close

Pola Makalah Menata Martabat Negara Kesejahteraan Dengan Penguatan Tugas Komisi Nasional Hak Asasi Insan

MENATA MARTABAT NEGARA KESEJAHTERAAN DENGAN PENGUATAN PERAN KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA
A. Pendahuluan 
Tuntutan kepada kesanggupan negara untuk mensejahterakan bangsa merupakan sebuah kewajiban yang dijanjikan oleh negara sendiri sebagaimana dituangkan pada ketentuan yuridis. Indonesia menuangkan komitmen bertanggungjawab mensejahterakan bangsa lewat pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pada alinea 4 yang menyatakan bahwa “Kemudian dibandingkan dengan itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk meningkatkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, …..”.
  1. Menurut Miriam Budiardjo, setiap undang-undang dasar menampung ketentuan-ketentuan mengenai: 
  2. Organisasi negara, 
  3. Hak-hak asasi manusia (umumnya disebut Bill of Rights, dan berupa naskah tersendiri), 
  4. Prosedur mengubah undang-undang dasar (amandemen), 
  5. Ada kalanya memuat larangan untuk mengganti sifat tertentu dari undang-undang dasar
  6. Merupakan aturan hukum yang tertinggi yang mengikat semua warga negara dan forum negara tanpa terkecuali
Persoalannya adalah akad yang tertuang pada pembukaan UndangUndang Dasar 1945 itu memerlukan implementasi yang signifikan dengan kondisi kontekstual negara dikala kini. Berbagai tantangan menghadang tugas negara untuk mensejahterakan bangsa salah satunya ialah globalisasi wacana hak asasi manusia. Kecenderungan umum memberikan bahwa kehidupan masyarakat domestik atau lokal terintegrasi ke dalam komunitas global di banyak sekali bidang. Berbagai tantangan dari problem lokal, pertukaran dan pertumbuhan ide-inspirasi perihal demokratisasi, hak asasi insan dan lingkungan hidup, migrasi dan aneka macam fenomena human trafficking lainnya yang melintas batas-batas lokalitas dan nasional kini ialah fenomena lazim yang berlangsung hingga ke tingkat komunitas paling lokal sekalipun.
Hal ini menunjukkan komunitas domestik atau setempat kini yaitu bagian dari rantai perdagangan, pertukaran inspirasi dan komunitas internasional. Dampak yang timbul yaitu implikasi dari kecenderungankecenderungan itu memerlukan perhatian banyak sekali pihak dalam pengelolaan hak asasi manusia oleh negara, dan pada perkembangannya hadirnya global governance yang mengatur berbagai kecenderungan tadi.
Negara sebagaipemegang kewenangan mendapatkan amanah dari rakyat, hal ini sebagaimana disampaikan John Locke yang meletakkan dasar-dasar hak asasi manusia. Menurut pendapatnya, hak asasi insan mesti dilindungi dan harus menjamin kepentingan penduduk dalam suatu peraturan perundang-seruan. 
John Locke menyimpulkan bahwa terbentuknya negara melalui perjanjian ialah selaku berikut: 
  1. Pactum unionis, ialah kesepakatanantar individu untuk membentuk suatu negara.
  2. Pactum subjektionis, adalah perjanjian antara individu dan wadah atau negara untuk memberi kewenangan atau mandat kepada negara berdasarkan konstitusi atau Undang-Undang Dasar.
Demikian pula Jean Jacques Rousseau yang hidup pada kala ke-18 memberikan pemikiran wacana kedaulatan rakyat dengan menyatakan bahwa individu menyerahkan hak-haknya kepada negara untuk dilindungi. Kemudian, negara mesti melindungi dan mengembalikan hak-hak warga negara. Oleh alasannya itu, penguasa dibentuk berdasarkan hasratrakyat. Hal ini melahirkan suatu negara demokrasi (kedaulatan rakyat). Dalam teori perjanjian masyarakat, akan muncul sebuah negara yang kedaulatannya di tangan raja (Thomas Hobbes) dan kedaulatan yang berada di tangan rakyat (John Locke dan Jean Jacques Rousseau). Di dalam negara demokrasi, rakyat yang berdaulat dan penguasa-penguasa negara cuma ialah wakil-wakil rakyat. Dengan demikian, kedaulatan rakyat menjinjing akibat rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam bernegara. Kedaulatan rakyat juga dapat bermakna pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Pada abad 21 ini tuntutan kepada negara yang didasarkan pada komitmen negara aturan diberi limpahan wewenang dari rakyat pada penyelenggara negara untuk menyelenggarakan kesejahteraan bangsanya lewat pengelolaan perlindungan hak asasi insan alasannya permintaan zaman. Ruang demokrasi yang makin terbuka menjadikan kualitas dan kuantitas pelanggaran hak asasi manusia bertambah banyak, juga beragam terjadi di negeri Indonesia. Paradigma negara kemakmuran menuntut negara biar mendasarkan pada hukum dimana nilai dasar aturan ialah memberi penghormatan teratas pada pemajuan hak asasi manusia guna mendasari kenaikan harkat dan martabat warga negara Indonesia.
Sedangkan fenomena reformasi yang mengubah negara otoritarian menjadi demokratis dan menyelenggarakan kehidupan bangsa yang lebih bermartabat, timbul disebabkan adanya desakan kepada pemajuan pemberian hak asasi insan. Salah satu langkah yang mesti ditempuh yaitu melengkapi negara dengan lembaga yang mengurus penyelesaian duduk perkara hak asasi insan. Pada tanggal 23 September 1999 sudah disahkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 perihal Hak Asasi Manusia. Undang-undang tersebut selain menertibkan perihal hak asasi manusia, juga menertibkan kelembagaan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM). Lembaga Komnas HAM adalah lembaga mampu berdiri diatas kaki sendiri yang kedudukannya berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi perihal hak asasi manusia. Jimly Asshiddiqie menyampaikan bahwa parameter negara demokrasi mampu terlihat dari penegakan hak asasi manusia. Iklim kehidupan berbangsa harus memihak pada hak asasi insan. Tolak ukur demokrasi bagi negara maju adalah dengan menempatkan hak asasi insan sebagai roh. Kalau perspektif negara yaitu hak asasi insan, kondisinya akan lebih baik.
Untuk menelaah kembali wacana tugas KOMNAS HAM yang diberi tanggung jawab untuk turut terlibat menata martabat negara Indonesia selaku negara kesejahteraan, maka goresan pena ini berencana akan mengurai tentang kedudukan KOMNAS HAM pada sudut pandang hukum manajemen negara dengan cara mempertanyakan bagaimanakah KOMNAS HAM memberi penguatan pada negara supaya Indonesia bermartabat dalam kapasitasnya selaku negara kemakmuran. 
B. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Hukum Administrasi Negara 
Memasuki wilayah aturan manajemen negara, diketahui adanya  kapasitas negara kesejahteraan. Paradigma negara kemakmuran menempatkan warga negara ataupun orang perorang menjadi subyek aturan, yang mesti dilindungi serta disejahterakan dalam segala aspek kehidupannya. Negara dalam paradigma negara kesejahteraan, menempatkan warga negara sebagai subyek, dan tidak lagi menempatkan warga negara sebagai obyek. Negara memiliki kewajiban untuk masuk ke dalam kawasan kehidupan warganya dalam rangka melakukan fungsinya, adalah melayani dan mengupayakan kesejahteraan (bestuurszorg).
Adanya keharusan untuk melayani warga negaranya, negara hukum terbaru berupaya menggunakan institusi hukum administrasi negara selaku instrumen pengendalian manajemen negara. Penggunaan aturan manajemen, tidak hanya selaku alat pengatur dan pemaksa, namun juga selaku sarana pembatas kekuasaan negara itu sendiri. Karena tidak mampu disangkal bahwa sejak berabad-abad lamanya pemegang kekuasaan condong akan memakai kekuasaan sebagaimana dalil Lord Acton: “power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely”. Dalil itu tampaknya tepat untuk menggambarkan penguasa yang ingin menyalahgunakan kekuasaannya.
Konteks rancangan negara kemakmuran tidak cuma meliputi deskripsi tentang sebuah cara pengorganisasian kemakmuran (welfare) atau pelayanan sosial (social services), melainkan juga suatu desain normatif atau metode pendekatan ideal yang menekankan bahwa setiap orang mesti mendapatkan pelayanan sosial selaku haknya. Negara kemakmuran juga ialah anak kandung pergumulan ideologi dan teori, utamanya yang bermatra sayap kiri (left wing view), seperti Marxisme, Sosialisme, dan Sosial Demokratik. Namun demikian, konsep negara kemakmuran justru tumbuh subur di negara-negara demokratis dan kapitalis, bukan di negara-negara sosialis. 
Di negara-negara Barat, negara kesejahteraan sering dipandang selaku strategi ‘penawar racun’ kapitalisme, ialah dampak negatif ekonomi pasar bebas. Karenanya, welfare state sering disebut selaku bentuk dari ‘kapitalisme baik hati’ (compassionate capitalism). Sebagai ilustrasi, Thoenes mendefinisikan welfare state sebagai “a form of society characterised by a system of democratic government-sponsored welfare placed on a new footing and offering a guarantee of collective social care to its citizens, concurrently with the maintenance of a capitalist system of production”.

Menurut Bessant, Watts, Dalton dan Smith (2006), ilham dasar negara kesejahteraan beranjak dari abad ke-18 dikala Jeremy Bentham (1748-1832) mengiklankan ide bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menjamin the greatest happiness (atau welfare) of the greatest number of their citizens. Bentham memakai ungkapan ‘utility’ (kegunaan) untuk menerangkan rancangan kebahagiaan atau kesejahteraan. Berdasarkan prinsip utilitarianisme yang beliau kembangkan, Bentham beropini bahwa sesuatu yang dapat menimbulkan kebahagiaan tambahan adalah sesuatu yang baik. Sebaliknya, sesuatu yang menimbulkan sakit yakni jelek. Menurutnya, aksi-agresi pemerintah mesti senantiasa diarahkan untuk memajukan kebahagiaan sebanyak mungkin orang. Gagasan Bentham tentang reformasi aturan, peranan konstitusi dan penelitian sosial bagi pengembangan kebijakan sosial menciptakan dia diketahui selaku “bapak negara kesejahteraan” (father of welfare states).
Di dalam konteks kapitalisme, Marshall berargumen bahwa warga negara memiliki kewajiban kolektif untuk turut memperjuangkan kemakmuran orang lain melalui forum yang disebut negara.11 Ketidaksempurnaan pasar dalam menyediakan pelayanan sosial yang menjadi hak warga negara telah mengakibatkan ketidakadilan. Ketidakadilan pasar mesti dikurangi oleh negara untuk menjamin stabilitas sosial dan menghemat imbas-dampak negatif kapitalisme. Marshall menyaksikan metode negara kemakmuran selaku kompensasi yang mesti dibayar oleh kelas penguasa dan pekerja untuk membuat stabilitas sosial dan memelihara masyarakat kapitalis. Pelayanan sosial yang diberikan intinya merupakan verbal material dari hak-hak warga negara dalam merespon konsekuensi-konsekuensi kapitalisme.
Mengenali tanggung jawab negara Indonesia dalam menyelenggarakan negara kemakmuran ialah dengan kesediaan negara untuk terus melakukan serta merespon permintaan warga negara untuk turut serta memecahkan duduk perkara yang dihadapi warga negaranya pada masalah-duduk perkara pelanggaran hak asasi manusia. 
Hal tersebut pasti tidak keliru saat KOMNAS HAM dibuat dengan tujuan: 
  1. Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi insan sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. 
  2. Meningkatkan sumbangan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya eksklusif manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuan berpartisipasi dalam banyak sekali bidang kehidupan.
Persoalan menjadi lebih kompleks dengan adanya kejadian aktual pelanggaran hak asasi manusia yang sangat bermacam-macam dan berkembang sungguh pesat. Besarnya keinginan masyarakat terhadap KOMNAS HAM dan menilai KOMNAS HAM sebagai lembaga super body, diartikan selaku forum keinginan akhir penduduk , yang dianggap dapat menuntaskan semua masalah masyarakat. Situasi ini sudah menjadi beban yang sangat berat bagi KOMNAS HAM dalam menjalankan amanat tersebut.12 Besarnya harapan masyarakat terutama korban ternyata tidak diimbangi dengan kewenangan yang diberikan kepada KOMNAS HAM, sehingga penduduk kecewa dengan kinerja KOMNAS HAM alasannya ternyata lembaga ini tidak mampu menyanggupi impian penduduk . Karena itu, tuntutan yang sangat besar atas peranan forum KOMNAS HAM dalam mengemban tanggung jawab forum untuk melaksanakan pemajuan, penegakan dan pinjaman hak asasi insan sangat perlu dilengkapi dengan sistem hukum sebagai pendukung semoga memiliki kinerja mirip yang diperlukan masyarakat.
