Masalah perikanan tangkap yang melanggar hukum atau lebih diketahui dengan istilah Illegal Fishing bahwasanya sudah menjadi problem klasik. Mengapa dikatakan klasik ? sebab masalah ini sudah ada dari zaman dahulu yang seperti tidak ada habisnya. Tetapi Isu pemberantasan illegal fishing dalam kurun waktu dua tahun terakhir di Indonesia sering mengemuka di media hal ini dikarenakan janji tegas yang digaungkan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti.
Berita penangkapan kapal asing dan info penenggelaman kapal ajaib oleh abdnegara penegak aturan di bidang perikanan semakin sering kita peroleh, lewat agresi pemberantasan illegal fishing info-berita yang ada terungkap bukanlah soal illegal fishing. Namun banyak didapatkan perihal ijin dokumentasi yang disalahgunakan, perbudakan dan jual beli manusia, serta tindakan kriminal lainnya mirip bongkar muat kapal di tengah bahari (transhippment). Berbagai langkah-langkah kriminal inilah kemudian diketahui istilah Illegal, Unreported, dan Unregulated Fishing (IUU Fishing) yaitu acara penangkapan ikan yang tidak sah, penangkapan ikan yang tidak dilaporkan, dan penangkapan tidak cocok hukum.
Mengatasi urusan ini Pemerintah Indonesia lewat Kementerian Kelautan dan Perikanan sudah mengeluarkan beberapa kebijakan penanggulangan IUU Fishing salah satunya adalah penguatan penegakan hukum tindak kriminal perikanan.
Kegiatan penegakan hukum tindakan melawan hukum perikanan dikerjakan lewat dua cara ialah pencegahan kasus tindak pidana perikanan dan penanganan kasus tindak kriminal perikanan. Pencegahan masalah tindak pidana perikanan meliputi pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan, terkait hal ini yakni pengawasan perizinan dan armada kapal perikanan. Sementara itu penanganan kasus tindak pidana perikanan dikategorikan ke dalam tiga tahapan yakni penyidikan (investigation level), penuntutan (prosecution level) dan tahap investigasi di pengadilan (court level) tahapan inilah yang disebut dengan integrated criminal justice system (sistem peradilan pidana terpadu)
Penyidikan dalam sistem peradilan pidana Indonesia diartikan selaku serangkaian langkah-langkah penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta menghimpun bukti yang dengan bukti itu membuat terang wacana tindakan melawan hukum yang terjadi dan guna mendapatkan tersangkanya (Pasal 1 Angka 2 KUHAP). Dalam kerangka tata cara peradilan pidana, peran aparatur penegak aturan, khususnya Penyidik, sungguh strategis. Penyidik ialah pintu gerbang utama dimulainya peran penelusuran kebenaran materil sebab melalui proses penyidikan sejatinya upaya penegakan aturan mulai dijalankan. Kegiatan penyidikan tindakan melawan hukum perikanan sesuai dengan tercantum dalam Pasal 73 UU Nomor 31 Tahun 2004 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 45 Tahun 2009 (Selanjutnya disebut UU Perikanan) menjelaskan bahwa penyidikan tindak pidana perikanan dikerjakan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), Perwira TNI AL, dan/atau Pejabat Polisi Republik Indonesia.
Secara terminologi PPNS Perikanan berdasarkan PP Nomor 58 Tahun 2010 Pasal 1 angka 6, yakni Pegawai Negeri tertentu sebagaimana disebutkan dalam KUHAP, baik yang berada di pusat mauapun di daerah yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang, dalam hal ini wewenang dalam penanganan tindak pidana perikanan.
PPNS Perikanan merupakan salah satu trisula dalam memperkarakan tindak pidana perikanan sebagaimana yang tertuang dalam UU Perikanan pada pasal 73A, penyidik mempunyai 12 kewenangan, yaitu : 1). menerima laporan atau pengaduan dari seseorang perihal adanya tindak pidana di bidang perikanan; 2). memanggil dan mengusut tersangka dan/atau saksi untuk didengar keterangannya; 3). menenteng dan menghadapkan seseorang selaku tersangka dan/atau saksi untuk didengar keterangannya; 4). menggeledah fasilitas dan prasarana perikanan yang disangka dipakai dalam atau menjadi daerah melakukan tindakan melawan hukum di bidang perikanan; 5). menghentikan, mengusut, menangkap, menjinjing , dan/atau menahan kapal dan/atau orang yang disangka melakukan tindak pidana di bidang perikanan; 6). Memeriksan kelengkapan dan keabsahan dokumen perjuangan perikanan; 7). memotret tersangka dan/atau barang bukti tindak pidana di bidang perikanan; 8). mendatangkan ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan tindak kriminal di bidang perikanan; 9). membuat dan menandatangani informasi acara pemeriksaan; 10). melakukan penyitaan kepada barang bukti yang dipakai dan/atau hasil tindakan melawan hukum; 11). melaksanakan penghentian penyidikan; dan 12). menyelenggarakan langkah-langkah lain yang berdasarkan aturan dapat dipertanggungjawabkan.
