close

Kelabu di Kepala | Cerpen Rizki Turama


UDARA terasa lebih pekat. Awan sama putih, langit sama biru, namun udara lebih berat ketimbang daerah lain. Anwar membuka kancing teratas kemeja kerjanya. Panas. Seperti biasa. Meskipun penyejuk ruangan sudah berada di suhu terendah, uap panas terus menerjang seperti tak hendak dikalahkan. Sementara itu, mata Anwar memandang layar lekat-lekat. Masa depan orang banyak dipertaruhkan dlm laporan yg akan ia buat & ia harus fokus, namun ia masih bimbang.

*****

BAYANGAN anaknya pula tak ingin menjauh. Anak yg sekarang masih berusia lima tahun. Anak yg tatkala tidur acap kali diamati lamat-lamat olehnya. Anak dgn wajah pulas. Polos. Tenteram. Dan tentu saja tanpa diganggu oleh batuk sama sekali. Ia suka sekali menyaksikan wajah pulas itu. Lama-usang. Lekat-lekat. Hingga ia pula tertidur. Berharap sama lelap. Sama pulas. Sama nyaman.

Masalahnya, begitu kalender berubah, gadis kecil itu sudah harus mengenakan seragam putih merah. Dan kau tahu, itu mempunyai arti ongkos tambahan mesti dikeluarkan dr penghasilan yg tak kunjung bertambah-tambah juga. Mungkin bantu-membantu biaya yg dikeluarkan sebaiknya tak sebesar yg dikhawatirkan, tetapi selalu ada gengsi yg menyertai membuat segala sesuatu jadi lebih sukar untuk dilakoni.

Seperti tatkala akan menikah dahulu, ia sadar betul bahwa biaya menikah seharusnya murah. Tetapi, calon mertua berkata, “Masak iya pegawai tambang menikah apa adanya? Menikah itu kan cuma sekali seumur hidup.”

Ia ingin menjawab bahwa biaya yg besar itu lebih baik digunakan untuk beli rumah dibandingkan habis untuk pesta sehari. Tetapi, berbicara mirip itu akan menyebabkan relasi yg telah dibangun selama bertahun-tahun runtuh dlm semenit. Juga bermakna cintanya yg menggelora pada gadis pujaan harus kandas di ujung lidah. Maka, ia hanya menganggukkan kepala & menyerah pada tahana. Tanpa ia sadari, itu adalah permulaan mula perjalanan panjang menghadapi hal-hal serupa.

Ketika akan membeli rumah sederhana dengan-cara kontan, istrinya bilang, “Apa kata tetangga kalau tahu kamu pegawai tambang tapi berumah kecil dgn subsidi pemerintah, Bang?” Maka, ia pun mencicil suatu rumah dgn tipe tujuh dua & luas tanah yg mumpuni.

Begitu pula tatkala ia akan membeli mobil bekas dr tipe minibus, ibunya sendiri mengatakan, “Kau itu jangan pelit dgn diri sendiri. Gajimu sebagai pegawai tambang kan besar. Kok beli minibus bekas. Ya paling nggak beli sedan baru lah.” Jadilah ia memperbesar jumlah yg mesti dibayarkan sebagai cicilan setiap bulan.

  Dongeng Terakhir untuk Jingga | Cerpen Mufti Wibowo

Dan ada begitu banyak hal lain yg sejenis itu. Hidup ternyata lebih rumit ketimbang yg pernah ia sangka. Parahnya, Anwar yakin perihal putri kecilnya yg akan sekolah itu pula akan menuju muara yg tak beda jauh. Sekolah tak boleh di kawasan biasa. Baju tak sepantasnya memakai yg tolok ukur. Semua mesti di atas rata-rata alasannya adalah ia bekerja di tambang batu bara yg populer mengalirkan terlalu banyak cuan.