Lawrence Freidman memberikan bahwa komponen-komponen metode hukum terdiri dari struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance) dan budaya hukum (legal culture).13 Struktur aturan terwujud lewat pembentukan KOMNAS HAM ataupun partisipasi penduduk dalam wujud LSM, LBH maupun lembaga advokasi serta forum edukasi yang terlibat dalam pemajuan hak asasi insan. Substansi hukum yaitu instrumen yang diperlukan agar struktur aturan bentukan negara bisa bekerja menurut pada asas legalitasnya, komponen ini ada pada lahirnya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 wacana Hak Asasi Manusia yang dilengkapi dengan aneka macam peraturan yang dimaksudkan semoga struktur aturan melakukan kegiatannya sesuai aturan yang dibakukan negara. Sedangkan budaya aturan pada tata cara aturan ialah aspek yang cukup efektif untuk mendukung bekerjanya metode aturan sebab budaya aturan adalah ialah penentu dalam implementasi kebijakan negara.
Latar belakang pengertian aturan sebagai sebuah sistem menurut Schore dan Voich tidak lain yakni agar kita dapat mengetahui hukum secara komprehensif, tidak sepotong-potong dan parsial. Makna dasar tata cara yaitu: 
  1. Selalu berorientasi pada tujuan;
  2. Keseluruhan, lebih dari sekedar jumlah dan bagianbagiannya; 
  3. Selalu berorientasi dengan metode yang lebih besar; 
  4. Bagian dari sistem sosial yang membuat sesuatu yang berguna. 
  Desentralisasi Pendidikan Di Masa Otonomi Daerah
Sedangkan Shrode dan Voich mendefinisikan tata cara sebagai a set of interrelated parts, working independently and jointly, in pursuit of common objective of the whole within a comply environment.
Dari uraian di atas, penulis ingin memaparkan bahwa masalah hukum itu rumit dan kompleks, dimana aturan bukan hanya selaku tata cara nilai, namun juga selaku sub tata cara dari metode sosial yang lebih besar, ialah masyarakat dimana hukum diberlakukan. Hukum selaku sistem mampu dijabarkan menjadi aturan yang secara hirarkis dipayungi oleh norma dasar tertinggi (groundnorm) yang berperan memberi isi, substansi, dasar, norma-norma dibawahnya sehingga norma hukum tidak lain ialah pembagian terstruktur mengenai, break down dari groundnorm, dimana norma aturan di Indonesia dihentikan bertentangan dengan “groundnorm” Pancasila.
Esmi Warassih dalam pidato akreditasi selaku guru besar menyatakan bahwa “Penerapan sebuah tata cara hukum yang tidak berasal atau ditumbuhkan dari kandungan penduduk ialah duduk perkara, terutama di negara-negara yang sedang berubah karena terjadi ketidakcocokan antara nilai-nilai yang menjadi pendukung sistem hukum dari negara lain dengan nilai-nilai yang dihayati oleh anggota masyarakat itu sendiri”. Meskipun hal tersebut di atas juga disadari, akan namun sepertinya untuk membangun hukum nasional dengan bermula dari titik nol, terlebih bertolak dari sebuah konfigurasi gres yang masih mesti ditemukan apalagi dahulu, terang tidak mungkin. Ditambah pula oleh budaya aturan para yuris yang mendukung beban kewajiban membangun aturan nasional amat sulit untuk mendapatkan pedoman-pemikiran yang lateral dan menerobos.
Di dalam Undang-Undang Dasar 1945 baik sebelum amandemen maupun sesudahnya, menganut prinsip keseimbangan antara individualisme dan kolektivisme dengan titik berat pembangunan keadilan sosial. Hak milik langsung diakui, namun harus ditaruh dalam kerangka kebersamaan dalam kesatuan penduduk . Oleh alasannya itu, hak milik juga mengandung fungsi sosial, mirip yang dikontrol dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar atas Tanah dan UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999 ihwal Hak Asasi Manusia. Hal ini sejalan dengan prinsip pembangunan kesejahteraan biasa dan keadilan sosial yang diamanahkan di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu, perilaku konstitusi atas sumber daya alam dalam politik hukum ialah “menguasai” seperti dikontrol dalam Pasal 33 ayat 2 dan ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 33 ayat 2 UUD 1945 memastikan bahwa “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara yag menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”

Sedangkan Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa “bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya diuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat”. Kata “dikuasai” bukanlah diartikan dengan memiliki mirip yang terjadi di negara-negara komunis yang tidak mengakui hak milik langsung. Hak menguasai oleh negara artinya adalah hak mengontrol agar sumber daya alam dapat dimanfaatkan sesuai dengan amanat UUD untuk meraih tujuan negara.
Dari sudut ekonomi politik sejauh menyangkut pilihan nilai kepentingan, politik aturan yang demikian juga mengandung desain prismatik yakni mempertemukan atau menyeimbangkan antara kepentingan perseorangan (individu) dan kepentingan masyarakat selaku kesatuan. Dalam hubungan ini, barangkali masih berkaitan apa yang disebut Fred W. Riggs (1985) masyarakat prismatik (prismatic society) dikala menerangkan proses transisi negara-negara sedang meningkat . Masyarakat prismatik ditandai oleh tiga gejala utama, yaitu heterogenitas, formalisme, dan kehidupan yang tumpang-tindih.
Negara Pancasila ialah konsepsi prismatik (Fred W. Riggs, 1964) yang menggabungkan inti nilai yang bagus dari berbagai nilai yang saling bertentangan. Konsepsi prismatik tersebut minimal dicirikan oleh empat hal, mencakup: 
  1. Pancasila menggabungkan komponen yang baik dari paham individualisme dan kolektivisme. Di sini diakui bahwa manusia sebagai eksklusif mempunyai hak dan keleluasaan asasi, namun sekaligus melekat padanya kewajiban asasi selaku makhluk Tuhan dan makhluk sosial.
  2. Pancasila mengintegrasikan konsepsi negara aturan “rechtsstaat” yang menekankan pada civil law dan kepastian hukum serta konsepsi negara hukum “the rule of law” yang menekankan pada common law dan rasa keadilan. 
  3. Pancasila menerima hukum sebagai alat pembaruan penduduk (law as tool of social engineering) sekaligus aturan selaku cermin rasa keadilan yang hidup di masyarakat (living law). 
  4. Pancasila menganut paham religious nation state, tidak menganut atau dikendalikan satu agama tertentu (sebab bukan negara agama), tapi juga tidak hampa agama (alasannya adalah bukan negara sekuler). Di sini, negara harus melindungi dan membina semua pemeluk agama tanpa diskriminasi berdasar pertimbangan mayoritas dan minoritas.

