close

Hot Persuit Dalam Uu Perikanan

Hot Persuit Dalam UU Perikanan

“Kita mesti mengamankan lautan kita dari penjerahan pihak gila”, demikian pernyataan Presiden RI Joko Widodo saat di Istana Negara, pada 6 Desember  2014, sesudah pelaksanaan penenggelaman 3 Kapal Ikan Asing (KIA) di Tarempa pada tanggal 5 Desember 2014. Penggalan kalimat ini ialah perilaku tegas Pemerintah Indonesia dalam menindak para pelaku illegal fishing.

Dalam sepekan ini ada dua peristiwa menarik di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia, pertama agresi heroik Kapal Pengawas KKP Hiu 11 beserta awak kapalnya dalam menindak kapal tangkapan KM Kwey Fey 10078 yang dilindungi oleh Coastguard Tiongkok sehingga menyulutkan kembali pertentangan klasik persoalan perebutan Natuna antara Indonesia dengan Tiongkok. Kedua, agresi Kapal Patroli Indonesia di Selat Malaka dalam memburu hingga memberikan tembakan terhadap Kapal MV Sheng Te Tsei sehingga mengakibatkan protes dari Pemerintah Taiwan. Namun goresan pena ini tidaklah menganalisa kedua insiden tersebut, tetapi hanya mendeskripsikan perihal hak pengejaran saat itu juga atau yang dikenal dengan ungkapan hot persuit yang tentunya ada dalam kejadian tersebut.

Video pengejaran Kapal Ikan Asing asal Taiwan http://goo.gl/9wtMm6

Hot Persuit diatur dalam Pasal 111 Unclos (United Nation Convention on the Law Of the Sea) yang telah diratifikasi dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985. Hot Persuit ialah salah satu bentuk penegakan hukum dan kedaulatan di laut sebagai sebuah hal yang diakui eksistensinya oleh negara-negara lain, yang artinya hak untuk melakukan pengejaran terhadap kapal-kapal yang diduga melaksanakan tindakan melawan hukum di wilayah teritorial suatu negara.
Pasal 111 Unclos  menguraikan syarat-syarat pengejaran serta kompensasi atau ganti kerugian atas penghentian kapal yang ditahan dalam kondisi yang tidak dibenarkan untuk dilaksanakan pengejaran. Adapun syarat-syarat pengejaran seketika sebagai berikut:
  1. Pengejaran mesti dimulai pada waktu kapal ajaib sedang berada di perairan pedalaman, perairan kepulauan, bahari teritorial atau zona aksesori negara yang memburu, kalau kapal gila tersebut berada di dalam zona embel-embel, pengejaran hanya mampu dilaksanakan jika terdapat pelanggaran kepada hak-hak di zona pemanis;
  2. Hak pengejaran seketika dilakukan secara mutatis mutandis kepada pelanggaran pada ZEE atau pada landas kontinen dan hak pengejaran saat itu juga berhenti setelah kapal yang dikejar memasuki laut teritorial dari negaranya sendiri atau negara ketiga;
  3. Pengejaran saat itu juga hanya dapat dilaksanakan oleh kapal-kapal perang atau pesawat militer atau pesawat yang lain milik pemerintah yang diberi kewenangan;
  4. Pengejaran cuma mampu dimulai sesudah diberikannya tanda visual atau tanda signal (untuk perintah berhenti) pada jarak yang mampu dilihat atau didengar oleh kapal asing.
Disamping itu dikontrol pula dalam Pasal 19 Unclos wacana lintas suatu kapal gila mesti dianggap membahayakan kedamaian atau keamanan negara pantai apabila kapal tersebut di daerah laut teritorial sebuah negara melakukan aktivitas antara lain setiap acara perikanan, atau setiap acara yang lain yang tidak berafiliasi eksklusif dengan lintas. Menghadapi kapal ajaib yang melakukan tindakan-tindakan seperti ini, Negara pantai mempunyai kewenangan untuk mempertahankan kedaulatan negaranya, dalam hal ini kawasan perairan teritorialnya agar tidak terjadi pelanggaran dan kejahatan yang dikerjakan oleh kapal-kapal abnormal.
Dihubungkan dengan Undang-Undang Perikanan, maka hot persuit dapat kita dapatkan dalam Pasal 66 C Huruf K UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 2004 ihwal Perikanan. Dijelaskan bahwa “pengawas perikanan berwenang melakukan langkah-langkah khusus kepada kapal perikanan yang berupaya melarikan diri dan/atau melawan dan/atau membahayakan keselamatan kapal pengawas perikanan dan/atau awak kapal perikanan”.

