Penerapan Ketentuan Pelepasan Segera (Prompt Release) Kapal Dan Awak Kapal Pelaku Lllegal Fishing Di Zona Ekonomi Langsung Indonesia

Tulisan ini sebagian dikutip dari paparan narasumber dan Term of Reference (ToR) aktivitas Focus Group Discussion Penerapan Ketentuan Pelepasan Segera Kapal dan Awak Kapal Pelaku Illegal Fishng di ZEE Indonesia yang dijalankan oleh Direktorat Jenderal Pengwasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan pada hari Kamis tanggal 10 September 2020 di Hotel Hyatt Yogyakarta. ToR pada acara dimaksud mulanya disusun oleh saya sendiri bareng Ratih Seftiariski lalu diubah oleh tim pelaksana yang lain. Untuk itu kutipan dari ToR tidak secara utuh masuk dalam tulisan ini.

Direktorat Penanganan Pelanggaran Ditjen PSDKP mencatat bahwa dari tahun 2015 hingga dengan 6 Agustus 2020 sudah terjadi kegiatan IUU Fishing yang dilaksanakan oleh 368 kapal berbendera asing, diantaranya Vietnam, Thailand, Filipina, China, Timor Leste, Taiwan dan Panama. Beberapa peristiwa konflik terjadi saat proses penangkapan kapal-kapal ikan gila di beberapa wilayah perbatasan Indonesia dengan negara-negara tetangga. Sejumlah praktek illegal fishing dan insiden dimaksud menawarkan efek terhadap keadaan keamanan di perairan. Oleh hasilnya, diperlukan tindakan strategis, yang cocok dengan peraturan perundangan nasional maupun aturan internasional tanpa mengabaikan kepentingan penegakan hukum dalam rangka menerapkan praktek perikanan yang bertanggungjawab dan keberlanjutan sumber daya.

Indonesia sudah meratifikasi UNCLOS 1982 lewat UU Nomor 17 Tahun 1985. Sejak saat itu, Indonesia resmi tunduk pada rezim UNCLOS 1982. Sebagai negara pantai, penegakan IUU Fishing berjalan di kawasan perairan kedaulatan Indonesia dan wilayah dengan hak berdaulat, ialah Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Sebagaimana ditetapkan pada Pasal 73 UNCLOS 1982, di wilayah ZEE atau daerah dengan hak berdaulat, negara pantai berhak melaksanakan pemeriksaan diatas kapal, menangkap dan melakukan proses proses pengadilan atas kapal tersebut dan memberitahu negara bendera kapal. Namun awak kapal harus secepatnya dibebaskan dengan penyerahan duit jaminan yang pantas (Reasonable Bond) terhadap negara pantai dan terhadap awak kapal tersebut tidak diperkenankan dikenakan hukuman kurungan badan. Prosedur pelepasan dimaksud selanjutnya dikelola pada Pasal 292 UNCLOS bahwa cuma negara bendera kapal yang mampu mengajukan permohonan prompt release. Selain menetapkan mengenai persyaratan duit jaminan atau jaminan keuangan lainnya harus “layak/reasonable” juga menawarkan isyarat bila didapatkan adanya perselisihan dalam penetapan uang jaminan diantara kedua negara maka mampu mengajukan ke mahkamah internasional. Prosedur pelepasan juga mesti segera diproses sehabis diterima permohonannya tanpa meminimalisir kepentingan kepada kasus itu sendiri di hadapan forum domestik atas kapal dan awaknya.

Hukum nasional Indonesia juga mengontrol tentang permohonan pembebasan kapal dan awak kapal negara asing pelaku tindakan melawan hukum di daerah ZEEI. Pasal 104 UU Perikanan menetapkan pengajuan permohonan pembebasan kapal dan awak kapal negara gila dengan penyerahan uang jaminan yang layak mampu dijalankan setiap ketika sebelum ada keputusan dari pengadilan perikanan dan ditetapkan oleh pengadilan perikanan. Sementara aturan pada ayat (2) menetapkan bahwa benda dan/atau alat yang dipergunakan dalam dan/atau yang dihasilkan dari tindak kriminal perikanan dapat dirampas untuk negara. Penjelasan UU Perikanan atas sejumlah uang jaminan yang layak” yaitu penetapan besar uang jaminan yang diputuskan menurut harga kapal, alat perlengkapan kapal dan hasil dari kegiatannya, ditambah besarnya jumlah denda maksimum. Terhadap benda dan/atau alat” diterangkan, antara lain sebagai  alat penangkapan ikan, ikan tangkapan, kapal yang dipakai untuk menangkap ikan dan/atau mengangkut ikan, dan lain-lain.

