Sejarah Mitos dan Temuan Arkeologi
Sejak periode ke-6 SM, Mesir merupakan tempat pelarian kerajaan Poshi, yang kehilangan kedudukannya sehabis bangkit lebih dari 2.000 tahun, mendapatkan kekuasaan yang berasal dari luar ialah kerajaan Yunani, Roma, kerajaan Islam serta kekuasaan bangsa lain. Semasa itu sejumlah besar karya populer zaman Firaun dihancurkan, aksara dan iktikad agama bangsa Mesir sendiri secara berangsur-angsur digantikan oleh budaya lain, sehingga kebudayaan Mesir antik menjadi surut dan hancur, generasi belakangan juga kehilangan sejumlah besar peninggalan yang dapat menguraikan petunjuk yang ditinggalkan oleh para pendahulu.
Tahun 450 SM, setelah seorang sejarawan Yunani berkeliling dan tiba di Mesir, membubuhkan tulisan: Cheops, (huruf Yunani Khufu), konon katanya, hancur sesudah 50 tahun. Dalam batas tertentu sejarawan Yunani tersebut menggunakan kalimat “konon katanya”, tujuannya bahwa kebenarannya perlu dibuktikan lagi. Namun, sejak itu pendapat sejarawan Yunani tersebut malah menjadi kutipan generasi belakangan sebagai bukti penting bahwa piramida didirikan pada dinasti kerajaan ke-4.
Selama ini, para sejarawan menganggap bahwa piramida adalah makam raja. Dengan demikian, begitu membahas piramida, yang terbayang dalam pikiran secara tanpa disadari yakni aksesori dan barang-barang yang gemerlap. Dan, pada tahun 820 M, saat gubernur jenderal Islam Kairo ialah Khalifah Al-Ma’mun memimpin pasukan, pertama kali menggali jalan belakang layar dan masuk ke piramida, dan dikala dengan tidak sabar masuk ke ruangan, panorama yang terlihat malah membuatnya sangat kecewa. Bukan saja tidak ada satu pun benda yang biasanya dikubur bersama mayat, seperti mutiara, maupun tabrakan, bahkan sekeping kepingan pecah belah pun tidak ada, yang ada cuma suatu peti batu kosong yang tidak ada penutupnya. Sedangkan tembok pun cuma bidang yang bersih kosong, juga tak ada sedikit pun ukiran goresan pena.
Kesimpulan para sejarawan terhadap prestasi pertama kali memasuki piramida ini yakni “mengalami perampokan benda-benda dalam makam”. Namun, hasil pengusutan konkret menunjukkan, kemungkinan pencuri makam masuk ke piramida lewat jalan yang lain adalah sangat kecil sekali. Di bawah kondisi biasa, pencuri makam juga tidak mungkin dapat mencuri tanpa meninggalkan jejak sedikit pun, dan lebih mustahil lagi menghapus seluruh prasasti Firaun yang dilukiskan di atas tembok. Dibanding dengan makam-makam lain yang umumnya dipenuhi embel-embel-perhiasan dan harta karun yang berlimpah ruah, piramida raksasa yang dibangun untuk memperingati keagungan raja Firaun menjadi sungguh berlainan.
Selain itu, dalam catatan “Inventory Stela” yang disimpan di dalam museum Kairo, pernah disinggung bahwa piramida telah ada semenjak awal sebelum Khufu meneruskan takhta kerajaan. Namun, oleh alasannya catatan pada watu prasasti tersebut secara keras menantang persepsi tradisional, terdapat masalah antara hasil observasi para andal dan cara penulisan pada buku, selanjutnya secara keras mengecam nilai penelitiannya. Sebenarnya dalam kekurangan catatan sejarah yang bisa diperoleh, bila alasannya adalah pandangan tertentu kemudian mengesampingkan sebagian bukti sejarah, tanpa disadari telah menghalangi kita secara obyektif dalam menatap kedudukan sejarah yang bekerjsama.
Teknik Bangunan yang Luar Biasa
Di Mesir, terdapat terlalu banyak piramida aneka macam macam ukuran, standarnya bukan saja jauh lebih kecil, strukturnya pun kasar. Di antaranya piramida yang didirikan pada masa kerajaan ke-5 dan 6, banyak yang sudah rusak dan hancur, menjadi timbunan puing, seperti misalnya piramida Raja Menkaure seperti pada gambar. Kemudian, piramida besar yang dibangun pada masa yang lebih awal, dalam suatu gempa bumi dahsyat pada abad ke-13, di mana sebagian batu ditembok sebelah luar telah hancur, tetapi sebab bagian dalam ditunjang oleh tembok penyangga, sehingga seluruh strukturnya tetap sangat berpengaruh. Karenanya, saat membangun piramida raksasa, bukan hanya secara sederhana menyusun 3 juta batu menjadi bentuk kerucut, jikalau terdapat kelemahan pada rancangan konstruksi yang khusus ini, sebagian saja yang rusak, maka bisa menimbulkan seluruhnya ambruk karena beratnya beban yang ditopang.
