Desain Fitrah Dalam Al-Qur’an

Dalam pemahaman yang sederhana perumpamaan definisi fitrah sering dimaknai suci dan potensi. Secara etimologis, asal kata fitrah / fitroh / pitrah berasal dari bahasa Arab, ialah fitrah (فطرة) jamaknya fithar (فطر), yang suka diartikan perangai, akhlak, peristiwa, asli, agama, ciptaan.[1] Menurut Muhammad Quraish Shihab, ungkapan fitrah diambil dari akar kata al-fithr yang bermakna belahan. Dari makna ini lahir makna-makna lain, antara lain pencipta atau kejadian.[2]

Dalam gramatika bahasa Arab, sumber kata fitrah wazannya fi’lah, yang artinya al-ibtida’, yaitu membuat sesuatu tanpa teladan. Fi’lah dan fitrah adalah bentuk masdar (infinitif) yang memperlihatkan arti keadaan. Demikian pula berdasarkan Ibn al-Qayyim dan Ibnu Katsir, sebab fiţir artinya menciptakan, maka fitrah berarti kondisi yang dihasilkan dari penciptaan itu. Menurut hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas, fitrah adalah awal mula penciptaan insan. Sebab lafadz fitrah tidak pernah dikemukakan oleh al-Quran dalam konteksnya selain dengan manusia. [3]

Fitrah insan berlainan dengan tabiat atau tabi’at. Juga berbeda dengan naluri/garizah. Watak atau tabi’at yakni sifat dasar, mirip kalimat tabiat oksigen yakni gampang terbakar. Makara watak yakni karakteristik yang terdiri dari pada bentuk, dan bahan (mâddah). Inilah yang ialah akhlak atau tabi’at sebuah benda. Sedangkan naluri atau garizah yaitu sifat dasar. Sifat dasar ini bukan muktasabah (bukan diperoleh). Misalnya, anak kuda begitu lahir langsung bisa bangun. Semut, meskipun binatang kecil tetapi mampu mengumpulkan kuliner. Inilah yang disebut naluri atau garizah. Dalam naluri tidak terdapat kesadaran yang penuh. Untuk binatang, fitrah ini disebut naluri. Fitrah sama dengan watak (tabi’at) dan naluri ini juga bukan diperoleh lewat perjuangan (muktasabah). Bukan pula alasannya adalah khuduri (perolehan). Istilah fitrah biasanyauntuk insan, naluri lazimnya untuk hewan, dan watak umumnyauntuk benda. [4]

Dalam al-Qur’an kata fitrah disebutkan sebanyak 20 kali, terdapat dalam 17 surat dan dalam 19 ayat, timbul dengan aneka macam bentuknya. Ada dalam bentuk madhi, fiil mudhari, isim fail, isim maful dan isim mashdar. Dalam bentuk fi’il madi sebanyak 9 kali, dimana fitrah bermakna membuat, menyebabkan. Kemudian dalam bentuk fi’il mudari’ sebanyak 2 kali, yang mempunyai arti pecah, terbelah. Dalam bentuk isim fa’il sebanyak 6 kali yang bermakna menciptakan, yang menjadikan. Dalam bentuk isim maf’ul sebanyak 1 kali yang memiliki arti pecah, terbelah. Dan dalam bentuk isim maşdar sebanyak 2 kali yang bermakna tidak sepadan. [5]

Dari 20 kali penyebutan kata fitrah ini hanya satu ayat yang memberikan bentuk fitrah secara terang, yakni dalam surat al-Rûm ayat 30. Kata fitrah dalam ayat ini memiliki beberapa arti. Dalam kamus Al-Munawwir, kata fitrah diartikan dengan naluri (pembawaan).[6] Kemudian Mahmud Yunus menyampaikan, kata fitrah diartikan selaku agama, ciptaan, perangai, kejadian asli.[7] Dalam Kamus Bahasa Indonesia (KBBI), kata fitrah diartikan dengan sifat asli, bakat, pembawaan perasaan keagamaan.[8]

Selain itu, Lusi Makluf mengatakan, kata fitrah diartikan dengan agama, sunnah, insiden, akhlak. [9] Kamus Indonesia-Inggris susunan John Echols dan Hasan Sadili, mengartikan fitrah dengan natural, tendency, disposition, character.[10] Dan Kamus Arab-Melayu mengartikan fitrah dengan agama, sunnah, menyelenggarakan, perangai, semula jadi, insiden (khilqatun). [11]

Berdasarkan beberapa pemahaman wacana desain fitrah sebagaimana tersebut di atas, maka secara biasa makna fitrah beragam, di antaranya yaitu: fitrah dalam artian kejadian permulaan, bentuk awal, kesanggupan dasar, potensi dasar, suci, agama, ciptaan, dan perangai. Fitrah cuma diperuntukkan bagi insan. Sedangkan bagi binatang, fitrah sama dengan naluri atau tabi’at.