  Penegakan Hukum Kepada Nelayan Kecil

Dalam redaksi pasal ini khususnya dalam kata “langkah-langkah khusus” mampu ditafsirkan sebagai suatu hak  untuk melaksanakan pengejaran (hot persuit) dengan syarat kapal target operasi berusaha melarikan diri serta membahayakan kapal pengawas dan awak kapalnya.

Pasal 51 Piagam PBB 1945 menegaskan pula bahwa dibenarkan adanya penggunaan kekuatan kalau dalam upaya pembelaan diri (self defence). Penggunaan kekuatan pada kurun tenang dalam rangka menghadapi serangan maupun ancaman yang bersifat langsung dan segera yang mengancam keamanan negara atau unsur/satuan, merupakan hak beladiri yang menempel pada masing-masing negara. Persepsi ihwal kapan, dan pada suasana keadaan bagaimana penggunaan kekuatan mampu dikatakan selaku langkah-langkah beladiri, tergantung terhadap masing-masing negara.
Adapun cara penghentian seketika (hot pursuit) kapal yang diduga melaksanakan tindak kriminal dengan prosedur selaku berikut:[1]
a. Komandan Kapal/Nakhoda memperlihatkan instruksi, lakukan ”Peran Pemeriksaan”.
b.    Memberikan isyarat untuk berkomunikasi dengan cara:
1.  Mengibarkan bendera ”K” (Pada batas cuaca yang mampu dilihat);
2.  Optis lampu ”KKK” (Pada batas cuaca yang dapat dilihat);
3.  Semaphore, abjad ”K” (Pada batas cuaca yang dapat dilihat);
4.  Radio komunikasi channel 16.
c.    Apabila komunikasi gagal, perintah berhenti dikerjakan dengan cara:
1.  Mengibarkan bendera untuk isyarat ”L” (Pada batas cuaca yang mampu dilihat);
2.  Megaphone (Pada batas yang dapat didengar);
3.  Isyarat gauk/suling.
d.   Jika usul untuk berkomunikasi dan perintah berhenti berdasarkan cara-cara diatas tidak diindahkan, maka diberikan tembakan peringatan dimulai dari kaliber kecil hingga kaliber besar dengan menggunakan amunisi jenis peluru hampa ataupun peluru tajam ke arah atas.
e.  Jika peringatan sebagaimana dimaksud pada aksara (d) tersebut tetap tidak diindahkan, kerjakan perayaan terakhir dengan tembakan ke arah laut di sekeliling haluan kapal yang percikan airnya mampu dilihat oleh kapal yang dicurigai.
f.   Apabila sehabis dilakukan perayaan terakhir kapal tidak juga berhenti, dapat diambil langkah-langkah sesuai dengan Pasal 5 ayat 1 karakter a angka 4 jo Pasal 7 ayat (1) karakter j KUHAP. Dalam rangka melaksanakan langkah-langkah  berdasarkan aturan yang bertanggungjawab dengan menembak ke arah tubuh kapal pada daerah yang diperkirakan tidak ada ABK-nya dan jalankan dukungan yang dibutuhkan.
g.    Dalam hal kapal melakukan manuver yang membahayakan dan/ atau melaksanakan perlawanan kepada Nakhoda/ABK Kapal Pengawas Perikanan/KRI/KAL/Kapal Polri, dapat diambil langkah-langkah bela diri secara proporsional dan sejauh mungkin menyingkir dari jatuhnya korban.
Pengejaran saat itu juga yang disertai dengan penembakan oleh abdnegara penegak hukum terhadap kapal aneh yang melaksanakan tindakan melawan hukum perikanan dapat disimpulkan tujuannya yakni untuk melindungi sumber kekayaan alam yang ada di ZEE atau perairan Indonesia serta untuk memberikan efek jera sebagai bentuk ketegasan Pemerintah Indonesia dalam penegakan aturan di bidang kelautan dan perikanan, yang telah diatur dalam Pasal 111 Unclos dan dalam Pasal 66 C Huruf K UU Perikanan.

 Jakarta, 23 Maret 2016
Sherief Maronie
Analis Hukum pada Direktorat Penanganan Pelanggaran Ditjen PSDKP, KKP


[1] Standar Operasional Prosedur Penanganan Tindak Pidana Perikanan dalam Piagam Kesepakatan Bersama Antara KKP, Tentara Nasional Indonesia Al dan Polri.