Pemahaman Arti Istilah Tindak Kriminal

Istilah tindak kriminal yakni berasal dari perumpamaan yang dikenal dalam aturan pidana Belanda ialah “strafbaar feit”, tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu. Karena itu para hebat hukum berusaha untuk memperlihatkan arti dari perumpamaan itu, sehingga hingga dikala ini ada berbagai macam pendapat. Stafbaar feit terdiri dari tiga kata, yakni straf, baar dan feit. Secara literlijk kata “straf” artinya pidana, “baar” artinya mampu atau boleh dan “feit” yakni perbuatan.

Moeljatno beropini ungkapan tindakan lebih tepat untuk menggambarkan isi pemahaman dari strafbaar feit. Moeljatno menggunakan perumpamaan perbuatan pidana yang didefinisikan selaku “tindakan yang tidak boleh oleh sebuah aturan hukum larangan mana diikuti dengan bahaya (hukuman) yang berbentukpidana tertentu, bagi barangsiapa larangan tersebut”. Adapun ungkapan perbuatan pidana lebih tepat, alasannya:

  1. Bahwa yang dilarang itu adalah perbuatannya (tindakan insan, ialah sebuah peristiwa atau kondisi yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), artinya larangan itu ditujukan pada perbuatannya. Sedangkan bahaya pidananya ditujukan pada orangnya.
  2. Antara larangan (yang ditujukan pada perbuatan) dengan bahaya pidana (yang ditujukan pada penduduknya) ada kekerabatan bersahabat, dan oleh karena itu tindakan (yang berupa keadaan atau insiden yang ditimbulkan orang tadi, melanggar larangan) dengan orang yang menjadikan tindakan tadi ada relasi bersahabat pula,
  3. Untuk menyatakan adanya kekerabatan akrab itulah maka lebih tepat digunakan perumpamaan tindakan pidana, suatu pengertian absurd menunjuk pada dua konkrit yakni: pertama adanya kejadian tertentu (tindakan) dan yang kedua adanya orang yang berbuat atau yang mengakibatkan kejadian itu.

Pengertian Tindak Pidana
Pendapat para hebat tentang tindakan melawan hukum ini berlainan-beda, berhubungan dengan pandangan yang mereka anut, adalah persepsi dualistis dan pandangan monistis. Pandangan Moeljatno terhadap tindakan pidana mirip tercermin dalam ungkapan yang dia gunakan dan rumusannya, menampakkan bahwa beliau memisahkan antara perbuatan dengan orang yang melakukan. Pandangan yang memisahkan antara perbuatan dan orang yang melakukan sering disebut persepsi dualistis, juga dianut oleh banyak hebat, contohnya Moeljatno, Pompe, Vos, R. Tresna.

  Khalifah (2011) Resensi Film

Menurut Moeljatno yang menganut persepsi dualistis, bagian-komponen tindakan melawan hukum ialah:

  1. 1) Perbuatan (manusia)
  2. 2) Memenuhi rumusan dalam Undang-Undang (formil)
  3. 3) Bersifat melawan aturan (syarat materiil).7)

Pompe, yang merumuskan bahwa sebuah strafbaar feit itu bekerjsama ialah tidak lain daripada suatu “tindakan yang menurut sesuatu rumusan Undang-Undang telah dinyatakan sebagai langkah-langkah yang mampu dihukum”.8)
Vos merumuskan bahwa strafbaar feit adalah “suatu kelakuan insan yang diancam pidana oleh peraturan perundang-seruan”. 9)

R. Tresna, meskipun menyatakan sungguh susah untuk merumuskan atau memberi definisi yang sempurna tentang peristiwa pidana, namun juga beliau menawan sebuah definisi yang menyatakan bahwa, “kejadian pidana itu ialah suatu perbuatan atau rangkaian tindakan insan, yang berlawanan dengan Undang-Undang atau peraturan perundang-undangan yang lain, terhadap tindakan mana diadakan tindakan penghukuman”.10)

Pandangan monoistis yakni persepsi yang tidak memisahkan antara bagian-bagian mengenai diri penduduknya. Ada banyak ahli aturan yang berpandangan seperti ini dalam pendekatan terhadap tindakan melawan hukum, antara lain JE. Jonkers, Wirjono Prodjodikoro, HJ. van Schravendijk, Simons dan lain-lain.

JE. Jonkers, merumuskan kejadian pidana yaitu “tindakan yang melawan hukum (wedwerrechtelijk) yang bekerjasama dengan kesengajaan atau kesalahan yang dijalankan oleh orang yang mampu dipertanggungjawabkan”.11)

Wirjono Prodjodikoro, menyatakan bahwa tindak pidana itu adalah “suatu tindakan yang pelakunya mampu dikenakan hukuman pidana”.12)

HJ. Van Schravendijk, merumuskan perbuatan yang boleh dihukum ialah “kelakuan orang yang begitu berlawanan dengan keinsyafan hukum sehingga kelakuan itu diancam dengan eksekusi, asal dilaksanakan oleh seorang yang sebab itu dapat dipersalahkan”.13)

Simons, merumuskan strafbaar feit yaitu “suatu langkah-langkah melanggar hukum yang dengan sengaja dilaksanakan oleh seseorang yang mampu dipertanggungjawabkan atas tindakannya, yang dinyatakan sebagai dapat dieksekusi”.14)

  Postingan Blog Yang Berkualitas

Simons selaku penganut pandangan monistis mengemukakan komponen-unsur stafbaar feit ialah selaku berikut:

  • 1) Perbuatan insan (faktual atau negatif, berbuat atau tidak berbuat)
  • 2) Diancam dengan pidana
  • 3) Melawan hukum
  • 4) Dilakukan dengan kesalahan
  • 5) Oleh orang yang bertanggungjawab.15)

Aliran dualistis menatap dari sudut absurd bahwa di dalam memperlihatkan isi pengertian tindak kriminal tidak dengan demikian, kemudian dibayangkan adanya orang yang dipidana, menatap tindak kriminal semata-mata pada tindakan dan balasan yang sifatnya dilarang. Jika tindakan yang sifatnya dilarang itu sudah dilaksanakan/terjadi (faktual), gres melihat pada orangnya kalau orang itu mempunyai kemampuan bertanggung jawab sehingga perbuatan itu dapat dipersalahkan kepadanya. Dengan demikian, kepadanya dijatuhi pidana.

Sementara itu, ajaran monistis memandang sebaliknya (nyata), adalah strafbaar feit tidak mampu dipisahkan dengan penduduknya, senantiasa dibayangkan bahwa dalam strafbaar feit selalu adanya si pembuat (penduduknya) yang dipidana. Oleh sebab itu, unsur-komponen perihal diri orangnya tidak dipisah dengan komponen perihal tindakan. Semuanya menjadi bagian tindak pidana. Unsur tindak kriminal (pada perbuatan) dengan syarat dipidana (pada orang) tidak dipisah sebagaimana menurut paham dualistis.

Daftar Pustaka
6) Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Yogyakarta, 1983, hal. 55.
7) Ibid, hal. 60
8) Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I: Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan Dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hal. 72
9) Ibid, 72
10) Ibid, hal. 72
11) Ibid, hal. 75
12) Ibid, hal. 75
13) Ibid, hal. 75
14) Ibid, hal. 75
15) Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang, 1990, hal. 39.

Bagi para pembaca, terkait duduk perkara linguistik anda dapat membaca postingan lain yang paling mempesona perihal jenis-jenis membaca hanya di situs materi kuliah ini.