1. LATAR BELAKANG
1.1. Tindak Pidana Perikanan sebagai Tindak Pidana Khusus
Salah satu kesempatanyang menjadi modal pembangunan nasional adalah kekayaan alam yang terdapat di bahari Indonesia. Potensi kekayaan tersebut harus dijaga secara optimal agar dimanfaatkan untuk periode depan pembangunan ekonomi bangsa dan tidak terjadi eksploitasi yang merugikan bangsa dan penduduk Indonesia. Perikanan merupakan acara yang kompleks dan menyeluruh, adalah semua acara yang bekerjasama dengan pengelolaan sumber daya perikanan dan lingkungannya mulai dari tahap praproduksi, bikinan, pembuatan sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam sebuah metode bisnis perikanan. Berdasarkan data dari FAO pada tahun 2001, kerugian negara balasan Illegal, Unreported and Unregulated Fishing (IUU Fishing) di Indonesia diperkirakan sebesar ± 30 Trilyun per tahun. Untuk langkah pencegahan dan penegakan hukum dalam mempertahankan kekayaan sumber daya perikanan diharapkan proses penegakan aturan dengan tata cara penegakan hukum yang bersifat spesifik, baik aturan materil dan aturan formil tindakan melawan hukum perikanan (TPP). Oleh alasannya itu, TPP dikategorikan sebagai tindak pidana yang bersifat khusus (lex spesialis).
Pemerintah melaksanakan perbaikan regulasi dengan menerbitkan UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan selaku pengganti UU Nomor 9 Tahun 1985 ihwal Perikanan. Sebagaimana ditetapkan dalam UU tersebut, penegakan aturan di bidang perikanan harus disokong oleh perangkat hukum yang memadai, baik dari tahap penyidikan, penuntutan dan pengadilan. Diawali dari penyidikan, dengan adanya 3 (tiga) instansi yang berwenang melakukan penyidikan (Polisi Republik Indonesia, PPNS Perikanan dan Tentara Nasional Indonesia AL) dan proses penuntutan dengan mensyaratkan penuntut biasa telah mengikuti pendidikan dan training teknis di bidang perikanan serta pelaksanaan di pengadilan dengan adanya aturan acara tersendiri di pengadilan khusus perikanan.
1.2. Pembentukan Pengadilan Perikanan
Landasan hukum pembentukan pengadilan perikanan iamanatkan dalam Pasal 71 UU Perikanan yang mengendalikan perihal pembentukan pengadilan perikanan yang merupakan pengadilan khusus yang berwenang menyelidiki, mengadili, dan memutus tindak pidana di bidang perikanan yang berada pada lingkungan peradilan umum. Untuk pertama kali pengadilan perikanan dibuat di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung, dan Tual. Pengadilan Perikanan paling lambat dibentuk 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (UU ini disahkan dan diundangkan pada tanggal 6 Oktober 2004).
Untuk antisipasi pelaksanaan pembentukan pengadilan perikanan, diterbitkan Keputusan Bersama Menteri Kelautan dan Perikanan dengan Wakil Ketua Mahkamah Agung RI Bidang Yudisial Nomor: SKB.04/MEN/2005 dan WKMA/Yud/01/SKB/XII/2005 tanggal 5 Desember 2005 wacana Pembentukan Kelompok Kerja Persiapan Pembentukan Pengadilan Perikanan.
Selanjutnya diterbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2006 wacana Penangguhan Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Pengadilan Perikanan Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 71 Ayat (5) UU Nomor 31 Tahun 2004 perihal Perikanan. Diterbitkannya Perpu ini selaku bentuk perhatian pemerintah untuk memberantas IUU Fishing hal ini dikarenakan diperlukan waktu antisipasi dan pemahaman wacana kewenangan antar pengadilan negeri, serta memerlukan kesiapan sumber daya manusia, fasilitas , prasarana dan perangkat penunjang pelaksanaan lainnya salah satunya yakni perekrutan Hakim Ad Hoc Perikanan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 78 ayat (1) UU Perikanan. Setelah melewati antisipasi selama 3 (tiga) tahun, pada tanggal 5 Okotober 2007 peresmian pengadilan perikanan dilakukan di Medan oleh Ketua Mahkamah Agung RI.