Konsep Fitrah Menurut Para Mufasir
Dalam persepsi para mufasir, kata fitrah dalam al-Qur’an terdapat pada 19 ayat. Namun dari sekian banyak ayat al-Qur’an, cuma surat al-Rûm ayat 30 lah yang secara sarih menyebutkan kata fitrah. Dalam ayat tersebut Allah SWT berfirman: Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia berdasarkan fitrah itu. Tidak ada pergantian dalam ciptaan Allah, (itulah) agama yang lurus, namun kebanyakan manusia tidak mengenali.
Al-Qurthubi saat menafsirkan ayat tersebut mengatakan, bahwa fitrah bermakna kesucian, yaitu kesucian jiwa dan rohani. Fitrah di sini yakni fitrah Allah yang ditetapkan terhadap insan, yakni bahwa manusia sejak lahir dalam kondisi suci, dalam artian tidak memiliki dosa.[12] Sementara Ibnu Katsir mengartikan fitrah dengan mengakui ke-Esa-an Allah atau tauhid. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Ibnu Katsir bahwa insan semenjak lahir sudah menenteng tauhid, atau paling tidak ia berkecenderungan untuk meng-Esa-kan Tuhannya, dan berupaya terus mencari untuk mencapai ketauhidan tersebut.[13]

Mufasir lain seperti al-Thabari menyampaikan bahwa makna fitrah yakni murni atau al-ikhlâş, sebab manusia sejak lahir sudah menenteng berbagai sifat, salah satunya yakni kemurnian atau keikhlasan dalam mengerjakan aktivitas.[14] Pendapat ini disokong oleh Hamka, beliau berkata bahwa fitrah adalah rasa asli murni dalam jiwa yang belum dimasuki imbas dari yang yang lain.[15]

Sedangkan al-Maraghi menyampaikan bahwa fitrah mengandung arti kecenderungan untuk menerima kebenaran. Sebab secara fitri, manusia condong dan berupaya mencari serta mendapatkan kebenaran meskipun hanya bersemayam dalam hati kecilnya (sanubari). Adakalanya insan sudah mendapatkan kebenaran, namun sebab faktor eksogen yang mempengaruhinya, maka manusia berpaling dari kebenaran yang diperoleh.[16]
Fitrah juga mampu mempunyai arti peluangdasar manusia selaku alat untuk mengabdi dan berma‘rifat terhadap Allah Swt. Makna fitrah mirip ini kebanyakan diungkapkan oleh para filosof dan fuqaha. Para filosof ajaran empirisme memandang bahwa kegiatan fitrah selaku patokan pemaknaannya. Sedangkan para fuqaha menatap haliah manusia merupakan cermin dari jiwanya, sehingga aturan diterapkan berdasarkan apa yang terlihat, bukan dari hakikat di balik perbuatan tersebut.

  Puisi Berdasarkan Strukturalnya

Pada sisi lain, fitrah juga mampu memiliki arti ketetapan atau kejadian asal manusia mengenai kebahagiaan dan kesesatannya. Pendapat ini sebagaimana diungkapkan oleh Ibnu Abbas, Ka’ab bin Qurodi, Abu Sa’id al-Khudriy, dan Ahmad bin Hanbal. Mereka mengatakan bahwa manusia lahir dengan ketetapannya, apakah beliau nanti menjadi orang yang bahagia ataukah menjadi orang yang sesat. Semua itu bergantung pada ketetapan yang diperoleh semenjak insan lahir. Ketetapan manusia berikutnya disebut dengan fitrah, yang tidak mampu dipengaruhi oleh keadaan eksogen apa pun tergolong proses pendidikan. Apabila ketetapan asalnya baik, proses kehidupannya akan senantiasa baik walaupun pada permulaan perbuatannya sesat. Demikian juga sebaliknya, bila ketetapan asalnya sesat, ia akan menjadi orang yang sesat walaupun beliau beraktivitas seperti orang baik.[17]

