Tokoh Kesenian Sunda Ronggeng Gunung Ciamis

Tokoh Kesenian Sunda Ronggeng Gunung dari Ciamis  Tokoh Kesenian Sunda Ronggeng Gunung Ciamis
Nama aslinya ialah Raspi, tetapi pada kesenian ronggeng gunung memiliki nama Bi Raspi

Bi Raspi ialah seorang seniman kesenian ronggeng gunung kelahiran tahun 1956 di Dusun Karang Gowok Kabupaten Ciamis. Dirinya terlahir dari keluarga sederhana dengan ayah bernama Sidot dan ibunya bernama Kastem. Nama aslinya adalah Raspi, tapi pada kesenian ronggeng gunung mempunyai nama Bi Raspi. Semenjak dirinya masih kecil, dirinya sudah hidup sendiri sebab ketika itu bapak dan ibunya sudah bercerai. Semasa kecilnya, dia habiskan waktu bersama ibunya di tempat Karang Gowok Desa Ciparakan.

Menginjak usia remaja, Bi Raspi mulai menjalani kehidupan selaku ibu rumah tangga. Dalam kehidupan berkeluarga, Bi Raspi menikah sebanyak dua kali. Pernikahan yang pertama dengan Pak Kawin. Dari pernikahannya tersebut, Bi Raspi menerima seorang anak bernama Nani. Semenjak ijab kabul yang pertama, Bi Raspi mulai dibawa ke kawasan Ciulu Ciamis. Kemudian dirinya bercerai dan menikah lagi dengan salah seorang nayaga Panggugah Rasa, adalah Mang Wasco. Dari pernikahannya ini, Bi Raspi tidak memiliki anak. Sekarang dirinya mempunyai dua cucu dari Teh Nani. Setelah menikah, dirinya tinggal di kawasan Ciamis di Dusun Ciulu Desa Cikukang.


Bakat seni yang dimiliki Bi Raspi dalam kesenian ronggeng gunung mulai terlihat oleh Wa Maja Kabun selaku instruktur ronggeng gunung saat dirinya mengikuti latihan ngibing. Sejak kecil dirinya ikut dengan kesenian ronggeng gunung Panggugah Rasa bersama Bi Kasoh (kini sudah tidak aktif lagi). Masa kecilnya dihabiskan untuk memperdalam kesenian ronggeng gunung. Bi Raspi sungguh senang berkesenian ronggeng gunung, sebab dari sini, dirinya bisa menerima upah untuk jajan dan tidak mengandalkan dari kedua orang tuanya yang memang sudah bercerai.

  Orang Belanda Yang Mendalami Kebudayaan Sunda

Ia ialah maestro tari Ronggeng Gunung asal Cikukang, Desa Ciulu, Kecamatan Banjar Sari, Ciamis, Jawa Barat sekarang masuk ke Kabupaten Pangandaran.


Tokoh Kesenian Sunda Ronggeng Gunung dari Ciamis  Tokoh Kesenian Sunda Ronggeng Gunung Ciamis
Para penari Ronggeng di Bandung tempo dulu 

Ronggeng Gunung itu sendiri adalah tarian khas dari Ciamis (Sekarang Pangandaran). Konon, tarian ini timbul atas nama cinta dan dendam Dewi Siti Samboja, putri ke-38 Prabu Siliwangi, alasannya adalah kekasihnya, Raden Anggalarang, tewas di tangan perompak. Namun, perlahan dendam itu berkembang menjadi perumpamaan syukur masyarakat pegunungan Ciamis, Jawa Barat atas hasil ladang dan sawah.


