close

Falsafah Hidup Dalam Al Jurumiyah

Kitab matan “Al-Jurumiyah” ialah karya Imam Al Sonhaji yang masih dipelajari sampai ketika ini. Sebuah kitab ringkas namun padat yang berisi kaidah-kaidah ilmu nahwu dan menjadi kitab rujukan para pelajar pemula dalam mendalami ilmu nahwu (kaidah bahasa Arab) di berbagai dunia. Selain ringkas, kitab mungil ini juga gampang dihafal oleh para pelajar. Selain memiliki kandungan ilmu tata bahasa, kitab ini juga memiliki filsafat-filsafat hidup dan nasehat yang sungguh berharga bagi setiap generasi. Falsafah hidup yang termaktub dalam kitab itu sendiri merupakan “aturan” atas sebuah kalam atau kalimat dalam ilmu nahwu.

Berikut Falsafah-falsafah yang terkandung dalam Al Jurumiyah :

Bersatu Kita Terhormat

Dalam ilmu nahwu, harakat “dhommah” yakni ialah salah satu tanda dari i’rab “rofa’”. Secara lafdziah lafadzh dhommah memiliki makna bersatu. Sedangkan kata rofa’ memiliki arti tinggi. Kajiannya adalah bila kita mampu bersatu dengan sesama, mampu mempertahankan kesatuan dan persatuan, dapat mempererat tali persaudaraan, bukan mustahil kita akan menjadi umat yang terhormat dan tinggi (rofa’) di antara bangsa dan umat lain.
Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT :
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
Artinya : ”Bersatulah kalian pada tali (agama) Allah, dan janganlah kalian berpecah belah” (Ali Imran: 103).
Sedangkan untuk menerima derajat tinggi mesti menyanggupi syarat, di antaranya ialah iktikad. Firman Allah SWT,
وَلَا تَهِنُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Artinya : “Janganlah kalian merasa hina dan duka, padahal kamu tinggi bila kamu beriman” (Ali Imran: 139).
Ada beberapa keriteria sehingga orang mampu menerima derajat rofa’ (tinggi). Sebagaimana dijelaskan dalam Al Jurumiyah, bahwa di antara kedudukan kalimat yang mendapat hukum rofa’ atau marfu’ (yang diberi penghargaan tinggi) yakni: fa’il, naib fa’il, mubtada’, khobar dan tawabi’ marfu’ (sesuatu yang mengikuti segala kalimat marfu’) mirip sifat (na’t), badal, taukid dan ‘atof. Hal ini mampu dijelaskan selaku berikut:
1. Fa’il (penggerak). Bila kita ingin menjadi orang yang dihargai, tinggi dan tidak terhina, maka hendaklah kita berbuat, bekerja dan berupaya, tidak bermalas-malasan atau hanya mengharap belas kasih orang lain. Hanya orang yang aktif dan pro aktiflah (fa’il) yang membuahkan karya-karya dan amal dan menjadi terhormat di lingkungannya. Firman Allah SWT:
وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ
Artinya : “Dan katakanlah (hai Muhammad) : Bekerjalah kalian! bahu-membahu pekerjaan kalian akan dilihat oleh Allah, RasulNya dan kaum mu’minin” (At Taubah : 105).
Sabda Nabi Muhammad SAW: “tangan di atas (pemberi) lebih baik dari tangan di bawah (peminta)”.
2. Naibul fa’il (mewakili tugas-peran penggerak) yaitu tipe kedua orang yang menerima derajat tinggi. Meskipun dia berkedudukan sebagai wakil, tapi beliau mengerjakan pekerjaan yang dilaksanakan fa’il walau mesti menjadi penderita dalam kedudukannya selaku kalimat. Sebagai teladan dalam hal ini yakni sobat Ali ra. Beliau pernah mengambil alih Rasulullah di kawasan tidurnya dengan resiko yang tinggi berupa pembunuhan yang mau dikerjakan para perjaka musyrikin Makkah dikala Rasulullah berniat melaksanakan hijrah ke Madinah.
Contoh lain adalah para huffadz yang diutus Rasulullah untuk mengajarkan agama atas seruan salah satu suku di jazirah Arab, tetapi nasib mereka naas dikhianati dan dibunuh para pengundang. Mendengar hal itu, Rasulullah pun membacakan do’a qunut nazilah sebagi rasa ta’ziyah. Dengan do’a dari Rasul tersebut, tentu saja mereka yang wafat menerima kedudukan mulia di segi Allah, juga oleh sejarah.
3. Mubtada (pioneer), orang yang pertama melahirkan pandangan baru-ide faktual lalu diaplikasikannya di tengah-tengah masyarakat sehingga berguna bagi kehidupan manusia adalah orang yang layak mendapat derajat rofa’ (tinggi). Oleh alasannya itu Rasulullah SAW bersabda: “ Barang siapa mengawali sunnah hasanah (inspirasi aktual dan konstruktif) maka baginya pahala dan pahala orang yang melakukan pandangan baru (sunnah) tersebut”. Ada pepatah Arab menyampaikan “Perhargaan itu hanyalah milik orang pertama memulai, walaupun orang yang datang kemudian mampu melakukannya lebih baik”
4. Khobar (gosip). Mereka yang mempunyai khobar (informasi) itulah orang yang menguasai. Demikian salah satu perumpamaan dalam ilmu komunikasi. Di dunia ini sebenarnya tidak ada orang yang lebih banyak ilmunya dari seorang lain. Yang ada yaitu sebab orang itu lebih banyak menerima dan menyerap isu dari yang lain. Membaca buku, apapun buku itu, sebetulnya kita sedang menyerap suatu info. Dan sebanyak itu berita yang kita peroleh sebesar itu pula kadar maqam kita. Informasi mampu kita peroleh lewat banyak sekali cara, termasuk di dalamnya pengalaman.
5, Tawabi’ Marfu’ (Mereka yang mengikuti jejak langkah orang yang menerima derajar tinggi). Jelas, semua orang yang mengikuti langkah dan perjuangan mereka yang menerima derajat tinggi, maka mereka akan dihargai. Allah berfirman:

