close

Semiotika Komunikasi Alex Sobur: Ideologi Dan Mitologi

Ideologi dan mitologi di dalam hidup kita sama dengan isyarat-kode dalam perbuatan semiotis dan komunikasi kita. Tanpa itu, komunikasi tidak mampu berlangsung (Aart van Zoest, 1980).

Ideologi dan mitologi di dalam hidup kita sama dengan kode Semiotika Komunikasi Alex Sobur: Ideologi dan Mitologi


Istilah ideologi dan mitologi sering disebut dalam analisis-analisis ekonomi-politik. Tidak hanya dalam argumentas akademis yang dibuat oleh para teoretikus kritis, tetapi juga dalam laporan-laporan jurnalistik. Pemberitaan pers misalnya, bisa membuat citra yang mengandung unsur-bagian mitos. Namun ada gap antara gosip yang tak lengkap ata ulasan yang sangat spekulatif dengan kenyataan. Ulasan penulis penulis gila ikut menciptakan bagian-komponen mitos itu.

    Istilah mitos juga kerap dipakai dalam pemikiran ekonom politik, hanya saja dalam penggunaan yang lebih proporsional. Analisis ekonomi-politik sering ialah kritik kepada aliran ekonomi konvensional. Keduanya memakai paradigma yang berbeda. Karena itu pandangan keduanya perihal hal yang serupa menghasilkan kesimpulan yang boleh jadi berlainan, bahkan berlawanan. Seringkali hasil aliran ekonomi konvensional dikatakan pengkritik ekonomi-politik sebagai tidak berdasarkan fakta empiris, bias terhadap kepentingan kelas atau menyesatkan; misalnya, tentang soal pangan dan kelaparan dunia.

    Sepuluh pandangan yang “tak benar” tentang persoalan pangan dunia itu, contohnya, disebut oleh Francess Moore Lappe & Joseph Collins selaku mitos-mitos dalam bukunya World Hunger: 10 Myth (1979, 1982, dikutip Rahardjo, 1996:192). Salah satu tanda-tanda yang disebut mitos itu yaitu perihal pendapat lebih banyak didominasi bahwa kelaparan yang terjadi di berbagai tempat di dunia ialah karena kelangkaan (scarcity). Padahal menurut data yang mereka dapatkan, produksi pangan dunia itu sebenarnya lebih dari cukup untuk keperluan pangan seluruh umat insan.

    Boleh jadi, mitos yaitu kebutuhan manusia. Itulah sebabnya mitos dieksploitasi selaku media komunikasi, sebagaimana dibilang Barthes dalam bukunya Mythologies (1993). Dalam buku tersebut dia menyampaikan bahwa sebagai bentuk simbol dalam komunikasi, mitos bukan cuma diciptakan dalam bentuk diskursus tertulis, melainkan sebagai produk sinema, fotografi, advertensi, olah raga dan televisi. Gejala ini memang kita saksikan sehari-hari, terutama dalam advertensi lewat televisi.

    Dikaitkan dengan ideologi maka, mirip dibilang van Zoest (1980), “ideologi dan mitologi di dalam hidup kita sama dengan kode-isyarat dalam tindakan semiotis dan komunikasi kita.” Tanpa itu, menurutnya, komunikasi tidak mampu berlangsung. Setiap penggunaan teks, setiap penanganan bahasa, setiap semiosis (penggunaan tanda) kebanyakan cuma timbul berkat sebuah ideologi yang secara sadar atau tidak sadar diketahui oleh pemakai tanda. Sebuah teks tak pernah terlepas dari ideologi dan memiliki kesanggupan untuk memanipulasi pembaca ke arah suatu ideologi.

    1. Peranan ideologi di dalam semiosis

    Peranan ideologi di dalam semiosis acapkali secara mudah jauh menyelinap, sehingga tidak begitu kentara. Van Zoest (1996b:104) mencontohkan, bagaimana kita dapat mengenali apakah yang dibilang sesuatu yang menyenangkan atau sesuatu yang tidak mengasyikkan, bilamana orang mengatakan perihal seseorang “beliau sungguh sopan”. Di Indonesia, kata van Zoest, ucapan ini mungkin sekali menyenangkan. Di Nederland, hal ini sama sekali tidak pasti. Konotasi kata sopan berhubungan dengan ideologi orang yang berbicara, dan juga berhubungan dengan ideologi orang yang diajak mengatakan. Tidak mengetahui konteks dapat menghentikan komunikasi, tetapi tidak mengetahui persoalan ideologi, menurut van Zoest, jaun lebih membahayakan: orang tanpa menyadarinya dapat keliru dalam menginterpretasi.

