close

Pendekatan Teori Behavioural Dalam Pembelajaran

Pengantar

Sejumlah teori tentang pembelajaran sudah diajukan. Beberapa berevolusi dari desain atau teori-teori sebelumnya / pendahulu mereka. Meskipun beberapa teori berlainan dan beberapa saling tumpang tindih dalam formulasi mereka, formulasi tersebut secara luas diklasifikasikan sebagai behavioral/sikap dan kognitif. Kategori ketiga yang diakui ialah domain sosial-humanistik. Lainnya yaitu kombinasi dari rancangan dan prinsip yang ditemukan dalam sudut pandang behavioral/perilaku, kognitif, dan sosial. 

Psikolog yang mengikuti perkembangan teori Behavioristik percaya bahwa perilaku mesti diterangkan dengan pengalaman yang mampu diperhatikan, bukan oleh proses mental. Di segi lain, psikolog kognitif beropini bahwa proses mental memediasi antara tayangan stimulus dan langkah-langkah respons yang tepat dari sebuah organisme. 

Fig. Teacher smile (Source: google image) 

Bagi behavioris, perilaku yaitu segala sesuatu yang kita kerjakan yang mampu diamati. Misalnya, seorang anak mengikat tali sepatunya atau seorang guru tersenyum pada seorang siswa yang menolong menghapus papan tulis. 

  Fig. Student remember (Source: google image)

Proses mental meliputi pikiran, perasaan dan motif yang kita masing-masing alami namun tidak mampu diamati oleh orang lain. Meskipun mereka tidak mampu dilihat dengan mata telanjang, proses mental ini tidak kalah faktual. Contohnya adalah: seorang anak memikirkan cara untuk mengikat renda sepatunya, atau seorang guru merasa bahagia perihal seorang anak yang sangat menolong.

 Classical Conditioning / Pengkondisian Klasik

Pengondisian klasik terjadi saat seseorang membentuk perkumpulan mental antara dua rangsangan sehingga menghadapi satu rangsangan yang menciptakan orang berpikir wacana rangsangan yang lain. Orang-orang cenderung untuk membentuk korelasi-relasi mental ini antara rangsangan yang terjadi secara berbarengan atau menjadi bersahabat bareng dalam ruang dan waktu.

  Operant Conditioning / Pengkondisian Operant Dan Penerapannya Dalam Proses Pembelajaran

Dalam eksperimennya wacana pencernaan, mahir fisiologi Rusia Ivan Pavlov mengamati bahwa anjing-anjing di laboratoriumnya mulai mengeluarkan air liur cuma dengan menyaksikan penjaga, bahkan sebelum mereka mampu menyaksikan atau mencium aroma makanan yang hendak diberikan. 

Serangkaian eksperimennya mengarah pada formulasi Pengkondisian Klasik, yang menerima penghargaan Nobel Prize pada tahun 1904. Pengkondisian klasik yaitu jenis pembelajaran di mana suatu organisme belajar untuk menghubungkan atau mengasosiasikan rangsangan. Rangsangan (seperti pandangan seseorang) menjadi terkait dengan rangsangan yang bermakna (seperti masakan) dan memperoleh kapasitas untuk menemukan respons yang serupa ( Santrock 2001). Pengondisian klasik melibatkan dua jenis rangsangan dan dua jenis respons.

Stimulus tak Terkondisi / Unconditioned Stimulus ( US ) ialah sesuatu yang dengan sendirinya “secara alami” menghasilkan respons tanpa syarat / Unconditioned response ( UR ) tanpa pelatihan atau pembelajaran sebelumnya. Dalam eksperimen Pavlov, kuliner atau daging dianggap sebagai US. Air liur adalah respons tanpa syarat ( UR ) sebab merupakan reaksi alami atau otomatis terhadap kuliner, terutama bagi orang yang lapar. Jadi, setiap kali masakan disuguhkan, anjing mengeluarkan air liur.

Selanjutnya, Stimulus terkondisi / Conditioned Stimlus (CS) adalah sesuatu yang pada mulanya netral yang pada kesannya memunculkan respons terkondisikan setelah dikaitkan dengan stimulus tak terkondisi (makanan). Sebagai pola di sini adalah suatu bel, yang mana dianggap pada mulanya ialah stimulus netral,dan denngan percobaan yang serupa, terhadap perlakuan kepada seeokor anjing, pasti anjing tersebut tidak akan mengeluarkan air liur terhadap suara bel yang dihasilkan. Tetapi dengan pasangan yang beberapa kali, dimana kita membunyikan bel dengan menawarkan kuliner, bel akan mendapatkan karakteristik masakan, yakni menimbulkan air liur pada anjing.