Peningkatan masalah tindak kriminal perikanan terutama di kawasan Laut China Selatan dipandang perlu membentuk pengadilan perikanan untuk mengadili kasus tindak pidana perikanan di kawasan tersebut. Begitu juga di wilayah timur Indonesia terutama yang berbatasan dengan negara lain. Indonesia memiliki sumber daya perikanan dan kawasan tersebut ialah pusat perikanan nasional yang beresiko kepada tindak pidana perikanan baik yang dilaksanakan oleh kapal perikanan asing maupun kapal perikanan lokal.
Menindaklanjut hal tersebut, maka diterbitkan Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 2010 tanggal 17 Juni 2010 ihwal Pembentukan Pengadilan Perikanan pada Pengadilan Negeri Tanjung Pinang dan Pengadilan Negeri Ranai, serta diterbitkan pula Keppres Nomor 6 Tahun 2014 tanggal 6 Februari 2014 ihwal Pembentukan Pengadilan Perikanan Pada Pengadilan Negeri Ambon, Pengadilan Negeri Sorong dan Pengadilan Negeri Merauke.
Gambar 1. Tahun Pembentukan Pengadilan Perikanan
2. SUMBER DAYA MANUSIA PENGADILAN PERIKANAN (HAKIM AD HOC)
2.1. Syarat Majelis Pengadilan Perikanan
Pasal 78 UU Perikanan mengamanatkan hakim pengadilan perikanan terdiri atas Hakim Karir dan Hakim Ad Hoc, dengan susunan majelis hakim terdiri atas 2 (dua) Hakim Ad Hoc dan 1 (satu) hakim karir. Hakim karir ditetapkan menurut keputusan Ketua Mahkamah Agung, sedangkan Hakim ad hoc diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas permintaan Ketua Mahkamah Agung.
2.2. Jumlah Ketersediaan Hakim Ad Hoc Perikanan
Jumlah ketersediaan Hakim Ad Hoc Perikanan untuk era tahun 2019-2020 sebagaimana terlihat pada Tabel 1. Pada tahun 2020 dan 2021, terdapat pengadilan perikanan yang tidak memenuhi syarat majelis ialah pengadilan perikanan di PN. Ranai, Pontianak, Bitung dan Sorong. Sementara di tahun 2020, telah tidak tersedia Hakim Ad Hoc untuk pengadilan perikanan di seluruh Indonesia.
Tabel 1. Ketersediaan Hakim Ad Hoc Perikanan Periode 2019 – 2022
NO
|
PENGADILAN PERIKANAN
|
KETERSEDIAAN HAKIM AD HOC PERIKANAN
|
2019
|
2020
|
2021
|
2022
|
PURNA TUGAS
|
AKTIF
|
PURNA TUGAS
|
AKTIF
|
PURNA TUGAS
|
AKTIF
|
PURNA TUGAS
|
AKTIF*
|
1
|
PN Jakarta Utara
|
–
|
2
|
–
|
2
|
–
|
2
|
2
|
0
|
2
|
PN Medan
|
–
|
7
|
4
|
3
|
–
|
3
|
3
|
0
|
3
|
PN Tanjung Pinang
|
–
|
7
|
5
|
2
|
–
|
2
|
2
|
0
|
4
|
PN Ranai
|
–
|
2
|
1
|
1*
|
–
|
1*
|
1
|
0
|
5
|
PN Pontianak
|
–
|
5
|
4
|
1*
|
–
|
1*
|
1
|
0
|
6
|
PN Bitung
|
–
|
2
|
1
|
1*
|
–
|
1*
|
1
|
0
|
7
|
PN Tual
|
–
|
2
|
–
|
2
|
–
|
2
|
2
|
0
|
8
|
PN Ambon
|
–
|
3
|
–
|
3
|
–
|
3
|
3
|
0
|
9
|
PN Sorong
|
–
|
1
|
–
|
1*
|
–
|
1*
|
1
|
0
|
10
|
PN Merauke
|
–
|
2
|
–
|
2
|
–
|
2
|
2
|
0
|
Jumlah
|
–
|
33
|
15
|
18
|
–
|
18
|
18
|
0
|
Keterangan : * Tidak memenuhi syarat Majelis
Sumber : Diolah oleh Direkorat Penanganan Pelanggaran sesuai Data Ditjen Badilum MA, Juni 2018
Proses rekrutmen Hakim Ad Hoc Perikanan semenjak tahun 2010 dijalankan secara nasional dengan akseptor seleksi yang berasal bukan saja dari peserta berlatar belakang perikanan dan kelautan, juga berasal dari personil Tentara Nasional Indonesia-AL dan juga profesional yang lain. Proses seleksi dijalankan bareng antara MA dengan KKP.