Lagi pula, bagaimanakah proyek bangunan piramida raksasa itu dilaksanakan, tetap merupakan topik yang membuat pusing para sarjana. Selain memikirkan sejumlah besar kerikil dan tenaga yang dibutuhkan, aspek paling penting adalah titik puncak piramida harus berada di bidang dasar sempurna di titik tengah 4 sudut atas. Karena jikalau ke-4 sudutnya miring dan sedikit menyimpang, maka saat menutup klimaks tidak mungkin menyatu di satu titik, berarti proyek bangunan ini dinyatakan gagal. Karenanya, merupakan sebuah poin yang amat penting, bagaimanakah menaruh sejumlah 2,3 juta -2,6 juta buah kerikil besar yang setiap batunya berbobot 2,5 ton dari permukaan tanah sampai setinggi lebih dari seratus meter di angkasa dan dipasang dari permulaan sampai selesai pada posisi yang tepat.
Seperti yang dibilang oleh pengarang Graham Hancock dalam karangannya “Sidik Jari Tuhan”: Di kawasan yang terhuyung-huyung ini, di satu sisi harus menjaga keseimbangan badan, dan sisi yang lain mesti memindahkan satu demi satu watu yang paling tidak beratnya 2 kali lipat kendaraan beroda empat kecil ke atas, dimuat ke tempat yang tepat, dan mengarah tepat pada tempatnya, entah apa yang ada dalam asumsi pekerja-pekerja pengangkut batu tersebut. Meskipun ilmu pengetahuan modern sudah memperkirakan banyak sekali macam cara dan tenaga yang memungkinkan untuk membangun, namun jika dipertimbangkan lagi keadaan riilnya, akan kita dapatkan bahwa orang-orang tersebut tentunya mempunyai kemampuan atau kekuatan fisik yang melebihi manusia biasa, baru bisa menyelesaikan proyek raksasa tersebut serta menentukan keakuratan maupun ketepatan presisinya.
Terhadap hal ini, Jean Francois Champollion yang menerima istilah sebagai “Bapak Pengetahuan Mesir Kuno Modern” memperkirakan bahwa orang yang mendirikan piramida berlawanan dengan manusia kini, paling tidak dalam “pedoman mereka memiliki tinggi badan 100 kaki yang tingginya sama seperti insan raksasa”. Ia beropini, dilihat dari segi pembuatan piramida, itu yakni hasil karya insan raksasa.
Senada dengan itu, Master Li Hongzhi dalam ceramahnya pada keliling Amerika Utara tahun 2002 juga pernah menyinggung kemungkinan itu. “Manusia tidak mampu memahami bagaimana piramida dibuat. Batu yang begitu besar bagaimana manusia mengangkutnya? Beberapa orang insan raksasa yang tingginya lima meter mengangkut sesuatu, itu dengan manusia kini memindahkan suatu watu besar adalah sama. Untuk membangun piramida itu, insan setinggi lima meter sama seperti kita kini membangun sebuah gedung besar.”
Pemikiran demikian mau tidak mau membuat kita membayangkan, bahwa piramida raksasa dan sejumlah besar bangunan watu raksasa kuno yang didapatkan di banyak sekali penjuru dunia telah mendatangkan keraguan yang sama kepada semua orang: tinggi besar dan megah, terbentuk dengan memakai susunan watu yang sangat besar, bahkan penyusunannya sangat tepat. Seperti misalnya, di pinggiran kota utara Mexico ada Kastil Sacsahuaman yang disusun dengan watu raksasa yang beratnya melebihi 100 ton lebih, di antaranya ada suatu kerikil raksasa yang tingginya mencapai 28 kaki, diperkirakan beratnya meraih 360 ton (setara dengan 500 buah kendaraan beroda empat keluarga). Dan di dataran barat daya Inggris terdapat formasi batu raksasa, dikelilingi puluhan watu raksasa dan membentuk sebuah bundaran besar, di antara beberapa watu tingginya mencapai 6 meter. Sebenarnya, sekelompok insan yang bagaimanakah mereka itu? Mengapa selalu menggunakan batu raksasa, dan tidak memakai watu yang ukurannya dalam jangkauan kemampuan kita untuk membangun?
