghindarkan diri dari kemungkinan tertimpa petaka.[31]
Musibah disebabkan oleh bermacam-macam hal. Ada yang disebabkan oleh perbuatan insan secara pribadi, pengelolaan alam yang keliru atau murni disebabkan oleh alam. Korban tindak criminal mengalami musibah oleh perbuatan insan secara pribadi.[32]
Korban tragedi tanah longsor di agama, mampu dikarenakan secara tidak pribadi oleh tangan manusia. Selanjutnya, gempa bumi pada banyak sekali daerah yang pernah terjadi merupakan petaka yang terjadi diluar campur tangan insan. Dalam pendekatan agama, ada dua jenis musibah yang pertama yakni alasannya adalah ulah tangan manusia dan yang kedua yakni ujian dari Allah.
Mereka yang tertimpa petaka aka mengalami penderitaan lahir dan batin, mungkin mereka kehilangan harta benda ataupun milik yang paling disayangi, terpisah atau kehilangan anggota keluarga dan kerabat. Penderita akan menunjukkan dampak psikologis, seperti pasrah atau frustasi. Bahkan dalam keadaan tertentu akan member pengaruh kepada perasaan keagamaan. Informasi media massa maupun layangan televisi menggambarkan betapa banyak korban tsunami yang mengalami stress berat atau gangguan kejiwaan.[33]
Erich From menyampaikan bahwa derita yang dialami korban petaka disebabkan adanya rasa kedekatan. Jika seseorang merasa dekat dengan sesuatu, ia akan merasa kehilangan jikalau berpisah dengan sesuatu atau orang yang merasa akrab dengannya. Rasa kedekatan yang mendalam, berganti jadi merasa cinta. Dalam pengalaman sehari-hari, pendapat ini mampu dianalogikan terhadap korban pencurian, misalnya, seseorang yang kehilangan sepasang sepatu yang lainnya. Demikian juga seorang bocah yang ajal kerabat kandungnya, tidak seberat kesedihan yang dicicipi oleh ibu mereka.
Dalam pendekatan keagamaan, kesedihan yang ditimbulkan oleh musibah terkait dengan rasa memiliki. Terkadang secara tak sadar manusia menganggap bahwa segala yang ia miliki ini mencakup tempat yang lebih luas. Tidak hanya sekadar kepemilikan bendawi, tetapi juga pribadi-eksklusif tertentu. Suami terhadap istri, anak terhadap orang tua dan sebagainya. Saat ditimpa musibah, manusia terpaksa harus kehilangan sebagian atau seluruh yang dia miliki. Makin besar nilai kepemilikan yang hilang kian besar derita yang dirasakannya.[34]
Musibah membawa derita bagi korbannya, derita fisik maupun batin.bagi yang selamat, derita fisik mampu menyebabkan cacat ringan sampai berat. Sedangkan derita batin mampu menimbulkan goncangan jiwa, juga dari yang paling ringan kepaling berat, seperti ajaib. Berdasarkan pendekatan psikosomatik, antara derita fisik dan batin tidak dapat dipisahkan. Keduanya saling mempengaruhi. Namun dalam kenyataannya derita batin lebih mendominasi alasannya dia pribadi bekerjasama dengan perasaan. Korban musibah lazimnya mengalami kekosongan jiwa, putus asa atau pasrah. Karena merasa kehilangan tempat bergantung.
Menurut psikologi agama, sebenarnya derita batin yang dialami oleh korban musibah terkait dengan ingat keberagamaan. Bagi mereka yang memiliki iman yang mendalam terhadap nilai pemikiran agama. Bagaimanapun akan lebih gampang dan cepat menguasai gejolak batinnya. Agama menjadi opsi dan referensi untuk menanggulangi pertentangan yang terjadi dalam dirinya. Dikala musibah menjadikan rasa kehilangan dari apa yang dimilikinya selama ini. Hatinya akan dibimbing oleh nilai-nilai yang terkandung dalam pemikiran agamanya.[35] Bila dia seorang muslim, dia akan merujuk pernyataan yang kuasa.
