Sejarah Pertumbuhan Sosiologi Dan Tokohnya

Dalam menelusuri sejarah pertumbuhan sosiologi, kita dapat mempelajari asal muasalnya dari pemikiran para tokoh yang diketahui di masanya. Pada mulanya, pedoman mengenai penduduk yang bersifat kontemplatif pada umumnya berbentukfilsafat. Namun dari aliran tersebut diketahui oleh para mahir sebagai cikal bakal lahirnya sosiologi hingga dikala ini.

Plato (427-347 SM) seorang filsuf dari Yunani banyak menyumbangkan pemikirannya pada kemajuan teori politik dan kehidupan masyarakat. Teori sosialnya sungguh berorientasi kepada masyarakat dan agak mengesampingkan individu. Dalam sebuah karyanya ia mengemukakan, “kamu sudah diciptakan demi kepentingan penduduk , dan bukan penduduk diciptakan demi kepentinganmu.”

Aristoteles (364-322 SM) sudah mempelajari sikap insan, baik sebagai individu maupun selaku kalangan, sejauh merupakan fakta, namun pandangannya belum mampu disebut sosiologi alasannya masih dalam pencarian bentuk sosial yang paling ideal, sehingga masalah adab masih sungguh menonjol dan dipandang dari 4 sisi adalah: (1) philia atau kecenderungan bawaan kearah kebersamaan dan solidaritas, (2) koinonia atau pembentukan kelompok-kalangan khusus mirip keluarga, desa, asosiasi sukarela, (3) koinonia atau yang berhubungan dengan politik atau mendirikan sebuah negara dan pemerintahan, dan (4) nomus yang menggambarkan keterikatan pada peraturan sosial, budpekerti-istiadat, kaidah budpekerti dan aturan.

Thomas Hobbes (1588-1697) dan Spinozia (1632-1677) menggunakan perumpamaan “fisika sosial”. Menurut mereka, kehidupan berasal dari dorongan-dorongan aktif insan yang mengaraha pada individualisme ekstrem. Namun, adanya efek logika kecerdikan mengimbanginya dalam membuat komitmen dan bentuk kehidupan bersama sesuai keharusan-keharusan yang diakui bareng .

Montesquieu (1689-1755) menelaah kehidupan penduduk dari sisi aturan-hukumnya. Ajarannya antara lain hukum yang berlaku di dalam penduduk memperlihatkan cara berpikir dan bertindak dari sebuah bangsa kebanyakan.

  Puisi Bunda - Oleh Arjun Zazaq

Pada simpulan kala ke-19, sosiologi baru mulai dikembangkan sebagai ilmu yang sejajar dengan ilmu-ilmu yang lain. Pada periode ini mulai dikenalkan perumpamaan sosiologi. Auguste Comte (1798-1857) yakni orang yang pertama memperkenalkannya. Ia sendiri awalnya menggunakan istilah fisika sosial dengan maksud untuk memberi penegasan, bahwa ilmu penduduk setara dengan ilmu eksakta, meskipun berdasarkan faktanya, goresan pena Comte masih bersifat spekulatif dan deduktif.

Kemudian timbul Vilfredo Pareto (1848-1923) yang tidak oke dengan tulisan-tulisan Comte yang bersifat spekulatif. Tulisan Pareto sendiri lebih bersifat ilmiah positif, namun sebagian karyanya termasuk kajian “psikologi sosial”. Emile Durkheim (1857-1917) lebih berhak diberi gelar “Bapak Sosiologi” bukannya Comte, demikian berdasarkan pertimbangan banyak sosiolog. Comte lebih cocok disebut selaku pencetus sosiologi selaku ilmu aktual, dan penerapannya oleh Durkheim.

Penelitian Durkheim ihwal bunuh diri (suicide) telah menggunakan metode observasi dan analisis kuantitatif. Ia juga merintis riset yang memakai pendekatan historis dan kualitatif. Fenomena yang diteliti ialah “fakta sosial” yang mempunyai arti realita obyektif dan dapat diamati serta mesti dimasak dan dianalisis sebagaimana mengolah dan menganalisis fakta alam. Pandangannya tersebut ditulis dalam buku “The Rules of Sociological Method” pada tahun 1895.