Di momen-momen tertentu Anwar berharap serta membayangkan kedamaian hati yg mungkin mampu ditemukan oleh orang-orang yg tak mempunyai begitu banyak gana. Tentu tak akan ada tuntutan yg begitu banyak menyertai. Begitu pikirnya hingga suatu hari ia menyaksikannya sendiri suatu pemandangan yg sebetulnya biasa-biasa saja di sebuah perempatan jalan. Tidak istimewa. Tetapi tampil di hadapannya di waktu ia sedang ringkih-rapuhnya.

Pagi sebaiknya tak memperlihatkan panas menyengat, tetapi kota kecil itu memang mirip senantiasa dipeluk udara yg membara semenjak tambang-tambang semakin merajalela. Di bersahabat tiang lampu merah, seorang ibu paro baya membawa karung goni. Memulung sampah-sampah di sepanjang jalan. Di punggungnya, seorang anak kecil sekitar lima tahun tertidur pulas. Polos. Tenteram. Seolah tak terusik pada apa pun. Wajah pulas itu mau tidak ingin melemparkan Anwar pada ingatan ihwal putrinya sendiri.

Dadanya sesak. Anakku tak boleh selsai mirip itu, batinnya. Sungguh tak boleh.

*****

Anwar tahu persis ada yg tak beres dgn tempatnya melakukan pekerjaan . Salah satunya adalah ketiadaan beberapa barang yg wajib ada sebagai perusahaan tambang. Apalagi tambang ini berada begitu dekat dgn permukiman. Mulanya Anwar hanya tahu dr sang ayah yg dulu melakukan pekerjaan di sini juga. Ayah jugalah yg menceritakan banyak hal. Tentang yg harusnya ada namun tak ada. Juga ihwal efek-dampak yg mungkin muncul jika alat-alat itu tak ada.

“Tapi, ayah tak bisa berbuat apa-apa. Nanti kalau kamu sudah besar, kamu yg harus memperbaiki kebobrokan ini.”

Begitu kata ayahnya. Waktu itu, Anwar belum terlalu mengerti. Masih pakai putih biru tatkala menuntut ilmu. Ayahnya sendiri tak sempat menerangkan hingga ia paham betul karena keburu kalah melawan penyakit paru-paru.

  Warung Tetangga | Cerpen Sulistiyo Suparno

Saat sudah mulai kuliah & bertanya pada ibu, ia cuma mendapat balasan bahwa untuk mewujudkan yg diinginkan sang ayah ia harus belajar sungguh-sungguh. Juga mesti mampu menerima jabatan yg lebih tinggi dr sang ayah. Jika tidak, wasiat itu akan jadi kalimat yg sia-sia.

Mengingat betapa batuk tak pernah betul-betul pergi dr ayahnya bahkan hingga dikala kematian. Mengingat semua rasa sakit & penderitaan yg mesti ditanggung selama bertahun-tahun. Anwar benar-benar serius dgn niatnya. Ia berharap nanti sang ayah di alam sana mampu tertidur dgn pulas tanpa dibangun paksa oleh batuk yg menyiksa.

Mungkin lantaran memang sejak awal Anwar bukan anak yg ndeso. Mungkin pula karena doa ibunya yg tak coba-coba. Mungkin pula karena ia dikenal selaku anak salah satu orang yg pernah bekerja di perusahaan itu. Mungkin pula campuran dr beberapa kemungkinan itu sekaligus, Anwar sukses diterima di perusahaan tambang sasaran. Dengan jabatan yg lebih tinggi ketimbang jabatan ayahnya dahulu.

Tidak butuh waktu usang untuk mengerti apa yg pernah disampaikan sang ayah semasa hidupnya. Anwar secepatnya tahu apa saja alat-alat yg tak ada itu. Tapi, di antara seluruhnya, ia fokus pada ketiadaan penyaring udara. Hal yg paling mungkin menawarkan pemberian tak ternilai pada sakit paru-paru yg diderita ayahnya.