2.3. Alternatif Efisiensi Ketersediaan Hakim Ad Hoc Perikanan
Mempertimbangkan keadaan ketersediaan Hakim Ad Hoc Perikanan, beberapa langkah efisiensi yang mampu dilakukan, yaitu:
2.3.1. Pengangkatan Kembali
Sesuai Pasal 8 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 2006 ihwal Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Ad Hoc Pengadilan Perikanan, pengangkatan Hakim Ad Hoc Perikanan hanya mampu diperpanjang 1 (satu) kali atau hanya berlaku 2 (dua) periode. Ketersediaan Hakim Ad Hoc Perikanan, sebagaimana Tabel 1, sudah dijalankan pengangkatan kembali untuk seluruh Hakim Ad Hoc tersebut. Pengangkatan kembali tidak mampu dilaksanakan untuk abad tahun 2020.
2.3.2. Hakim Detasering
Pemanfaatan hakim detasering (hakim “terbang”) untuk para Hakim Ad Hoc Perikanan selaku alternatif mempertimbangkan tidak meratanya sebaran Hakim Ad Hoc di pengadilan perikanan, memiliki kendala, sebagaimana disampaikan dalam diskusi panel, adalah selaku berikut:
– peningkatan ongkos operasional hakim;
– penundaan pemeriksaan di persidangan;
– penumpukan berkas kasus di pengadilan perikanan; dan
– resiko keamanan Hakim Ad Hoc.
2.3.3. Rekrutmen
Proses rekrutmen berlangsung sekitar 15 (lima belas) bulan, dengan tahapan pelaksanaan sebagaimana terlihat pada Tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2. Proses Rekrutmen Hakim Ad Hoc Perikanan
Proses Sosial Ekonomi, Peradaban Kelas Sosial ?
Sesuai Surat Keputusan Pengangkatan Hakim Ad Hoc, era berlaku SK adalah per Oktober 2020. Oleh risikonya, jika alternatif rekrutmen yang dipilih maka proses rekrutmen harus dilakukan di tahun 2019 untuk memenuhi keadaan ketersediaan Hakim Ad Hoc sesuai syarat majelis pengadilan perikanan.
3. KINERJA PENGADILAN DALAM PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA PERIKANAN
3.1. Penanganan Perkara Tindak Pidana Perikanan di Seluruh Pengadilan Negeri
Berdasarkan Laporan Tahunan Mahkamah Agung dan data dari Badan Peradilan Umum (Badilum) Mahkamah Agung Tahun 2014 – 2018, tercatat ada 2.133 kasus TPP yang disidangkan di seluruh Pengadilan Negeri (tergolong Pengadilan Perikanan) sebagaimana Grafik 1 di bawah ini.
Grafik 1. Statistik Perkara Tindak Pidana Perikanan Tahun 2014 – 2018
|
Sumber : Diolah oleh Direkorat Penanganan Pelanggaran sesuai Laporan Tahunan MA dan Data Ditjen Badilum MA, Januari 2019
|
Grafik 1 di atas memperlihatkan dari tahun ke tahun perkara TPP meningkat, tren postif ditunjukkan mulai tahun 2016 sampai dengan 2018, tahun 2016 ada 86,37 % perkara yang telah diputus, tahun 2017 ada 91,47 % perkara, dan tahun 2018 ada 91,99 % masalah.
3.2. Penanganan Perkara Tindak Pidana Perikanan di Pengadilan Perikanan
Berdasarkan data dari Badan Peradilan Umum (Badilum) Mahkamah Agung Tahun 2016-2018, tercatat ada 800 masalah TPP yang disidangkan di pengadilan perikanan sebagaimana Grafik 2 di bawah ini.
Grafik 2. Statistik Perkara Tindak Pidana Perikanan di Pengadilan Perikanan
Tahun 2016 – 2018
|
Sumber : Diolah oleh Direkorat Penanganan Pelanggaran sesuai Data Ditjen Badilum MA, Januari 2019
|
Grafik 2 di atas bila dibandingkan dengan Grafik 1 maka menunjukkan tahun 2016 dari 587 perkara TPP yang masuk di seluruh pengadilan negeri, ada 38,67 % masuk di pengadilan perikanan. Tahun 2017 dari 692 kasus, ada 45,08 %, yag masuk ke pengadilan perikanan, dan tahun 2018 dari 587 masalah ada 44,46 % yang masuk ke pengadilan perikanan.