    Balibar dan Macherey (1978), seperti dikutip van Zoest, berpendapat bahwa terutama sastralah yang melakukan manipulasi, meski van Zoest sendiri mencurigai apakah benar bahwa “teks sastra sungguh ideal untuk mereproduksi ideologi biasa karena teks sastra dalam kaitan dengan ideologi-ideologinya yang khas perihal penulis dan pembaca sebagai subjek yang bebas, tampaknya terlepas dari segala keharusan” (van Zoest, 1980:70). Bagi van Zoest, manipulasi kisah, atau bualan itu, hanya sekadar gaya. Dan itu lebih menyangkut kepada mitos perorangan.

    Memang dalam sastra, ideologi acapkali memunculkan kejutan, gres dan tak terduga, meski entah dengan cara bagaimana mesti ada kontak antara ideologi dan pembaca. Yang terang, kita mampu memperoleh ideologi dalam teks dengan jalan meneliti pelbagai konotasi yang ada di dalamnya. Salah satu cara yakni mencari mitologi dalam teks-teks semacam itu. Ideologi adalah sesuatu yang abstrak, sementara mitologi (kesatuan mitos-mitos yang koheren) menyajikan inkarnasi makna-makna yang memiliki wadah dalam ideologi.

    “Ideologi harus mampu diceritakan,” kata van Zoest. Cerita itulah mitos. Setiap bangsa mempunyai cerita-kisah kunonya dan kisah-kisah turun temurun yang disebut mitos tentang bangsanya. Mitos yaitu uraian naratif atau penuturan ihwal sesuatu yang suci (sacred), yaitu peristiwa-peristiwa yang luar biasa, di luar dan mengatasi pengalaman insan sehari-hari.

      Kebijakan Evaluasi Pendidikan Dalam Rangka Merdeka Berguru

    Penuturan itu biasanya diwujudkan dalam kisah-cerita, atau legenda wacana dunia supra-natural. Karena itu maka studi wacana mitos lazimnya digali dari cerita-kisah rakyat (folklore).

    2. Ideologi dan Mitos Sulit Dipisahkan

    Di negeri kita, mitos kadang-kadang lebih efektif daripada ideologi pada dikala-saat kritis seperti tahun 1965, alasannya adalah mitos bertumpu pada dogma, sedangkan ideologi pada intelektualitas. Tetapi mitos akan lumpuh pada waktu normal. Jika merujuk pada sejarah, mitos lebih subjektif, ideologi lebih objektif (Kuntowijoyo, 1997:80).

    Meski demikian, antara ideologi dan mitos sepertinya dua hal yang merepotkan dipisahkan. Karena itulah mengapa ideologi Amerika sering diceritakan dalam mitos-mitos. Lewat film-film, contohnya, kekerasan Amerika disahkan. Tidak cuma pada kala film-film koboi tempo dulu yang kerap diperankan pemain drama John Wayne, namun juga hingga aktor-pemain film “keras” kala sekarang: Stallone dan Swazzenegger.

    Dalam perspektif semiotika, mitos dapat dikaji atau ditemukan jejaknya dengan mencari indikasi fiksional dalam teks, yang secara keseluruhan disajikan selaku nonfiksional (melalui indikasi nonfiksional dengan sifat referensial: nama-nama orang yang kita kenal sebagai nonfiktif).

    Kelompok indikasi nonfiksional yang paling penting mungkin adalah indikasi peristiwaan. Peristiwa yang diceritakan boleh jadi sedemikian klise atau begitu tak mampu dipercaya sehingga dunia yang digambarkan, yang pada dasarnya faktual, menawarkan tanda-tanda dunia fiktif mirip yang kita kenal dalam cerita dan sebagainya.

    Mitos, yang bisa dibaca pada “tuturan-tuturan” anonim mirip iklan, pers, dan lain-lain, dikendalikan secara sosial dan merupakan suatu “cerminan” yang terbalik: mitos membalik sesuatu yang kultural atau historis menjadi alamiah. Lewat sebuah kajian semiotika, inversi pada mitos ini dapat “dikembalikan” dengan cara menyeleksi amanatnya ke dalam dua buah tata cara signifikasi: pertama, metode konotasi yang petanda-petandanya bersifat ideologis dan, kedua, sistem denotasi yang berfungsi untuk menaturalisasi proposisi dengan cara memberikan sebuah jaminan berupa sesuatu yang paling “inosens”, yakni bahasa (Budiman, 1999:76).