Dengan mengakibatkan Pancasila sebagai dasar negara, maka sistem aturan di tanah air juga akan berlawanan dengan metode hukum di negara lain. Sistem aturan Pancasila sungguh berbeda dengan sistem aturan Eropa Continental yang cuma menekankan pada legisme, civil law, administrasi, kepastian hukum dan hukum-aturan tertulis yang negara hukumnya disebut rechtsstaat.
Sistem aturan Pancasila juga sungguh berlainan dengan metode hukum Anglo-Saxon yang cuma menekankan pada peranan yudisial, common law dan substansi keadilan yang negara hukumnya disebut the rule of law (Anglo-Saxon). Sistem hukum Pancasila mengambil sisi-segi terbaik dari kedua tata cara hukum tersebut yang mana didalamnya bertemu dalam sebuah ikatan prismatic dan integrative prinsip kepastian aturan dan keadilan substansial. Dalam bidang penegakan aturan, sistem aturan Pancasila menginginkan terciptanya kepastian aturan bahwa keadilan sudah ditegakkan sesuai dengan nilai hak asasi manusia.
Namun hingga saat ini, kelihatannya apa yang terkandung dalam Pancasila sama sekali tidak pernah dijalankan secara konsisten sesuai dengan keadilan substansial yang dituntut warga negara guna pemajuan hak asasi insan. Sejak bangsa ini merdeka sampai periode reformasi ketika ini, belum ada pemimpin yang mampu melakukan Pancasila selaku landasan berpijak, berpikir dan berbuat untuk membangun negeri ini.
Pemantauan hak asasi manusia yang dijalankan pada tahun 2011 oleh Asian Human Rights Commission (AHRC) menyaksikan bahwa Indonesia, utamanya dalam sisi keleluasaan beragama serta tugas dan akuntabilitas forum peradilan kepada yang dikerjakan oleh pegawanegeri keamanan, mengalami kemerosotan hak asasi manusia. Laporan ini, yang didasarkan pada kerja dokumentasi dan monitoring AHRC, menunjukkan bahwa Indonesia masih mengalami pelanggaran hak asasi manusia berat dan kurangnya rule of law. Minimnya pencegahan yang efektif dan langkah hukum yang ditempuh oleh aparat penegak aturan terhadap kelompok fundamentalis menunjukkan ketidakmampuan negara untuk menjamin hak asasi manusia yang paling fundamental mirip hak untuk hidup dan hak untuk keleluasaan berpikir, berkeyakinan dan beragama. 
C. Peran Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam Meningkatkan Martabat Negara Kesejahteraan 
KOMNAS HAM ialah lembaga yang efektif dan memiliki kelayakan untuk disebut selaku sebuah institusi nasional. Untuk itulah, maka pembentukan institusi nasional yang bergerak di sektor hak asasi manusia idealnya memenuhi komponen-elemen yang dikelola di dalam tolok ukur internasional pembentukan institusi nasional hak asasi manusia sebagaimana disebutkan di dalam Prinsip-Prinsip Paris 1991 atau Paris Principle 1991. 
Guna membantu penduduk korban pelanggaran hak asasi insan untuk memulihkan hak-haknya, maka dibutuhkan adanya KOMNAS HAM. Komisi ini dibuat pada tanggal 7 Juni 1993 berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Keputusan Presiden tersebut lahir menindaklanjuti hasil saran lokakarya perihal hak asasi manusia yang diprakarsai oleh Departemen Luar Negeri Republik Indonesia dan Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang diselenggarakan pada tanggal 22 Januari 1991 di Jakarta. 
Berdasarkan Keputusan Presiden tersebut, Komnas HAM bermaksud pertama, menolong pengembangan kondisi yang aman bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, Perserikatan Bangsa-Bangsa serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Kedua, meningkatkan tunjangan hak asasi insan guna mendukung terwujudnya pembangunan manusia nasional yaitu pembangunan insan Indonesia seutuhnya maupun pembangunan penduduk kebanyakan. 
Berawal dengan sumber daya insan, sumber dana dan fasilitas yang seadanya, sebanyak 25 anggota KOMNAS HAM yang diangkat untuk pertama kalinya berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 455/M.1993 telah melakukan rangkaian aktivitas antara lain: 
  1. Penyebarluasan wawasan nasional dan internasional mengenai hak asasi manusia baik terhadap masyarakat Indonesia maupun terhadap penduduk internasional. 
  2. Pengkajian instrumen internasional hak asasi insan dengan tujuan memperlihatkan usulan-saran mengenai kemungkinan aksesi dan/atau ratifikasinya. 
  3. Pemantauan dan penyelidikan pelaksanaan hak asasi insan serta memperlihatkan usulan, pertimbangan dan rekomendasi terhadap tubuh pemerintahan negara mengenai pelaksanaan hak asasi insan.
Menyikapi adanya berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia tersebut di atas, maka guna menyingkir dari jatuhnya korban pelanggaran yang lebih banyak dan untuk menciptakan keadaan yang aman serta penguatan peran forum yang mengelola hak asasi insan, maka Majelis Permusyawaratan Rakyat sudah mengeluarkan Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998. Ketetapan tersebut menugasi forum-lembaga tinggi negara dan seluruh aparatur pemerintah untuk menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman tentang hak asasi insan kepada seluruh masyarakat. Selain itu, ketetapan tersebut juga menyebutkan bahwa pelaksanaan penyuluhan, pengkajian, pemantauan, penelitian dan mediasi ihwal hak asasi manusia dikerjakan oleh sebuah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang ditetapkan dengan undangundang. Menindaklanjuti amanat Ketetapan MPR tersebut, maka pada tanggal 23 September 1999 sudah disahkan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam Undang-Undang tersebut selain menertibkan tentang hak asasi manusia, juga perihal kelembagaan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. 
Sampai dengan tahun 2012 ini, KOMNAS HAM menghadapi aneka macam tantangan dalam masalah pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini bisa dilihat dari informasi pelanggaran yang masih marak di negara Indonesia dari keagamaan, seperti pelaksanaan hukum syariah di Aceh hinggga masalah hak asasi insan di Papua. Persoalan yang lain adalah terorisme, sengketa tanah, serta tuntutan akan keleluasaan berekspresi oleh para pembela hak asasi insan ialah pekerjaan rumah yang mesti teratasi oleh KOMNAS HAM
Guna kepentingan tersebut, maka diperlukan yurisdiksi yang terperinci dan wewenang yang memadai. Yurisdiksi pokok haruslah disebutkan dengan jelas di dalam undang-undang pembentukan mirip menunjukkan pendidikan wacana hak asasi insan, menolong pemerintah dalam masalah-persoalan legislatif serta mendapatkan dan mengatasi pengaduan pelanggaran hak asasi manusia.
