HUKUM PERDATA ISLAM
TENTANG SEWA-MENYEWA SYARIAH
Nama : Annisa
FAKULTAS HUKUM
ILMU HUKUM
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2016
BAB I
PENDAHULUAN
Sejak manusia lahir kedunia telah memerlukan bahan (harta) selaku bekal hidup, alasannya insan perlu makan, busana dan papan (rumah kawasan berlindung). Belum lagi keperluan lainnya, yang cukup banyak jumlahnya. Pada zaman lampau tuntutan hidup insan tidak sebanyak kini ini. Sekarang banyak orang yang tergoda dengan menyaksikan banyak sekali hasil teknologi terbaru dan ingin pula memilikinya. Karena imbas lingkungan, ada orang yang memaksakan dirinya utnuk mendapatkannya, meskipun pada hakikatnya belum dapat terjangkau. Naluri insan pun memang ingin memiliki harta supaya keperluannya tercukupi sebagaimana firman Allah SubhanallahuWata’aladalam Surah Ali-Imran ayat 14 :
Didalam Islam dikenal konsep muamalah, Islam tentang muamalah amat baik, karena menguntungkan semua pihak yang terlibat didalamnya. Fiqih muamalah ialah hukum yang membicarakan wacana korelasi insan dengan insan lainnya dalam suatu masyarakat. Segala tindakan insan yang bukan merupakan ibadah termasuk ke dalam klasifikasi ini. Didalamnya tergolong kegiatan perekonomian masyarakat .Salah satu jenis transaksi ekonomi yang dibahas dalam fiqih muamalah adalah ijaarah (sewa-menyewa). Ijarah merupakan salah satu bentuk transaksi muamalah yang banyak dikerjakan manusia untuk memenuhi keperluan hidupnya. Didalam pelaksanaan ijarah ini yang menjadi objek transaksinya yaitu faedah yang terdapat pada suatu zat. Untuk lebih jelasnya, didalam makalah ini akan di diskusikan persoalan ijarah yang meliputi pemahaman, dasar hukumnya, rukun dan syaratnya, sifat janji ijaaraah, macam-macam ijaarah, tanggungjawab orang yang di gaji/upah serta kesepakatan ijaaraah berakhir.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Sewa-Menyewa (Ijaarah)
“Transaksi kepada sebuah faedah dengan suatu imbalan”.
b. Ulama Mazhab Syafi’i mendefinisikannya:
c. Ulama Malikiyah dan Hanbaliyah mendefinisikannya:
Berdasarkan definisi-definisi diatas, maka komitmen al-ijaarah dilarang dibatasi oleh syarat. Akad al-ijaarah juga tidak berlaku bagi pepohonan untuk diambil buahnya, alasannya adalah buah itu ialah bahan (benda), sedangkan akad ijaarah itu cuma ditunjukkan kepada manfaat saja. Demikian juga kambing dan sapi, tidak boleh dijadikan selaku obyek ijaarah, untuk diambil susu atau bulunya (domba) karena susu dan bulu tergolong materi.
2. Dasar Hukum Sewa-Menyewa (Al-Ijaarah)
“Apakah mereka yang membagi rahmat Tuhannya? Kami telah memilih antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami sudah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, supaya sebagian mereka mampu mempergunakan sebagian lainnya. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”.
Berbeda dengan Mazhab Hanafi dan Maliki menyampaikan bahwa orang yang melakukan janji, tidak mesti mencapai usia baligh, namun anak ang telah mumayyiz pun boleh melaksanakan akd ijaarah dengan ketentuan, disetujui oleh walinya.
2. Kedua belah pihak yang melakukan kesepakatan menyatakan kerelaannya untuk melaksanakan akad ijaarah itu. Apabila salah seorang di antara jeduanya terpaksa melakukan akad, maka akadnya tidak sah. Sebagai landasannya yakni firman Allah Subhanallahu Wata’ala dalam Surah An-Nisa ayat 29 :
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kau saling menyantap harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kau. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; bantu-membantu Allah yakni Maha Penyayang kepadamu”.