    Lantas, apa bekerjsama yang disebut ideologi? Apa yang terkandung atau akibat dalam penggunaannya? Apa pula yang dimaksud mitos atau mitologi? Untuk mendapatkan gambaran yang lebih luas, uraian berikut ini menjajal menjelaskannya.

    3. Pengertian dan Teori-Teori Ideologi

    Ternyata, kata ideologi pun diputuskan oleh sejarah. Napoleon dalam kemarahannya kepada musuh-lawannya menyebut mereka “kaum ideologis”, adalah dengan konotasi bahwa mereka tidak ingintahu ihwal realita-bahwa Napoleon sudah menjadi Kaisar Prancis.

    Memang, kata ideologi itu asal-usulnya hanyalah memiliki arti teori pemikiran -ide. Kaum ideolog, seperti disebut-sebut Napoleon, adalah para anggota golongan filosofis di Prancis yang dalam tradisi Condillac menolak metafisika dan mencari dasar ilmu-ilmu budaya pada dasar-dasar antropologis dan psikologis (Mannheim, 1991:74).

    Konsep terbaru tentang ideologi lahir saat Napoleon yang mendapati bahwa golongan filsuf ini menentang ambisi-ambisi imperialnya menghina dan mencap mereka selaku ideolog ideolog. Dari situ kata ideologi itu mengalami kemerosotan makna vang mirip kata “doctrinaire”, yang berdasarkan Mannheim (1991:75), kata itu bertahan hingga hari ini.

    Pada final periode ke-18, Destut de Tracy memunculkan kata ideologi sebagai istilah yang menunjuk pada “ilmu wacana gagasan” (Kaplan, 2000:154). Secara historis memang ungkapan ideologi pertama-tama dikemukakan oleh de Tracy, seorang Prancis yang nunya harapan membangun suatu sistem wawasan, yang ta sebut selaku “science of ideas” (Pranarka, 1987:415). De Tracy sendiri pernah menduduki jabatan penting sebagai orang yang dipercaya untuk membangun metode pendidikan di Prancis. Oleh Napoleon orang-orang mirip de Tracy ini disebut selaku orang-orang yang berimajinasi . Maka itu bagi Napoleon, ideologi bukanlah hal yang besar dan terhormat, melainkan ialah hal yang remeh dan tidak terpakai (walaupun Napoleon sendiri yakni orang yang mempunyai temperamen yang amat ideologikal).

    Di era ke-19, kata ideologi terutama digunakan dalam arti fatwa yang tidak mau mengenali kenyataan, di mana kenyataan yakni apa yang dianggap benar sebab terdapat dalam praktik politik. Dengan adanya kenyataan praktik politik ini, maka dianggap inilah realita dan orang tidak perlu memikirkan persoalannya lagi.

    Mulai saat itulah kata ideologi meninggalkan bidang ilmiah dan mendapat arti politik dan utamanya dipengaruhi penggunaannya oleh Marxisme. Marxisme kemudian memakai istilah ideologi sebagai senjata melawan middle class dengan ajaran mereka. Pemikiran middle class disebut teori saja, sementara teori Marxisme disebutnya “satu-satunya ideologi”. Sebaliknya, jikalau kata ideologi dipakai oleh Marxisme terhadap idea kalangan lain, maka ideologi menerima arti khas, ialah “teori-teori yang menyembunyikan maksud tertentu” (Susanto, 1985:225).

    4. Ideologi Menurut Karl Marx

    Karl Marx, saat itu, banyak mengatakan tentang ideologi. Bahkan salah satu bukunya beliau beri judul The German Ideology. Ideologi menjadi vokabuler yang penting di dalam ajaran politik maupun ekonomi Karl Marx. Bagi Marx, ideologi yakni sebuah bagian dari apa yang disebutnya selaku suprastruktur. Ideologi yakni sebuah wawasan yang dihasilkan oleh kekuatan pada bangunan bawah, adalah kekuatan yang memiliki aspek-faktor bikinan.