Mengubah lembaga KOMNAS HAM menjadi penting kalau mengenang sangat kompleksnya problem yang dihadapi forum tersebut. Dalam hal ini, karena dibentuknya lembaga KOMNAS HAM selaku forum yang independen dan sebagai birokrasi yang memiliki tanggung jawab untuk pemajuan dan penegakan hak asasi manusia, maka KOMNAS HAM harus berada pada kapasitas independen, imparsial, transparan dan akuntabel. Sebab, secara internasional telah dikeluarkan Prinsip-Prinsip Paris yang pada workshop internasionalnya yang pertama pada 7-9 Oktober 1991 di Paris, memberi landasan kerja bagi institusi nasional untuk promosi dan pertolongan hak asasi manusia. Prinsip tersebut kemudian diadopsi oleh Komisi HAM PBB dengan Resolusi 1992/54 Tahun 1992, dan oleh Majelis Umum PBB dengan Resolusi 48/134 Tahun 1993. Prinsip-Prinsip Paris bekerjasama dengan status dan fungsi forum-forum nasional untuk tunjangan dan pemajuan hak asasi manusia. 
Serangkaian usulan mempunyai lima ketentuan: 
  1. Lembaga ini akan memantau setiap suasana pelanggaran hak asasi insan yang telah diputuskan untuk mengambil tindakan. 
  2. Lembaga mesti mampu memberikan nasehat terhadap pemerintah, dewan perwakilan rakyat dan tubuh berwenang yang lain atas pelanggaran tertentu, pada persoalan yang berkaitan dengan undang-undang dan kepatuhan umum dan pelaksanaan dengan instrumen internasional hak asasi manusia. 
  3. Lembaga ini mesti berafiliasi dengan organisasi regional dan internasional. 
  4. Institusi harus mempunyai mandat untuk mendidik dan memberitahukan di bidang hak asasi manusia. 
  5. Beberapa lembaga yang diberi kewenangan kuasi-yudisial. 
  Bag Ix, Teknis Budidaya Flora Karet
Dengan demikian, diperlukan lembaga nasional yang berkaitan dengan hak asasi manusia menjadi forum nasional yang bebas dari intervensi birokrasi pemerintah dan bisa mewadahi kepentingan pluralitas. Sehubungan dengan independensi, sesuai dengan ketentuan Prinsip-Prinsip Paris, pengangkatan komisioner harus didasarkan pada undang-undang resmi dengan kurun kerja yang mungkin diperbaharui.3 Makara kepatuhan terhadap Prinsip-Prinsip Paris adalah keperluan utama dari proses akreditasi yang mengontrol susukan National Human Rights Institution (NHRI) untuk PBB, Dewan Hak Asasi Manusia dan badanbadan yang lain. Ini yaitu metode review yang dioperasikan oleh suatu sub komite dari Komite Internasional Koordinasi NHRI, yakni suatu forum komite internasional yang menertibkan kerjasama bagi institusi hak asasi manusia nasional.
D. Tantangan Kedepan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia 
Perjalanan bangsa Indonesia pasti dipenuhi aneka macam peristiwa politik, ekonomi, maupun sosial, dan banyak yang cenderung berpotensi konflik dan melanggar hak asasi insan. Hal ini mampu dilihat pada apa yang sedang berjalan kini, diantaranya, kenaikan harga bahan bakar minyak, eskalasi kenaikan ketegangan pada ranah politik dengan dipicunya kegiatan Pemilihan Kepala Daerah  maupun antisipasi pemilu tahun 2014, semakin maraknya pergerakan buruh untuk demonstrasi di jalan-jalan yang dipicu kian rendahnya daya beli mereka, meningkatnya perkara trafficking yang dipicu oleh kemiskinan dan rendahnya latar belakang pendidikan pelaku, masalah terorisme yang terus berkembang dan bergerak di Indonesia, pelanggaran hak asasi manusia era kemudian yang sampai ketika ini belum diusut tuntas, serta aksi premanisme yang meresahkan masyarakat. 
Berkaca dari kemungkinan kejadian yang ada, maka KOMNAS HAM kini dituntut penduduk harus mempunyai daya tawar politik yang tinggi agar mampu menegakkan hak asasi insan di Indonesia. Selain itu, komisioner KOMNAS HAM mendatang mesti berani dan memegang prinsip keadilan sosial. Hal itu menjadi masukan yang tidak mampu ditawar lagi dan menjadi bagian pekerjaan para Komisioner KOMNAS HAM kurun 2012-2017. Sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 wacana Hak Asasi Manusia, yang dikehendaki masyarakat saat ini adalah KOMNAS HAM yang berfungsi dan bekerja untuk penduduk .
Citra birokrasi untuk kepentingan layanan publik di Indonesia, dari dahulu hingga sekarang, lebih secara umum dikuasai sisi gelapnya ketimbang segi terangnya. Selain mekanisme birokrasi yang bertele-tele, ditambah lagi dengan petugas birokrasi yang tidak profesional. Sudah tidak gila lagi kalau layanan publik di Indonesia dicitrakan selaku salah satu sumber korupsi dan juga sangat beralasan jika World Bank, dalam World Development Report 2004, memperlihatkan stigma bahwa layanan publik di Indonesia sukar diakses oleh orang miskin, dan menjadi pemicu ekonomi ongkos tinggi (high cost economy) yang pada balasannya membebani kinerja ekonomi makro, alias menambah beban publik (masyarakat). Makara sungguh diharapkan peningkatan mutu dan jaminan penyediaan pelayanan publik yang baik serta melindungi warga negara dari penyalahgunaan wewenang (abuse of power). Penyelenggaraan pelayanan publik oleh pemerintah secara konstitusional juga merupakan kewajiban negara untuk memenuhi keperluan dasarnya dalam rangka pelayanan publik.
Sebagaimana dimengerti bareng , secara konstitusional negara Indonesia sebagai penganut paham good governance, memiliki konsekuensi logis untuk menyelaraskan permintaan penduduk atas kesanggupan kinerja negara dengan melengkapi perintah konstitusi yang sudah diamandemen. Sejatinya, dikala-saat terdahulu sebelum lahir amandemen Undang-Undang Dasar 1945 tidak butuhdiadakan lembaga mirip Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Yudisial (KY) Mahkamah Konstitusi (MK) maupun Komisi Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM), maka begitu kelahiran amandemen UUD 1945, Pemerintah Indonesia mempublikasikan forum negara yang tersebut di atas sesuai dengan tuntutan konstitusi supaya menyanggupi keperluan negara demokrasi yang cocok dengan hal-hal yang dimaksud untuk merealisasikan negara yang menganut paham good governance tersebut. 
