Sore itu, langit merah magenta. Kota Kabut yg umumnya damai secara tiba-tiba semrawut sesudah tiba-tiba bumi menggigil mahir. Tanah-tanah retak & amblas. Gedung-gedung runtuh. Rumah-rumah luluh. Pohon-pohon tercerabut dr akarnya. Namun, Tuhan masih memperlihatkan kuasa-Nya pada beberapa masjid yg masih berdiri kukuh.
Malam gelap. Segalanya pekat. Bulan merah saga menjadi saksi bagi orang-orang yg didera lara. Rintih mereka menyayat hati. Lolong orang-orang yg terjepit puing-puing bangunan saling bersahutan. Memberi kabar. Bertanya nasib. Bertanya umur & kematian.
Tengah malam. Di suatu shelter tak jauh dr puing-puing rumahnya, Sobari menggigil menyaksikan ratusan cahaya putih menyembul dr balik puing-puing. Cahaya-cahaya putih itu berkumpul menjadi satu di atas kubah suatu masjid. “Apakah mereka ruh orang-orang yg mati tertimbun di bawah sana,” batinnya. Lambat laun ia tak kuasa menyaksikan fenomena itu. Lalu bersembunyi di balik sarungnya yg lusuh.
Esok hari. Jerit tangis kembali membubung di langit Kota Kabut. Orang-orang sibuk mencari sanak famili yg tercerai berai. Tak terkecuali Sobari. Selepas subuh, ia sibuk menyingkirkan puing-puing rumahnya yg ambruk untuk mencari neneknya.
Peluh Sobari beranak-pinak. Hanya berbekal tangan kosong, ia terus menyingkirkan puing-puing rumah. Ia sangat berharap neneknya masih bernapas, meski ia tak begitu percaya. Cukup usang berselang, sesudah Sobari menyingkirkan sebuah lemari pakaian, ia menemukan neneknya dlm posisi telungkup di atas sajadah. Kedua tangannya mendekap dekat Quran. Segera Sobari membalikkan badan neneknya. Namun sayang, nyawa nenek sudah terlepas dr raganya.
Tangis Sobari pecah. Didekap tubuh neneknya erat-akrab. Langit seolah runtuh. Jiwa yg selama ini untuk bersandar sudah pergi selama-lamanya.
“Tak perlu larut dlm kesedihan. Kasihan nenekmu,” ujar seorang kawan.
Sobari bareng beberapa orang menggotong jasad neneknya keluar dr puing-puing rumah.
“Apa yg mesti gue lakukan?” ucap Sobari, masih tersedu.
“Sebaiknya lekas kita bawa jasad nenekmu ke Masjid Kabir. Biarkan para relawan mendatanya. Kemudian makamkan di pemakaman masal.”
Sobari mengangguk. Ia bersama beberapa orang menenteng nenek Sobari menuju masjid.
Aroma kegetiran mengudara di langit Kota Kabut. Sungguh suatu bencana yg tak mampu disangka-sangka bagi seluruh penduduknya.
Jauh sebelum kejadian itu, Kota Kabut adalah kota yg sedang dilanda euforia. Beragam pesta tiap malam digelar di daerah-kawasan hingar bingar. Lampu-lampu beraneka warna menghiasi tiap sudut kota. Gelak tawa, jerit badung, sumpah serapah dr mulut-ekspresi berbusa alkohol menjadi pemandangan yg umum setiap malamnya.
“Sobari, jangan pernah kamu injakkan kakimu di sana. Jika kamu melakukannya, niscaya Tuhan akan menghukummu dgn hukuman teramat pedih,” nasihat Nenek Sobari, suatu pagi.
Sobari hanya mengangguk. Tak sekali pun ia membantah perkataan nenek yg sangat ia hormati. Meski di sudut hatinya terselip rasa ingin mengunjungi tempat-tempat itu.
“Sudah tiga malam, gue selalu bermimpi hal yg sama.”
“Mimpi apa, Nek?”
Nenek mempesona napas dalam-dalam. “Sudah tiga malam gue melihat langit Kota Kabut mendadak hitam. Gelap pekat. Kemudian hujan turun begitu deras. Air bah mengalir warna merah darah. Kemudian…” Nenek berhenti sejenak. Dahinya berkerut menggelombang. Seolah tengah mengorek-ngorek ingatan mimpinya yg berlipat-lipat.
“Kemudian apa, Nek?” tanya Sobari, penasaran.
“Kemudian bumi bergetar. Tanah-tanah terbelah. Gedung-gedung, rumah-rumah luluh lantak. Jerit tangis & lolongan orang-orang meminta pertolongan menggema. Tak usang berselang, dr balik tanah-tanah yg rekah & puing-puing bangunan, puluhan, bahkan ratusan ular bermunculan.”