Selanjutnya ditunjukkan Grafik Statistik Perkara TPP berdasarkan pengadilan di tahun 2016-2018, sebagaimana Grafik 3, 4 dan 5 di bawah ini.
Grafik 3. Statistik Perkara Tindak Pidana Perikanan di Pengadilan Perikanan
Tahun 2016
Sumber : Diolah oleh Direkorat Penanganan Pelanggaran sesuai Data Ditjen Badilum MA, Januari 2019
Grafik 4. Statistik Perkara Tindak Pidana Perikanan di Pengadilan Perikanan
Tahun 2017
Sumber : Diolah oleh Direkorat Penanganan Pelanggaran sesuai Data Ditjen Badilum MA, Januari 2019
Grafik 5. Statistik Perkara Tindak Pidana Perikanan di Pengadilan Perikanan
Tahun 2018
|
Sumber : Diolah oleh Direkorat Penanganan Pelanggaran sesuai Data Ditjen Badilum MA, Januari 2019 |
Pada Grafik 3-5 di atas memperlihatkan, PN Ranai dalam masa waktu 3 tahun terakhir paling banyak dalam menanggulangi masalah TPP yaitu 286 kasus, sedangkan PN Merauke paling sedikit mengatasi masalah dalam periode waktu 3 tahun terakhir sebanyak 2 perkara TPP. Adapun sisa perkara tahun 2018 di pengadilan perikanan tercatat sebanyak 29 masalah adalah di PN Tanjung Pinang 23 perkara, 5 di PN Pontianak, dan 1 di PN Medan, hal ini disebabkan alasannya adalah masalah yang masuk pada bulan November dan Desember yang masih membutuhkan tahapan proses pada sidang pengadilan.
3.3. Penanganan Perkara TPP Pada Tingkat Banding dan Kasasi
Sesuai UU Nomor 45 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, Pasal 71 ayat (1) memutuskan kewenangan pengadilan perikanan, selaku berikut: “Dengan Undang-Undang Ini dibuat Pengadilan Perikanan yang berwenang mengusut, mengadili, dan memutus tindakan melawan hukum di bidang perikanan”. Adapun kewenangannya dikelola dalam Pasal 71 (A) yang mengamanatkan:
“Pengadilan perikanan berwenang menyelidiki, mengadili, dan memutuskan perkara tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di daerah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia, baik yang dilaksanakan oleh warga negara Indonesia maupun warga negara asing”
Berdasarkan ketentuan di atas jelas bahwa pengadilan perikanan cuma mempunyai kewenangan memeriksa, mengadili, dan menetapkan masalah TPP yang terjadi di WPP-RI. Hal ini tentunya berlainan dibandingakan dengan pengadilan khusus yang lain, yakni Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Pengadilan Tipikor dikelola tersendiri pada UU 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, yang pada Pasal 6 mengatur kompetensi sewenang-wenang Pengadilan Tipikor yaitu:
– tindak pidana korupsi;
– tindak kriminal pembersihan uang yang tindak kriminal asalnya adalah tindak pidana korupsi; dan/atau
– tindakan melawan hukum yang secara tegas dalam undang-undang lain diputuskan sebagai tindakan melawan hukum korupsi.
Selain itu pengadilan perikanan cuma berada pada pengadilan tingkat pertama, berbeda halnya dengan Pengadilan Tipikor yang ada pada tingkat pertama (Pegadilan Negeri), banding (Pengadilan Tinggi) dan kasasi (Mahkamah Agung) majelis hakimnya melibatkan Hakim Ad Hoc Tipikor. Oleh karenanya perkara TPP yang banding atau kasasi, majelis hakimnya tidak memakai Hakim Ad Hoc Perikanan. Adapun perkara TPP yang diajukan banding dan kasasi di pengadilan perikanan dan di luar pengadilan perikanan mampu dilihat pada Grafik 6 dan 7 di bawah ini.