Prompt release atau pelepasan segera kapal dan awak kapal pelaku illegal fishing di Indonesia belum pernah dipraktekkan dikarenakan sampai sekarang belum pernah ada negara yang mengajukan permohonan tersebut. Sebagaimana hal dimaksud juga dikontrol dalam hukum nasional Indonesia UU Perikanan, Indonesia memiliki potensi untuk mendapatkan reasonable bond dan dapat menjadi solusi kepada penanganan pelanggaran dari kapal ajaib yang melakukan praktek IUU Fishing di area ZEEI. Pertemuan Rapat Koordinasi Teknis Penanganan Tindak Pidana Perikanan, tanggal 27 – 30 Juli di Serpong mengemukakan sesungguhnya adanya kesesuaian antara aturan Internasional dan hukum nasional sehingga memungkinkan adanya penerapan Prompt Release atau pelepasan segera. Namun perlu adanya kesepahaman pandangan dan pengaturan lebih lanjut kepada beberapa persoalan yang mampu menjadi hambatan dalam penerapan penanganan hukum berikutnya.

Beberapa persoalan kepada penerapan aturan UNCLOS diantaranya tidak diberikan rincian kepada nilai jaminan yang dikategorikan selaku layak/reasonable. Kasus Volga dan Hoshinmaru merupakan beberapa teladan kasus, dimana Mahkamah Hukum Laut Internasional (ITLOS) memutuskan bahwa nilai jaminan yang patut meliputi  nilai  kapal, bahan bakar, pelumas dan perlengkapan penangkap ikan. Terhadap nilai jaminan kepada tindak pidana pelaku/awak kapal gila dan peluangjaminan atas pelanggaran lainnya pada kedua perkara tersebut ditentukan sebagai nilai jaminan yang unreasonable.

UU Perikanan mengendalikan pelanggaran IUU Fishing sebagai tindakan melawan hukum bukan sekedar masalah administrasi pengelolaan yang bersifat administratif. Oleh karenanya, dibutuhkan justifikasi kepada beberapa hal penting secara komprehensif, diantaranya (1) keberlanjutan proses hukum atas perkara pidana kepada kapal dan awak kapal berbendera abnormal sesudah bond/jaminan tersebut ditetapkan dan dibayarkan; (2) keberlanjutan perkara penyidikan dengan tidak adanya pelaku untuk diperiksa pada tahap penyidikan dan/atau tahapan selanjutnya karena pelepasan pelaku sebagai imbas prompt release kepada eksistensi awak kapal ajaib; (3) imbas pembayaran jaminan, adalah pelepasan barang bukti berbentukkapal perikanan, bila keputusan pengadilan dinyatakan barang dirampas untuk negara atau dimusnahkan; (4) pengaruh jaminan kepada awak kapal abnormal jika dalam keputusan pengadilan pelaku ditetapkan bersalah dan diwajibkan membayarkan sejumlah denda sementara beberapa masalah yang ditetapkan ITLOS, jaminan kepada pelaku dinilai unreasonable. Secara administratif, beberapa hukum pelaksanaan, adalah antara lain (1) prosedur permintaan pembebasan; (2) prosedur penetapan uang jaminan; dan juga  (3) lembaga penilai besaran nilai jaminan belum teridentifikasi secara terang. Secara hubungan internasional, diperlukan kejelasan kepada (1) kewajaran jika Indonesia memperlihatkan penawaran prompt release secara aktif lewat notice, sesuai pasal 73 ayat (4) UNCLOS dan (2) tanggung jawan negara bendera kepada dampak prompt release jika keputusan pengadilan menetapkan bahwa awak kapal dikenakan hukuman denda dan barang bukti berbentukkapal dirampas untuk negara atau dimusnahkan.

  Dasar Hukum Pidana Indonesia; Bagaimana Nasib Ruu Kuhp Dan Kuhap?

