Keanekaragaman Kalangan Sosial Dalam Penduduk Multikultural

Keanekaragaman Kelompok Sosial dalam Masyarakat Multikultural – Masyarakat multikultural merupakan masyarakat beragam yang memiliki lebih dari dua kebudayaan yang timbul akibat adanya acara dan pranata khusus. Kelompok-golongan sosial yang muncul akhir makin kompleksnya aktivitas insan dan banyaknya forum-forum (pranata) sosial yang mewadahi kebutuhan dan kegiatannya, telah menimbulkan keragaman golongan sosial selaku wujud dari masyarakat multikultural.
Keanekaragaman ialah salah satu realitas utama yang dialami masyarakat dan kebudayaan di kurun silam, kini, dan di waktuwaktu mendatang. Keanekaragaman golongan sosial terus tumbuh dan berkembang semakin kompleks dalam kehidupan penduduk beragam, yang tidak cuma didasarkan pada perbedaan suku, agama, dan ras. Keanekaragaman kelompok sosial dilatarbelakangi oleh faktor-faktor aktivitas manusia yang kian kompleks dan pranatapranata sosial yang makin bermacam-macam untuk menyanggupi berbagai kebutuhan insan.
Keanekaragaman Kelompok Sosial dalam Masyarakat Multikultural Keanekaragaman Kelompok Sosial dalam Masyarakat Multikultural
Keanekaragaman kalangan sosial dalam penduduk yang majemuk merupakan salah satu ciri masyarakat Indonesia yang seringkali dibanggakan. Banyak yang belum menyadari bahwa di balik kemajemukan juga menyimpan kesempatanpertentangan yang dapat mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara bila tidak berilmu-akil dalam mengelolanya. Munculnya berbagai pertentangan kini ini merupakan bukti dari adanya perbedaan tersebut.
Seseorang mengaku sebagai anggota dari suatu suku bangsa sebab ia dilahirkan oleh orangtua dari suku bangsa tertentu atau berasal dari kawasan tertentu. Berbeda dari aneka macam jati diri lainnya (misalnya status sosial) yang diperoleh seseorang dalam aneka macam struktur sosial yang ketika-waktu dapat dibuang atau diganti, jati diri suku bangsa atau kesukubangsaan tidak mampu dibuang atau diganti. Jati diri suku bangsa akan tetap melekat dalam diri seseorang sejak kelahirannya. Walaupun jati diri suku bangsa mampu disimpan atau tidak dipakai dalam interaksi, dia tidak dapat di buang atau dihilangkan.
Dalam setiap interaksi, jati diri akan tampak alasannya adanya atribut-atribut yang dipakai oleh pelaku dalam mengekspresi kan jati dirinya sesuai dengan hubungan status sosial atau kedudukan masing-masing (Suparlan 1999). Seseorang yang dilahirkan dalam keluarga suatu suku bangsa, mau tidak inginakan hidup berpedoman pada kebudayaan suku bangsanya.
Sadar atau tidak sadar yang bersangkutan hidup ber pedomankan kebudayaan suku bangsanya alasannya adalah dalam proses pembelajarannya dari masa anak-anak sampai dewasa dia tidak mempunyai pilihan lain kecuali mesti hidup menurut kebudayaan suku bangsanya mirip dipunyai oleh orangtuanya.
Dalam masyarakat Indonesia, suku bangsa dan kesuku bangsaan adalah suatu pandangan baru dan kenyataan yang ada dalam kehidupan seharihari. Dalam ruang lingkup batas-batas kesukubangsaan, stereotipe dan prasangka berkembang dan menjadi mantap dalam suatu masa waktu hubungan antarsuku bangsa yang tidak terbatas. Akibatnya, sering terjadi salah pemahaman dalam komunikasi antarsuku bangsa yang menyebabkan kian lebarnya jarak dan mantapnya batasbatas atau pagar-pagar yang menghalangi hubungan antara dua suku bangsa atau lebih.