Ferdinand Tonies (1855-1936) lalu menentang persepsi sosiologi empirik sebagai pengumpul data saja dari fakta sosial yang statis. Menurutnya, sosiografi ialah hakikat dari sosiologi yang mencakup pengamatan sistematis, studi kasus, dan tata cara-metode kualitatif lain yang semestinya melengkapi data. George Simmel (1858-1918) tidak menatap fenomena sosial sebagai “fakta” yang dari luar insan mengekang dan menghipnotis, melainkan selaku sebuah interaksi individu. Menurutnya fatwa yang ada dalam diri manusia ialah penentu bagi kehidupan insan.

  Aspek Yang Mendasari Proses Interaksi

Tokoh yang mempunyai fatwa sejalan dengan George Simmel adalah Max Weber (1864-1920). Max yaitu orang yang mencemaskan terjadinya perubahan kekerabatan keakraban, bersama-sama, dan keagamaan yang kian diganti dengan relasi fungsional, terlalu menekankan pertimbangan rasional, serta motivasi sekular.

Dalam sejarah perkembangan sosiologi selaku ilmu empirik, menawarkan kemajuan di Amerika dari anutan Talcott Parsons dan muridnya Reobert Merton. Namun lalu muncul penentang teori fungsional yang dikembangkan oleh Parson ketika itu. Mereka yakni Herbert Blumer (interaksionisme simbolik), Harold Garfinkel (etnometodologi), dan Peter Berger (sintesis strukturalisme dan interaksionisme)

Pemikiran sosiologi di Indonesia mulai nampak pada ajaran “Wulang Reh” di masa kekuasaan Mangkunegara IV dari Surakarta sudah membuat anutan tentang tata relasi antara anggota penduduk Jawa dari tingkatan-tingkatan yang berbeda. Dalam sosiologis hubungan tersebut dibahas dalam aspek intergroup relations.

Ki Hadjar Dewantara, selain selaku selaku peletak dasar-dasar pendidikan nasional di Indonesia, dia juga memberi donasi berharga pada sosiologi adalah pada desain tentang kepemimpinan dan kekeluargaan di Indonesia yang dipraktekan dalam Organisasi Taman Siswa.

Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta ketika itu yaitu satu-satunya forum pendidikan menunjukkan kuliah sosiologi yang sifatnya filsafat sosial dan teoritis. Kemudian mata kuliah tersebut dihilangkan di sekitar tahun 1934 karena dipandang tidak berhubungan dengan pelajaran aturan. Sosiologi diajarkan kembali 14 tahun lalu pertama kali oleh Saenario Kolopaking pada tahun 1948 pada Akademi Ilmu Politik di Yogyakarta.

Djodi Gondokusumo menjadi orang pertama yang menulis buku sosiologi dalam bahasa Indonesia dengan judul “Sosiologi Indonesia”. Disusul tulisan Bardosono yang berupa diktat hasil kreativitasnya ketika mengikuti kuliah sosiologi. Pemikiran sosiologi modern kemudian ditulis Hassan Shadily dalam buku “Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia”. Diikuti oleh buku tulisan Mayor Poltak, “Pengantar Sosiologi Pengetahuan, Hukum, dan Politik”, Satjipto Rahardjo dan Soerjono Soekamto dalam buku sosiologi aturan dan N. Daldjoeni pada buku sosiologi perkotaan.

  [Puisi] Dusta - Oleh Mustika Renjis

Selo Soemardjan menulis disertasi berbahasa Inggris di Cornell University dengan judul “Social Changes in Yogyakarta”. Selo Soemardjan bantu-membantu dengan Soelaeman Soemardi juga mempublikasikan kumpulan goresan pena penting dalam bahasa Inggris dengan pengirim bahasa Indonesia yang diberi judul “Setangkai Bunga Sosiologi”. Tokoh ini cukup familiar di Indonesia dan diketahui dengan tokoh sosiologi sampai saat ini.

Itulah secara singkat sejarah perkembangan sosiologi dan tokoh-tokoh yang berperan dalam pengembangan sosiologi di masanya. Definisi para tokoh tersebut tentang sosiologi dapat dibaca di pemahaman sosiologi menurut para ahli.