3. Manfaat yang menjadi obyek ijaarah harus diketahui secara terang, sehingga tidak terjadi pertengkaran dibelakang hari. Jika keuntungannya tidak terperinci, maka kesepakatan itu tidak sah. Dalam memilih persoalan waktu sewa, ulama Mazhab Syafi’i menunjukkan syarat yang amat ketat. Menurut mereka, apabila seseorang menyewakan rumahnya selama stau tahun dengan sewa Rp 1.000.000,-/bulan, maka kad itu batal sebab dalam komitmen yang seperti ini dibutuhkan pengulangan komitmen baru setiap bulan dengan sewa gres pula.
Menurut mereka sewa-menyewa dengan cara diatas memperlihatkan tenggang waktu sewa tidak terang, atau satu tahun atau satu bulan.
Berbeda halnya, jika rumah itu disewa selama satu tahun dengan sewa Rp 10.000.000,- . jadi rumah itu mampu disewakan tahunan atau bulanan.
Berbeda dengan Jumruh ulama mengatakan, bahwa janji sewa semacam ini dianggap sah dan bersifat mengikat. Adapun kalau seseorang menyewakan rumahnya selama satu dengan sewa Rp 1.000.000,-/bulan, maka menurut Jumhur ulama, akdnya sah untuk bulan pertama, sedangkan bulan selanjutnya, apabila kedua belah pihak saling rela mengeluarkan uang sewa dan mendapatkan besar Rp 1.000.000,- maka kerelaan ini dianggap sebagai janji bersama sebagimana dengan bay’al-mu’athah, yakni jual-beli tanpa ijab dan kabul, tetapi cukup dengan mengeluarkan uang duit dan mengambil barang yang dibeli.
4. Obyek ijaarah itu dapat diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan tidak ada cacatnya. Oleh karena itu, ulama fikih setuju menyampaikan, bahwa dilarang menyewakan sesuatu yang tidak mampu diserahkan,dimanfaatkan langsung oleh penyewa. Umpamanya, rumah atau tokok mesti siap pakai atau pastinya sungguh tergantung terhadap penyewa apakah mau ia melanjutkan akad itu atau tidak. Sekiranya rumah itu atau tokoh itudisewa oleh orang lain, maka setelah habis sewanya, gres dapat disewakan terhadap orang lain.
5. Obyek ijaarah itu sesuatu yang dihalalkan oleh sya’ra. Oleh alasannya adalah itu ulama fikih sependapat, bahwa dihentikan menggaji tukang sihir, tidak boleh menyewakan orang untuk membunuh (pembunuh bayaran), dilarang menyewakan rumah untuk daerah berjudi atau tempat prostitusi (pelacuran). Demikian juga dihentikan menyewakan rumah terhadap non-muslim untuk kawasan mereka beribadat. Para ulama fikih berlawanan usulan dalam hal menyewa (menggaji) seorang mu’aazin, menggaji imam shalat dan menggaji seorang mengajar Al-Qur’an.
Ulama Mazhab Hanafidan Hambali mengatakan tidak boleh (haram hukumnya) menggaji mereka, sebab pekerjaan mirip ini termasuk pekerjaan taat (dalam rangka mendekatkan diri terhadap Allah), dan kepada perbuataan taat seseorang dilarang menerima honor. Mereka berdalih kepada sesuatu riwayat dari Amr bin Ash, yang mengatakan :
“Apabila salah seorang di antara kau dijadikan mu’aazin (di masjid), maka jangan kamu meminta upah atas azan tersebut”. (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, Abu Daud dan Nasai).
Berbeda dengan pertimbangan ulama Mazhab Maliki dan Syafi’i bahwa seseorang boleh mendapatkan honor dalam mengajarkan Al-Qur’an karena mengajarkan tersebut merupakan suatu pekerjaan yang jelas. Alasan mereka ialah Sabda Rasulullah :
“Rasulullah Sallahu’alaihi Wasslam, menikahan seseorang pria dengan mahar ayat Al-Qur’an yang dihafalkannya”. (HR. Bikhari,Muslim dan Ahmad).
Mahar biasanya bermakna harta. Disamping itu Rasulullah menyampaikan ;
“Upah yang lebih berhak (patut) kau ambil yakni dari mengajarkan kitab Allah”. (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Berdasarkan Sabda Rasulullah diatas, ulama Mazhab Maliki berpendapat, bahwa boleh hukumnya menggaji seorang mu’aazin dan imam tetap pada suatu masjid. Imam shalat di masjid Al-Haram dan Masjid Nabawi menerima honor tetap. Kemungkinan di masjid-masjid lain pun ada terjadi, alasannya tugas itu menjadi peran rutin.
