Kotak Amal | Cerpen Wayan Sunarta


Oleh: Wayan Sunarta


Beberapa bulan terakhir, kotak amal di suatu rumah ibadah di kota kecil itu berisi banyak uang. Setiap selesai bulan, pengurus rumah ibadah bersungguh-sungguh memeriksa & mengkalkulasikan jumlah duit yg ada di kotak amal itu. Dan, pengelola selalu heran, bercampur kagum.

“Ini tak seperti lazimnya ,” ujar seorang pengelola.

“Iya, lazimnya isinya tak jauh beda dgn kotak uang di WC lazim…” sahut pengurus yg lain.

“Kira-kira siapa dermawan yg telah berinfak begini banyak? Kudoakan gampang-mudahan ia masuk surga.”

Begitulah tiap selesai bulan, pengelola rumah ibadah sibuk dgn keheranannya. Sebab mereka senantiasa menemukan lima lembar seratus ribuan atau kadang lebih di dlm kotak amal, bercampur baur dgn koin recehan & lembar seribuan atau dua ribuan.

Rumah ibadah sederhana itu tergolong rumah ibadah renta di kota kecil itu. Kondisi bangunan banyak yg keropos disantap waktu. Atap bocor di sana sini sehingga tatkala isu terkini hujan tiba, umat menjadi tak tenteram beribadah. Lama kelamaan, banyak umat pergi ke tempat tinggal ibadah yg lebih gres di kota itu. Rumah ibadah tua itu pun makin sepi. Hanya di hari-hari tertentu saja rumah ibadah itu tampakcukup ramai.

Pengurus bermaksud merenovasi rumah ibadah tua itu. Karena jumlah umat yg tak banyak, tentu butuh waktu yg usang untuk menghimpun dana renovasi. Apalagi penduduk di kota kecil itu tak seluruhnya berpenghasilan besar. Keuangan mereka telah terkuras untuk keperluan rumah tangga, pendidikan belum dewasa, mengeluarkan uang cicilan ini-itu, & sebagainya. Urusan bederma dilakukan semampunya saja.

Pengurus pula telah mengajukan tawaran permohonan dana ke pemerintah, tetapi sampai sekarang belum menerima tanggapanyg memuaskan. Akhirnya, pengurus meletakkan kotak papan di teras rumah ibadah itu dgn goresan pena ‘Kotak Amal untuk Renovasi Rumah Ibadah’.

“Siapa ya orang yg berzakat begini banyak?” pengurus masih diliputi ingin tau.

“Kita tak perlu tahu siapa senang memberi itu. Yang perlu disyukuri, dalam waktu dekat kita akan mampu merenovasi atap yg bocor, mengecat dinding yg sudah lumutan sehingga umat menjadi betah & nyaman beribadah di sini,” kata pengelola lain.

  Sebelum Pesawat itu Jatuh | Cerpen Sam Edy Yuswanto

“Tapi kita tentu tak ingin rumah ibadah ini direnovasi dgn duit hasil korupsi, kan?”

“Maksudmu uang haram?”

“Ehm… ya begitulah.”

“Uang tak ada yg haram.”

“Siapa tahu ada koruptor yg ingin bertobat & menyisakan hasil korupsinya untuk bederma.”

“Ah, itu tak mungkin. Mana ada koruptor bertobat.”

“Aku ‘kan cuma bilang ‘siapa tahu’…”

“Daripada kita terus menerka-duga, kita coba selidiki, kira-kira siapa orang berhati emas itu…”

Sejak itu, pengurus senantiasa memantau kotak amal yg diletakkan di teras rumah ibadah itu. Bahkan mereka mencermati setiap hadirin rumah ibadah yg selama ini mungkin luput dr perhatian. Namun, dr hari ke hari tak ada gejala yg mencurigakan.

Suatu hari, rumah ibadah itu dikunjungi seorang laki-laki paruh baya bertubuh tambun & berpakaian rapi. Dari gerak-geriknya pengurus mengira dr kota kecil mereka. Lelaki tambun itu turun dr mobil sedan. Kemudian ia masuk ke rumah ibadah & bersembahyang dgn khusyuk. Seusai sembahyang ia menuju teras & matanya melirik ke arah kotak amal. ia merogoh dompet & memasukkan uang ke dlm kotak amal.

Pengurus rumah ibadah berbisik-bisik sambil terus mengawasi gerak-gerik laki-laki tambun itu.

“Siapa laki-laki itu?”

“Mana kutahu.”

“Jangan-jangan si senang memberi itu.”

“Mungkin…”

“Kayaknya ia pejabat.”

“Apa ia ada potongan koruptor?”

“Apa setiap orang tambun kamu duga koruptor?”

“Kayaknya ia mau tobat.”

Lelaki tambun itu kembali ke dlm mobilnya. Dan, tatkala rumah ibadah telah sepi pengunjung, terburu-buru pengelola mengusut kotak amal. Namun, tatkala kunci gembok kotak amal itu dibuka, mereka tak mendapatkan lembar-lembar duit seratusan ribu.

“Huh, pakai mobil sedan ternyata pelit. Masak bersedekah hanya sepuluh ribu.”

“Huss, jaga mulutmu. Orang berzakat tak bisa diukur dr jumlah yg diberikan, tetapi dr ketulusannya.”

“Jangan-jangan ia tahu ada yg memantaunya?”