Proses Penanganan Tindak Pidana Perikanan
Kewenangan PPNS Perikanan yang dikontrol dalam UU Perikanan ialah lex specialis derogat legi generalis, salah satu asas hukum, yang mengandung makna bahwa hukum hukum yang khusus akan mengesampingkan aturan aturan yang biasa. Dalam pelaksanaan peran dan kewenangan penyidik, Ditjen PSDKP lalu menetapkan Keputusan Dirjen PSDKP No.372/DJ-PSDKP/2011, tanggal 29 Desember 2011 tentang Petunjuk Teknis Penyidikan Tindak Pidana Perikanan.
|
Diagram 1 Alur Penanganan Tindak Pidana Perikanan
|
Diagram 2 menawarkan alur proses penyidikan dari terbitnya Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) hingga dengan penyerahan tersangka dan barang bukti terhadap Jaksa Penuntut Umum, dalam penyelenggaraan tahapan proses penyidikan tindak pidana perikanan, asas-asas yang mampu dipakai, yakni Legalitas, yaitu setiap tindakan PPNS Perikanan senantiasa menurut peraturan perundang-usul; Kepastian hukum, yaitu setiap tindakan PPNS Perikanan dikerjakan untuk menjamin tegaknya aturan dan keadilan; Kepentingan biasa , ialah setiap penyidik PPNS Perikanan lebih memprioritaskan kepentingan umum dibandingkan dengan kepentingan eksklusif dan/atau kalangan; Akuntabilitas, yakni setiap PPNS Perikanan mampu mempertanggungjawabkan tindakannya secara yuridis, manajemen dan teknis; Transparansi, ialah setiap langkah-langkah PPNS Perikanan mengamati asas keterbukaan dan bersifat informatif bagi pihak-pihak terkait; Efektivitas dan efisiensi waktu penyidikan, yakni dalam proses penyidikan, setiap PPNS Perikanan wajib menjunjung tinggi efektivitas dan efisiensi waktu penyidikan sebagaimana dikelola dalam peraturan ini; dan Kredibilitas, yaitu setiap PPNS Perikanan mempunyai kesanggupan dan keahlian yang prima dalam melaksanakan tugas penyidikan.
Proses penyampaian hasil penyidikan ke penuntut umum paling usang 30 (tiga puluh) hari semenjak pemberitahuan dimulainya penyidikan, hal ini sejalan untuk mendukung planning strategis Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2015-2019 yaitu terselenggaranya pengendalian dan pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan yang partisipatif, dengan salah satu indikator kinerja Direktorat Penanganan Pelanggaran yakni persentase penyelesaian tindakan melawan hukum perikanan secara akuntabel dan
sempurna waktu.
Peranan PPNS Perikanan Dalam Penanganan Tindak Pidana Perikanan
Pada tahun 2012 Lembaga Ilmu Pengatahuan Indonesia menyelenggarakan riset perihal peranan PPNS Perikanan (Jurnal Widyariset, Volume 17, April 2014) disimpulkan pelaksanaan kewenangan PPNS Perikanan dalam proses penyidikan mengalami aneka macam kendala terkait masalah kerjasama dengan aparat penegak hukum dan juga sarana prasarana serta pemberian sumber daya yang dimiliki.
