Saat hati telah tak bisa menyembunyikan rasa,
Maka tak sepantasnya mulut bergerak liar,
Berbuat sesuka hatinya,
Sehingga nrimo perlahan memudar,
Menjelma menjadi segores luka
Aku tak tahu apa yg kini se&g aku rasakan. Terlalu berat beban ini mesti saya pikul sendirian. Tapi aku sendiri tak tahu ke mana saya mesti menyampaikan ini?
Aah… ya sudahlah. Biarlah semuanya berjalan seiring berjalannya waktu. Lebih baik saya diam dari pada aku harus ribut. Lebih baik aku membisu dari pada aku mesti berdebat. Lebih baik aku membisu dari pada urusannya berbuntut panjang.
Karena jujur, saya sendiri tak bisa menyampaikan ini langsung! Perasaan sedih, kecewa, & segu&g perasaan lainnya. Aku percaya saya bisa melewatinya!
“Ah biasa. Itu bu Nyai suka maen hukum sendiri” kata mbak Shofia sebuah dikala. Sementara aku hanya mengangguk membenarkan.
“Iya emang biasanya mirip itu mbak. Biasanya aku sama dia senantiasa miss komunikasi” kataku mulai menimpali.
“Biasanya sih aku cuman nurut saja apa kata dia mbak. Meskipun aku sendiri ndak sreg dgn apa yg beliau katakan” lanjutku.
Dan begitulah seterusnya. Setiap saya ketemu mbak Shofia mesti yg kita bahas mbak Lina. Kenapa? Selama ini aku membisu & manut dgn apa yg dibilang mbak Lina. Apapun yg aku rasakan saya senantiasa diam.
Tapi sekarang? Di dikala aku ada sobat yg kebetulan tak suka dgn mbak Lina, aku jadi sering ngomongin mbak Lina di belakang. Apapun yg dijalankan mbak Lina selalu menjadi obrolan kami. Di ketika ada pertentangan dgn rapat, aku cuma diam. Tapi setelahnya? Aku baru koar-koar.
Nahasnya, bukan cuman mbak Lina aja sih, tapi aku juga sering mengeluhkan apapun yg saya rasakan terhadap mbak Shofia. Hingga sebuah saat aku disadarkan oleh kata-kata salah seorang sobat yg kebetulan nyeletuk dgn kata-kata yg makjleb.
“Jangan cuma ngomong di belakang tetapi disampaikan langsung aja” katanya dgn nada aku agak ketus.
Huaaah… menohok sekali….
Mbak Lina, aku jadi seolah menghianati mbak. Akhwat sebaik mbak, ternyata aku menusuknya di belakang. Aku tahu ini lebih menyakitkan. Diomongin di belakang itu lebih menyakitkan dari pada mesti dilabrak langsung. Aku bisa merasakan itu mbak. Sakit rasanya!
Aku menangis sesenggukan di teras masjid. Satu persatu tetes air mataku mulai membasahi mukena putihku. Kulihat mbak Lina hanya tersenyum elok seiring dgn mukena putihnya & Quran terjemah yg usai dibacanya.
“Maafkan aku ya mbak. Aku jadi sering ngomongin mbak dibelakang” pintaku pada mbak Lina. Beliau hanya tersenyum.
“Apa toh? Sudah ndak apa-apa”
“Memang jika ada apa-apa semestinya disampaikan pribadi” lanjutnya. Tangisku makin menderu.
Aah mbak Lina. Aku jadi merasa menjadi orang yg paling munafik. Engkau begitu baik se&g saya? Aku menusuk mbak dari belakang.
Ternyata apa yg kulakukan kemarin membuat hatiku tak tenang. Karena itulah ciri maksiat. Ia akan menciptakan hati si pelakunya tak hening. sehingga inilah yg mendasariku untuk terus berterus terperinci di hadapanmu.
Ya Allah, ampuni dosaku ya Allah…
Sekarang, aku harus mencar ilmu. Kepada siapapun, ngomong di belakang itu tak bisa dibenarkan. Sebisa mungkin untuk menyingkir dari apapun itu yg memicu untuk ngomong di belakang. Ketika hati tak sepakat maka sebisa mungkin mudah-mudahan hati secara terbuka memberikan apa yg ia rasakan.
Bersikap kritis terhadap suatu masalah itu penting. Tapi alangkah baiknya jikalau itu pribadi disampaikan secara terbuka kepada yg dituju. Karena saat hanya diam mengamati. Lantas timbullah aneka macam pertanyaan yg tersembunyi dlm hati, se&g verbal tak bisa untuk mempertahankan dirinya. Maka verbal akan mengungkapkan isi hati seenaknya.
Ke manapun isi hati berlabuh,maka di situlah lisan akan bergerak liar. Semakin banyak supporter. Maka ghibah akan menjadi hal biasa. Ayat al-Quran tentang ghibah yg mengaung-ngaung di pendengaran hanya sebatas melalui tanpa jejak. Selain itu buah dari ghibah sendiri yakni benih-benih permusuhan & kedengkian yg berujung pada sikap namimah (adu domba).
Aah… aku sangat tak bisa untuk melanjutkannya lagi. Yang terpenting kini, jangan ada apapun yg disembunyikan dlm hati. Besitan-besitan kecil itu harusnya dikroscek apalagi dahulu sebelum menjelma menjadi suatu kata & menciptakan keikhlasan memudar & sirna tanpa meninggalkan jejak dari amal yg telah kulakukan. [Ukhtu Emil]