1. Pengertian Perlindungan Konsumen dan Konsumen
Dari sudut pandang pemahaman konsumen yang lain, Celina (2009:5) memberikan klarifikasi mengenai pemahaman konsumen, Celina mengungkap bahwa :
Berbeda halnya dengan klarifikasi Abdul Halim Barkatullah dan Celina. Pengertian Konsumen berdasarkan Az. Nasution (2000:23) bekerjsama dapat dibagi menjadi 3 bab, yaitu :
Para andal aturan pada umumnya setuju mengartikan konsumen sebagai pemakai produksi terakhir dari benda dan jasa (uiteindelijke gebruiker van goederen en diensten). Dalam Pasal 1 angka 2 Undang – undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, menunjukkan defenisi pelanggan selaku berikut :
Dari defenisi tersebut mampu dipahami bahwa yang dikatakan selaku pelanggan haruslah pemakai akhir dari sebuah barang maupun jasa yang tersedia dalam penduduk , baik untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahkluk hidup lain, dan tidak untuk diperdagangkan. Tetapi disisi lain Undang – undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (berikutnya disebut UUPK) tidak memperlihatkan suatu ketegasan maupun klarifikasi apakah tubuh hukum (recht person) atau sebuah pelaku perjuangan yang menjadi pembeli atau pemakai final mampu dikategorikan selaku konsumen.
Didalam suatu peraturan, hal yang paling penting dalam terbentuknya suatu peraturan yaitu Asas. Asas dapat berarti dasar, landasan, fundamen, prinsip dan jiwa atau impian. Asas yakni suatu dalil biasa yang dinyatakan dalam istilah biasa dengan tidak menyebutkan secara khusus cara pelaksanaannya. Asas mampu juga disebut pemahaman-pemahaman dan nilai-nilai yang menjadi titik tolak berpikir ihwal sesuatu. Asas Hukum adalah prinsip yang dianggap dasar atau fundamen aturan yang berisikan pemahaman-pengertian atau nilai-nilai yang menjadi titik tolak berpikir perihal aturan. Kecuali itu Asas Hukum mampu disebut landasan atau alasan bagi terbentuknya sebuah peraturan hukum atau merupakan suatu ratio legis dari suatu peraturan hukum yang menilai nilai-nilai, jiwa, cita-cita sosial atau perundangan etis yang ingin diwujudkan. Karena itu Asas Hukum ialah jantung atau jembatan suatu peraturan-peraturan hukum dan aturan positif dengan harapan sosial dan persepsi etis penduduk .
Asas hukum atau prinsip hukum bukanlah peraturan aturan konkrit melainkan asumsi dasar yang umum sifatnya atau ialah latar belakang dari peraturan yang konkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap system hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-usul dan putusan hakim yang ialah hukum kasatmata dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat lazim dalam peraturan konkrit tersebut.
Adapun Asas bantuan pelanggan yang tertuang dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 wacana Perlindungan Konsumen :
(Pasal 2) ;
a. Asas Manfaat; mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan bantuan ini mesti memperlihatkan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku perjuangan secara keseluruhan;
b.Asas Keadilan; partisipasi seluruh rakyat mampu diwujudkan secara optimal dan menunjukkan potensi kepada pelanggan dan pelaku perjuangan untuk mendapatkan haknya dan melakukan kewajibannya secara adil;
c. Asas Keseimbangan; menawarkan keseimbangan antara kepentingan pelanggan, pelaku perjuangan, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual;
d. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen; memberikan jaminan atas keselamatan dan keselamatan kepada pelanggan dalarn penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan;
e. Asas Kepastian Hukum; baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati aturan dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan derma konsumen, serta Negara menjamin kepastian hukum.
Disamping asas, hal yang diharapkan dalam suatu peraturan yaitu tujuan. Tujuan ialah sasaran. Tujuan adalah keinginan. Tujuan lebih dari cuma sekedar mimpi yang terwujud. Tujuan adalah pernyataan yang jelas. Tidak akan ada apa yang bakal terjadi dengan suatu keajaiban tanpa suatu tujuan yang jelas. Tidak akan ada langkah maju yang segera diambil tanpa memutuskan tujuan yang tegas. Dan tujuan dalam hukum adalah untuk menjamin kepastian hukum dalam penduduk yang bersendikan pada keadilan.
