Contoh-Contoh Teater Tradisi dari Melayu
1. Teater Mendu dari Kepulauan Riau
Mendu ialah sebuah kesenian yang menyebar ke aneka macam kawasan di kawasan yang disebut sebagai Pulau Tujuh, ialah: Bunguran Timur (Ranai dan Sepempang), Siantan (Terempa dan Langi), dan Midai di Natuna Provinsi Kepulauan Riau. Mendu yakni seni pertunjukan yang unik. Keunikannya ialah dongeng yang dimainkan tanpa naskah, sehingga para pemain harus hafal benar alur ceritanya di luar kepala. Dialog-dialognya disampaikan dengan tarian dan nyanyian yang diiringi dengan musik yang khas, adonan dari suara gong, gendang, beduk, biola, dan kaleng. Sementara itu, lagu-lagu yang dinyanyikan yaitu: Air Mawar, Jalan Kunon, Ilang Wayat, Perang, Beremas, Ayuhai, Tale Satu, Pucok Labu, Sengkawang, Nasib, Numu Satu Serawak, Setanggi, Burung Putih, Wakang Pecah, Mas Merah, Indar Tarik Lembu, Numu Satu, Lemak Lamun, Lakau, dan Catuk. Sedangkan tarian-tariannya yakni: Air Mawar, Lemak Lamun, Lakau, Ladun, Jalan Runon, dan Baremas.
Cerita yang dimainkan ialah Hikayat Dewa Mendu yang diangkat dari dongeng rakyat penduduk Bunguran-Natuna. Cerita itu terbagi dalam tujuh episode. Ketujuh episode tersebut sebagai berikut.
- Episode pertama, menceritakan kehidupan di kayangan dan turunnya Dewa Mendu dan Angkara Dewa ke dunia yang fana.
- Episode kedua, menceritakan berpisahnya Dewa Mendu dengan Siti Mahdewi akhir perbuatan jin jahat yang diutus oleh Maharaja Laksemalik.
- Episode ketiga, menceritakan perjalanan Siti Mahdewi, kelahiran anaknya yang lalu diberi nama Kilan Cahaya, dan perjumpaannya dengan Nenek Kabayan.
- Episode keempat, mengisahkan perihal perjalanan Dewa Mendu yang lalu hingga di sebuah kerajaan yang rajanya berjulukan Bahailani.
- Episode kelima, menceritakan perjalanan Dewa Mendu ke suatu kerajaan yang rajanya bernama Majusi.
- Episode keenam, menceritakan perjalanan Dewa Mendu ke sebuah kerajaan yang rajanya bernama Firmansyah.
- Episode ketujuh, mengisahkan bagaimana Dewa Mendu berjumpa dengan Kilan Cahaya yang diawali dengan perkelahian antarkeduanya. Cerita Dewa Mendu ini dapat dimainkan dalam beberapa model, tetapi inti ceritanya tetap sama.
Tokoh-tokoh dalam seni pentasMendu, di samping Dewa Mendu yaitu: Angkara Dewa, Siti Mahdewi, Maharaja Laksemalik, Kilan Cahaya, Nenek Kebayan, Raja Bahailani, Raja Majusi, Raja Firmansyah, Raja Beruk, dan tokoh-tokoh pendukung lainnya yang jenaka mirip Tuk Mugok dan Selamat Salabe. Kedua tokoh ini mirip tokoh Punakawan dalam pewayangan yaitu selaku humoris dalam cerita Mendu. Oleh alasannya adalah itu, mereka menjadi bab yang penting dan sangat digemari oleh penonton. Bahasa yang dipergunakan dalam berdialog yaitu bahasa Mendu dan bahasa Melayu sehari-hari penduduk pendukungnya. Bahasa Mendu dipakai oleh para tokoh utama, sedangkan bahasa Melayu sehari-hari digunakan oleh tokoh-tokoh yang lain, mirip: jin, dayang, dan tugas pembantu lainnya.
2. Teater Dulmuluk dari Sumatera Selatan
Berbagai versi perihal asal usul Dulmuluk. Ada beberapa model perihal sejarah teater tradisional yang berkembang di Sumatera Selatan itu. Satu versi yang sering disebut-sebut, teater ini bermula dari syair Raja Ali Haji, sastrawan yang pernah berdomisili di Riau dan populer dengan Gurindam 12. Salah satu syair Raja Ali Haji diterbitkan dalam buku Kejayaan Kerajaan Melayu. Karya yang mengisahkan Raja Abdul Muluk itu populer dan menyebar di aneka macam tempat Melayu, tergolong Palembang.