Akibat lebih lanjut dari stereotipe dan praduga ini adalah terwujudnya langkah-langkah-langkah-langkah diskriminatif dalam hak dan kewajiban oleh suku bangsa yang lebih banyak didominasi terhadap mereka yang termasuk lemah dan nonpribumi atau minoritas di dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi. Sebagai contoh, konflik antara orang pribumi dan orang Tionghoa yang tidak pernah dapat diselesaikan.
Perpindahan dan pertemuan antara kelompok masyarakatyang berbeda latar belakang sosial budaya di suatu daerah bukannya tidak menjinjing pengaruh kepada kehidupan sosial. Benturanbenturan antara penduduk orisinil dan penduduk pendatang sangat dimungkinkan terjadi mengenang latar belakang sosial, budaya, dan agama kalangan-kalangan tersebut berlawanan atau bahkan bertentangan satu sama lain. Benturan sosial budaya tersebut akan menimbulkan pertentangan sosial. Jika tidak secepatnya saling dipertemukan dan diatur untuk merumuskan konsensus bersama supaya terwujud integrasi sosial.
Gejala etnosentrisme, praduga negatif dan perilaku diskriminatif antaretnik, yang menyangkut adat istiadat, bisa menjadi penghambat dalam interaksi serta pergaulan antaretnis. Gejala ini tidak hanya dalam penduduk tradisional, namun juga dalam penduduk modern. Akibatnya, bisa menjadikan perilaku tegang dan bermusuhan. Hal ini juga ditegaskan oleh Koetjara darah biru yang menyatakan bahwa relasi dan interaksi antara etnik yang berlainan ialah suatu keadaan yang mengandung kesempatanpertentangan. Hubungan antara warga yang berlainan umumnya juga dilatarbelakangi oleh perilaku dugaan etnik. Selain itu, setiap etnik biasanya sungguh terikat pada folkways masing-masing dan cenderung memegang kuat identitas diri mereka.
Keterikatan etnik atas nilai-nilai budayanya menimbulkan kian kuatnya rasa in group yang cenderung meremehkan golongan luar. Potensi ini kian membengkak dengan hadirnya kristalisasi etnis yang makin memperkokoh tembok pembatas antara kekitaan dan kemerekaan. Mereka merasa bahwa kepercayaan yang dimilikinya ialah yang paling baik. Sikap ini jadinya akan menyebabkan chauvinisme, intoleransi, oposisi terhadap folkways lain, penghinaan, dugaan, penafsiran sepihak, dan sebagainya.
Dalam masalah Indonesia, segala konflik yang ada, baik berdasar asumsi radikal maupun fungsionalis, mengarah pada pertentangan etnis. Konflik etnis ialah tanda-tanda sosial politik permanen dalam dunia terbaru. Hampir tidak ada negara yang bebas dari persoalan itu. Dalam penelitian yang dikerjakan antara tahun 1945-1980, korban jiwa balasan konflik etnis lebih banyak jumlahnya ketimbang variasi pertentangan lainnya.
Renner beropini, pertentangan etnis dalam sebuah negara terjadi alasannya adalah pemetaan atau pembagian wilayah yang dikerjakan kolonialis tidak memikirkan kepentingan  kultural. Akibatnya, bangsa yang sama dan semula satu menjadi terpisah-pisah dan tergabung dengan bangsa lain yang asing dengan kultur mereka, bahkan bertentangan dan lalu terjebak dalam pertentangan permanen.
Eksistensi negara-negara multietnis memiliki lima kemung kinan terjadinya versi regulasi pertentangan etnis, ialah selaku berikut.
1. Partisi; yakni pemisahan secara tegas antara satu etnis dan etnis lain. Model ini jarang digunakan sebab cuma terjadi dikala suatu etnis sungguh-sungguh hidup terpisah dan garis demarkasi negara.
2. Dominasi satu etnis terhadap etnis lain; adalah bentuk yang biasanya melalui kekerasan atau tindakan diskriminatif.
3. Asimilasi; ialah bentuk halus dan maju dari model kedua, tetapi dilaksanakan dengan cara yang alami.
4. Konsolidasi; Sistem yang mengakui keberadaan setiap perbedaan yang ada dan menjajal untuk mengharmonikan perbedaanperbedaan itu. Dalam model ini, golongan mayoritas bukan pihak yang menentukan dalam banyak sekali hal, tetapi diputuskan menurut konsensus dan kompromi.