“Ular?”
“Ya, ular-ular beraneka ukuran. Warna matanya merah menyala.”
“Lalu apa yg terjadi sesudah itu, Nek?”
“Entahlah. Mimpiku tak membawaku pada selesai kisahnya. Maka dr itu gue berpesan padamu. Berbuatlah amal kebajikan jikalau kau ingin selamat dr segala petaka,” pungkas Nenek Sobari.
Sobari cuma termenung sembari menyelami wajah neneknya yg makin menua.
Pikiran Sobari berkecamuk di depan pusara neneknya. Ia sekarang sebatang kara. Ia tak tahu lagi mesti ke mana. Rumah yg selama ini ia tempati telah rata dgn tanah. Tak usang kemudian suatu tangan meremas pundak kirinya.
“Segalanya sudah pergi begitu saja. Tanpa pamit, tanpa permisi. Karena Tuhan telah berkehendak demikian. Tak ada yg mampu kita lakukan selain lapang dada.”
Sobari masih menatap nisan neneknya. Ia mafhum siapa yg mengajaknya bicara, alasannya suaranya tak asing lagi di indera pendengaran. Ialah Paman Kadi. Seorang hakim yg sungguh dihormati di kotanya.
“Tak ada lagi tempatku bernaung, Paman.”
“Apa kau tak lagi menganggapku selaku kerabat?”
Sobari memalingkan wajahnya. Ia menatap Paman Kadi dgn tatapan haru.
“Kau boleh tinggal bersamaku. Meski tanah telah menelan separuh rumahku. Masih ada sisa ruang yg mampu kau tempati.”
Sobari membeku. Lidahnya kelu. Perasaannya sejenak mengharu.
“Bagaimana mungkin gue menjadi beban orang yg sama-sama tengah didera petaka. Tidak. Aku tak mau menyibukkan orang lain,” batinnya.
“Terima kasih, Paman. Akan gue pertimbangkan nanti. Izinkan gue terlebih dahulu mengabdikan sisa hidupku untuk orang lain.”
“Lalu di mana kamu akan tinggal?”
“Sementara waktu gue akan tinggal di posko. Di Masjid Kabir. Akan gue hibahkan tenagaku untuk membantu orang-orang yg memerlukan.”
“Baik, bila itu memang keputusanmu. Kami, aku, & bibimu siap menerimamu kapan saja kau datang.”
Paman Kadi pamit pergi. Sementara Sobari masih memegang dekat nisan neneknya. Tak ingin lekang.
Hujan tangis di penghujung bulan kemarau tak pula surut pada mata-mata yg tak lelah menjadi saksi tangan-tangan pengais puing-puing rumah. Sementara Sobari tidak mau berlarut-larut dlm kesedihan itu. Ia menolong semampunya. Menjadi petugas keterangan, membagi-bagikan makanan, hingga mengusung keranda mayat ke pemakaman.
Hari kelima setelah peristiwa mengerikan itu, gerimis mulai datang. Aroma tanah mengudara. Sobari yg semenjak tadi duduk di bawah suatu pohon tak pula beringsut. Ia menikmati gerimis sembari melihat lubang & ceruk-ceruk yg perlahan terisi air. Tak lama kemudian, seekor ular keluar dr reruntuhan bangunan. Disusul ular-ular yg lain. Melihat keganjilan itu, Sobari bergidik. Ia beranjak menuju masjid.
Menjelang tengah malam. Sobari duduk menyendiri di atas reruntuhan sebuah gedung. Matanya menerawang ke langit. Menghunus ke sekumpulan bintang. Sesekali pandangannya terlempar ke tumpukan puing bangunan. Pada ketika itulah matanya tertambat pada sepasang cahaya berwarna merah. Cahaya itu seperti sepasang mata. Tak usang kemudian timbul puluhan bahkan ratusan cahaya yg sama dr balik puing & tanah yg rekah. Cahaya-cahaya merah itu lalu menyerbu sekumpulan cahaya putih yg baru saja menyembul dr balik tanah & lumpur. Cahaya putih itu persis dgn cahaya yg dilihatnya tempo hari.
Begitu usang panorama itu terekam mata Sobari. Namun anehnya, orang-orang yg berada tak jauh dr Sobari tak mengenali akan hal itu. Setelah beberapa lama Sobari gres menyadari bahwa cahaya merah serupa mata itu tak lain adalah sorot mata ular. Ingatannya langsung terlempar pada dongeng nenek sebelum meninggal. “Apakah ini balasan dr kelanjutan mimpi nenek sebelum meninggal,” batin Sobari. Ia tak mampu berbuat banyak selain menatap pedih atas peristiwa yg sedang terjadi di depan matanya.(*)