Seorang sarjana John Washeth juga berpendapat: Bahwa Piramida raksasa dan tetangga dekatnya yakni Sphinx dengan bangunan kala kerajaan ke-4 lainnya sama sekali berlawanan, dia dibangun pada era yang lebih purbakala dibanding periode kerajaan ke-4. Dalam bukunya “Ular Angkasa”, John Washeth mengemukakan: kemajuan budaya Mesir mungkin bukan berasal dari tempat pedoman sungai Nil, melainkan berasal dari budaya yang lebih awal dan ahli yang lebih antik ribuan tahun dibanding Mesir antik, warisan budaya yang diwariskan yang tidak diketahui oleh kita. Ini, selain alasan secara teknologi bangunan yang diuraikan sebelumnya, dan yang ditemukan di atas ialah patung Sphinx sangat parah dimakan karat juga sudah menandakan hal ini.
Ahli ilmu pasti Swalle Rubich dalam “Ilmu Pengetahuan Kudus” menawarkan: pada tahun 11.000 SM, Mesir pasti sudah memiliki sebuah budaya yang hebat. Pada dikala itu Sphinx sudah ada, sebab bab tubuh singa berwajah manusia itu, selain kepala, terperinci sekali ada bekas abrasi. Perkiraannya yakni pada suatu banjir dahsyat tahun 11.000 SM dan hujan lebat yang silih berganti kemudian menyebabkan bekas erosi.
Perkiraan pengikisan yang lain pada Sphinx yaitu air hujan dan angin. Washeth mengesampingkan dari kemungkinan air hujan, sebab selama 9.000 tahun di kala lalu dataran tinggi Jazirah, air hujan senantiasa tidak mencukupi, dan mesti melacak kembali sampai tahun 10000 SM baru ada cuaca buruk yang demikian. Washeth juga mengesampingkan kemungkinan tererosi oleh angin, alasannya adalah bangunan batu kapur yang lain pada masa kerajaan ke-4 malah tidak mengalami abrasi yang serupa. Tulisan berupa gajah dan prasasti yang ditinggalkan era kerajaan antik tidak ada sepotong kerikil pun yang mengalami pengikisan yang parah seperti yang terjadi pada Sphinx.
Profesor Universitas Boston, dan hebat dari segi batuan abrasi Robert S. juga baiklah dengan persepsi Washeth sekaligus menujukkan: Bahwa erosi yang dialami Sphinx, ada beberapa bagian yang kedalamannya mencapai 2 meter lebih, sehingga berliku-liku kalau dipandang dari sudut luar, bagaikan gelombang, jelas sekali ialah bekas sesudah mengalami tiupan dan terpaan angin yang ahli selama ribuan tahun.
Washeth dan Robert S. juga menawarkan: Teknologi bangsa Mesir antik mustahil dapat mengukir skala yang sedemikian besar di atas sebuah kerikil raksasa, produk seni yang tekniknya rumit.
Jika diperhatikan secara keseluruhan, kita mampu menyimpulkan secara logis, bahwa pada periode purbakala, di atas tanah Mesir, pernah ada suatu budaya yang sungguh maju, namun sebab adanya perubahan lempengan bumi, daratan batu tenggelam di lautan, dan budaya yang sungguh purba pada waktu itu karenanya disingkirkan, meninggalkan piramida dan Sphinx dengan menggunakan teknologi bangunan yang tepat.
Dalam rentang waktu yang panjang di dasar lautan, piramida raksasa dan Sphinx mengalami rendaman air dan abrasi dalam waktu yang panjang, ialah penyebab langsung yang menyebabkan abrasi yang parah terhadap Sphinx. Karena bahan bangunan piramida raksasa Jazirah adalah hasil teknologi insan yang tidak dikenali orang kini, kesanggupan abrasi tahan airnya jauh melebihi watu alam, sedangkan Sphinx terukir dengan keseluruhan batu alam, mungkin ini penyebab yang konkret piramida raksasa dikikis oleh air bahari yang tidak terlihat dari permukaan.
Keterangan gambar: Sphinx yang bertetangga dekat dengan piramida raksasa nampaknya sungguh antik. Para ilmuwan memastikan bahwa dari badannya, susukan dan irigasi yang mirip dikikis air, dia pernah mengalami sebagian cuaca yang lembab, akhirnya memperkirakan bahwa ia sungguh berkemungkinan sudah ada sebelum 10 ribu tahun silam.
Artikel : Sejarah Pembangunan Piramida
Follow : Follow