5. Akomodasi; yakni pengakuan kepada semua etnis namun tidak mempunyai keterkaitan dengan hal-hal yang sifatnya politis. Model ini mungkin lebih sempurna disebut sinkretisme; negara berupaya mengakomodasi dan mengapresiasikan aneka macam perbedaan yang ada dan menilai semua etnis yang ada memlliki posisi yang serupa dan diperlakukan secara adil.
Kerukunan merupakan tujuan yang diharapkan oleh semua penduduk yang berlawanan-beda dalam kelompok tersebut. Kerukunan hidup merupakan konsensus yang mesti diraih yang mencakup kerukunan politik, ekonomi, dan sosial budaya. Kerukunan individu dengan individu, individu dengan kalangan, kelompok dengan kalangan; juga kerukunan antara institusi sosial dan kerukunan antara penduduk dan pemerintah.
Kemampuan masyarakat dalam mempekerjakan organisasi dan kelembagaan pada umumnya memperlihatkan kondisi yang relatif masih rendah. Hal ini tampak dari masih kuatnya pengaruh budaya tradisional, terutama di kalangan penduduk petani, nelayan, dan aneka macam komunitas lapisan bawah. Dampaknya, dikala terjadi perubahan sosial, ekonomi, politik, serta pertumbuhan ilmu wawasan dan teknologi yang demikian cepat dan kian mutakhir, mereka mengalami goncangan budaya (cultural shock) yang hebat; indikasinya, nilai-nilal dan norma lama telah ditinggalkan sementara nilai-nilai pengganti yang bercorak terbaru belum didapatkan. Contohnya, budaya bantu-membantu bergeser menjadi kerja dengan tata cara upah yang setiap aktivitas selalu diukur dengan nilai duit (pamrih) dan sikap individualistik.
Fenomena tersebut menunjukkan masih rendahnya kesadaran dan pengamalan dalam memaknai banyak sekali aspek kehidupan seharihari yang saling terkait, mirip faktor ideologi, ekonomi, pertentangan sosial, politik, pendidikan, kesehatan, dan keselamatan yang masih penuh dengan ketidakpastian dan tantangan berat. Banyak peristiwa pertentangan sosial yang saling terkait dengan politik, ekonomi, dan budaya. Oleh alasannya itu, diharapkan paradigma baru untuk penyelesaian pertentangan dan penguatan ketahanan penduduk lokal. Dialog kerukunan antar unsur penduduk makin penting ditempatkan sebagai subsistem dalam kerangka pembangunan penduduk . Pihak-pihak yang memegang peranan penting selaku perancang dan pelaksana obrolan yakni para pemimpin penduduk .
Keanekaragaman Kelompok Sosial dalam Masyarakat Multikultural Keanekaragaman Kelompok Sosial dalam Masyarakat Multikultural
Dialog antarkomponen masyarakat merupakan bagian tidak terpisahkan dari kerukunan kehidupan umat insan yang secara kasatmata menunjukkan bahwa keanekaragaman dan pergantian kebudayaan atau dinamika sosial sering mengarah pada suasana pertentangan.
Dialog pada masyarakat multikultur memiliki beberapa fungsi, di antaranya sebagai berikut.
1. Sebagai wahana komunikasi antara orang-orang yang berada pada tingkat yang relatif sama;
2. Merupakan upaya untuk mempertemukan hati dan pikiran antarsesama anggota penduduk ;
3. Dapat dijadikan jalan bersama untuk menjelaskan kebenaran atas dasar kejujuran dan kerja sama dalam kegiatan sosial untuk kepentingan bersama dalam menciptakan dan memelihara keseimbangan dan keteraturan hidup bermasyarakat;
4. Untuk mengerti, mengidentifikasi, dan menyosialisasikan kebijakan, rancangan, dan tindakan kerukunan hidup bermasyarakat;
5. Untuk pelatihan kerukunan umat manusia dalam rangka pengendalian pertentangan.