“Sungguh dalam diri Rasulullah ada suri tauladan yang layak ditiru bagimu”.

Ayat ini memastikan terhadap kita untuk mengikuti Rasulullah yang telah mendapatkan maqoman mahmudah (kedudukan terpuji) di segi Allah biar kita mendapat hal yang serupa di sisiNya. Di samping itu, salah satu orang yang hendak mendapat derajat tinggi ialah para penuntut ilmu. Firman Allah SWT :
“Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman di antara kamu dan mereka yang diberi ilmu dengan beberapa derajat” (Al Mujadalah: 11).
Ilmu ialah warisan para nabi, dan siapa yang mengikuti (tabi’) langkah nabi ia akan mendapat kehormatan (rofa’)

Berpecah Belah Adalah Kerendahan

Tanda kasroh dalam ilmu nahwu adalah salah satu tanda aturan khofadh. Secara harfiah, kata kasroh berarti pecah atau perpecahan. Sedangkan kata khofadh mempunyai arti kerendahan atau kehinaan. Dengan demikian suatu umat akan mengalami kerendahan dan kehinaan kalau mereka melakukan perpecahan, tidak bersatu dan tidak berukhuwah. Wajar saja bila para lawan memakan dengan lahapnya kekayaan kaum (muslimin) disebabkan mereka tak inginbersatu dan mempertahankan persatuan. Inilah yang pernah dikhawatirkan oleh Nabi Muhammad SAW empat belas masa kemudian, tatkala dia menyatakan bahwa suatu dikala umat Islam akan menjadi santapan umat lain mirip srigala sedang mengkonsumsi masakan. 
Para teman bertanya: “Apakah saat itu jumlah kita sedikit ?” 
Rasul menjawab: “Tidak, justru kalian ketika itu menjadi dominan, namun mutu kalian seperti buih. Sungguh Allah akan mencabut rasa takut dari musush-lawan kalian terhadap kalian dan Allah akan membuang dalam diri kalian penyakit al-wahan”. 
Sahabat mengajukan pertanyaan: “apakah penyakit al-wahan itu?”
Rasul SAW menjawab: “cinta dunia dan takut mati”.