“Biasanya pejabat bila bederma dgn jumlah banyak suka pamer. Bila perlu mengundang wartawan untuk meliput seberapa banyak ia berzakat.”

  Yang Mulia Cerpen Insan Budi Maulana

“Berarti bukan ia si gemar memberi yg meletakkan duit ratusan ribu itu?”

“Kayaknya bukan beliau.”

“Lalu siapa ya?”

Pengurus rumah ibadah terus mengawasi kotak amal sampai menjelang final bulan. Tentu saja perasaan bosan sudah menggerogoti mereka. Hanya alasannya membuat puas rasa penasaran, mereka melakukan sesuatu yg tak sebaiknya dilakukan. Namun apa boleh buat, rasa penasaran telah membuat mereka bisa bertahan & mengatasi rasa bosan.

Pada suatu pagi menjelang siang, datanglah seorang wanita muda bermuka cukup manis memasuki rumah ibadah itu. Perempuan itu bahwasanya tiap bulan tiba ke sana. Terkadang ia dgn takzim mendengar wejangan dr pemimpin rumah ibadah tentang makna beramal, perihal nirwana & neraka. Di potensi lain ia mendengar keluh kesah perihal rumah ibadah yg harus segera direnovasi.

Perempuan itu kerap kali merasa murung & gamang. Rumah ibadah yg dindingnya telah mengelupas & lumutan itu adalah kepingan dr ingatan masa kecilnya. Jika ia rindu ayah & ibunya, ia akan datang ke tempat tinggal ibadah itu.

Dulu, ibunya sering mengajaknya ke tempat tinggal ibadah itu, untuk mendoakan ayahnya yg entah berada di mana. Setiap ia mengajukan pertanyaan ihwal keberadaan ayahnya, ibunya senantiasa bilang ayah berada di surga. ia tak pernah memahami surga itu di mana. Namun, ia selalu mengingat perkataan ibunya, dgn tekun berdoa & berzakat, suatu saat ia akan bertemu ayahnya di surga.

Ibunya meninggal tatkala ia tamat sekolah dasar. ia kemudian diasuh bibinya di kota lain. Namun, malangnya, tatkala menginjak kelas dua Sekolah Menengan Atas, bibinya memasarkan ia ke juragan kaya yg hobi ‘daun muda’. Karena tak tahan dgn perlakuan bibinya, ia kabur ke Ibu Kota. Berbekal ijazah SMP, ia mengadu peruntungan dgn melakoni pekerjaan-pekerjaan yg sesuai dgn kemampuannya. Namun, benar kata orang, Ibu Kota kadang kala lebih kejam dr ibu tiri.

Meski hampir setiap bulan wanita muda itu tiba ke tempat tinggal ibadah di kota kecil itu, tak satu pun pengelola yg acuh dgn kehadirannya. Bukankah setiap rumah ibadah berhak dikunjungi oleh umatnya untuk tujuan beribadah?

  Insomnia | Cerpen Teguh Affandi

Dan, pengelola rumah ibadah itu cukup direpotkan dgn permasalahan-permasalahan lain, sehingga tak sempat memerhatikan atau bertegur sapa dgn umat yg datang.

Seperti yg dilakukannya pada bulan-bulan sebelumnya, perempuan muda itu memasukkan lipatan uang ke dlm kotak amal sembari berbisik lirih, “Maaf penghasilan saya tak menentu selesai-akhir ini,” kemudian ia berdoa dgn khusyuk, kemudian segera pergi dikirim tukang ojek yg biasa mangkal tak jauh dr rumah ibadah itu.

Pengurus rumah ibadah yg semenjak tadi mengawasi gerak-gerik perempuan muda itu saling berbisik.

“Kau pernah lihat perempuan itu sebelumnya?”

“Tidak. Kayaknya ia umat baru…”

“Cantik pula ya.”

“Huss, ini rumah ibadah. Jangan berpikiran jorok di sini.”

“Aku ‘kan hanya bilang ia manis.”

“Iya, gue tahulah, sesudah itu ke mana arah pikiranmu.”

“Ah, memangnya kamu Tuhan, bisa tahu arah asumsi orang.”

“Berapa ia memasukkan duit ke kotak amal?”

“Aku tak begitu mengamati…”

Setelah perempuan itu pergi, mirip biasa pengurus buru-buru menyelidiki kotak amal. Mereka heran & takjub. Mereka kembali memperoleh lima lembar uang seratus ribuan. Pengurus saling pandang dgn wajah heran.

“Perempuan itu…?”

“Jangan-jangan memang ia.”

Sepeda motor tukang ojek menderu mengirim perempuan muda yg cukup bagus itu ke terminal. Perempuan itu kemudian menaiki bus menuju Ibu Kota yg telah diakrabinya sejak lima tahun silam. Menjelang sore, ia tiba di daerah kos yg cukup tenteram.

Perempuan itu langsung merebahkan dirinya di kasur yg empuk. Pikirannya menerawang. ia membiarkan ponselnya terus berdering. Beberapa pelanggan tak sabar ingin berjumpa dirinya. Namun, ia sangat lelah. ia tidur lelap sekali. ia berkhayal berjumpa ayah & ibunya di rumah ibadah yg sudah selesai direnovasi. (*)


Wayan Jengki Sunarta, sastrawan kelahiran Denpasar, Bali, 1975. Ia menulis puisi & prosa. Novel terkininya, Magening (2015).