Pendapat di atas juga disokong oleh Nurcholis Madjid, dia menyampaikan bahwa fitrah bermakna insiden asal yang suci pada insan, itulah yang menunjukkan kemampuan bawaan dari lahirnya dan intuisi untuk mengetahui yang benar dan yang salah, sejati dan imitasi. Pada fitrah, secara inheren terdapat kecenderungan alami insan dan alam kejadiannya sendiri.[18] Selanjutnya, fitrah juga bisa berarti sopan santun alami yang dimiliki manusia. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh al-Qurthubi bahwa manusia lahir dengan membawa perwatakan (akhlak) yang berbeda-beda. Watak itu dapat berbentukjiwa pada anak atau hati sanubarinya yang mampu menghantarkan pada ma’rifat kepada Allah.[19]

Mufasir lainnya mirip Sayyid Quthub mengatakan, bahwa fitrah ialah jiwa kemanusiaan yang perlu dilengkapi dengan watak beragama, antara fitrah kejiwaan insan dan adab beragama ialah relasi yang utuh, mengenang keduanya ciptaan Allah pada diri insan sebagai kesempatandasar yang memberikan nasihat, mengganti diri ke arah yang lebih baik, mengobati jiwa yang sakit, dan meluruskan diri dari rasa keberpalingan.[20]

Lebih lengkap al-Ghazali mengartikan bahwa fitrah ialah dasar bagi insan yang diperolehnya semenjak lahir dengan memiliki keistimewaan-keistimewaan sebagai berikut:

  1. Beriman kepada Allah SWT;
  2. Kemampuan dan kesediaan untuk mendapatkan kebaikan dan keturunan atau dasar kemampuan untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran;
  3. Dorongan ingin tahu untuk mencari hakikat kebenaran yang berujud daya untuk berpikir;
  4. Dorongan biologis yang berupa syahwat, nafsu, dan watak;
  5. Kekuatan-kekuatan lain dan sifat-sifat manusia yang mampu dikembangkan dan dapat disempurnakan.[21]

Sedangkan Ibnu Taymiyah sebagaimana dikutip oleh Muhaimin dan Abul Mujib menerangkan pembagian fitrah insan menjadi dua macam, yaitu:

  1. Fitrah al-Munāzzalah, ialah fitrah luar yang masuk pada diri manusia. Fitrah ini berbentukpetunjuk al-Qur’an dan al-Sunnah yang digunakan selaku kontrol dan pembimbing bagi fitrah al-Garīzah.
  2. Fitrah al-Garīzah, yakni fiţrah inheren dalam diri insan yang memberi daya akal, yang berguna untuk berbagi kesempatandasar manusia.[22]

Mahmud Yunus mengartikan fitrah dengan agama dan peristiwa. Maksudnya adalah bahwa agama Islam ini bersesuaian dengan peristiwa insan, sedangkan kejadiannya itu tidak berganti. Kalau sekiranya kita biarkan insan itu berpikir dengan pikirannya yang waras, pasti pada jadinya beliau akan sampai terhadap agama Islam. Tetapi alasannya adalah manusia itu terpengaruh oleh akhlak istiadat dan pergaulannya, maka ia menjadi terjauh dari agama Islam. Pendeknya agama Islam itu bersesuaian dengan pikiran yang waras dan logika yang tepat.[23] Di samping alasan tersebut, ada lagi alasan lain perihal fitrah mempunyai arti agama, yaitu karena insan diciptakan untuk melakukan agama (beribadah). Hal ini dikuatkan oleh firman Allah dalam surat al-Dzariyat ayat 56. [24]
Muhammad Quraish Shihab, menyampaikan bahwa kata fiţrah terambil dari kata faţara yang memiliki arti mencipta. Maksudnya yaitu mencipta sesuatu pertama kali/tanpa ada acuan sebelumnya. Dengan demikian kata fitrah dapat juga diketahui dalam arti asal kejadian atau bawaan sejak lahir. [25] Sayyid Quthub menyampaikan bahwa fitrah adalah jiwa kemanusiaan yang perlu dilengkapi dengan budpekerti beragama. Antara fitrah kejiwaan insan dengan akhlak beragama merupakan korelasi yang kuat. Mengingat keduanya ciptaan Allah pada diri manusia selaku potensi dasar manusia yang memberikan hikmah, mengganti diri ke arah yang lebih baik, mengobati jiwa yang sakit dan meluruskan diri dari rasa keberpalingan. [26]