Artinya :
Dan apa saja lezat yang ada pada kau, Maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kau ditimpa oleh kemudharatan, Maka Hanya terhadap-Nya-lah kau meminta santunan.(QS. An-Nahl 53)
Manusia memang bukan pemilik mutlak apa saja yang beliau miliki, tergolong badan dan nyawa, hakikatnya adalah kepunyaan Allah. Sebagai pemilik mutlak, Tuhan menganugerahkan kepada manusia nikmatnya berbentukkehidupan maupun kekayaan. Statusnya cuma sebagai titipan amanah. Dalam menjalani hidupnya manusia selalu berada dalam sebuah arena cobaan yang sarat dengan aneka macam ujian. Firman Allah :
Artinya :
Dan sungguh akan kami berikan ujian kepadamu, dengan sedikit panik, kelaparan, kelemahan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah informasi besar hati terhadap orang-orang yang sabar. (ialah) orang-orang yang jika ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun” QS. Al-Baqarah 155-156)
Musibah ialah ujian dan cobaan dari Allah terhadap hambanya, dan bahwa semua itu Allah menguji kesbaran hamba-Nya dan kesyukurannya, maka mampu diketahui bahwa sabar dan syukur ialah bantuan kepercayaan, dan dogma tidak dibangun kecuali diatas keduanya.[36] Salah satu aspek terapi pada shalat ialah meditasi. Beberapa hasil penelitian wacana efek transcendental meditation dan zen meditation menunjukkan bahwa meditasi dapat menghilangkan kecemasan tersebut. Selain itu, juga ada aspek sugesti. Selain berisi pujian pada Allah juga berisi doa dan permohonan pada Allah biar selamat dunia darul baka. Ditinjau dari teori hypnosis pengucapan bacaan-bacaan berupa doa tertentu berisikan sebuah proses auto sugesti. Bacaan pada shalat menghipnotis diri sendiri agar mempunyai sifat yang baik.[37]
Salah satu fungsi agama dalam kehidupan insan berdasarkan Elizabeth K Nottingham yakni sebagai penyelamat. Dalam keadaan ketidakberdayaan. Secara psikologis, nilai-nilai anutan agama mampu membantu menentramkan goncangan batin. Dengan kembali terhadap tuntunan agama, korban berusaha menyadarkan dirinya, bahwa musibah merupakan resiko yang harus dihadapi dalam menjalani kehidupan lebih dari itu ia menjadi sadar, bahwa ia bukan pemilik mutlak dari segala yang menjadi miliknya. Semua miliknya hanyalah titipan yang sewaktu-waktu mampu diambil oleh sang pemilik mutlak. Maka ucapan yang paling tepat dan menentramkan hati yakni bergotong-royong kami milik Allah dan kepadanyalah kami akan kembali.[38]
Ditengah-tengah kegoncangan batin, korban dapat pula menelusuri pesan tersirat atau nilai nyata yang terkandung di dalamnya. Apakah musibah yang dialaminya selaku akibat atau cobaan. Bila derita yang dialaminya merupakan akhir dari perbuatan yang pernah dilakukannya, maka petaka akan menyadarkannya kepada kesalahan abad lalu. Tuntunan ini, setidaknya akan membawanya kepada kesadaran untuk memperbaiki diri.
Namun kalau deritanya dianggap sebagai cobaan, maka dia akan berupaya untuk bersabar mendapatkan dengan tabah dan ikhlas hingga derita yang berat akan terasa ringan. Perasaan batinnya akan diredakan oleh kepercayaan bahwa petaka yang dialaminya ialah bab dari ketentuan dan takdir Tuhan. Keyakinan ini akan menghilangkan beban batin yang menghimpit perasaan ketika mengalami musibah. Dalam situasi perasaan seperti itu agama berfungsi sebagai sublimatif derita dan petaka yang dialami disublimasikan kenilai-nilai yang luhur yang sejalan dengan fatwa agama. Sublimasi akan menghilangkan dugaan negative kesikap konkret. Mengalihkan istilah batin : “Wahai Tuhan, jika Engkau Zat yang maha adil, kemudian mengapa petaka dan tragedi ini menimpa kami? Menjadi : Wahai Tuhan, semua yang terjadi ialah sebab takdirmu.