Secara lazim good governance mempunyai sepuluh prinsip, yakni: 
1. Akuntabilitas. Meningkatkan akuntabilitas para pengambil keputusan dalam segala bidang yang menyangkut kepentingan penduduk . 
2. Pengawasan. Meningkatkan upaya pengawasan kepada penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dengan mengusahakan keterlibatan swasta dan masyarakat luas. 
3. Daya tanggap. Meningkatkan kepekaan para penyelenggara pemerintahan kepada aspirasi penduduk tanpa kecuali. 
4. Profesionalisme. Meningkatkan kemampuan dan susila penyelenggaraan pemerintahan biar mampu memberi pelayanan yang gampang, cepat, tepat dengan ongkos terjangkau. 
5. Efisiensi dan efektifitas. Menjamin terselenggaranya pelayanan terhadap masyarakat dengan menggunakan sumber daya yang tersedia secara optimal dan bertanggungjawab. 
6. Transparansi. Menciptakan iman timbal-balik antara pemerintah dan masyarakat lewat penyediaan info dan menjamin akomodasi didalam memperoleh informasi. 
7. Kesetaraan. Memberi potensi yang serupa bagi setiap anggota penduduk untuk meningkatkan kesejahteraannya. 
8. Wawasan Kedepan. Membangun tempat menurut visi dan strategis yang jelas dan mengikutsertakan warga dalam seluruh proses pembangunan, sehingga warga merasa  memiliki dan ikut bertanggungjawab terhadap perkembangan wilayahnya.
 9. Partisipasi. Mendorong setiap warga untuk memanfaatkan hak dalam memberikan usulan dalam proses pengambilan keputusan, yang menyangkut kepentingan penduduk , baik secara langsung mapun tidak langsung. 
10. Penegakan Hukum. Mewujudkan penegakan hukum yang adil bagi semua pihak tanpa pengecualian, menjunjung tinggi hak asasi manusia dan mengamati nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
Mengenali sepuluh prinsip yang ditekankan oleh versi good governance, maka konteks untuk kepentingan menolok ukur kinerja anggota KOMNAS HAM mendatang diharapkan syarat-syarat yang tepat dengan keperluan perkembangan jaman, adalah: 
1. Para calon anggota mempunyai seni manajemen yang visioner terhadap banyak sekali problem dan tantangan penegakan hak asasi manusia yang muncul, termasuk pencegahan pelanggaran insan. 
2. Memiliki integritas dan keberanian dalam derma, penghormatan, penegakan dan pemajuan hak asasi manusia. 
3. Memiliki perspektif korban pelanggaran hak asasi manusia. 
4. Tidak pernah terlibat kejahatan pelanggaran hak asasi manusia, korupsi dan kejahatan yang lain. 
5. Memiliki kemampuan mendorong solusi kasuskasus pelanggaran hak asasi manusia berat abad lalu yang terhambat di Kejaksaan Agung, Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden.
6. Memilikikemampuan memaksimalkan kewenangan pengusutan pro justisia. 
7. Memiliki kesanggupan mengupayakan terobosan dan melakukan kreativitas untuk melawan impunitas kepada kasus-kasus pelanggaran hak asasi insan berat kala lalu.
8. Memiliki kemampuan membangun hubungan dan kolaborasi yang bagus, independen dan setara dengan forum-lembaga negara yang lain, sehingga KOMNAS HAM bisa dianggap baik oleh penduduk kalau mampu bekerja untuk masyarakat dan mempunyai kredibilitas yang baik. 
9. Memiliki kesanggupan menghadapi tantangan yang lebih besar dimasa mendatang alasannya adalah Rancangan Undang-Undang KOMNAS HAM masuk dalam Prolegnas 2014 mendatang. Salah satu yang tertuang dalam desain undang-undang tersebut ialah penguatan kewenangan KOMNAS HAM.
Di dalam Pasal 84 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia disebutkan bahwa yang dapat diangkat menjadi anggota KOMNAS HAM ialah warga negara Indonesia yang: 
1. Memiliki pengalaman dalam upaya memajukan dan melindungi orang atau golongan yang dilanggar hak asasi manusianya, 
2. Berpengalaman selaku hakim, jaksa, polisi, pengacara atau pengemban profesi aturan yang lain, 
3. Berpengalaman di bidang legislatif,direktur, dan forum tinggi negara, atau 
4. Merupakan tokoh agama, tokoh penduduk , anggota lembaga swadaya penduduk dan golongan perguruan tinggi tinggi.
Persyaratan yang dilahirkan Pasal 84 undang-undang tersebut dibutuhkan mengamati keanekaragaman latar belakang calon anggota KOMNAS HAM yang akan diusulkan, alasannya adalah keanekaragaman itu merefleksikan ketangguhan KOMNAS HAM dalam menghadapi tantangan periode tiba. Keragaman yang dituntut ialah baik dalam arti kemampuan, maupun geografis. Keahlian yang diperlukan oleh KOMNAS HAM kedepan yaitu aturan, utamanya pidana, sosiologi dan sejarah, antropologi dan psikologi, penyelidik dan penyidik, serta keterampilan spesifik perihal wanita.
Sementara keanekaragaman geografis yang dituntut aneka macam pihak yakni agar KOMNAS HAM tidak didominasi oleh mereka yang berasal dari Jawa, tetapi juga diisi oleh tokoh-tokoh memiliki potensi dari luar Jawa terutama dari Aceh dan Papua serta Kalimantan. Individu yang handal diharapkan KOMNAS HAM, karena ada beberapa tantangan berat di depan mata. Pertama telah berkembangnya secara signifikan norma- norma hak asasi manusia dalam aturan konkret nasional. Dengan kata lain seseorang yang menjadi anggota KOMNAS HAM semestinya menjadi tokoh nasional yang mampu menelurkan alternative value bagi masyarakat. Pada sisi lain, adanya tuntutan pertolongan dan pemenuhan hak asasi insan di kurun datang yang juga merupakan permintaan yang konstitusional. Kedua, berubahnya format politik nasional dari sentralis menjadi desentralis. Dalam format politik yang terdesentralisasi, instansi di daerah memainkan tugas penting dalam perlindungan dan pemenuhan hak asasi insan, terutama dimensi ekonomi, sosial dan budaya. Ketiga, dianutnya sistem multipartai dan penyeleksian pribadi dalam politik nasional. Dalam sistem multipartai, rekrutmen para elit nasional dan setempat baik di jajaran administrator maupun legislatif didominasi oleh elit partai politik. Berubahnya konfigurasi elit di tingkat nasional atau daerah akan mempengaruhi secara langsung kondisi pemberian dan pemenuhan hak asasi manusia secara nasional dan regional.