Selama ini lingkup peran dan tanggung jawab PPNS Perikanan dalam tata cara penegakan hukum di Indonesia menyisakan banyak problem, tidak saja terkait adanya tiga institusi yang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan atas sebuah tindak pidana perikanan, tetapi juga masih terdapatnya tumpang tindih kewenangan penyidikan antara beberapa institusi. Akibatnya, antar institusi penyidik timbul kesan kurang terjalin koordinasi dan sinergitas yang dapat memiliki dampak pada berkurangnya dapat dipercaya institusi penegak hukum dimata masyarakat. Permasalahan sebagaimana disimpulkan di atas tentunya akan terus berlanjut bila tidak secepatnya ditemukan jalan keluarnya, dan yang lebih mengkhawatirkan ialah terancamnya rasa keadilan masyarakat. Hanya alasannya adalah muncul perilaku ego sektoral di antara masing-masing intitusi penegak aturan, rasa keadilan masyarakat yang sebaiknya dijunjung tinggi harus dikorbankan. Hal ini yang menjadi masalah klasik pada proses penegakan hukum di bidang perikanan alasannya adanya tiga penyidik yang berwenang.
Namun masalah ini telah dieliminir dengan telah ditandatanganinya Piagam Kesepakatan Bersama (PKB) antara KKP dengan TNI AL dan Polisi Republik Indonesia pada tanggal 30 Desember 2015. Piagam Kesepakatan Bersama ini disusun selaku aliran bagi Penyidik dalam rangka penegakan hukum tindakan melawan hukum perikanan dan tujuannya yakni untuk menjamin keseragaman teladan tindak dan kepastian hukum dalam penanganan tindakan melawan hukum perikanan, adapun rduit lingkup PKB ini mencakup penegakan aturan dan pertukaran data dan berita.
PKB ini merupakan produk dari Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana Perikanan (Forkor Penanganan TPP) di tingkat pusat, wadah koordinasi ini tidak hanya di tingkat sentra tetapi juga di tempat yang ialah amanat Pasal 73 ayat (5) UU Perikanan, tujuan terbentuknya forum kerjasama ini untuk memperlancar komunikasi serta tukar menukar data, info, dan hal-hal lain yang diperlukan dalam rangka efektifitas dan efisiensi penanganan tindak kriminal perikanan secara terpadu, yang dimaksudkan untuk optimalisasi penanganan dan kesuksesan proses hukum masalah di bidang perikanan lewat wadah kolaborasi antar pegawapemerintah penegak hukum. Kerja sama antar pegawapemerintah penegak aturan (penyidik, penuntut umum, dan hakim) mempunyai peran penting dalam mencapai maksud dan tujuan tersebut di atas mengenang tata cara peradilan yang berlaku di Indonesia ialah Integrated Criminal Justice System. Forkor Penanganan TPP beranggotakan Kementerian Kelautan dan Perikanan, TNI-AL, Polisi Republik Indonesia, Kejaksaan Agung, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Perhubungan, Kementerian Keuangan, Kementerian Ketanagakerjaan, Kementerian Luar Negeri dan Mahkamah Agung.
Dalam hal operasi penegakan hukum tindak pidana perikanan dibentuk Satuan Tugas Pemberantasan Ikan Secara Ilegal atau yang dikenal dengan istilah Satgas 115 berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 115 Tahun 2015. Wadah yang beranggotakan bagian dari KKP, Tentara Nasional Indonesia AL, Polisi Republik Indonesia, Bakamla dan Kejaksaan Agung ini bertugas menyebarkan dan melakukan operasi penegakan hukum dalam upaya pemberantasan penangkapan ikan secara ilegal di kawasan laut yurisdiksi Indonesia secara efektif dan efisien, tergolong pula peran Satgas mencakup acara perikanan yang tidak dilaporkan (unreported fishing).
Untuk persoalan sarana prasarana PPNS Perikanan, tiga tahun terakhir Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (Ditjen PSDKP) mendapatkan alokasi anggaran yang sangat besar terutama dalam penguatan sarana prasarana dalam melaksanakan pengawasan kelautan dan perikanan hal ini untuk pemantauan operasi kapal perikanan lewat sistem pemantuan terintegrasi antara Pusat Pengendali (Pusdal), Unit Pelaksana Teknis (UPT) PSDKP, Kapal Pengawas, sampai Surat Keterangan Aktivasi Transmiter (SKAT) Vessel Monitoring System. Dengan adanya sarana prasarana ini mampu digunakan untuk kepentingan investigasi pendahuluan selaku isyarat /berita bahkan dapat saja menjadi bukti awal yang cukup. Disamping itu masalah mengenai ongkos penyidikan mencakup gaji penyidik, penerjemah dan saksi jago, yang biaya pemberkasan masalah diserahkan terhadap Penyidik sesudah berkas kasus dinyatakan lengkap oleh Jaksa Penuntut Umum (Proses P21) atau pada saat diterbitkannya Surat Penghentian Penyidikan (SP3) hal ini untuk mengukur tingkat kesuksesan penyidikan. Telah dialokasikan pula anggaran untuk ongkos penanganan awak kapal perikanan yang ditahan, ongkos ini diserahkan kepada penyidik pada dikala proses penyidikan dengan mengkalkulasikan jumlah awak kapal perikanan yang ditahan dan dikalikan maksimal 30 (tiga puluh) hari kala tahanan. Untuk biaya penanganan barang bukti diserahkan juga pada saat proses penyidikan dengan mengkalkulasikan hari kala penyidikan sesuai dengan Standar Biaya Khusus.