Secara etimologis, takdir bermakna mengukur, memberi kadar atau ukuran. Allah sudah menawarkan kadar/ukuran/batas tertentu dalam diri, sifat atau kemampuan maksimal makhluknya. Harun Yahya menyatakan bahwa takdir merupakan wawasan tepat Allah perihal peristiwa abad kemudian dan yang mau tiba. Allah tidak dibatasi ruang dan waktu, alasannya beliau yang membuat semua itu. Masa lalu, kala depan dan periode kini, semuanya ialah sama saja bagi Allah, baginya segala sesuatu sudah terjadi dan selsai. Takdir yakni ketentuan dari Allah dan pasti terjadi.[39]
Dalam menghadapi musibah, orang-orang mempunyai dogma agama tampaklebih tabah. Mereka lebih gampang menetralisi kegoncangan dan pertentangan yang terjadi dalam batinnya. Keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan dijadikan selaku pilihan tempat berlindung atau selaku penyalur derita yang dicicipi. Dalam keadaan yang demikian, Tuhan dianggap sebagai satu-satunya penolong atau juru selamat yang bisa meredam penderitaan yang mereka alami. Kondisi seperti ini dibuktikan dalam masalah petaka tsunami di Aceh maupun gempa di Nias pasca tsunami terlihat para korban berbondong-bondong memenuhi rumah ibadah ataupun melakukan aktivitas keagamaan yang berhubungan dengan upaya mendekatkandiri terhadap Allah.
Sedangkan orang yang mempunyai tingkat doktrin agama yang kurang ataupun tidak memiliki doktrin agama sama sekali. Terkesan susah menetralisasi kegoncangan jiwa. Sulit menemukan jalan keluar, gampang gelap mata, dan kesudahannya mengambil jalan pintas. Tak jarang korban yang merasa begitu menghimpit oleh derita itu mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri dan menerima dengan ikhlas apa yang dideritanya. Sebaliknya tidak tertutup kemungkinan orang yang memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi malah terjebak keperbuatan nekat.[40]
Keyakinan kepada Tuhan memberikan rasa damai dalam batin. Kedamaian dan keselamatan merupakan bab dari insting menjaga diri yang ada dalam diri manusia. Oleh alasannya adalah itu kembali kepada Tuhan dengan memohon perlindungan merupakan terusan yang sejalan dengan dorongan instingtif insan. Kecendrungan terhadap dukungan ini tersirat dalam doa. Menurut William James seluruh doa dalam agama menampung kalimat yang berisi pertolongan terhadap Tuhan. Demikia pula mantra-mantra yang dijumpai dilingkungan masyarakat primitive. Juga tak dari kecendrungan serupa ialah terhadap sesuatu yang dianggap penguasa alam atau yang memilih nasib insan.
Realisasi dari dorongan instingtif ini dapat berupa doa secara individu ataupun dosa bareng . Disamping itu adakalanya pula hal itu ditampilkan dalam bentuk upacara keagamaan. Yang diketahui dalam masyarakat selaku program tolak bala. Upacara kadang-kadang telah menyatu dengan budaya masyarakat. Misalnya dalam tradisi penduduk Jawa diketahui upacara ruatan. Inti dari upacara ini ialah untuk mendekatkan diri kepada Tuhan agar dengan kedekatan ini permohonan mereka dikabulkan. Dalam hubunngan dengan hal ini, terlihat bahwa dogma agama memberi kesempatan yang lebih besar terhadap pemeluknya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Mengingat Tuhan biar mendapat ketenangan batin. Bahwa bekerjsama, dengan mengingat Allah hati akan menjadi tenang, barangkali dapat dijadikan rujukan dalam mengatasi kemelut batin, saat mengalami petaka. [41]
F. Kesimpulan
Para hebat psikologi pertumbuhan membagi proses kelahiran dalam tiga tahap :
1. Terjadi kontraksi peranakan yang berlangsung 15 hingga 20 menit pada awal dan berakhir sampai 1 menit
2. Dimulai ketika kepala bayi bergerak melalui leher rahim dan akses kelahiran. Tahap ini berakhir dikala bayi benar-benar keluar dari tubuh ibu. Tahap ini berjalan kira-kira 1,5 jam.
3. Setelah bayi lahir pada waktu ini ari-ari tali pusar dan selaput lain dilepaskan dan dibuang. Tahap selesai inilah yang paling pendek berlangsung hanya beberapa menit saja.