Beberapa persoalan yang dikemukakan di atas, sebanarnya hal yang paling utama ialah masih terdapat keragu-raguan dan perbedaan penafsiran wacana pelaksanaan prosedur prompt release. Terkait perbedaan penafsiran, setidaknya terdapat 2 (dua) pertimbangan adalah:

  1. Mekanisme prompt release tidak menghentikan proses penyidikan dan penuntutan pidana yang sedang atau akan dilaksanakan sebab kata yang digunakan dalam Pasal 104 ayat (1) yaitu jaminan sehingga artinya proses perkara tetap berlanjut; atau
  2. Dengan dikerjakan mekanisme prompt release proses penyidikan dan penuntutan pidana yang sedang atau akan dijalankan mesti dilarang untuk membuat kepastian aturan.

Perbedaan pertimbangan ini bukannya tidak berdalih, dalam diskusi akademis internasional mampu kita temui dua pendapat ialah pendapat yang mendukung implementasi prompt release dengan alasan bahwa prosedur ini ialah penyelesaian terbaik (win win solution) bagi kepentingan negara pantai yang menghendaki hukuman dan kepentingan negara bendera yang menghendaki semoga kapal dan awak kapal dapat secepatnya dilepaskan. Terlebih disokong dengan argumentasi bahwa ZEE ialah kawasan maritim lepas dimana Negara pantai hanya memiliki hak langsung, dan bukan hak otoriter untuk berdaulat. Di segi lain ada pendapat dari kalangan akademisi yang tidak oke dengan ketentuan prompt release dengan argumentasi ketentuan ini melemahkan kewenangan dan proses penegakan hukum kepada pelaku illegal fishing di ZEE.

Dari kedua usulan tersebut tidak heran kalau pada jadinya mengakibatkan penafsiran dan implementasi yang berlainan-beda di beberapa Negara. Sebagai contoh Prancis, Rusia, dan Brazil masih menerapkan pertanggungjawaban pidana terkait illegal fishing di ZEE, sedangkan Amerika Serikat dan Kanada sudah menerapkan solusi pertanggungjawaban kerugian (civil liability) dalam jenis perkara yang sama.[1]

Indonesia perlu mengantisipasi pembangunan sektor perikanan yang sedang gencar dilakukan oleh Negara tetangga mirip Thailand dan Vietnam yang secara lekat mendapatkan asistensi dari Uni Eropa. Pembangunan tersebut tidak menutup kemungkinan bahwa dikemudian hari, Thailand dan Vietnam akan mengajukan gugatan terhadap ITLOS bila Indonesia masih gelagapan dalam menerapkan ketentuan prompt release terkait kapal-kapal kedua Negara tersebut yang tertangkap oleh pegawapemerintah Indonesia di ZEEI.

Ketentuan terkait prompt release dalam Pasal 104 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 wacana Perikanan dan Angka 5 SEMA No. 3 Tahun 2007 ihwal Petunjuk Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan masih mampu dibaca selaku sebuah proses pidana yang tetap berlanjut. Hal ini tentu akan menimbulkan ketidakpastian aturan dan kesulitan dalam implementasinya. Salah satunya ialah untuk mendatangkan kembali para tersangka dan barang bukti yang notabene telah keluar wilayah Indonesia.

Ketentuan terkait prompt release dalam Pasal 104 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan Angka 5 SEMA No. 3 Tahun 2007 perihal Petunjuk Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 wacana Perikanan masih dapat dibaca selaku suatu proses pidana yang tetap berlanjut. Hal ini tentu akan mengakibatkan ketidakpastian hukum dan kesulitan dalam implementasinya. Salah satunya yakni untuk mendatangkan kembali para tersangka dan barang bukti yang notabene telah keluar wilayah Indonesia.

Di satu segi, selama ini penegakan aturan kepada kapal ikan asing yang melaksanakan illegal fishing di ZEEI cenderung kurang efektif dan efisien dikarenakan secara fakta dari sanksi pidana denda yang ditentukan oleh pengadilan, sangat kecil sekali yang dibayarkan oleh pelaku yang notabene hanya ialah nelayan/pekerja. Kondisi ini diperburuk dengan tidak dibolehkannya pengenaan sanksi badan berbentukpenjara maupun kurungan pengganti denda. Pun bila hukuman penjara/kurungan pengganti denda dibolehkan, bukan bermakna akan memajukan efektifitas dari proses hukum pidana tersebut alasannya adalah denda tetap tidak dibayarkan dan negara malah mesti membiayai makan dan kebutuhan para terpidana abnormal tersebut selama dalam penjara/kurungan.