Permasalahan lainnya perihal imbas pemberlakuan UU Nomor 23 Tahun 2014 perihal Pemerintahan Daerah, terdapat polemik mengenai tidak adanya lagi kewenangan pemerintah kabupaten/kota atas problem pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan untuk jarak 4 mil laut, pengawasan ini diserahkan terhadap pemerintah provinsi. Hal ini berimbas tidak terlembaganya PPNS Perikanan pemerintah kabupaten/kota dalam Satuan Tugas Pelaksana Daerah (SKPD), untuk menanggulangi hal ini maka tugas pemerintah provinsi sungguh diharapkan untuk memberdayakan PPNS Perikanan di pemerintah kabupaten/kota dengan melaksanakan acara pengawasan di kabupaten/kota.
PPNS Perikanan yang tersebar di seluruh Indonesia hingga ketika ini berjumlah 540 orang (Tabel 1), menurut hasil penelitian LIPI jumlah personil PPNS Perikanan ini belum signifikan untuk penanganan perkara tindak pidana perikanan disertakan pula dengan jumlah kawasan perairan Indonesia yang lebih dari 3.500.000 KM2.
Tabel 1 : Jumlah PPNS Perikanan
No
|
Unit Kerja
|
Jumlah
|
1
|
Pusat (Kementerian Kelautan dan Perikanan)
|
91
|
2
|
UPT Ditjen PSDKP
|
169
|
3
|
Dinas Kelautan dan Perikanan
|
280
|
TOTAL
|
540
|
Sumber : Direktorat Penanganan Pelanggaran
Tabel 2 : Sebaran PPNS pada UPT Ditjen PSDKP Tahun 2016
No
|
Unit Kerja
|
Jumlah
|
1
|
Pangkalan PSDKP Jakarta
|
60
|
2
|
Pangkalan PSDKP Bitung
|
35
|
3
|
Stasiun PSDKP Pontianak
|
30
|
4
|
Stasiun PSDKP Belawan
|
26
|
5
|
Stasiun PSDKP Tual
|
18
|
TOTAL
|
169
|
Sumber : Direktorat Penanganan Pelanggaran
Berdasarkan data diatas sebaran PPNS Perikanan di Indonesia tidak merata di seluruh Unit Pelaksana Teknis (UPT) dan Satuan Pengawas (Satwas) dan Dinas Kelautan dan Perikanan, hal ini ditambah pula dengan kewenangan lingkup wilayah kerja yang dimiliki PPNS Perikanan. Untuk mengatasi hal ini maka Ditjen PSDKP melakukan perubahan kawasan kerja PPNS Perikanan, untuk PPNS Perikanan Kota/Kabupaten dinaikkan wilayah kerjanya hingga tingkat provinsi, PPNS Pusat dan UPT wilayah kerjanya meliputi seluruh Indonesia.
Penghitungan jumlah ideal PPNS Perikanan hingga dikala ini belum dikeluarkan oleh Ditjen PSDKP, penulis mengasumsikan jumlah penyidik yang ideal berbanding lurus dengan jumlah unit kerja yang tersebar atau luas wilayah perairan, baik itu unit kerja dari Ditjen PSDKP dan unit kerja dari Dinas Kelautan dan Perikanan. Untuk Ditjen PSDKP telah terbentuk 14 UPT PSDKP dan 58 Satwas PSDKP, selain itu dapat juga dengan menyaksikan jumlah ideal PPNS Perikanan berbanding lurus dengan jumlah masalah yang dikerjakan atau tingkat kerawanan tindak kriminal perikanan. Adapun masalah yang ditangani PPNS Perikanan dalam abad waktu tiga terakhir dapat dilihat dalam Tabel 4.