Ulama Mazhab Syafi’i tidak membenarkan menggaji imam shalat. Seluruh ulama fikih sepakat menyampaikan, bahwa seseorang boleh menerima gaji untuk mengajar berbagai disiplin ilmu, alasannya adalah mengajarkan seluruh ilmu itu bukanlah keharusan eksklusif, tetapi kewajiban kolektif (fardhu kifayah). Selanjutnya terdapat pula perbedaan usulan ulama mengenai upah dalam penyelenggaraan mayat, mirip memandikannya, mengkafani dan menguburkannya. Ulama Mazhab Hanafi menyampaikan, tidak boleh menggambil upah, alasannya hal itu sudah merupakan kewajiban kolektif (fardhu kifayah) bukan keharusan langsung (fardhu ain).
6. Objek ijaarah meupakan sesuatu yang bisa disewakan, seperti rumah, mobil, hewan tunggangan dan lain-lain.
7. Upah/sewa dalam kesepakatan ijaarah harus jelas, tertentu dan bernilai harta. Namun, dihentikan barang yang diharamkan oleh syara’.
C. Sifat Akad dan Macam-Macam Sewa-Menyewa (Ijaarah)
1. Sifat Akad Sewa-Menyewa (Ijaarah)
Ulama Fikih beropini, apakah obyek ijaarah bersifat mengikat atau tidak?
Ulama Mazhab Hanafi berpendapat, bahwa komitmen ijaarah itu bersifat mengikat kedua belah pihak, namun dapat dibatalkan secara sepihak, apabila terdapat ‘uzur mirip meninggal dunia atau tidak dapat bertindak secara aturan mirip asing.
Jumhur ulama berpendapat bahwa,janji ijaarah itu bersifat mengikat,kecuali ada catat atau barang itu tidak dapat dimanfaatkan. Sebagai akhir dari pertimbangan yang berbeda ini ialah kasus, salah seorang yang berakad meninggal dunia. Menurut Mazhab Hanafi, bila salah seorang meninggal dunia maka akad ijaarah menjadi batal, sebab faedah tidak mampu diwariskan kepada andal waris. Menurut Jumhur ulama, akad itu tidak menjadi batal alasannya manfaat berdasarkan mereka mampu diwariskan kepada mahir waris. Manfaat juga termasuk harta.
2. Macam-Macam Sewa-Menyewa (Ijaarah)
Dilihat dari segi obyeknya ijaarah dapat dibagi menjadi dua macam : adalah ijaarah yang bersifat manfaat dan yang bersifat pekerjaan,
1). Ijaarah yang bersifat manfaat. Umpamanya, sewa-menyewa rumah, toko, kendaraan, busana (pengantin), dan aksesori.
2). Ijaarah yang bersifat pekerjaan, ialah dengan cara mempekerjakan seseorang untuk melaksanakan sebuah pekerjaan. Ijaarah semacam ini dibolehkan seperti buruh bangunan, tukang jahit, tukang sepatu, dan lain-lain, ialah ijaarah yang bersifat berkelompok (serikat)/ Ijaarah yang bersifat langsung juga mampu dibenarkan seperti menggaji pembantu rumah, tukang kebun, dan satpam.
D. Tanggungjawab Orang Yang Digaji/Upah
Pada dasarnya semua yang dipekerjakan untuk eksklusif lain dan golongan (serikat), mesti mempertanggungjawabkan pekerjaan masing-masing. Sekiranya terjadi kerusakan atau kehilangan, maka dilihat dulu permasalahannya apakah ada unsur kelalaian atau kesengajaan atau tidak? Jika tidak, maka tidak perlu diminta penggantiannya dan bila ada bagian kelalaian atau kesengajaan, maka beliau mesti mempertanggungjawabkannya, apakah dengan cara mengganti atau sanksi lainnya.
Sekiranya menjual jasa itu untuk kepentingan orang banyak seperti tukang jahit dan tukang sepatu, maka ulama berlainan pendapat.
Imam Abu Hanifah, Zubair bin Huzain dan Syafi’i berpendapat, bahwa bila kerusakan itu bukan alasannya adalah bagian kesengajaan dan kelalaian, maka para pekerja itu tidak dituntut ganti rugi.
Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan asy-Syaibani (murid Abu Hanifah), berpendapat bahwa pekerja itu ikut bertanggungjawab atas kerusakan tersebut, baik yang sengaja atau tidak. Berbeda pasti, jika terjadi kerusakan itu diluar batas kemampuannya mirip banjir besar atau kebakaran.
Menurut Mazhab Maliki jika sifat pekerjaan itu membekas pada barang itu mirip tukang watu, juru masak, dan buruh angkut (kuli), maka baik sengaja maupun tidak sengaja segala kerusakan menjadi tanggungjawab pekerjaan itu dan wajib ganti rugi.
E. Akad Sewa-Menyewa (Ijaarah) Berakhir
Suatu janji ijaarah selsai apabila:
1. Objek hilang atau musnah seperti rumah terbakar;
2. Habis batas waktu tenggang yang disepakati;
3. Menurut Mazhab Hanafi, komitmen rampung kalau salah seorang meninggal dunia, alasannya faedah tidak dapat diwariskan. Berbeda dengan Jumhur ulama, kesepakatan tidak selsai (batal) alasannya manfaat dapat diwariskan;
4. Menurut Mazhab Hanafi, jika ada uzur seperti rumah disita maka komitmen berakhir.Sedangkan Jumhur Ulama menyaksikan, bahwa uzur yang membatalkan ijaarah itu bila objeknya mengandung cacat atau keuntungannya hilang seperti kebakaran dan dilanda banjir.
A. Kesimpulan
1. Pada dasarnya, ijaarah atau sewa-menyewa di definisikan sebagai hak untuk mempergunakan barang/jasa dengan imbalan tertentu. Ada yang menerjemahkan ijarah selaku perdagangan jasa ( upah-mengupah), ialah mengambil faedah tenaga insan, ada pula yang menerjemahkan sewa-menyewa yaitu mengambil faedah dari barang yang dipersewakan. Dasar hukum ijaarah berasal dari firman Allah salah satunya dalam Surah Al-Qashash ayat 26 dan Sabda Rasulullah : “Berilah upah/jasa terhadap orang yang kau pekerjakan sebelum kering keringatnya.” (HR.Abd. Razaq dan Baihaqi).
2. Rukun ijaarah ada empat yakni : Orang yang cendekia, Sewa/imbalam, Manfaat, Sighah (ijab dan kabul). Sedangkan syarat ijaarah yaitu : adanya orang yang berakad, kedua belah pihak yang melakukan janji menyatakan kerelaannya untuk melaksanakan janji ijaarah itu, manfaat yang menjadi obyek ijaarah mesti dimengerti secara terang, obyek ijaarah itu dapat diserahkan dan dipergunakan secara pribadi dan tidak ada cacatnya, obyek ijaarah itu sesuatu yang dihalalkan oleh sya’ra, objek ijaarah meupakan sesuatu yang mampu disewakan, dan upah/sewa dalam komitmen ijaarah harus jelas.
3. Akad ijaarah bersifat mengikat kedua belah pihak, namun mampu dibatalkan secara sepihak, apabila terdapat ‘uzur seperti meninggal dunia atau tidak mampu bertindak secara hukum mirip abnormal. Dilihat dari segi obyeknya ijaarah dapat dibagi menjadi dua macam : ialah ijaarah yang bersifat manfaat dan yang bersifat pekerjaan.
4. Tanggungjawab orang yang digaji/upah, jikalau sekiranya terjadi kerusakan atau kehilangan, maka dilihat dahulu permasalahannya apakah ada unsur kelalaian atau kesengajaan atau tidak? Jika tidak, maka tidak perlu diminta penggantiannya dan kalau ada bagian kelalaian atau kesengajaan, maka ia harus mempertanggungjawabkannya, apakah dengan cara mengganti atau sanksi lainnya.
5. Akad ijarah selsai apabila: Objek hilang atau musnah seperti rumah terbakar,habis batas waktu tenggang yang disepakati, bila salah seorang meninggal dunia, dan ada uzur mirip rumah disita maka kesepakatan berakhir.
DAFTAR PUSTAKA
M. Ali Hasan,2004, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Fiqh Muamalat),Jakarta: PT. Gaja Grafindo Persada.
(Diakses pada Selasa, 01 November 2016).
(Diakses pada Selasa, 01 November 2016).
http://tafsirq.com (Diakses pada Selasa, 01 November 2016)