Tidak hanya hingga di situ, masalah dan beban bagi anggaran Negara juga ditimbulkan dari biaya perawatan kapal ikan aneh pelaku illegal fishing selama menjadi barang bukti. Kemudian, sehabis diperoleh putusan yang menyatakan kapal-kapal tersebut dirampas untuk Negara, beban bagi anggaran Negara juga masih akan sungguh banyak ditimbulkan dari upaya eksekusi berupa penenggelaman/pemusnahan, atau malah mengakibatkan masalah gres terkait diskursus apakah kapal-kapal tersebut betul-betul akan menenteng manfaat jika dihibahkan atau justru akan kembali terhadap pemilik semula.

Penggunaan istilah “jaminan” sangat berperan besar untuk ditafsirkan bahwa proses aturan pidana tetap terus berlanjut. Padahal dari beberapa putusan the International Tribunal for the Law of the Sea (ITLOS) Negara pantai wajib melepaskan kapal dan crewnya segera sesudah “reasonable bond yang ditetapkan oleh ITLOS dibayarkan. Hal ini mendorong beberapa akademisi untuk menerjemahkan ungkapan “bond” dalam konteks prompt release dengan perumpamaan kompensasi. Para akademisi tersebut beropini bahwa terkait prosedur prompt release, ITLOS sudah mengganti penerapan tanggung jawab pidana (criminal liability) menjadi tanggung jawab kerugian (civil liability).[2] 

  Video Pengejaran Kapal Ikan Abnormal Asal Taiwan Oleh Kapal Pengawas Perikanan Hiu 4

Berdasarkan keadaan tersebut di atas, prosedur prompt release di Indonesia mesti ditentukan tidak lalu menciptakan duduk perkara gres berbentukketidakpastian aturan. Dalam rangka pelaksanaan prosedur prompt release yang menciptakan kepastian aturan dan menghadirkan manfaat yang lebih besar bagi Indonesia, perlu digali kemungkinan untuk memandang dan menyetujui bahwa mekanisme prompt release ialah penyelesaian kasus untuk mengubah kerugian balasan langkah-langkah illegal fishing yang dijalankan oleh kapal aneh.

Dalam rangka menggali kemungkinan tersebut, diperlukan pertimbangan mahir dan praktisi yang berkompeten di bidang Hukum Internasional, Hukum Laut Internasional, Hukum Pertanggungjawaban ganti kerugian dan Hukum Pidana untuk mampu memperlihatkan wawasan dan pandangan serta klasifikasi terhadap tindakan berikutnya untuk penerapan ketentuan pelepasan segera kapal dan awak kapal pelaku illegal fishing di zona ekonomi ekslusif indonesia (prompt release).

Padangan Narasumber pada ketika Pelaksanaan FGD Prompt Release

Prof. Rokhmin Dahuri                                                                                                                 

(Judul Paparan : Potensi Pemanafaatan Hasil Prompt Release Bagi Kesejahteraan Masyarakat Kelautan dan Perkanan)

  • Dengan banyaknya jumlah Kapal Ikan Asing (KIA) yang melaksanakan IUU fishing dan tertangkap di wilayah ZEEI (lebih dari 50 KIA per tahun), terutama KIA asal Vietnam, Malaysia, Filipina, dan Thailand, Indonesia berpotensi menemukan duit jaminan yang pantas (Reasonable Bond) dari negara-negara tersebut.
  • Besaran reasonable bond yang ditetapkan harus memperhitungkan: (1) nilai jual ikan hasil IUU fishing; (2) nilai harga kapal; (3) nilai bahan bakar dan pelumas; (4) nilai peralatan penangkap ikan; serta (5) denda bagi nakhoda/pemilik.
  • Uang hasil dari bond mampu dianggap sebagai PNBP dari sektor KP, yang 50% mampu dipakai eksklusif untuk peningkatan kemakmuran nelayan (kapal, alat tangkap, dan DIKLATLUH) dan kesejahteraan pegawanegeri penegak hukum.

Prof. Hikmahanto Juwana, SH., LL.M., PH.D.                                                                   

(Judul Paparan : Prompt Release Dalam Perspektif Hukum Internasional)

Apa yang dimaksud dengan bond or other security

  • Menurut Black’s Law Dictionary maka yang dimaksud Bond salah satunya yaitu asigned promise to pay an amount to do something on a date
  • Sementara Security salah satunya yakni assurance
  • Dalam aturan yang berlaku di Amerika Serikat ada istilah Bail yang mungkin dapat diartikan mirip dengan Bond atau Security
  • Bail menurut Findlaw adalah:

    1. In some cases, a written promise to appear in court isn’t enough, and the courtwill want a financial guarantee that you will appear in court.
    2. Bail is a process by which you pay a set amount of money to obtain your release from police custody. As part of your release, you promise to appear in court for all of your scheduled criminal proceedings
    3. If you show up to court as promised, the bail amount will be returned. If not, you will be subject to arrest and you will forfeit the bail amount.