Dengan penyakit itulah, umat Islam mengalami perpecahan. Sebab yang diperjuangkan bukan lagi agama mereka, tetapi bahan dan keduniaan yang pada kesannya tidak lagi mengindahkan kekompakkan dan persatuan di antara sesama ummat Islam.
Di samping itu sifat buih, seberapa banyak dan sebesar apapun, beliau akan terombang-ambing oleh angin yang meniupnya. Itulah tamsil umat Islam yang tidak memperkokoh persatuan.
Hal inilah yang diisyaratkan oleh Al-Sonhaji, bahwa penyebab segala isim (nama) menjadi makhfudh (rendah dan hina) adalah alasannya adalah tunduk dan ikut-ikutan terhadap karakter khofad (faktor kerendahan). Atau dalam perumpamaan nahwu lain, isim menjadi majrur (objek yang terseret-seret/mengikuti arus) sebab disebabkan mengikuti karakter jar (faktor yang menyeret-nyeretnya) 
Karena itu, hendaknya ummat Islam selalu menjadi ikan hidup di tengah samudera. Meskipun air samudera terasa asin, tetapi sang ikan hidup tetap terasa tawar. Sebaliknya, jikalau ummat ini bagaikan ikan mati, maka beliau dapat diperbuat apa saja sesuai keinginan orang lain. Bila diberi garam ia akan menjadi ikan asin dan lain sebagainya.

Berusahalah, Maka Jalan Akan Terbuka

Dalam kaidah ilmu nahwu, di antara tanda nashob adalah fathah. Secara lafdziah, kata nashob bermakna melakukan pekerjaan dan berpayah-payah. Sedang kata fathah memiliki arti terbuka. Dalam hal ini, maka mereka yang akan melakukan pekerjaan dan berupaya serta berpayah-payah (nashob) dalam perjuangan, maka mereka akan menerima jalan yang terbuka (fathah). Sesulit apapun problem yang dihadapi, bila berusaha dan berpayah-payah untuk mengatasinya, maka insya Allah akan menemukan jalan keluarnya.
Oleh alasannya adalah itu Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya Aku tidak akan menyia-nyiakan amal orang yang berbuat di antara kalian dari pria dan perempuan”. (Ali Imran: 195).
Dalam Kitab Diwan As-Syafi’i. Imam Syafi’i pernah menulis bait syair selaku berikut:
Pergilah bermusafir, maka anda akan peroleh pengganti orang yang anda lewati; Bersusah payahlah !, alasannya kenikmatan hidup ini didapat dengan bersusah payah (nashob).

Sungguh saya menyaksikan mandeg-nya air dapat merusakkan dirinya; Namun bila dia mengalir dia menjadi baik. Dan bila menggenang dia jadi tidak baik.

Dalam bait syair ini, Imam Syafi’i ingin memastikan, bahwa orang yang berpangku tangan dan tidak mau bersusah payah akan menjadi rusak, bagaikan rusaknya air yang tergenang sehingga menjadi comberan yang kotor dan busuk. Sebaliknya, kalau dia mau bersusah payah dan bergerak maka beliau bagaikan air jernih yang mengalir. Indahnya kenikmatan hidup ini terletak pada bekerja keras.
Bahkan al-Alquran mengisyaratkan kepada kita untuk tidak bersantai di tengah waktu-waktu senggang kita. Bila usai melaksanakan satu pekerjaan, cepatlah melakukan hal lain. Firman Allah SWT:
“Dan jika kau tamat (melaksanakan tugas), maka lakukanlah tugas lain (nashob)” (Al Insyiroh: 7).

Kepastian Akan Menimbulkan Rasa Tenang

Kaidah lain yang terdapat dalam ilmu nahwu ialah, bahwa di antara tanda jazm yakni sukun. Secara lafdziah, kata jazm memiliki arti kepastian. Sedang kata sukun berarti ketenangan. Ini mengajarkan terhadap kita, bahwa kepastian (jazm) akan melahirkan rasa ketenangan (sukun). Orang yang tidak mendapatkan kepastian dalam sebuah masalah lazimnya akan mencicipi kegelisahan. Sebagai teladan seorang remaja yang ingin melamar seorang gadis kemudian tidak menerima kepastian, dia akan mengalami kegalauan. Demikian juga orang yang hidupnya sendiri, dia tidak mendapatkan ketenangan. Oleh alasannya itu Allah SWT mengisyaratkan kita agar memiliki sahabat pendamping dalam hidup ini agar menerima ketenangan. Firman Allah SWT:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan Allah adalah Ia menjadikan bagimu pasangan dari jenismu (insan) agar kalian merasa nyaman kepadanya” (Ar Rum: 21).