Menurut Pasal 3 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, tujuan dari Perlindungan Konsumen :
(Pasal 3) ;
a. Meningkatkan kesadaran, kesanggupan dan kemandirian pelanggan untuk melindungi diri;
b. Mengangkat harkat dan martabat pelanggan dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam menentukan, memilih dan menuntut hak-haknya selaku konsumen;
d. Menciptakan metode dukungan konsumen yang mengandung komponen kepastian hukum dan keterbukaan info serta susukan untuk menerima info;
e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha perihal pentingnya dukungan ini sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha;
f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelancaran perjuangan bikinan barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keselamatan dan keamanan pelanggan.
Pasal 3 Undang-undang Perlindungan Konsumen ini, merupakan isi pembangunan nasional sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 sebelumnya, sebab tujuan perlindungan konsumen yang ada itu ialah sasaran selesai yang mesti dicapai dalam pelaksanaan pembangunan di bidang aturan bantuan konsumen.
3. Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha
Hak adalah sebuah kewenangan atau kekuasaan yang diberikan oleh aturan atau suatu kepentingan yang dilindungi oleh hukum baik langsung maupun lazim. Maka dapat diartikan bahwa hak ialah sesuatu yang layak atau patut diterima. Sebelum membahas tentang hak konsumen, ada baiknya dikemukakan dulu apa pengertian hak itu.
Dalam Pasal 4 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 wacana Perlindungan Konsumen, Hak Konsumen dikontrol dalam :
(Pasal 4) ;
a. Hak atas ketentraman, keamanan, dan keamanan dalam memakan barang dan/atau jasa.
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta menerima barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
c. Hak atas berita yang benar, jelas, dan jujur perihal keadaan dan jaminan barang dan/atau jasa.
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang dipakai.
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, pemberian, dan upaya penyelesaian sengketa bantuan konsumen secara layak.
f. Hak untuk menerima training dan pendidikan pelanggan.
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
h. Hak untuk menerima kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian, bila barang dan/atau jasa yang diterima tidak cocok dengan kesepakatanatau tidak sebagaimana mestinya.
i. Hak-hak yang dikontrol dalam ketentuan perundang-undangan yang lain.
Hak tersebut di atas pada pada dasarnya ialah untuk meraih ketentraman, keamanan, dan keamanan pelanggan. Sebab problem tersebut ialah hal yang paling utama dalam perlindungan pelanggan. Barang dan/atau jasa yang penggunaannya tidak memperlihatkan ketentraman, tidak kondusif atau membahayakan keselamatan pelanggan terang tidak pantas untuk diedarkan dalam masyarakat. Juga untuk menjamin bahwa sebuah barang dan/atau jasa yang dikehendakinya menurut atas keterbukaan info yang benar, terang, dan jujur. Jika terdapat penyimpangan yang merugikan, pelanggan berhak untuk di dengar, menemukan advokasi, pembinaan, perlakuan yang adil, kompensasi hingga ganti rugi.
Hak-hak pelanggan yang tersebut di atas berguna untuk melindungi kepentingan konsumen, sebagaimana tercantum dalam tujuan dari tunjangan konsumen adalah mengangkat harkat hidup dan martabat pelanggan. Sehingga dibutuhkan pelanggan menyadari akan hak-haknya dan pelaku perjuangan diharuskan untuk memerhatikan apa saja perbuatan-tindakan perjuangan yang dilarang menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen sehingga tidak ada lagi pelanggaran hak-hak konsumen.
Selain ada hak, pelanggan juga memiliki beberapa kewajiban. Kewajiban ialah suatu beban atau tanggungan yang bersifat kontraktual. Dengan kata lain keharusan ialah sesuatu yang selayaknya diberikan. Kewajiban konsumen dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, ialah:
(Pasal 5) ;
a. Membaca atau mengikuti petunjuk info dan mekanisme pemakaian;
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d. Mengikuti upaya penyelesaian aturan sengketa konsumen secara layak.