Konteks Prompt Release di Indonesia bagi Kapal Berbendera Asing

  • Bond or other security dimaknai dalam aturan Indonesia sebagai jaminan
  • Di Indonesia dalam aturan program pidana tidak ada jaminan untuk seseorang baik tersangka ataupun terdakwa berupa uang
  • Jaminan yang diberikan yaitu orang
  • Oleh karenanya apakah di Indonesia tidak mulai diperkenalkan jaminan dalam bentuk duit
  • Terkait jaminan berbentuk uang ini tidak mesti diputuskan oleh pengadilan, mampu saja oleh penyidik jika proses hukum masih dalam tahap penyidikan atau oleh pengadilan pada saat dalam proses penuntutan
  • Bila ternyata orang yang harus hadir ternyata tidak hadir maka uang jaminan akan menjadi milik negara dan orang tersebut tetap dikerjakan proses pencarian untuk ditangkap dan ditahan.

Alternatif Lain :

  • Alternatif lain ialah menyamakan bond or security sebagai pengenaan denda atas tindak pidana ringan (tipiring) dalam suatu pelanggaran, diantaranya pelanggaran STNK, SIM, rambu lalu lintas.
  • Bila melakukan penangkapan ikan secara ilegal maka kapal berbendera asing diwajibkan untuk membayar denda dalam jumlah yang besar kepada negara tanpa mesti menghadap ke lembaga peradilan dan setelah dilaksanakan pembayaran maka kapal dan anak buah kapal secepatnya dikembalikan (prompt release).

Dr. Arif Havas Oegroseno Hikmahanto Juwana, SH., MH.                                                  

(Judul Paparan : Memaham Kasus Prompt Release)

  • Yurisprudensi perkara-kasus utama prompt release, ITLOS telah menangani 9 kasus prompt release yang diajukan negara pihak selaku negara bendera atau mewakili negara pemilik kapal terhadap negara pihak selaku negara penahan kapal (detaining state).
  • Pasal 292 UNCLOS tidak hanya terkait kewenangan KKP, namun juga KLHK dan Kemhub (Ditjen Perla);
  • Pasal 292 hanya mengendalikan aspek-faktor reasonableness atau kepatutan suatu “bond atau other financial instruments“. ITLOS menghormati proses aturan nasional terkait substansi.
  • Pasal 292 cuma dapat digunakan oleh Negara Bendera. Namun tidak semua somasi dikabulkan dengan berbagai argumentasi, antara lain: terlambat menggugat atau tidak mempunyai legal standing.
  • Pasal 2 Rancangan Peraturan Pemerintah wacana Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada KKP : melanggar unclos 1982.
  • Kepastian hukum penerapan Pasal 292 sudah sangat terperinci cuma untuk penentuan jaminan, tidak mencampuri urusan substansi kasus, tidak ada kaitan dengan pembangunan sektor kelautan dan perikanan, tidak ada “klaim ketidakpastian aturan, Semua sudah niscaya dan terperinci, kecuali ada keinginan pihak tertentu untuk mengkaburkan suasana di Indonesia.
  • Pasal 292 tidak dapat dipakai untuk restorative justice karena :

    1. cuma pasal prosedural untuk menentukan apakah Negara Bendera memiliki legal standing, jenis dan besaran jaminan, dan tidak sama sekali membahas substansi perkara; dan
    2. Pasal ini tidak cuma terkait IUUF (kewenangan KKP) tetapi juga lingkungan maritim dan polusi bahari yang berada di luar kewenangan KKP, serta dikelola oleh Organisasi Internasional lain adalah IMO (yang mana KKP bukan anggota utusan Sidang IMO).