Dengan mata tetap menghadap layar, Anwar teringat dulu ayahnya bukanlah satu-satunya orang yg menderita penyakit paru-paru. Di kompleks tempatnya tinggal setidaknya ada tiga orang. Satu di antaranya anak kecil. Di kompleks sebelah pula ada empat. Gejala yg sama. Batuk yg sama. Derita yg sama.

Memang sebagian besar pegawai tambang tinggal tak jauh dr lokasi tambang itu sendiri. Di suatu kompleks yg telah ditawarkan. Kompleks yg pula berdekatan dgn perumahan-perumahan lain. Perumahan-perumahan yg menyebarkan panas yg seringkali menjadikannya berpikir bahwa di kawasan itu pernah mendarat sedikit percikan api neraka.

Anwar terpekur. Layar masih menyala. Laporan belum bisa ia tuntaskan walaupun kesimpulan sudah ada. Ia terombang-ambing dlm sangsi. Masa depan orang banyak dipertaruhkan. Sialan, batinnya.

Saat itu tubuhnya memang ada di kantor, tetapi pikiran Anwar kembali terlempar ke perempatan. Ia tahu mungkin dua anak beranak itu bukanlah ibu & anak. Mungkin mereka hanyalah serpihan dr bisnis yg dijalankan orang-orang demi mengais rasa iba orang lain. Tapi ia pula sadar, sungguh mungkin dua orang itu tak memiliki opsi lain. Sistem yg menciptakan mereka ada di posisi itu.

  Kisah Sepotong Roti | Cerpen Mashdar Zainal

Di kantornya, Anwar tahu bahwa ia ada di bulat yg semestinya mampu mengontrol sistem. Setidaknya laporan yg ia buat mampu mempunyai dampak serius pada metode yg selama ini telah mapan & tak terbantahkan. Ia sudah berlangsung begitu jauh agar apa yg bobrok menurut ayah mampu ia perbaiki dr dalam. Kini ia ada di posisi yg bisa didengarkan.

Dengan menghela napas panjang, matanya kembali terbuka. Tangannya mengetik. Keputusan hari itu benar-benar pelik & tamat laporan berbunyi: Penyaring udara tak diharapkan.

*****

Udara di sana lebih panas daripada daerah-tempat lain, Anwar tahu. Awan sama putih, langit sama biru, tetapi udara lebih berat ketimbang tempat lain, itu pula Anwar tahu. Sebab, ia tahu ada serbuk-serbuk hitam halus yg mengambang di sana. Serbuk-serbuk yg sebaiknya mampu disaring. Anwar tahu itu.

Yang tak ia tahu adalah apa yg mesti dilakukannya saat putri semata wayangnya mulai terbatuk-batuk. Tidak lagi mampu tidur dgn pulas. Damai. Tenteram. Batuk yg sama dgn yg merongrong ayahnya dulu. Batuk yg pula terus mengunjungi entah berapa lagi orang yg tinggal di bersahabat tempatnya kerja.

Di tengah ketidaktahuannya itu, Anwar melihat awan-awan putih di atas sana mirip menghitam. Lalu tersenyum mengerikan. Lalu melemparkan kutuk padanya. Suara-bunyi mendengung di kepala.

Masak iya anak pegawai tambang cuma dapat pengobatan seadanya?

Apa kata tetangga kalau berobat batuk saja tak mampu?

Jangan terlalu pelit dgn diri sendiri. Anak batuk-batuk begitu, masak gak bisa beli obatnya?

Awan-awan di sana makin hitam. Pekat. Udara makin panas. Anwar merasa keringat masbodoh mengucur dr seluruh tubuhnya.

Lelaki tersebut teringat ucapan atasannya sesaat sebelum keputusan dibuat, “Kalau kamu melanjutkan tradisi, kau penggalan dr kami. Kalau laporanmu tak sesuai keinginan kami, kamu akan terpaksa kami keluarkan. Silakan pilih.”

Senyum atasannya terasa begitu penuh ancaman. Ingatannya kembali terbang pada anak beranak di perempatan. Mereka tak punya opsi. Betulkah?

Uhuk! Uhuk! (*)