Perpaduan aspek kedua dan ketiga di atas dalam lima tahun kedepan memiliki potensi menjadikan gejolak. Gejolak tersebut tidak menutup kemungkinan bisa menjadi amok kepada orang atau harta milik orang lain. Seluruh tantangan yang terpapar di atas semakin menuntut para anggota KOMNAS HAM untuk jauh lebih pintar, tangkas dan cendekia dalam menanggapi setiap pertumbuhan serta mampu mengkomunikasikannya secara pintar terhadap masyarakat dan instansi negara yang lain. 
E. Peran Komisi Nasional Hak Asasi Manusia di Masa Datang 
Negara bertekad memecahkan dilema hak asasi manusia yang secara konkret terjadi, namun juga banyak dilema pelanggaran yang tidak sederhana mengatasinya. Selama lebih dari tiga puluh tahun rakyat terkooptasi dengan orde pemerintahan otoriter yanag memiliki efek pada pengabaian pelanggaran hak asasi manusia. Dalam aneka macam kebijakan maupun dalam proses solusi, menuntut perubahan paradigma. Setelah reformasi, demokrasi serta hak asasi insan ialah persyaratan penyelenggaraan pemerintahan. Wacana demokrasi dan hak asasi insan juga dipakai baik oleh golongan rakyat yang merasa tertindas maupun oleh pemerintahan negara-negara lain yang merasa berkepentingan untuk mempromosikan demokrasi dan hak asasi manusia di negara-negara lain yang dianggap tidak demokratis. Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa parameter negara demokrasi dapat tampakdari penegakan hak asasi manusianya. Menurutnya, iklim (kehidupan berbangsa) harus memihak pada hak asasi manusia. 
Tolak ukur demokrasi bagi negara maju menempatkan hak asasi manusia selaku roh. Kalau perspektif negara adalah hak asasi manusia, kondisinya akan lebih baik. Salah satu langkah yang dibentuk negara ialah dengan membentuk KOMNAS HAM yang mempunyai tugas dan tanggung jawab selaku forum berdikari yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara yang lain seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Yudisial (KY), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan beberapa yang lain, tergolong KOMNAS HAM yang mempunyai fungsi untuk melaksanakan pengkajian, observasi, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi hak asasi manusia. 
F. Penguatan Peran KOMNAS HAM 
Fenomena yang berhadapan dengan duduk perkara hak asasi insan cukup kompleks. Lahirnya forum baru KOMNAS HAM yang belum kuat bahkan embedded dengan banyak sekali kepentingan kita. Good governance di banyak sekali area yang sebagian sudah disebut, tidak saja menggambarkan kompleksitas persoalannya, namun juga sekaligus memperlihatkan ide atau bahkan aturan main alternatif untuk mengorganisir dan menyelesaikan persoalan-dilema di seputar gosip-gosip itu. Sebagai pola, gosip perburuhan yang berhubungan dengan masalah hak asasi insan dalam konteks negara kapitalis, memberikan eskalasi. Dalam hal perburuhan, Indonesia juga yakni anggota ILO (International Labor Organization) yang mendesak untuk kian memperhatikan prinsip-prinsip penerapan hak asasi manusia dalam kehidupan kaum buruh. Demikian pula dalam informasi-info yang berhubungan dengan prinsip-prinsip pelestarian lingkungan hidup, kita tergolong salah satu negara yang menandatangani Protokol Kyoto yang menertibkan pengurangan emisi karbon dan sejumlah gas lainnya yang mengancam keberadaan ozon dan menyebabkan imbas pemanasan global. 
Melihat implikasi yang isunya begitu beragam tetapi begitu mendalam dan spesifik konteks persoalannya, globalisasi bukanlah fenomena hitam putih yang bisa secara gampang dan cepat diatur. Eksplorasi aneka macam ide, inisiatif dan langkah-langkah yang berasal dari golongan domestik atau lokal (local genuines) perlu secara serius dilakukan semoga kontradiksi global versus lokal tidak menemukan jalan keluar yang ekstrim, ialah either simply ‘join the club’ or ‘go to hell with globalization’. Proses ‘glokalisasi’ yang memadukan arus globalisasi dengan berbagai tradisi, nilai atau wangsit setempat adalah salah satu tema yang perlu mendapat kajian mendalam. KOMNAS HAM sebagai institusi yang bertanggungjawab untuk meningkatkan hak asasi insan diharapkan pintar mempergunakan prinsip-prinsip hak asasi insan internasional dengan melihat persoalan hak asasi manusia secara nasional.
Dalam sejumlah studi, proses ini tidak hanya mengidentifikasi kecenderungan-kecenderungan yang berorientasi ke politik dan pasar global, namun juga kecenderungan fragmentasi kultural dan sosial yang bermuara pada inovasi kembali (reinvention) tradisi-tradisi dan identitas setempat. Eropa yaitu salah satu contoh dimana pusaran pasar dan politik global tidak serta-merta menghilangkan identitas lokal. Ketika Belgia mendesentralisasi proses dan kegiatan politiknya, Catalonia pada dikala yang serupa menerima otonomi yang lebih besar. Proses globalization from below dengan demikian perlu dikembangkan untuk menandingi dan sekaligus mendampingi proses hiper-globalisasi yang selama ini digambarkan amat seram. Pertanyaannya: bagaimana melakukan itu? Pada level negara/pemerintah, untuk pemajuan dan pengembangan hak asasi insan maka proses itu mampu dijalankan dengan menerapkan kebijakan-kebijakan hak asasi manusia yang dituntun oleh strategi pembiasaan yang sesuai untuk merespon pergeseran-pergantian tuntutan di tingkat global sehingga masukan yang paling banyak disuarakan penduduk ialah yang terkait dengan pertentangan agraria, pluralisme, buruh migran.
Banyak sekali aspek determinan yang mensugesti bekerjanya sebuah lembaga, terutama KOMNAS HAM yang nota bene dibuat dalam rangka perlindungan dan pemajuan hak asasi insan. Independensi, imparsialitas, transparansi, accountability, dan keragaman ialah prinsip-prinsip yang tidak boleh ditinggalkan ketika suatu negara hendak membentuk lembaga ini. Hal ini ialah prasyarat terbentuknya sebuah forum yang besar lengan berkuasa dan mampu berdiri diatas kaki sendiri dalam pemajuan, sumbangan dan penegakan hak asasi insan. Karena tanpa prinsip-prinsip ini, forum KOMNAS HAM hanya akan menjadi suatu forum yang turut serta melegitimasi pelanggaran-pelanggaran yang dijalankan negara dan aparatusnya terhadap warga negaranya.