Ronggeng Gunung sendiri dapat dibilang berbeda dengan jenis tarian sunda lainnya yang condong mengolah gerakan kepala, tangan dan tubuh. Tarian Ronggeng Gunung lebih menumpukan gerakan pada kaki yang harus seirama, bergerak melingkari Nyi Ronggeng sebagai porosnya dengan acuan langkah tertentu. Sedangkan gerakan tangan atau tubuh yang lain condong bebas. Ronggeng Gunung dalam penyajiannya di bedakan menjadi dua fungsi apakah tergolong tari untuk hiburan atau budpekerti. Ronggeng upacara etika umumnya dibawakan dengan pakem tertentu, seperti pentingnya tata urutan lagu. Sedangkan ronggeng untuk hiburan lazimnya lebih fleksibel karena tidak ada pakem urutan lagu.

Kecintaannya kepada Ronggeng Gunung tersebut tidak lepas dari perjalanan hidupnya sejak kecil. Ia mempelajarinya secara tidak sengaja ketika kabur dari rumah sebab hendak dinikahkan ketika berusia 13 tahun. Guru pertamanya yakni Maja Kabun dari Padaherang, Ciamis.

Tokoh Kesenian Sunda Ronggeng Gunung dari Ciamis  Tokoh Kesenian Sunda Ronggeng Gunung Ciamis
Penari Ronggeng jaman dulu 


Ia mengakui tidak mudah mempelajari Ronggeng Gunung. Ronggeng wajib memiliki fisik berpengaruh. Alasannya, ronggeng mesti mempunyai kemampuan olah vokal dalam nada tinggi sekaligus menari dalam waktu yang lama. Ronggeng Gunung lazimnya dipentaskan 2 jam hingga 12 jam per pertunjukan. Dalam satu pertunjukan umumnya ada enam sampai delapan lagu yang dibawakan antara lain ‘Kudup Turi’, ’Sisigaran Golewang’, ‘Raja Pulang’, ‘Onday’, ‘Kawungan’, ‘Parut’ dan ‘Trondol’. Mayoritas bertema kerinduan kepada kekasih dan sindiran kepada perompak pembunuh Anggalarang.

  Pendidikan Orang Eropa Jaman Belanda

Menurutnya, tari ini sempat menemukan kurun emasnya pada 1970-1980. Saat itu, ia selalu kerepotan memenuhi panggilan pentas. Akan namun, masuk tahun 1990-an Ronggeng Gunung perlahan karam di tengah gemerlap kehidupan terbaru. Banyak penari ronggeng dan pemusiknya pensiun sebab tidak ada lagi yang memanggil mereka. Puncaknya, Raspi bareng lingkung seni ‘Panggugah Rasa’ satu-satu golongan Ronggeng Gunung yang bertahan paling banyak hanya sekali pertunjukan dalam tiga bulan selama tahun 2010. Biasanya panggilan tampil ada saat bulan haji atau Syawal sebagai pengisi program syukuran atau ruwatan.

Kini, keberadaan Ronggeng Gunung pun terancam tak berbekas. Fakta bahwa Raspi adalah maestro Ronggeng Gunung terakhir menerangkan kalau kesenian ini rentan menambah daftar merah kesenian rakyat yang terancam punah di Jabar. Sekarang dia mencoba meneruskan tarian ini terhadap Nani Nurhayati, anak kandungnya. Berkat ketekunannya dalam mempertahankan akar Ronggeng Gunung, Ia berhasil menerima penghargaan dari Taman Mini Indonesia Indah tahun 1997 dan penghargaan dari Gubernur Jawa Barat 10 tahun lalu. Yang teranyar yaitu sumbangan dana pembuatan pedepokan seni Rp 200 juta dari Pemerintah Propinsi Jawa Barat tahun 2009.

Kini di kurun tuanya, istri dari Dahlan ini, masih menyimpan harapan. Ke depannya, ia berharap semakin banyak penduduk yang terpesona mementaskan dan mempelajari Ronggeng Gunung sebagai warisan tradisional bangsa. Ia ingin mempertahankan Ronggeng Gunung tetap dikenal penduduk sekaligus menunjukkan suntikan semangat terhadap generasi muda bahwa ronggeng gunung juga bisa dipercaya membiayai keperluan hidup. Sumber: Galamedia oleh: Kiki Kurnia