    Maka itu ideologi bukanlah pengetahuan yang sifatnya empirikal, diangkat dari kenyataan-realita. Ideologi yaitu suatu rekayasa mental (Pranarka, 1987:415). Ideologi itu terjadi disebabkan sebab kekuatan yang membentuk ideologi itu memerlukannya untuk mampu menjaga posisi dan kekuatannya. Makanya ideologi selalu bersifat fungsional. Ideologi tidak berbicara mengenai kebenaran, tidak berbicara tentang kenyataan empirik, akan tetapi ideologi berbicara mengenai kemanfaatan, kepentingan, kemauan, dan pamrih. Itulah sebabnya maka pada hakikatnya sebuah ideologi selalu dipandang selaku sesuatu yang tidak ilmiah, sesuatu yang tertutup.

    Menurut Marx, semua sistem ekonomi sampai sekaran oleh adanya kelas-kelas bawah dan kelas-kelas atas. Struktur kekuasaan dalam bidang ekonomi itu tercermin juga dalam bidang politik. Salah satu pokok teori Karl Marx yakni bahwa negara secara hakiki ialah negara kelas, artinya negara dikuasai secara eksklusif atau tidak eksklusif oleh kelas-kelas yang menguasai bidang ekonomi (Magnis-Suseno, 2001:120). Karena itu, berdasarkan Marx, negara bukanlah forum di atas penduduk tanpa pamrih, melainkan ialah alat dalam tangan kelas-kelas atas untuk mengamankan kekuasaan mereka.

    Jadi, negara pertamatama tidak bertindak demi kepentingan lazim, melainkan demi kepentingan kelas-kelas atas. Mengajukan sesuatu selaku kepentingan umum bahu-membahu merupakan kepentingan egois pihak yang berpamrih itulah inti dari apa yang oleh Marx disebut sebagai ideologis.

    “Ideologi yaitu fatwa yang menerangkan sebuah keadaan, khususnya struktur kekuasaan, sedemikian rupa, sehingga orang menganggapnya sah. Ideologi melayani kepentingan kelas berkuasa alasannya adalah menunjukkan legitimasi terhadap suatu kondisi yang sebenarnya tidak mempunyai legitimasi” (Magnis-Suseno, 2001:122).

    Kritik ideologi banyak disebut-sebut para andal-Karl Mannheim, misalnya sebagai salah satu derma terpenting teori Marx terhadap analisis struktur kekuasaan dalam masyarakat. Karl Mannheim (Sunarto, 2000:33) setuju pada kesimpulan Marx. Bahkan, dia menyumbangkan suatu analisis ideologi dari perspektif sejarah. Mannheim membandingkan ideologi itu dari satu kala ke masa yang lain, dengan menyatakan tidak ada ideologi yang dapat dimengerti sepenuhnya kecuali relasi kesejaharahannya terang mengenai ide-pemikiran dari periode sebelumnya dan meneliti dampak dari ideologi sebelumnya itu pada kurun terkini.

    Istilah ideologi memang sering kali hanya diartikan sebaga suatu sistem ilham seperti ketika orang berbicara tentang ideolog liberal, konservatif, atau sosialis. David Kaplan, misalnya, memakai ungkapan ideologi untuk mengacu kepada kawasan idea sional dalam suatu budaya (Kaplan, 2000:154). Arthur Schlesinger, Jr. melihat, pembedaan antara gagasan (ideas) dengan ideologi yaitu hal yang berfaedah.

    Menurutnya (1960:47): Gagasan atau ilham yakni kawasan atau pengertian tertentu, sedangkan ideologi merupakan kristalisasi ide menjadi tata cara yang bersifat universal. Gagasan relatif, sedangkan ideologi adikara. Ada orang yang mendapatkan begitu saja pengalamannya yang campur-aduk, tetapi ada pula yang membutuhkan gambaran ihwal sosok rasionalitas-simpulan semesta ini. Pihak yang disebut belakangan itu mendambakan contoh tunggal yang fundamental, yang serba-cakup dan serba menerangkan serta dapat dipahami manusia dan menawarkan serangkaian kaidah yang memadai untuk semua kemungkinan (tak terduga) dalam politik dan kehidupan.

    Bagi Gramsci, ideologi lebih dari sekadar sistem inspirasi. Ia membedakan antara sistem yang berubah-ubah (arbitrary systems) yang dikemukakan oleh intelektual dan filsuf tertentu, dan ideologi organik yang bersifat historis (historically organic ideologies), yaitu ideologi yang diharapkan dalam keadaan sosial tertentu: “Sejauh ideologi itu secara historis diperlukan, dia memiliki keabsahan yang bersifat psikologis: ideologi ‘mengatur’ manusia, dan memperlihatkan daerah bagi insan untuk bergerak, mendapatkan kesadaran akan posisi mereka, usaha mereka, dan sebagainya” (Simon, 2000:83). Ideologi bukanlah fantasi individual, namun terjelma dalam cara hidup kolektif masyarakat. Di sini Gramsci merujuk pada usulan Marx wacana ‘solidaritas keyakinan masyarakat’.