Proses Aging merupakan proses penuaan yang menenteng seseorang berlanjut terus mengikuti kemajuan dan perkembangannya menuju usia lanjut. Masa usia lanjut ditandai dengan banyak sekali kemunduran baik dari segi fisik, psikis ekonomi dan sebagainya. Namun demikian, mengalami era renta bukan bermakna pasrah dan frustasi dengan keadaan yang dialami. Dalam ungkapan psikologi terdapat ungkapan optimum aging.
Dimana masa lansia mampu diisi dengan aktivitas-acara kasatmata, tergolong beribadah. Hal ini sangat disokong dalam pedoman Islam. Karena mengisi sisa umur dengan acara yang berguna merupakan salah satu bentuk keberkahan umur dalam meraih hidup yang berarti. Jika usia sudah hingga pada batas yang diputuskan oleh Allah, maka kehidupan seseorangpun akan di dunia rampung. Ia tidak mampu lagi melaksanakan amal ibadah. Namun bukan memiliki arti tidak ada kehidupan lagi sesudahnya. Setelah ajal insan akan mendapatkan ganjaran sesuai dengan perbuatannya. Terlebih lagi diakhirat nantinya, insan akan diganjar dengan surge maupun neraka sesuai dengan usahanya masing-masing di dunia.
Kemudian menurut Islam, ajal pada insan terjadi ketika ruh terlepas dari tubuh manusia dan tidak kembali lagi. Al-Qur’an menceritakan peran malaikat untuk mengambil ruh insan dan memisahkannya dari badan pada saat akhir hayat. Islam juga mengajarkan bahwa kematian juga bersifat permanen (akhir hayat) atau sementara (naum). Kematian mampu bersifat permanen bersifat menetap hingga hari kebangkitan, beliau tidak akan hidup kembali. Islam mengajarkan tidur selaku bentuk kamatian kecil, dimana insan mampu bangun kembali sehabis hilang kesadarannya yang bersifat sementara.
Usaha insan mengalami kematian berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya. Ada yang lebih panjang dan ada yang lebih pendek. Namun sebaliknya maut juga bukan suatu yang mampu dihindarkan. Setiap manusia akan mengalami kematian. Tidak dapat pengecualiannya, baik pada ketika ini maupun pada saat nanti. Hal inilah yang kerap kali menghadirkan perasaan takut pada seseorang yang membahas ajal, mereka menyadari ketidakberdayaan mereka untuk menghindari ajal serta ketidaktahuan kapan akhir hayat akan menjemput mereka.
Bagi keluarga yang ditinggalkan oleh orang yang berpulang kehadirat maha kuasa, hendaknya tidak larut dalam kedukaan. Hendaknya mereka meyakini bahwa semua yang ada didunia ini yakni milik Allah dan akan kembali terhadap Allah. Selain itu, mereka hendaknya selalu mengingat Allah, mengakibatkan tabah dan shalat sebagai penolong mereka, amal ketaatan dan melipatgandakan usaha untuk bederma kebaikan. Hal ini tentunya bagi orang yang menerima taufiq dan hidayah dari Allah Swt. Inilah dikala untuk menjaga kehormatan diri, khusyu’ kepada Allah, menjauhi segala permainan hidup dan tindakan tidak berguna.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Mu’az, Hamid, Alih Bahasa, Subhan Nur dan Fathurrazak, Jalan Ke Surga, Jakarta : Amzah, 2006
Abdullah Haddad, Allamah Sayyid, Alih Bahasa, Renungan wacana umur insan, t.tt :t.p.tt
Al-Jauziah, Ibnu Qayyim, Alih Bahasa, Fadli, Sabar Prisai Seorang Mukmin, Jakarta : Pustaka Azzam, 2003
Ancok, Jamaluddin dan Suroso, Fuat Anshori, Psikologi Islami, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001
Hidayat, Komaruddin, Psikologi Kematian, Jakarta : Hikmah, 2006
http:// Dwi Prayitno Blog. (Mr. Gokil)./2011/10
http://www.depsos.go.id/modules.php?name News&life article&sid 797
Jhon, W. Santrok, Life Span Development, Perkembangan Masa Hidup, Jakarta : Erlangga
Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta : Grafindo Persada, 2008
Purwakania Hasan, Aliah B, Psikologi Perkembangan Islami, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2002
Syarif, Adnan, Alih Bahasa Muhammad Al-Mighwar, Psikologi Qur’ani, Bandung : Pustaka Hidayah, 2002
[1]Naskah Asli Dapat Dipesan Via email di buku tamu