Dengan demikian, bel menjadi stimulus terkondisi (CS) dan air liur anjing kepada bunyi bel ialah respon terkondisi / conditioned response (CR). Menurut Santrock , (2001) tanggapanterkondisi adalah tanggapandipelajari kepada stimulus terkondisi yang terjadi setelah adanya pasangan atau variasi antara US-CS. 

  Faktor-Faktor Yang Mensugesti Proses Pembelajaran Ditinjau Dari Faktor Pelajar, Guru, Dan Lingkungan

Jenis pembelajaran dengan pengondisian ini diilustrasikan sebagai berikut: 

Fig. Classical conditioning sim (source: google image)


 

Sebelum Pengkondisian

Stimulus Netral (bel ) —————– Respons (tidak ada air liur)              

         US (kuliner) ——————— UR (anjing mengeluarkan air liur)

 

Selama Pengkondisian

Stimulus netral (bel) + US (makanan ) ———— UR (air liur anjing)

 

 Setelah pengkondisian

                            CS (bel ) ——————— CR (air liur anjing)

 

Prinsip Pengkondisian Klasik

Pengondisian klasik melibatkan empat proses utama: akuisisi, generalisasi, diskriminasi, dan kepunahan.

 

1.    Perolehan(Acquisition)

Ini melibatkan pembelajaran awal dari respons terkondisi. Misalnya, anjing belajar mengeluarkan air liur ketika mendengar bunyi bel. Dua aspek penting yang mampu menghipnotis kecepatan pengkondisian selama fase akuisisi yaitu urutan dan waktu rangsangan. Pengkondisian terjadi paling cepat saat tanggapanterkondisi (bel) mendahului stimulus (masakan) tanpa syarat sekitar setengah detik. Jika interval waktu cukup lama atau bila masakan disuguhkan apalagi dahulu sebelum bel, pengondisian cenderung terjadi.

 

2.    Generalisasi (Generalization)

Ini melibatkan kecenderungan stimulus baru yang seperti dengan stimulus terkondisi orisinil untuk menghasilkan respons yang serupa. Dalam percobaan John Watson pada bayi yang bernama Albert, rasa takut pada tikus putih yang dikembangkan di Albert digeneralisasi ke binatang putih dan berbulu yang lain. Dengan cara yang sama, seorang siswa yang membuatkan rasa takut pada seorang guru pria setelah peristiwa yang memalukan nantinya mungkin takut pada semua guru yang berjenis kelamin laki-laki (general)

 

3.   Diskriminasi (Discrimination)

Berbeda dengan generalisasi, dalam diskriminasi, seorang individu belajar untuk menghasilkan respons terkondisi kepada satu stimulus namun tidak terhadap stimulus lain yang sama. Misalnya, seorang anak mungkin menawarkan respons panik kepada anjing-anjing hitam besar yang berkeliaran di halaman, tetapi tidak pada anjing – anjing yang ada di dalam sangkar. Intinya disini diskriminasi kepada anjing-anjing hitam.

  Ruang Lingkup Psikologi Pendidikan

4. Kepunahan (Extintcion)

Respons terkondisi (air liur) dapat dihilangkan atau dilemahkan dengan beberapa kali mendatangkan stimulus terkondisi (bel), tanpa stimulus tanpa syarat (kuliner). Dengan demikian, bel kehilangan kapasitasnya untuk mendapatkan respons terkondisi (air liur).

5. Pemulihan Spontan (Spontaneus Recovery)

Respons yang sudah dipelajari dan kemudian padam mampu timbul kembali secara impulsif saat stimulus terkondisikan kembali disuguhkan. Pemulihan impulsif menawarkan bahwa pembelajaran tidak hilang secara permanen. 

Aplikasi dan Kontribusi dari Pengkondisian Klasik terhadap pembelajaran

  • pendekatanIni menolong kita memahami beberapa konsep belajar lebih baik dibandingkan dengan yang lain. pendekatan Ini unggul dalam menjelaskan bagaimana rangsangan netral menjadi terkait dengan respon sukarela yang tidak terpelajari 
  • pendekatan ini juga membantu dalam menerangkan banyak respons emosional mirip kebahagiaan, kegembiraan, kemarahan, dan kecemasan – yang dimiliki orang-orang untuk rangsangan tertentu. 
  • pendekatan ini juga menolong menjelaskan penyebab yang mendasari beberapa fobia – yang ialah panik irasional atau berlebihan dari objek atau suasana tertentu. 
  • Prosedur pengkondisian klasik juga dipakai untuk mengobati fobia dan sikap yang tidak dikehendaki yang lain mirip alkoholisme dan kecanduan. 

 
Rujukan: 

Woolfolk, Anita, E, (1998) Educational Psychology.  Massachusetts: Allyn and Bacon.