  • Pasal 292 sudah sungguh jelas dan tidak perlu dipertajam dalam aturan nasional Indonesia, terlebih dengan membuat UU atau PP atau Perpres atInpres atau peraturan pelaksanaan.
  • Gugatan Pasal 292 diajukan dalam perkara kapal-kapal modern dari baja denga nilai tinggi. Tidak ada somasi Pasal 292 atas kapal kayu ukuran kecil atau sedang mirip kapal-kapal Vietnam. Jaminan dalam Pasal 292 bernilai puluhan milyar rupiah.
  • Biaya berperkara di ITLOS sekitar USD 2-5 juta. Apakah Thailand dan Vietnam akan membayar biaya perkara sebesar ini per masalah untuk kapal-kapal kayu ? Dalam masalah Kapal Thailand yang yang dibuat dari besi Silver Sea 2, mengapa Thailand tidak menggugat prompt release di ITLOS ?
  • Di segi lain, negara penahan yang digugat umumnya hanya mengirimkan PNSnya saja dengan menggunakan ongkos yang sungguh sedikit (SPPD, gaji).
  • Dalam diskursus internasional mulai terdapat keraguan bahwa Indonesia akan bertindak tegas dalam IUUF di abad depan.
  • Salah satu ciri Indonesia di mata dunia bisnis dan penanam modal aneh yakni sering berganti aturan dan aturan.
  • Kini, kebijakan anti IUUF Indonesia terus dimonitor dunia selaku cerminan apakah Indonesia dapat menanggulangi IUUF dan juga membantu pelaksanaan SDG 14 Life Under Water (menghilangkan IUUF pada 2020).
  • Perubahan kebijakan tegas IUUF ke arah yang lebih lemah dalam bentuk memperbolehkan kapal abnormal mengambil ikan di Indonesia dan mengembalikan kapal pemilik IUUF tidak hanya akan merusak lingkungan Indonesia namun juga citra Indonesia secara keseluruhan.
  • Citra Indonesia secara keseluruhan tidak mampu dinilai dengan budget penegakan aturan APBN.
  • Analisa cost-benefit IUUF tidak dapat dijalankan secara simplistis adalah ongkos penegakan hukum. Analisa nya harus menghitung kerugian jasa lingkungan hidup.  Kasus dimana Indonesia harusnya aktif menggugat kerusakan lingkungan maritim (kapal pesiar menghancurkan Raja Ampat), sampai sekarang tidak ada kejelasan. Kasus ini masuk dalam Bab XII UNCLOS 1982.
  • Ketegasan Kebijakan IUUF sebuah negara dapat dilihat dari:
    1. Apakah mampu (able) menangkap kapal-kapal IUUF dari mana pun juga;
    2. Apakah bersedia (willing) menangkap kapal-kapal IUUF dari mana pun juga;
    3. Apakah akan menguras kapal IUUF untuk dihancurkan (Indonesia, Australia, Palau,  Fiji, AS) atau disita untuk dipakai negara atau dikembalikan ke pemilik kapal?
    4. Apakah secara kasatmata membantu pelaksanaan SDG 14 Life Under Water (menetralisir IUUF pada 2020).
  • Inisiatif Indonesia dalam global fisheries governance tidak tampaksama sekali.
  • Inisiatif pembentukan regional instrument to fight crimes in fisheries tampakredup.
  • KLHK dinilai mampu atasi deforestasi dan kebakaran gambut. Hal ini mendapatkan penghargaan dari dunia.
  • Quo Vadis KKP ?

Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, SH. M.Hum.                                                         

(Judul Paparan : Prompt Release dan Asas Pemberlakuan Pidana)

  • Jaminan dalam Pasal 292 UNCLOS juncto Pasal 104 Undang-Undang Perikanan pada hakikatnya hukuman yang dikenakan kepada Negara Berbendera Asing yang berada di kawasan pengelolaan periakanan Indonesia.
  • Jaminan tersebut merupakan subtitusi dari sanksi pidana yang tercantum dalam undang-undang a quo.
  • Jaminan tersebut mesti diserahkan kepada negara
  • Kapan pun jaminan itu dibayar, mesti dilakukan pelepasan saat itu juga kepada kapal selaku pengejawantahan sanksi pidana sebagai ultimum remidium
  • Jaminan tersebut berorientasi pada restoratif justice untuk dimanfaatkan oleh pihak yang terkena dampak dari pelanggaran tersebut.


[1] Al Hajjaji, Shams Al Din Ahmed. “Criminal Liability for Environmental Damage–National Courts Versus the International Tribunal for the Law of the Sea.” Groningen Journal of International Law 5.1 (2017). Footnote 1 dan 2.

[2] Ibid.