close

Cerpen: Memimpikan Yang Kuasa

Cerpen: Memimpikan Tuhan

Oleh Muhammad Nur Faizi

Cerpen Tentang Keajaiban Tuhan, Kembalilah ke Surau Kami

Kini, air wudu kembali membasahi tubuh. Sejuk kurasa dan sedikit dingin diterpa angin pagi. mulutku membaca takbir seraya memuji asma Allah nan suci.

Hati serasa bergetar mencicipi kekuatan besar yang datang. Tiba-tiba seluruh badan berada dalam ketenangan.

Mulut terus merapal, hati terus bergetar, serasa nyaman berada di hadapan Tuhan. 

“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh” kataku sambil mengarahkan kepala ke kiri dan ke kanan.

Kepuasan batin tampak ada dalam kekagunganku memuji Tuhan yang Esa. Kini, diriku mulai diyakinkan bahwa eksistensi Tuhan benar adanya.

Dan hanya kepada dirinyalah diriku menyembah, meminta dukungan, dan meminta ampun dari segala dosa. 

*

Waktu pagi berjalan, ibuku menyuruhku ke warung membelikan sejumlah barang belanjaan. Agak banyak memang, namun inilah yang bisa kulakukan untuk membantu orang tua.

Banyak tetangga yang menyapa. Ucapan selamat pagi, mau ke mana? atau ucapan basa bau yang lain senantiasa aku dengar di kanan dan kiri jalan perlintasanku. 

Aku memang akrab dengan warga sekitar. Hampir semuanya aku mengenalnya dan senantiasa saling sapa saat saling bertemu dimanapun tempatnya.

Memang agak gerimis waktu itu, tetapi masih banyak ibu-ibu yang berebutan belanja. Nampak penjualsayuran kerepotan meladeni setiap pembeli yang datang.

Aku menyaksikannya dengan sedikit tertawa pelan. Bagiku suatu hiburan menyaksikan ibu-ibu saling tawar pada satu barang. 

Pada gilirannya, aku masuk di dalam kerumunan. Ah, risikonya sehabis usang menanti, longgar juga daerah ini sesudah dikeroyok ibu-ibu.

Nada suaraku agak keras mengucapkan barang-barang yang ditugaskan oleh ibu. Pedagang tersebut sangat rincian mengingat setiap rincian suara yang meluncur deras dari mulutku. 

“Ini semua belanjanya. Dik”, kata pedagang itu.

“Terimakasih, Bu, berapa seluruhnya?” Kataku. 

“Rp15.000 seluruhnya, Dik” katanya. 

“Baik, Bu, ini uangnya,” jawabku menyerahkan selembar uang Rp. 20.000. 

“Ini kembaliannya, Dik” ucap ibu sambil menyodorkan uang Rp. 5000. 

Aku kembali ke tempat tinggal menyapa ibu yang sedang memasak di dapur. Di penggorengan aku lihat ada telur dadar besar setengah matang. “Wah bakal makan yummy nih” pikirku.

Ibu melirik ke arahku dan meminta sejumlah barang yang ia pesan. Aku menyerahkannya secara perlahan, alasannya ku tahu, ada beberapa butir telur yang rentan pecah terkena benturan. 

Setelah simpulan problem dapur ku lakukan. Aku berjalan-jalan di sekeliling kampung untuk menenangkan asumsi.

Burung bersautan di ranting-ranting pohon. Di bawahnya terlihat sekelompok anak kecil menenteng sebuah perangkap untuk menangkap burung.

“Jangan berisik,” kata salah satu anak itu.

Mereka mengendap-endap dan memasangkan jebakan pada suatu pohon yang mereka duga banyak burung berkeliaran di sekitar sana.

Rupanya umpan itu bukanlah satu-satunya, tetapi ada 3 umpan yang saya tahu setelah menyaksikan beberapa pohon di sekitarnya.

Setelah percaya perangkap mereka kondusif, mereka bermain sambil menanti burung masuk ke dalam perangkap yang mereka pasang.

Aku melanjutkan perjalanan ke anutan air sungai. Cukup panjang aku berjalan mengikuti arus air yang mengarah pada satu tampungan yang besar.

Di sana saya menyaksikan banyak ikan berenang dan bertabrakan alasannya jumlah ikan yang ada tidak terhitung jumlahnya.

Lama sekali aku menatap, dan terpikir wangsit untuk memancing di sekitaran tampungan ini. Aku kembali ke tempat tinggal dan mencari pancing serta umpan yang sesuai digunakan di sana.

Kembalinya ke tempat pemancingan, ternyata ada Kang Usman yang telah duduk memasang umpan. “Wah asyik nih ada temennya,” batinku.

Segera kubergegas duduk di samping Kang Usman dan menyapanya dengan sarat kegembiraan. 