    Sebenarnya, apa pun dan dari siapa pun yang mencoba merumuskan pengertian ideologi, kita secara singkat dapat mengklasifikasikannya ke dalam tiga pengertian atau kecenderungan: yang aktual, yang negatif, dan yang netral.

    5. Positif dan Negatif Ideologi Dikemukakan Jorge Larrain

    Pengertian ideologi secara konkret dan negatif dikemukakan Jorge Larrain (dalam Sunarto, 2000:31). Secara konkret, ideologi dipersepsi selaku sebuah persepsi dunia (worldview) yang menyatakan nilai-nilai golongan sosial tertentu untuk membela dan memajukan kepentingan-kepentingan mereka. Secara negatif, ideologi dilihat sebagai suatu kesadaran imitasi, ialah suatu keperluan untuk melakukan penipuan dengan cara memutarbalikkan pengertian orang perihal realitas sosial. Pengertian ideologi yang demikian juga terlihat dari pertimbangan Franz MagnisSuseno yang menyatakan “Ideologi sebagai keseluruhan sistem berpikir, nilai-nilai, dan perilaku-sikap dasar rohani suatu gerakan, kalangan sosial, atau kebudayaan” (Magnis-Suseno, 1992:230).

    Dalam pengertian netral, ideologi dipersepsi David Kaplan dalam penggunaannya wacana nilai, norma, falsafah, dan iktikad religius, sentimen, kaidah etis, pengetahuan atau pengetahuan wacana dunia, etos, dan semacamnya. “Kami menggunakannya dalam pengertian netral dan umum seperti dimaksudkan oleh penemunya, ialah de Tracy,” kata Kaplan (2000:154).

    Bagi pada umumnya orang, ideologi mewakili suatu kecenderungan lazim untuk menukarkan yang benar dengan apa yang tidak baik bagi kepentingan sendiri. Sekalipun pikiran yang sungguh luas tersebar ini tidak mesti memiliki arti bahwa ideologi ialah sebuah konsepsi imitasi mengenai kebenaran, tetapi anggapan itu mengakui bahwa cuma ada satu ideologi saja yang mampu dikatakan benar; dan ada tanda-tanda bahwa kita dapat memperoleh ideologi mana dikatakan Leonard Binder (1966:210), mampu mengajukan suatu persepsi lain yang juga sudah tersebar luas bahwa selalu ada dua interpretasi atas setiap cerita. Teori yang kedua ini mengemukakan bahwa mungkin saja ada kebenaran dalam setiap dua macam (atau lebih?) perspektif yang berlainan wacana suatu keadaan yang sama.

      Efek Globalisasi, Lokalisasi, Perspektif Geografi

    Di mata Binder, fikiran-asumsi tentang ideologi ini menjadi lebih rumit lagi dengan adanya duduk perkara yang ketiga, yang dapat dirumuskan dalam suatu ucapan yang sering disebut “things are not what they seem,” apa yang dimengerti itu belum tentu sesuai dengan kebenaran (Binder, 1966:210). Persoalan yang ketiga ini, menurut Binder, menyangkut kekerabatan yang tidak begitu tegas antara dunia anggapan kita dan apa yang ada dalam dunia realita.

    Teori perihal ideologi terutama mempermasalahkan tiga soal ini (Binder, 1966:21). 

    1. whether or how self or group interest distorts three understanding” (apakah benar dan bagaimanakah lepentingan sendiri dan kepentingan kalangan mengacaukan kesanggupan untuk mengerti sesuatu);
    2. whether the only validity any ideological view can have is relative to circumstances” (apakah sebuah ideologi itu diterima cuma jika sesuai dengan realita); dan
    3. whether empirical observation gives us any test of the validity of an ideology” (apakah observasi empiris mampu memberi kita suatu watu ujian untuk mengenali validitas sebuah ideologi).

    Batas-batas yang inheren dalam kesanggupan pengamatan empass untuk memperoleh validitas ideologi, berdasarkan Binder, tidak dengan sendirinya membenarkan pendirian relativis kecuali mempersukar bahkan memustahilkan pembuktian persepsi mana yang benar. “Adalah merupakan sifat insan, saya kira, untuk senantiasa berada dalam keadaan sangsi dan berperasaan jangan-jangan lawannya berada pada pihak yang benar,” kata Binder.