Adanya kewajiban pelanggan membaca atau mengikuti isyarat gosip dan mekanisme pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan, merupakan hal penting yang mesti diamati untuk menerima pengaturan. Adanya pentingnya keharusan ini alasannya sering pelaku perjuangan sudah menyampaikan peringatan secara terperinci pada label suatu buatan, namun pelanggan tidak membaca peringatan yang telah disampaikan kepadanya. Dengan pengaturan keharusan ini, memberikan konsekuensi pelaku usaha tidak bertanggung jawab, kalau pelanggan yang bersangkutan menderita kerugian akibat mengabaikan keharusan tersebut.
Berkaitan dengan klarifikasi sebelumnya, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 perihal Perlindungan Konsumen dalam Pasal 1 angka 3 memberi pemahaman perihal pelaku perjuangan;
(Pasal 1 angka 3);
“Pelaku perjuangan yakni setiap orang individual atau tubuh perjuangan, baik yang berbentuk tubuh hukum maupun bukan badan aturan yang didirikan dan Republik Indonesia, baik sendiri maupun bantu-membantu melalui perjanjian mengadakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.
Penjelasaan Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 perihal Perlindungan Konsumen menjelaskan pelaku usaha yang diikat oleh undang-undang ini yakni para pebisnis yang berada di Indonesia, melakukan perjuangan di Indonesia. Pelaku usaha yang tergolong dalam pengertian ini yakni perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, biro dan lain-lain.
Ketentuan di atas dapat dijabarkan ke dalam beberapa syarat, yakni ;
1. Bentuk atau wujud dari pelaku usaha:
a. Orang individual, yaitu setiap individu yang melakukan acara bisnisnya secara seorang diri.
b. Badan usaha, adalah kumpulan individu yang secara bersamasama melakukan acara usaha. Badan usaha selanjutnya mampu dikelompokkan kedalam dua klasifikasi, ialah ; Badan Hukum dan Bukan Badan Hukum.
2. Badan usaha tersebut harus memenuhi salah satu patokan ini:
a. Didirikan dan berkedudukan di daerah aturan Negara RI
b. Melakukan acara di daerah hukun Negara Republik Indonesia.
3. Kegiatan usaha tersebut mesti didasarkan pada perjanjian.
4. Di dalam berbagai bidang ekonomi. Bukan cuma pada bidang buatan.
Dengan demikian terang bahwa pengertian pelaku usaha berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 wacana Perlindungan Konsumen sungguh luas. Yang dimaksud dengan pelaku perjuangan bukan hanya produsen, melainkan sampai pihak terakhir yang menjadi mediator antara produsen dan konsumen, mirip agen, biro dan pengecer (pelanggan mediator).
Menyangkut hak pelaku usaha telah diterangkan secara rinci dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 perihal Perlindungan Konsumen hak pelaku perjuangan yakni selaku berikut:
(Pasal 6) ;
a. Hak untuk menerima pembayaran yang cocok dengan komitmen perihal keadaan dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
b. Hak untuk menerima tunjangan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik.
c. Hak untuk melaksanakan pembelaan diri sepatutnya di dalam solusi aturan sengketa pelanggan.
d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
e. Hak-hak yang dikontrol dalam ketentuan peraturan perundang-usul lain-nya.
Dari hak pelaku usaha di atas diperlukan tunjangan konsumen mampu menghindari hak-hak pelaku perjuangan yang berlebihan dan berpotensi mengabaikan kepentingan pelaku perjuangan, jikalau ada hak maka hak pelaku perjuangan mesti disertai dengan kewajiban. Undang-undang Perlindungan Konsumen menjelaskan kewajiban pelaku perjuangan berdasarkan ketentuan Pasal 7 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 ihwal Perlindungan Konsumen adalah ;
(Pasal 7) ;
a. Beritikad baik dalam melakukan aktivitas usahanya;
b. Memberikan gosip yang benar, terperinci dan jujur tentang keadaan dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c. Memperlakukan atau melayani pelanggan secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang dibuat dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e. Memberi peluang kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akhir penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian jika barang dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Dilihat dari uraian di atas, terperinci bahwa hak dan keharusan pelaku perjuangan bertimbal balik dengan hak dan kewajiban konsumen. Ini berarti hak bagi konsumen adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku perjuangan. Demikian pula dengan keharusan pelanggan ialah hak yang akan diterima pelaku perjuangan. Bila dibandingkan dengan ketentuan umum di Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, terlihat bahwa pengaturan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 wacana Perlindungan Konsumen lebih spesifik. Karena di dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 wacana Perlindungan Konsumen pelaku usaha selain mesti melaksanakan acara perjuangan dengan itikad baik, ia juga harus mampu menciptakan iklim perjuangan yang kondusif, tanpa persaingan yang curang antar pelaku usaha.