Versi lain menyebutkan, seorang penjualketurunan Arab, Wan Bakar, membacakan syair ihwal Abdul Muluk di sekitar rumahnya di Tangga Takat, 16 Ulu. Acara tersebut menarik perhatian dan perhatian penduduk sehingga mereka datang berkerumun. Agar lebih menawan, pembacaan syair kemudian disertai dengan peragaan oleh beberapa orang, ditambah iringan musik.
Pertunjukan itu mulai diketahui sebagai Dulmuluk pada permulaan era ke-20. Pada masa penjajahan Jepang semenjak tahun 1942, seni rakyat itu berkembang menjadi teater tradisi yang dipentaskan di atas panggung. Kelompok teater lalu bermunculan dan Dulmuluk tumbuh dan diminati penduduk . Pertunjukan Dulmuluk menjadi menawan alasannya menampilkan komponen-unsur teater yang lengkap. Ada cerita, syair, lagulagu Melayu, dan lawakan. Lawakan pada pertunjukan Dulmuluk sering mengangkat dan menertawakan ironi kehidupan sehari-hari masyarakat dikala itu. Pertunjukan Dulmuluk selalu dibawakan secara impulsif dan menghibur, bahkan penonton juga mampu merespons percakapan di atas panggung. Bahasa yang dipakai ialah bahasa Melayu dan bahasa Palembang.
3. Teater Mamanda dari Kalimantan
Seni teater tradisional penduduk Kutai disebut Mamanda. Istilah Mamanda diduga berasal dari perumpamaan pamanda atau paman. Kata tersebut dalam sebuah lakon ialah panggilan raja yang ditujukan terhadap menteri, wajir atau mangkubuminya dengan sebutan pamanda menteri, pamanda wajir, dan pamanda mangkubumi.
Karena seringnya kata pamanda diucapkan dalam setiap pertunjukan, maka ungkapan tersebut menjadi julukan bagi seni pertunjukan itu sendiri. Seni teater tradisional Mamanda ialah salah satu seni pertunjukan yang populer di Kutai di kala lalu. Kesenian ini selalu dipertunjukkan pada setiap peringatan hari nasional, pada acara perkawinan, khitanan, dan sebagainya. Mamanda ialah salah satu jenis hiburan yang digemari masyarakat. Ada dua pakem dongeng yang digunakan dalam Mamanda ialah jalan kisah yang dihidangkan dalam Mamanda yaitu ihwal sebuah kerajaan, maka pertunjukan Mamanda tersebut seperti dengan Kethoprak.
Namun, bila yang dipertunjukan yaitu kisah rakyat biasa, maka pentasMamanda tersebut mirip dengan Ludruk. Dalam pertunjukannya, Mamanda selalu menggunakan dua jenis alat alat musik ialah gendang dan biola. Kesenian Mamanda telah jarang dipentaskan secara terbuka. Namun pada Festival Erau di kota Tenggarong, kesenian Mamanda sering dipertunjukkan secara terbuka untuk mengisi salah satu mata acara hiburan rakyat.
Contoh Teater Tradisi dari Bali
Calonarang – Teater ini timbul pada tahun 1825 di Klungkung dalam lingkup istana, tetapi diyakini telah hidup sebelumnya. Fungsinya ialah mengiringi upacara keagamaan dan tolak bala. Sumber ceritanya adalah kitab Calonarang yang terdiri atas empat cerita, yakti Katundung Ratna Mangali (pengusiran Ratna Mangali), Perkawinan Mpu Bahula, Ngeseng Waringin (pembakaran pohon beringin), dan Kautus Rarung (delegasi Rarung ke istana dan perkawinan Ratna Mangali-Raja Airlangga).
Tata tari, iringan gamelan, dan pakaian dalam teater ini banyak mengambil dari tari gambuh. Dialog atau antawacana para pemain diucapkan dalam bahasa Kawi dan Bali. Tokoh tetapnya ada sepuluh, ditambah tokoh hantu-hantu kecil bertopeng yang ditujukan sebagai lelucon.