Sedangkan ‘Abdullah Yusuf ‘Ali menafsirkan fitrah dengan ungkapan agama yang lurus (standard religion) atau al-Dîn al-Qayyim. Maksudnya ialah bahwa insan bahwasanya sejak lahir sudah dibekali atau berpeluang memiliki agama yang lurus seperti halnya agama Ibrahim a.s. yang hanîf. Akan tetapi, oleh karena manusia berinteraksi dengan lingkungan alam sekitarnya, adakalanya insan berbuat tidak baik. Oleh alasannya itu, peran para guru agama atau para ulama untuk meluruskan manusia biar kembali ke dalam agama yang lurus atau agama tauhid/Islam dan kembali terhadap Allah SWT yang Maha Esa. Fitrah Allah tersebut tetap dan tidak akan berubah sesuai dengan ketentuan-Nya.[27]

Berdasarkan pembahasan tersebut di atas, maka mampu ditarik kesimpulan bahwa makna fitrah dalam persepsi para mufasir itu bermacam-macam. Namun, dari sekian banyak usulan sebagaimana tersebut di atas, maka yang dimaksud dengan fitrah di sini adalah potensi untuk menjadi baik dan sekaligus peluanguntuk menjadi buruk, potensi untuk menjadi muslim dan untuk menjadi musyrik. Potensi tersebut tidak diubah. Maksudnya, peluanguntuk menjadi baik ataupun menjadi buruk tersebut tidak akan diubah oleh Allah. Fitrah insan ini dibawa semenjak lahir dan terus mengalami perkembangan seiring dengan semakin berkembangnya akal manusia dan pada jadinya insan akan mengakui bahwa Tuhan itu ada sehingga mereka akan kembali kepada Tuhannya. Oleh karena itu, di sinilah betapa pentingnya menjaga fitrah dan sekaligus mengembangkannya bagi kehidupan manusia yang lebih baik. Berkembangnya fitrah dalam diri insan sungguh tergantung pada masukan dari wahyu yang mensugesti jiwa manusia. Dalam hal ini, baik buruknya fitrah insan akan tergantung pada kesanggupan insan itu sendiri dalam berinteraksi dengan anutan Islam.

Konsep Fitrah Menurut Sunnah
Tidak jauh berlainan dengan pemahaman fitrah menurut al-Qur’an, maka pemahaman fitrah menurut Sunnah tidak lepas dari penafsiran kepada al-Qur’an surat al-Rûm ayat 30. Dari ayat tersebut muncul interpretasi sunnah terhadap beberapa pemahaman fitrah , ialah sebagai berikut:
Pengertian pertama dari fitrah berdasarkan Sunnah yaitu fitrah dalam artian suci. Fitrah dalam artian ini sebagaimana dikatakan oleh al-Auza’iy bahwa fitrah yakni kesucian dalam jasmani dan rohani manusia. Kesucian yang dimaksud adalah sebagaimana Hadits Rasulullah Saw:
خَمْسٌ مِّنَ الْفِطْرَةِ الْخِتَانُ وَاْلاِسْتِحْدَادُ وَقَصُّ الشَّارِبِ وَتَقْلِيْمُ اْلاَظَافِرِ وَنَتْفُ اْلإِبْطِ. )متفق عليه عن أبى هريرة(

Lima macam dalam klasifikasi kesucian, adalah berkhitan, memotong rambut, mencukur kumis, menetralisir kuku, dan mencabut bulu ketiak. (H.R. Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah r.a.). [28]

Kesucian yang dimaksud dalam konteks pendidikan Islam adalah, kesucian insan dari dosa waris, atau dosa asal, sebagaimana dikatakan oleh Isma‘il Raji al-Faruqi: Manusia diciptakan dalam keadaan suci, higienis, dan mampu menyusun drama kehidupannya, tak peduli di lingkungan, masyarakat, keluarga macam apa pun dia dilahirkan. Islam menyangkat setiap pemikiran perihal dosa asal, dosa waris, dan tanggung jawab penebusan, serta keterlibatannya dalam kesukuan nasional ataupun internasional.[29] Kaprikornus, pemahaman pertama fitrah menurut Sunnah adalah kesucian (ţuhr), ialah kesucian insan sebagai makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT sejak awal, sehingga insan tidak dibebani dosa warisan atau dosa asal sebagaimana diyakini oleh kaum Nasrani.