Tantangan negara Indonesia untuk mereformasi versi dan kewenangan yang digulirkan pada final tahun 1990-an intinya bermaksud untuk mendorong proses demokratisasi dan mengembangkan pelayanan terhadap publik dan kesejahteraan penduduk , terutama bagi penduduk yang berpendapatan rendah, dibutuhkan menyebabkan pemerintah semakin dekat dengan penduduk , menguatkan peran pemerintah kawasan, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan penduduk setempat serta menimbulkan penggunaan dana publik menjadi lebih transparandan efektif serta efisien dalam upaya untuk memajukan mutu pelayanan kepada publik.
Proses pembentukan KOMNAS HAM yang independen, imparsial, transparan, accountable dan mencerminkan keanekaragaman ini dimulai saat Panitia Seleksi memilih dan menetapkan calon-calon anggota yang dengan pengalaman dalam pertolongan dan penegakan hak asasi insan sudah menawarkan donasi terhadap pemajuan demokrasi dan sumbangan hak asasi manusia di Indonesia. Dan yang paling penting dari semua itu, Komisioner tidak pernah terlibat dalam pelanggaran hak asasi insan secara langsung atau tidak eksklusif, baik sebagai pelaku atau perancang pelanggaran hak asasi manusia. Sehingga ke depan, Indonesia akan memiliki Komisioner KOMNAS HAM yang mampu melakukan pemajuan, penegakan dan dukungan hak asasi insan. Perlu ditegaskan saat ini, Panitia Seleksi adalah ujung tombak dalam memilih komposisi anggota dan mutu anggota KOMNAS HAM. Sementara proses pemilihan di Sidang Pleno KOMNAS dan dewan perwakilan rakyat tidak lebih dari sekedar proses formalisme politik ketimbang proses. Penilaian kemampuan dan kualitas dari para calon komisioner harus terukur.
G. Penutup 
Semangat negara Indonesia melaksanakan penguatan kepada peningkatan martabat dan harkat bangsa Indonesia perlu diimbangi dengan lembaga negara yang secara intens dan konsisten terus menempatkan hak asasi manusia selaku konsentrasi sentral, yang tentunya perlu didukung oleh anggota KOMNAS HAM yang handal dalam menghadapi tantangan era datang. Hal ini harus didorong dengan mengamati keanekaragaman latar belakang calon anggota KOMNAS HAM yang akan direkomendasikan, alasannya masyarakat Indonesia sungguh heterogen. Keragaman yang dimaksud adalah dalam arti kemampuan maupun geografis. Keahlian yang dibutuhkan oleh KOMNAS HAM kedepan adalah kemampuan dalam bidang hukum, sosiologi dan sejarah, antropologi dan psikologi, penyelidik dan penyidik, serta keterampilan spesifik wacana perempuan. Sementara keragaman geografis yakni supaya KOMNAS HAM tidak didominasi oleh mereka yang berasal dari Jawa, tetapi juga diisi oleh tokoh-tokoh berpotensi dari luar Jawa, terutama dari Aceh dan Papua serta Kalimantan. Individu yang tangguh diperlukan KOMNAS HAM, sebab ada beberapa tantangan berat di depan mata. 
Tantangan itu yaitu pertama, sudah berkembangnya normanorma hak asasi manusia dalam aturan faktual nasional dan masih diberlakukannya hukum aktual yang tidak dilandasi oleh norma-norma hak asasi insan. Dengan kata lain, seseorang yang menjadi anggota KOMNAS HAM, semestinya menjadi tokoh nasional yang mampu menelorkan alternative value bagi masyarakat. Kedua, berubahnya format politik nasional dari sentralis menjadi desentralis. Dalam format politik yang terdesentralisasi, instansi di kawasan memainkan tugas penting dalam bantuan dan pemenuhan hak asasi manusia utamanya hak ekonomi, sosial dan budaya. Ketiga, dianutnya sistem multipartai dan penyeleksian langsung dalam politik nasional. Dalam tata cara multipartai, rekrutmen para elit nasional dan setempat baik di jajaran direktur maupun legislatif didominasi oleh elit partai politik. Berubahnya konfigurasi elit di tingkat nasional atau kawasan akan menghipnotis secara pribadi keadaan perlindungan dan pemenuhan hak asasi secara nasional dan regional. Perpaduan aspek tersebut di kala depan akan memiliki peluang menyebabkan gejolak. Gejolak tersebut tidak menutup kemungkinan bisa menjadi amok kepada orang atau harta milik orang lain.
Seluruh tantangan menuntut para anggota KOMNAS HAM yang jauh lebih cerdas, tangkas dan berakal dalam menyikapi setiap perkembangan serta lalu mampu mengkomunikasikannya secara pintar kepada penduduk dan instansi negara yang lain. Dengan kata lain seseorang yang menjadi anggota KOMNAS HAM, sebaiknya menjadi tokoh nasional yang mampu mencetuskan alternative value bagi penduduk . Dan pada saatnya dibutuhkan martabat bangsa dan harkat bangsa akan menjadi lebih sejahtera dengan keberadaan forum KOMNAS HAM. Untuk memperbaiki kondisi, kita harus senantiasa berpikir besar. Namun asumsi besar itu tidak akan ada gunanya bila kita tidak mengawali dengan hal-hal yang kecil, dan hal kecil itu pun gres akan benar-benar memiliki kegunaan jika kita mampu lakukan dengan langkah-langkah konkret sekarang juga. Karena itu, salah satu maxim yang dijadikan motivasi di bidang manajemen dan kepemimpinan yakni “Think Big, Start Small, and Now”

DAFTAR PUSTAKA 
Buku Daniel S. Lev, Negara Pancasila Bukan Negara Sekuler, Liberty, Yogyakarta, 2003. 
Edi Suharto, Analisis Kebijakan Publik: Panduan Mudah Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial, Alfabeta, Bandung, 2005. 
Edi Suharto, Pembangunan, Kebijakan Sosial dan Pekerjaan Sosial: Spektrum Pemikiran, LSP Press, Bandung, 1997. 
Lawrence Friedman, “American Law”, W.W. Norton & Company, London, 1984. 
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1992. 
Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Konsitusi Indonesia, Liberty, Yogyakarta,1993.