Tabel diatas menawarkan semenjak Susi Pudjiastuti menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, PPNS Perikanan kian banyak menanggulangi kasus tindakan melawan hukum perikanan, hal ini dikarenakan dengan bertambahnya armada Kapal Pengawas dan dilaksanakannya diklat rekrutmen PPNS Perikanan setiap tahun serta dilaksanakannya pelatihan kenaikan kapasitas PPNS Perikanan berupa Pelatihan Teknik Pengungkapan Kasus, Temu Teknis Aparat Penegak Hukum Perikanan, dan juga Temu Koordinasi PPNS Perikanan yang menjadi cikal bakal terbentuknya Asosiasi PPNS Perikanan selaku wadah pemersatu yang bermaksud memajukan profesionalisme, membentuk jaringan komunikasi dan kenaikan kinerja PPNS Perikanan. Dengan aneka macam pelaksanaan aktivitas capacity building dibutuhkan memajukan mutu PPNS Perikanan yang memiliki kesanggupan khusus, karena kasus tindak pidana perikanan masuk klasifikasi pidana khusus bukan pidana biasa.
Untuk masalah yang telah dikerjakan oleh PPNS Perikanan mencakup penggunaan alat tangkap terlarang, penangkapan ikan yang dilindungi, modifikasi kapal perikanan secara ilegal, memakai nakhoda dan ABK Asing, Transhipment, dan pemboman ikan. Adapun masalah-perkara yang mendapatkan atensi publik yang ditangani oleh PPNS Perikanan yakni kasus penyelundupan benih lobster ke Vietnam, masalah perkara Kapal Silver Sea berbendera Thailand, masalah Kapal Gui Bei Yu berbendera Tiongkok, dan perkara PT. PBR di Benjina yang sudah menjadi perhatian internasional.
Kasus penyelundupan benih lobster sebanyak 2.116 ekor ke Vietnam di Lombok yang dijalankan warga negara Taiwan kasusnya telah berkekuatan aturan tetap (inkracht) dengan vonis 3,5 tahun penjara dan denda 1 miliar. Kasus kapal Silver Sea 2 yang ditangkap oleh TNI AL pada 12 Agustus 2015 kemudian diserahkan oleh PPNS Perikanan atas prasangka transhipment dikala ini sementara dalam proses penyidikan. Kasus Kapal Gui Bei Yu 10078 yang tidak memiliki dokumen penangkapan dan memakai alat tangkap terlarang sudah memasuki proses banding. Sedangkan masalah PT. PBR di Benjina yang mempunyai 52 Kapal Ikan merupakan tantangan besar bagi PPNS Perikanan, alasannya adalah perkara ini terbongkar sehabis adanya praktek perbudakan, selain itu diperlukan lewat penanganan perkara PT. PBR Benjina mampu menjadi pintu gerbang untuk menangani tindak kriminal perikanan yang dikerjakan oleh korporasi.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas penulis mampu menyimpulkan PPNS Perikanan menjadi pilar penegakan hukum tindak pidana perikanan dalam upaya mengusung misi KKP yakni kedaulatan, keberlanjutan dan kemakmuran dengan melihat rekapitulasi data banyaknya kasus yang ditangani oleh PPNS Perikanan. Untuk persoalan tentang kerjasama antar penyidik sudah dieliminir dengan penandatanganan PKB antara KKP dengan Tentara Nasional Indonesia AL dan Polri, serta sudah dibentuknya dua wadah koordinasi adalah Forkor Penanganan TPP dan Satgas 115. Permasalahan fasilitas dan prasarana telah cukup teratasi dengan berbagai anggaran yang tersedia. Sedangkan permasalahan minimnya tenaga PPNS Perikanan, sulit untuk mengukur hal ini sebab tidak adanya data jumlah ideal tenaga PPNS Perikanan yang dikeluarkan oleh Ditjen. PSDKP KKP namun dengan 540 PPNS Perikanan yang ada diperlukan mampu diberikan banyak sekali macam pembinaan untuk peningkatan kualitas PPNS Perikanan, contohnya Pelatihan Teknik Pengungkapan Kasus Destructive Fishing (Scientific Investigation Crime) atau Pelatihan Diklat Intelijen Dasar hal ini dengan melihat adanya tahapan pemeriksaan pendahuluan sebelum penyidikan.
Jakarta, 6 Februari 2017
Sherief Maronie, SH. MH.
Analis Hukum pada Direktorat Penanganan Pelanggaran Ditjen PSDKP, KKP
* goresan pena ini mampu juga dilihat pada http://www.djpsdkp.kkp.go.id