Dalam upaya untuk melindungi hak-hak konsumen terhadap pelanggaran yang dikerjakan pelaku perjuangan, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 perihal Perlindungan Konsumen, pada prinsipnya sudah mengklasifikasi bentuk-bentuk pelanggaran tersebut ke dalam 3 golongan yang dijabarkan dalam Bab IV Pasal 8 sampai dengan Pasal 17, yakni :
Larangan-larangan yang tertuju pada “produk” sebagaimana dimaksud diatas ialah untuk memberikan pertolongan terhadap kesehatan/harta pelanggan dari penggunaan barang dengan mutu yang di bawah persyaratan atau kualitas yang lebih rendah daripada nilai harga yang dibayar. Dengan adanya santunan yang demikian, maka pelanggan tidak akan diberikan barang dengan mutu yang lebih rendah dibandingkan dengan harga yang dibayarnya, atau yang tidak sesuai dengan isu yang diperolehnya. Selanjutnya perihal tindakan yang dihentikan bagi pelaku perjuangan dalam kegiatan penjualan dijelaskan pada Pasal 9 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999, bahwa :
Pasal 9 UUPK ini pada pada dasarnya merupakan bentuk larangan yang tertuju pada “perilaku” pelaku usaha, yang memberikan, mempromosikan, mempromosikan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar dan/atau seakan-akan barang tersebut telah meenuhi standar kualitas tertentu, memiliki belahan harga dalam kondisi baik dan/atau jelek, telah menerima dan/ atau mempunyai sponsor, tidak mengandung cacat tersembunyi. Larangan terhadap pelaku usaha tersebut dalam UUPK menenteng balasan bahwa pelanggaran atas larangan tersebut dikualifikasi selaku perbuatan melanggar hukum. Selanjutnya, sama dengan Pasal 9 UUPK yang sudah diterangkan sebelumnya, Pasal 10 menerangkan larangan yang tertuju pada “perilaku” pelaku usaha yang tujuannya mengupayakan adanya perdagangan yang tertib dan iklim usaha yang sehat guna memutuskan produk yang diperjualbelikan dalam penduduk dilaksanakan dengan cara tidak melanggar aturan. Berikut klarifikasi Pasal 10 Undang-undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999, menjelaskan:
Berhubungan dengan klarifikasi dalam Pasal 10, maka dalam Pasal 11 mengatur wacana pemasaran yang dilaksanakan melalui cara obral/lelang. Sedangkan Pasal 12 menentukan bahwa pelaku perjuangan tidak boleh menunjukkan, mempromosikan atau mempromosikan sebuah barang dan/atau jasa dengan harga atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, kalau pelaku perjuangan tersebut tidak berencana untuk melaksanakannya sesuai dengan waktu dan jumlah yang disediakan, dipromosikan, atau diiklankan.
Sumber :
A. Buku-buku
Gunawan Widjaja Ahmad Yani. 2000. Hukum Tentang Perlindungan Konsumen. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama.
Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati,Ed. 2000. Hukum Perlindungan Konsumen. Bandung: Mandar Maju.
Janus Sidabalok. 2006. Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia Dengan Pembahasan Atas UU No. 8 Tahun 1999. Bandung : Citra Aditya Bakti.
J. Sario. 1992. Hukum Perikatan (Perjanjian pada umumnya). Bandung: Citra Aditya Bakti.
Suyadi. 2000. Diktat Dasar-dasar Hukum Perlindungan Konsumen. Purwokerto: (Fakultas Hukum UNSOED).
Sudikno Mertokusumo. 1999. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Cet. Kedua. Yogyakarta: Liberty. Soemitro. 1990. Metodologi Penelitian Hukum Jurimetri. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Yusuf Shofie. 2003. Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-Undnag Perlindungan Konsumen (UUPK) Teori Dan Praktek Penegakan Hukum. Bandung: Citra Adetia Bakti.
Zulham. 2013. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Kencana.