Grafik 6. Statistik Perkara Tindak Pidana Perikanan Banding dan Kasasi di Pengadilan Perikanan Tahun 2016 – 2018
|
Sumber : Diolah oleh Direkorat Penanganan Pelanggaran sesuai Data Ditjen Badilum MA, Januari 2019 |
Grafik 6 di atas menawarkan, dalam masa waktu 3 tahun terakhir dari 676 kasus TPP yang sudah diputus di pengadilan perikanan, terdapat 29,73% perkara yang diajukan banding. Selanjutnya dari 201 kasus yang telah diputus pada tingkat banding, ada 93 (46,26%) kasus diajukan kasasi.
Grafik 7. Statistik Perkara Tindak Pidana Perikanan Banding dan Kasasi di Luar Pengadilan Perikanan Tahun 2016 – 2018
|
Sumber : Diolah oleh Direkorat Penanganan Pelanggaran sesuai Data Ditjen Badilum MA, Januari 2019 |
Grafik 7 di atas memperlihatkan, dalam abad waktu 3 tahun terakhir dari 1.004 perkara TPP yang sudah diputus di luar pengadilan perikanan, terdapat 11,75% kasus yang diajukan banding. Selanjutnya dari 118 perkara yang telah diputus pada tingkat banding, ada 80 (67,79%) perkara diajukan kasasi.
3.4. Penanganan Perkara TPP di Luar Pengadilan Perikanan
Berdasarkan data dari Badilum MA Tahun 2016-2018, tercatat ada 1.066 perkara TPP yang disidangkan di luar pengadilan perikanan sebagaimana Grafik 8 di bawah ini.
Grafik 8. Statistik Perkara Tindak Pidana Perikanan diLuar Pengadilan Perikanan Tahun 2016 – 2018
|
Sumber : Diolah oleh Direkorat Penanganan Pelanggaran sesuai Data Ditjen Badilum MA, Januari 2019 |
Grafik 8 di atas kalau ketimbang Grafik 1 maka memperlihatkan persentase penanganan masalah TPP di luar pengadilan perikanan lebih banyak dibandingkan di pengadilan perikanan. Tahun 2016 dari 587 perkara yang masuk di seluruh pengadilan negeri, ada 61,32 % masuk di luar pengadilan perikanan, tahun 2017 dari 692 kasus TPP ada 54,91 %, dan tahun 2018 dari 587 kasus TPP ada 55,53 %. Hal ini merupakan suatu kewajaran karena pengadilan perikanan cuma tersebar di 10 pengadilan negeri dari 352 pengadilan negeri di seluruh Indonesia.
Sebaran kasus TPP yang disidangkan di luar pengadilan perikanan tahun 2016 tercatat 91 pengadilan negeri, tahun 2017 ada 79 pengadilan negeri, dan tahun 2018 ada 76 pengadilan negeri. Adapun pengadilan negeri di luar pengadilan perikanan yang terbanyak menyidangkan perkara TPP dalam masa waktu tahun 2016-2018 mampu dilihat pada Grafik 9 di bawah ini.
Grafik 9. Statistik Pengadilan Negeri di Luar Pengadilan Perikanan yang Terbanyak Menyidangkan Perkara Tindak Pidana Perikanan Tahun 2016-2018
|
Sumber : Diolah oleh Direkorat Penanganan Pelanggaran sesuai Data Ditjen Badilum MA, Januari 2019 |
Grafik 9 di atas memperlihatkan, dalam kala waktu 3 tahun terakhir Pengadilan Negeri Tangerang paling banyak mendapatkan kasus TPP sebanyak 61 masalah, Pengadilan Negeri Mataram 40 perkara, Pengadilan Negeri Tebing Tinggi 36 masalah, Pengadilan Negeri Pangkajene dan Pengadilan Negeri Tarakan ada 34 masalah.
3.5. Kasus TPP yang Ditangani di Luar Pengadilan Perikanan Terkait Penggunaan Pendekatan Multi Rezim Hukum
Sesuai dengan amanat KUHAP, pengadilan negeri memiliki kewenangan untuk semua tindak kriminal, temasuk pula untuk tindak pidana perikanan. Pada Ketentuan Peralihan Pasal 106 UU Nomor 31 Tahun 2004 ihwal Perikanan, ditetapkan bahwa pengadilan negeri mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan kasus di bidang perikanan, yakni sebagai berikut:
“Selama belum dibuat pengadilan perikanan selain pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3), masalah tindak kriminal di bidang perikanan yang terjadi di luar tempat hukum pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3) tetap diperiksa, diadili, dan diputus oleh pengadilan negeri yang berwenang”.