Pengertian fitrah kedua menurut Sunnah adalah fitrah bermakna Islam (Dîn al- Islâm). Hal ini sesuai dengan apa yang dibilang oleh Abu Hurairah r.a. bahwa yang dimaksud dengan fitrah ialah agama, sebagaimana Hadits Rasulullah SAW:
اَلاَ اُحَدِِّثُكُمْ بِمَاحَدَّ ثَنِيَ اللهُ فِى كِـتَابِهِ اَنَّ اللهَ خَلَقَ اٰدَمَ وَبَنِيْهِ حُنَفَآءَ مُسْلِمِيْنَ. )رواه عياض بن خمار عن ابى هريرة(

Bukankah aku sudah menceritakan kepadamu pada sesuatu yang Allah menceritakan kepadaku dalam Kitab-Nya bahwa Allah menciptakan Adam dan anak cucunya untuk berpotensi menjadi orang-orang Islam.[30] Oleh sebab itu, anak kecil yang meninggal dunia akan masuk nirwana, karena dia dilahirkan dengan dîn al-Islâm meskipun dia terlahir dari keluarga non muslim.

Pengertian fitrah ketiga berdasarkan Sunnah yakni fitrah berarti murni (al-ikhlaş). Hal ini sebagaimana dibilang oleh al-Thabari bahwa manusia lahir dengan berbagai sifat, salah satu di antaranya yaitu kemurnian (keikhlasan) dalam melaksanakan sebuah acara. Pemkanaan ini didukung oleh Hadits Rasulullah SAW:
ثَلاَثٌ وَهِيَ الْمُنْجِيَاتُ اْلإِخْلاَصُ وَهِيَ فِطْرَةُ اللهِ الَّتِى فَطَرَالنَّاسَ عَلَيْهَا, وَالصَّلاَةُ وَهِيَ الْمِلَّةُ, وَالطَّاعَةُ وَهِيَ الْعِصْمَةُ.)رواه إبن حميدعن معاذ(

Tiga masalah yang menimbulkan selamat, yaitu ikhlash berupa fitrah Allah di mana insan diciptakan darinya, shalat berupa agama, dan taat berbentukbenteng perniagaan. (H.R. Abu Hamid dari Mu’adz). [31]

Pengertian selanjutnya dari fitrah berdasarkan Sunnah yakni fitrah berarti ketetapan atau kejadian asal insan mengenai kebahagiaan dan kesesatannya. Pendapat tersebut dipegangi oleh Ibnu Abbas, Ka‘ab bin Qurodli, Abu Sa‘id al-Khudriy dan Ahmad bin Hanbal.[32] Pengertiannya adalah bahwa manusia lahir dengan ketetapannya, apakah dia nanti menjadi orang yang bahagia ataukah menjadi orang yang sesat. Semua itu bergantung pada ketetapan yang diperoleh semenjak insan itu lahir. Ketetapan insan selanjutnya disebut dengan fitrah, yang tidak mampu dipengaruhi oleh keadaan eksogen apa pun termasuk pendidikan. Apabila ketetapan asalnya baik, proses kehidupannya akan selalu baik walaupun pada awal perbuatannya sesat. Demikian pula sebaliknya apabila ketetapan asalnya sesat, dia akan menjadi orang yang sesat meskipun dia beraktivitas mirip orang yang baik.

Selanjutnya Abu Sa‘id al-Khudriy menukil sebuah Hadits Rasulullah SAW yang artinya:
Ingatlah bahwa anak cucu Adam tercipta atas enam tingkatan, ialah: (1) Dilahirkan dalam kondisi mukmin, hidup sebagai seorang mukmin, dan matinya sebagai orang mukmin pula; (2) Dilahirkan dalam kondisi kafir, hidup selaku orang kafir and matinya pun menjadi kafir; (3) Dilahirkan selaku orang mukmin dan hidup menjadi seorang mukmin, namun matinya selaku orang kafir; (4) Dilahirkan selaku orang kafir, dan hidupnya menjadi orang kafir, namun matinya selaku orang mukmin; (5) baik ketetapan hidupnya; dan (6) baik mata pencahariannya. (HR. Abu Sa’id al-Khudriy). [33]

