Paradigma dimaknai selaku pandangan yang fundamental ihwal apa yang menjadi pokok duduk perkara dalam ilmu pengetahuan. Berdasarkan paradigma tertentu, ilmuwan merumuskan obyek atau target ilmunya, merumuskan permasalahannya, serta menentukan tata cara yang digunakan untuk mencari jawaban dari suatu problem.
1. Paradigma Fakta Sosial
Berdasarkan paradigma ini, masyarakat dipandang sebagai fakta yang bangkit sendiri, terlepas dari persoalan apakah individu suka atau tidak suka. Struktur masyarakat yang meliputi bentuk pengorganisasian, hirarki kekuasaan dan wewenang, peranan, nilai-nilai, pranata sosial, ialah suatu fakta yang terpisah dari individu, tetapi ikut mensugesti individu tersebut. Seseorang anak tidak diperkenankan memberikan sesuatu dengan tangan kiri terhadap orang tuanya, tetapi harus memakai ajudan, karena diharuskan mengikuti keadaan dengan aturan yang berlaku di masyarakatnya.
Contoh penting paradigma fakta sosial digunakan Emile Durkheim. Ia berpendapat bahwa hidup sosial insan ialah fakta tersendiri yang tidak mungkin dimengerti menurut ciri-ciri personal individu dalam penduduk tersebut. Kehidupan sosial mempunyai hukum dan balasan masing-masing. Sehingga sosiologi tidak dapat dikembalikan ke psikologi. Memang ada fakta psikis, tetapi ada juga fakta sosial.
2. Paradigma Definisi Sosial
Paradigma sosiologi ini tidak berpijak pada fakta sosial yang obyektif, yakni struktur dan pranata sosial, melainkan pada proses berpikir manusia. Dalam merancang dan mendefinisikan arti agresi dan interaksi sosial, insan ditempatkan sebagai pelaku yang bebas dan bertanggungjawab, dengan kata lain aksi dan interaksi sosial terjadi karena kemauan manusianya itu sendiri. Sehingga tindakan sosial tidak berpangkal pada struktur-struktur sosial, namun pada definisi bareng yang dimiliki oleh masing-masing individu.
Contoh penting paradigma definisi sosial ini digunakan oleh Max Weber. Konsep sosiologinya ialah verstchen atau pengertian mendalam yang dibutuhkan dihasilkan oleh sosiologi. Tindakan manusia mesti diuraikan menurut perspektif subyektif, dan peneliti sosiologi harus menempatkan dirinya pada alam asumsi orang yang dipelajarinya. Pemikiran Weber dalam tulisannya yang berjudul “Inti Semangat Kapitalisme dan Inti Sermangat Kalvinisme”. Ia menawarkan kemiripan antara nilai-nilai kapitalisme (struktur sosial) dengan cara orang menafsirkan nilai-nilai agama tertentu. Dalam hal ini memperlihatkan bahwa penduduk dipahami dari cara subyek atau insan berpikir, dan bukan nilai-nilai sosial sebagai realita obyektif.
3. Paradigma Perilaku Sosial
Paradigma sosiologi ini tidak berpijak pada tindakan sosial insan, atau insan yang berinteraksi. Perbedaan yang spesifik dengan paradigma definisi sosial yakni terdapat penekanan pada pendekatan obyektif empiris. Alasan yang mendasarinya alasannya adalah cuma perilaku lah yang mampu diamati dan dipelajari dari luar. Fokuskan kajian dalam paradigma ini adalah pada perilaku dan perulangan perilaku.
Manusia dipandang sebagai makhluk yang perilakunya dipengaruhi (deterministik), sehingga mampu dimanipulasi melalui indoktrinasi. Contoh penting paradigma ini adalah Teori Pertukaran (Exchange Theory) yang dikemukakan oleh George Homas. Dalam teori tersebut, insan digambarkan selaku makhluk yang senantiasa bertindak sesuai dengan kepentingannya sendiri. Sehingga pokok kajian sosiologi menurut paradigma perilaku sosial yakni memahami kepentingan-kepentingan manusia. Mendalami keyakinan serta kebebasan insan dipandang semata-mata selaku mitos.
Demikian tiga paradigma sosiologi dan misalnya. Untuk melengkapi pengertian tentang sosiologi, baca juga pengertian sosiologi menurut para andal yang sudah diuraikan dalam postingan sebelumnya di blog ini.