    Sebagai implikasi dari keadaan yang rumit ini, di mana relativisme ideologis dipertahankan, baik selaku perkiraan yang valid ataupun yang hanya simpel, kita, ujar Binder, mampu bertanya apakah perspektif-perspektif atau ideologi-ideologi berhubungan dengan sifat-sifat yang tidak berubah dan yang tetap dari setiap kelompok ataukah hal-hal ini berhubungan dengan tingkat-tingkat pertumbuhan yang universal.

    Apakah jawaban seseorang perihal realitas bantu-membantu bergantung pada kedudukan sosialnya, ataukah kesanggupan seseorang untuk mencapai kemajuan dalam dunia ini bergantung pada pandangannya perihal sifat dari realitas? Apakah ideologiideologi itu berdasarkan pengalaman-pengalaman dan kenyataan sejarah yang unik yang sedemikian rupa sehingga sungguh besar perbedaan-perbedaannya; atau apakah ideologi-ideologi itu berdasarkan tingkat rasionalitas dari balasan terhadap dunia?

    6. Perbedaan Pendapat Para Ahli Mengenai Ideologi dan Filsafat

    Dalam hal ini, para jago tentang ideologi dan filsafat sungguh berlainan usulan (Binder, 1966:211). Ada yang berat pada pihak yang satu dan ada yang berat pada pihak lainnya, dan ada pula yang di tengah-tengah. Binder dalam hal ini melihatnya selaku sebuah dikotomi yang sederhana. la merumuskan dikotomi ini selaku “romantik-nasionalis” dan “rasional-evolusionis”. Menurut Binder, kaum rasional-evolusionis sudah banyak berjasa dalam memperkaya pemahaman kita perihal wangsit perkembangan. Biasanya, kata Binder, rumusan ini mengandung tiga tingkat kemajuan ontologis yang mesti dilalui oleh setiap bangsa, sekalipun ada andal-hebat yang mengemukakan dua tingkat saja.

    Ketiga tingkat yang dimaksud Binder itu yakni animisme, spekulasi teologi dan metafisik, serta rasionalitas ilmiah-sebuah trias yang mengingatkan kita pada penggunaan yang tidak terperinci dan tidak tegas bentuknya dari kata-kata “tradisi” dan “kemodernan”. Implikasi dari iktikad yang evolusioner ini ialah, pastinya, bidang ideologi setiap negara harus lewat suatu proses pergeseran wangsit-ilham dan nilai-nilai. Rupanya, tandas Binder, proses ini mampu dipercepat dengan menekankan bagian-bagian asumsi-anggapan rasional-ilmiah yang dimiliki secara universal.

    Sementara itu, dalam ilmu-ilmu sosial diketahui dua pemahaman mengenai ideologi, yakni ideologi secara fungsional dan secara struktural (Surbakti, 1992:32). Ideologi secara fungsional diartikan seperangkat ide wacana kebaikan bareng atau ihwal penduduk dan negara yang dianggap paling baik, sedangkan ideologi secara struktural diartikan selaku sistem kebenaran, seperti ide dan formula politik atas setiap kebijakan dan tindakan yang diambil oleh penguasa.

    Sekarang ini sepertinya banyak bermunculan interpretasi baru yang diberikan kepada nilai-nilai dasar ideologi (Alfian, 1995:90). Ini yakni sesuatu yang masuk akal mengingat kenyataan bahwa penduduk mengalami pergeseran-pergantian. Mereka beranjak dari suatu kenyataan ke realita yang lain dan gres. Proses perubahan atau perpindahan itu barangkali pada awalnya tidak terasa dan terlihat, namun pada jarak waktu tertentu beliau muncul selaku sebuah kenyataan yang amat kentara dan tak mungkin ditolak lagi. Misalnya, penduduk yang semulanya agraris lalu mengalami proses industrialisasi, maka pada tingkat tertentu dari proses itu mereka mungkin akan menyadari dan menyaksikan terjadinya pergeseran yang menonjol dalam diri mereka.

    Sumber:

    Buku SEMIOTIKA KOMUNIKASI
    Hal: 207-216
    Penulis: Drs. Alex Sobur, M. Si.
    Tahun Terbit: 2003
    Penerbit: Rosda