Pengertian fitrah yang yang lain menurut Sunnah yaitu mempunyai arti budpekerti alami yang dimiliki manusia. Hal ini sebagaimana Hadits Rasulullah SAW:
لَيْسَ مِنْ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ حَتّىٰ يُعَبِّرَعَنْهُ لِسَانُهُ.)رواه مسلم عن معاوية(

Tidaklah seorang anak dilahirkan kecuali tetap pada fitrahnya, sehingga lidahnya memalingkan padanya. (HR. Muslim dari Mu’awiyah). [34]

Dari hadits tersebut di atas mampu dimengerti bahwa pengertian fitrah tersebut yaitu suci atau potensi, bahwa insan lahir dengan menenteng perwatakan (etika) atau kesempatanyang berlawanan-beda. Watak itu mampu berupa jiwa pada anak atau hati sanubarinya yang mampu menghantarkan pada ma’rifat kepada Allah. Sebelum mencapai usia baligh, seorang anak belum bisa membedakan antara doktrin dan kafir. Akan tetapi, dengan potensi fitrahnya, dia dapat membedakan antara doktrin dan kafir alasannya ujud fitrah adalah qalb (hati) mampu menghantarkan pada pengenalan kebenaran tanpa terhalang oleh apa pun, sedangkan syetan hanya dapat membisikkan kesesatan di saat anak sudah mencapai usia berakal balig.

  Makalah Pengertian, Visi, Misi, Tujuan Dan Aturan Pernikahan (Fiqh (Ii) Mu'amalah)

Menurut al-Ghazali, adab manusia terbagi atas empat macam, yakni:

  1. Manusia udik, tidak mampu membedakan yang benar dan yang salah, antara yang indah dan yang jelek. Manusia model ini mudah sekali diubah watak atau tabiatnya.
  2. Manusia yang mengetahui akan kejelekan sesuatu yang jelek, tetapi tidak mau melaksanakan suatu kebaikan bahkan kadangkala melakukan kejelekan dengan dorongan nafsunya. Watak insan mode ini mampu diubah dengan melatih diri untuk menghindari tindakan yang buruk dan membiasakan diri untuk berbuat suatu kebajikan.
  3. Manusia yang telah memiliki keyakinan bahwa buruk itu baik dan indah baginya. Manusia versi ini sulit diperbaiki, kalau pun dapat, cuma sebagian kecil saja.
  4. Manusia yang berkeyakinan bahwa melaksanakan suatu kejahatan merupakan sebuah kebanggaan tersendiri. Manusia versi ini hampir tidak mampu dididik dan diperbaiki wataknya. [35]

Berdasarkan pembahasan tersebut, maka mampu ditarik kesimpulan bahwa fitrah dalam persepsi Sunnah ialah ketentuan Allah (Sunnatullâh) yang melekat pada diri insan selaku makhluk-Nya. Ketentuan Allah yang berlaku bagi manusia tersebut bisa dijadikan potensi dasar insan untuk meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Potensi dasar selaku sunnatullah tersebut meningkat secara menyeluruh dan menggerakkan seluruh aspek yang secara mekanistis satu sama lain saling mempengaruhi menuju ke arah tujuan tertentu yang diharapkan.

Dari klarifikasi di atas, dapat ditarik benang merahnya, bahwa fitrah merupakan peluangdasar insan yang memiliki sifat kebaikan dan kesucian untuk meneriman rangsangan (dampak) dari luar untuk mencapai kebenaran dan kesempurnaan. Walaupun fitrah insan ini bukan satu-satunya peluangyang dimiliki, alasannya insan juga memiliki peluangnafsu yang memiliki kecenderungan pada kejahatan, akan tetapi fitah ini perlu dikembangkan dan dilestarikan. Fitrah manusia ini dapat berkembang dan berkembang secara masuk akal, bila menerima suplay yang dijiwai oleh wahyu. Hal ini pasti harus didorong dengan pemahaman terhadap Islam secara kaffah. Maka benar apa yang dibilang oleh Abdullah,[36] semakin tinggi tingkat interaksi seseorang terhadap al-Islam, maka kian baik pula perkembangan fitrahnya.

