close

Sejarah Asal Usul Belanda Depok Part Ii


benar dilaksanakan oleh masyarakat asli Depok Sejarah Asal Usul Belanda Depok Part II
Depok di Masa Penjajahan 


Sejarah Asal – Usul Belanda Depok Part. II 
Mereka membentuk penduduk yang eksklusif. Segala pengaruh yang mungkin datang dari luar dibendung dengan peraturan-peraturan. Para pedagang Cina ataupun kelompok masyarakat lain yang bukan anggota klan tersebut diperbolehkan bekerja di dalam lingkungan Depok cuma pada siang hari. Di malam hari, para pekerja harus keluar. 
Keteraturan dan ketentraman di kawasan Depok dikala itu dilirik oleh pejabat-pejabat Belanda. Maka, banyak orang-orang Belanda yang memanfaatkannya.


Dari situlah, bahasa dan kebudayaan bangsa Belanda mulai mengakar. Untuk kebutuhan penduduk Belanda di situ diresmikan sekolah-sekolah khusus untuk anak-anak Belanda 
dan beberapa orang pribumi yang telah menerima persamaan hak. Untuk masyarakat lokal juga didirikan sekolah khusus. Bahasa sehari-hari yang berlaku di tempat Depok waktu itu memang bahasa Belanda.Kebiasaan itu juga dibawa saat mereka berada di luar lingkungan, misalnya pada dikala membeli di pasar. Hal inilah yang dipandang aneh oleh lingkungan sekitar. Orang tidak berkulit putih berjumpa dengan orang yang juga hitam kok memakai bahasa Belanda. Mulanya, mereka menyebut dengan Belanda Item (Belanda berkulit hitam).

Lama-lama mereka tahu bahwa pada umumnya orang hitam yang berbahasa Belanda tinggalnya di Depok, maka mereka menjuluki mereka Belanda Depok. Itulah asal mula mereka disebut Belanda Depok. Selain itu, kedatangan beberapa pejabat Belanda yang tinggal di kawasan itu membuatnya mempunyai kedudukan istimewa.

Kemudahan dan kemudahan-fasilitas yang lazimnya hanya dirasakan oleh bangsa kulit putih sedikit-sedikit mereka peroleh juga. Hal ini dapat menimbulkan kecemburuan 
sosial. Lalu timbul semacam tingkatan-tingkatan dalam masyarakat. Bangsa Belanda totok ditempatkan pada peringkat pertama, kemudian para Sinyo (keturunan) menempatkan dini pada peringkat kedua, baru lainnya berada di bawahnya. Warga asli Depok yang nota bene ialah pribumi, hanya alasannya adalah memakai bahasa Belanda dan menerima fasilitas sedikit lebih menjadi alasan adanya kecemburuan sosial. 

Kini, dikawasan Depok masih ada bangunan-bangunan bau tanah yang bisa menawarkan bahwa daerah itu pemah menjadi pemukiman yang sangat tenteram. Gedung Gereja yang dibangun pada tahun 1854 hingga kini masih terlihat bentuk aslinya, walaupun ada penambahan-penarnbahan ruangan. Bahasa Indonesia dalam logat Belanda masih bisa ditemukan di tempat itu, meskipun tidak dikerjakan oleh orang yang berkulit putih dan berhidung  mancung.

Kenyataan itu menjadi pertanda bahwa budpekerti-istiadat Belanda pernah tertanam di kawasan itu. Mau tidak mau harus diakui, kebudayaan Barat memang pernah  singgah dan menjadi ciri khas rnasyarakat Depok. Pendidikan ala Eropa pun telah semenjak dini dirasakan oleh kawasan itu. Karena semenjak zaman penjajahan Belanda di daerah itu sudah didirikan sekolah-sekolah.

Arus de-urbanisasi tak dapat dihindari. Warga Depok ash i yang punya acuan tradisi berpengaruh berbenturan dengan teladan hidup terbaru yang dibawa dari kota. Pola tradisional yang alon-alon waton kelakon dilawankan dengan kebudayaan metropolitan yang sungguh berangasan.

Letak geografis kawasan Depok memang strategis. Dan menjadi lebih nyaman dengan kelengkapan-kelengkapan sarana dan prasarana yang mencukupi sebagai tempat pemukiman. Pembangunan jalan raya dan sarana-fasilitas lain sungguh mendukung pengembangan wilayah tersebut.Sejak tahun di tempat Depok didirikan unit-unit perumahan yang pastinya dimanfaatkan oleh orang-orang Jakarta.
Saat inipun kawasan tersebut masih diincar oleh orang-orang Jakarta untuk dikembangkan menjadi perumahan dan perumahan mewah.

Arus de-urbanisasi tak mampu dikesampingkan. Warga Depok orisinil yang punya contoh tradisi berpengaruh berbenturan dengan acuan hidup modern yang dibawa dari kota. Pola tradisional yang alon-alon waton kelakon dilawankan dengan kebudayaan metropolitan yang sangat agresif. Lalu terjadi saling menuduh. Orang terbaru menganggap lainnya malas, sedangkan orang yang berpola tradisional menilai yang lain ngoyo (terlalu memforsir). Itulah citra masyarakatyang bermukim di perbatasan antara Jakarta dengan Bogor. Antara modern dan tradisional. Sumber  majalah Busos.