Berdasarkan hasil penelusuran di SIPP, biasanya kasus-perkara perikanan yang diperiksa di luar pengadilan perikanan cuma memutuskan terkait tindak kriminal perikanan. Meskipun dari hasil penyidikan didapatkan indikasi adanya tindak pidana lainnya, tetapi pendekatan multi rezim aturan belum ditindak lanjuti.
Beberapa perkara TPP yang diduga terindikasi pelanggaran tindakan melawan hukum lainnya, namun cuma diputus untuk perkara TPP di luar pengadilan perikanan, diantaranya yaitu :
1. Kasus Silver Sea 2 disangka melaksanakan tindak pidana lainnya, selaku berikut:
– Menggunakan ABK dan Nahkoda Asing sebanyak 100 %.
– Memalsukan dokumen pelayaran.
– Melakukan ekspor dan impor barang di luar wilayah Kepabeanan.
– Kapal perikanannya (Mabiru Grup) tidak melaporkan SPT Tahunan tahun 2012, 2013,2014 dan 2015.
2. Kasus Fu Yuan Yu 831 diduga melaksanakan tindak pidana yang lain yaitu adanya
pelanggaran tindak pelayaran terkait dokumen kapal dan penggunaan ABK Asing,
tapi tidak dikerjakan penyidikan.
3. Kasus STS 50 disangka melakukan tindak kriminal yang lain yaitu pemalsuan dokumen
pelayaran.
2. PENUTUP
Tindak pidana perikanan ialah tindakan melawan hukum khusus, sebagai tindak lanjut tersebut UU Perikanan pada Pasal 71 ayat (1) dan Pasal 78 mengamanatkan pembentukan Pengadilan Perikanan dan adanya Hakim Ad Hoc Perikanan. Mengingat ketika ini hakim ad hoc perikanan yang berjumlah 33 orang akan memasuki purna peran pada tahun 2020 dan 2022, maka untuk melaksanakan amanat UU Perikanan perlu secepatnya dijalankan rekrutmen Hakim Ad Hoc Perikanan tahun 2019.
Eksistensi pengadilan perikanan yang telah ada selama 12 (dua belas) tahun telah menawarkan hal yang aktual dalam pemberantasan tindak pidana perikanan, hal ini berdasarkan jumlah putusan dalam perkara tindak kriminal perikanan. Tetapi perangkat pengadilan perikanan masih perlu mendapat pemberian dalam hal perekrutan Hakim Ad Hoc Perikanan, memberlakukan hukum acara pemeriksaan singkat dengan argumen kasusnya sederhana dan pembuktian serta penerapan hukumnya mudah, dan pembatasan waktu proses pemeriksaan yang lebih lama dibandingkan dengan yang ada ketika ini.
Sebaiknya, pengadilan perikanan dikelola dalam UU tersendiri seperti UU Pengadilan Tipikor, sehingga memiliki kewenangan yang mutlak, mempunyai Hakim Ad Hoc disetiap tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung. Selain itu diberikan juga kewenangan untuk mengadili TPPU (multi rezim hukum).
Pengadilan perikanan di daerah-daerah yang rawan pelanggaran TPP perlu dibuat sehingga kasus TPP dapat ditangani dengan perspektif bidang perikanan secara menyeluruh, dimana Hakim Ad Hoc Perikanan terlibat didalam proses peradilan. Selain itu, membuat lebih mudah penyidik dan penuntut umum menghadapi hambatan, diantaranya aspek keselamatan dan pembiayaan.
Dalam hal peningkatan dan pemenuhan SDM Hakim Ad Hoc Perikanan, dibutuhkan aktivitas Refreshing Coach Hakim Perikanan dan Temu Teknis Aparat Penegak Hukum Perikanan, serta konferensi melalui Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana Perikanan guna kenaikan kerjasama dan kerjasama.
Jakarta, 23 Januari 2019
Sherief Maronie, SH. MH.
Analis Hukum pada Direktorat Penanganan Pelanggaran Ditjen PSDKP, KKP
Ratih Seftiariski, ST. MM.
Kasi Kerma Gakkum Direktorat Penanganan Pelanggaran Ditjen PSDKP, KKP