Daftar Pustaka Artikel Makalah
[1] Hasan Langgulung, Pendidikan dan Peradaban Islam (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1985), cet. ke-1, hlm. 215.
[2] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‘an (Bandung: Mizan, 1996), cet. ke-1, hlm. 283.
[3] Murtadha Muthahhari, Fitrah (Jakarta: Paramadina, 1989), cet. ke-1, hlm. 6-17.
[4] Ibid. hlm. 17-20.
[5] Muhammad Fu’ad Abdul Bâqi, Mu’jam al-Mufahras Li al-fâz al-Qur’ân (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), , hlm. 522-523.
[6] Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawir, Kamus Arabi-Indonesia (Yogyakarta: Pondok Pesantren Krapyak, 1993), cet. ke-1, hlm.403.
[7] Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah Penafsir Al-Qur’an, 1393/1973), cet. ke-1, hlm. 319.
[8] WJS Purwadarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), cet. ke-12, hlm. 202.
[9] Luis Ma’kluf, Al-Munjid (Beirut: Lil Abâi Yaisul ‘Itiyyina, t.t.), hlm. 619-620.
[10] John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Indonesia-Inggris (Jakarta: Gramedia, 1994), cet. ke-1, hlm.164.
[11] Idris Al-Marbawi, Kamus Arab-Melayu (Mesir: Mustafa Al-Babi wa Auladuhu, 1350 H), hlm. 96.
[12] Al-Qurthubi, Tafsīr Al-Qurţubī, Juz VI (Cairo: Dārus Sa’ab, t.t.), hlm. 5106.
[13] Ibnu Katsir, Tafsīr Ibnu Kaśīr, Juz III (Singapura: Sulaiman Romza’i, 1981), hlm. 432.
[14] Ath-Thabari, Tafsīr Aţ-Ţabārī, Juz XI (Bairut: Dārul Fikr, t.t.), hlm. 260.
[15] Hamka, Tafsīr Al-Azhār, Juz XXI, (Surabaya: Latimojong, 1982), Cet. II, hlm. 100.
[16] Al-Maraghi, Tafsīr Al-Marāgi, Juz VII (Libanon: Dārul Ahyā’, t.t.), hlm. 44.
[17] Al-Qurthubi, Tafsīr., hlm. 5108.
[18] Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992), Cet. I., hlm. 10.
[19] Al-Qurthubi, Tafsīr., hlm. 5108.
[20] Sayyid Quthub, Tafsīr fī Zilâl al- Qur‘ān, Juz VI (Libanon: Dārul Ahyā’, t.t.), hal. 453.
[21] Zainuddin, dkk., Seluk-beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), Cet. I hlm. 66-67.
[22] Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: Trigenda Karya, 1993), Cet. I., hlm. 21.
[23] Mahmud Yunus, Tafsir Qur‘ân al-Karîm, (Bandung: Al-Hikmah, 1389 H/1969 M), Cet. XII hlm. 340-341.
[24] Ibid. hlm. 571.
[25] M. Quraish Shihab, Al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2006), Cet. XII., hlm. 52.
[26] Sayyid Quthub, Tafsir Fî Zilâl al-Qur‘ân Jilid VI (Libanon: Darul Ahya’, t.t.), hlm. 453.
[27] ‘Abdullah Yusuf ‘Ali , The Holly Qur’an: Text, Translation and Commentary (Brentwood Maryland USA: Amana Corporation, 1989), hlm. 1015-1016.
[28] Imam Muslim, Al-Jami‘ Şohih al-Musamma’ Şohih Muslim Juz VIII (Bairut: Dâr al-Ma‘âri, t.t.), hlm.310.
[29] Ismail Raji al-Faruqi, Tauhid, (Bandung: Pustaka, 1988), Cet. I hlm. 68.
[30] Imam Muslim, Şahih Muslim Juz VIII, hlm. 434.
[31] Ibid., hlm. 260.
[32] Al-Qurthubi, Tafsīr Al-Qurthubi, hlm. 5108.
[33] Imam Muslim, Şahih Muslim Juz VIII, hlm. 510.
[34] Ibid., hlm. 510.
[35] Aboebakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tharekat Uraian perihal Mistik, Cet. VI (Solo: Ramadhani, 1990), hlm. 35-36.
[36] Abdullah Dp, Mari Tergakan Fitrah, dalam Muhamin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan, hlm. 23.

Demikian  makalah pendidikan terkait bahan desain fitrah yang terkandung dalam Al-Qur’an. Perlu juga anda baca artikel menarik tentang gejala akhir zaman yang layak untuk ditafakuri.
Selain itu tulisan berbentuk artikel menawan yang lain pada situs kuliah konkret ini yang menerangkan tentang hakikat tulus dalam beribadah terhadap Alloh SWT yang berupa desain pidato / materi ceramah.