“Udah dapat berapa, Kang,” tanyaku. 

“Belum nih, baru aja tadi Akang nyampai ke sini,” jawabnya. 

“Aku duduk disini ya, Kang,” kataku. 

“Monggo,” kata Kang Usma singkat. 

Bunyi air bersautan makin dekat ke mata kail saya. Terlihat ada lima atau sepuluh ikan di sana yang siap mengkonsumsi umpan yang aku berikan.

Agak usang umpan aku dimakan, dan datang-datang terasa ada tarikan-tarikan kecil yang mengambarkan umpan aku disantap.

Setelah kesekian kalinya saya mencicipi, kesudahannya saya mengangkat pancing. Tampak ada ikan Nila berskala sedang tersangkut di pancing saya. 

Saya meletakkan ikan tersebut dalam bakul. Kemudian kembali melemparkan pancing. Sejenak saya merenung dalam kesunyian pemancingan.

Apakah ikan ini benar milik aku? Lantas siapa yang memberinya?. Kapan pemberi itu tiba kepada aku, dan menyerahkan ini semua?. Pertanyaan itu timbul begitu saja merasuki kepala aku. 

Kemudian saya ingat dengan perkataan guru saya “insan adalah pemimpin seluruh alam semesta. Daripadanya keseimbangan alam dipercayakan Tuhan untuk dimasak dan dimakmurkan.”

Sejauh itu, saya mulai memahami akan konsekuensi saya diciptakan. Bagaimana saya hidup dan untuk apa aku dihidupkan. 

Saya menyelisik lebih jauh lagi akan kuasa apa saja yang manusia peroleh. Benarkan setiap nyawa dari binatang dan flora dipasrahkan terhadap insan?

Misalnya ikan yang aku tangkap, benarkah aku halal membunuhnya? Apa benar nyawa dari ikan ini dititipkan atas kebijakan dari aku?

Entahlah, rasanya semua pertanyaan itu susah aku dapatkan jawabannya. Banyak koreksi atas pola hidup saya, yang bertentangan jauh dengan dasar penciptaan.

Tuhan yang telah menunjukkan saya kesempatan mengurus semua, rasanya masih jauh cita-cita dari apa yang aku berikan. Berulang kali, aku tekedor dalam mengambil keputusan. 

Bayangkan saja, untuk ikan yang baru saya tangkap, langsung saya masukan dalam wadah. Saya lupa mengucap syukur, saya lupa memikirkan kehidupan ikan secara keseluruhan, dan lupa memperhatikan segala hal yang menjadi keluputan menjaga seluruh alam.

Semua kesalahan itu seakan lenyap ditimpa keegoisan langsung yang terus terpatri dalam ketamakan diri. 

Kembali ku mengucap syukur atas apa yang terjadi. Rasanya Tuhan sudah berbaik hati menawarkan semua hal yang sekarang saya miliki.

Boleh Baca: Cerpen Tentang Rasa Syukur, untuk Apa Diri Ini Dilahirkan?

Tidak bisa terbayangkan, bagaimana bila seandainya Tuhan murka, pastilah diriku ini akan binasa. Sejauh mana saya melangkah, selalu aku tersemat keagungan Tuhan.

Sudah berapa lama, dan entah berapa jauh lagi saya melangkah, yang niscaya Tuhan akan senantiasa bersama dan selalu ada untuk seluruh makhluknya. 

Aku senantiasa terperanjat dalam setiap peristiwa. Aku takjub akan kuasa Tuhan yang selalu membuat makhluknya tidak bisa berbicara.

Tidak ada sedikitpun kesalahan yang ada pada dirinya. Dan ujian sekali pun yang ditimpakan pada manusia, ialah wujud dari kemurahan dari Tuhan yang Maha Esa. 

Rasanya aku ingin bermimpi lagi. Mewujudkan rasa kepuasan diri memandang semua keagungan yang diberikan Tuhan.

Entah berapa lama waktu yang ku mampu, aku sangat menantikan waktu itu berjalan lambat. Entah satu hari, dua hari, ataupun bertahun-tahun lamanya, aku ingin senantiasa menantikan ketika-ketika bareng Tuhan. 

Maka bagaimana kiranya hati ini mampu berpisah dengan kemuliaan yang Tuhan berikan?

Pastilah hati ini tidak mampu dan akan menolak sekuat tenaga akan semua peristiwa itu. Hati ini akan senantiasa rindu bersyukur, bersujud, dan berjumpa dengan Tuhan dalam waktu yang lama.

Entah dalam realita ataupun mimpi, hati ini akan merasa bahagia jika bareng Tuhan yang Maha pemurah lagi penyayang terhadap makhlukNya.*

  Pertunjukan Monolog | Latif Fianto