Pengawasan sumber daya perikanan merupakan bagian integral dari pengelolaan sumber daya perikanan, untuk memutuskan ketaatan hukum dalam pengelolaan sumber daya perikanan di Indonesia maka diperlukan pengawasan perikanan yang dilaksanakan oleh Pengawas Perikanan yang mempunyai peran mengawai tertib pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-seruan di bidang perikanan, hal ini berdasarkan Pasal 66 UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 2004 perihal Perikanan.
Untuk mendukung pelaksanaan pengawasan sumber daya perikanan, Menteri Kelautan dan Perikanan pada tanggal 14 April 2014 sudah memutuskan instrumen hukum bagi Pengawas Perikanan berbentukPeraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17/PERMEN- KP/2014 perihal Pelaksanaan Tugas Pengawas Perikanan.
Pengawas Perikanan berisikan PNS pada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi (DKP Provinsi), Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten/Kota (DKP Kabupaten/Kota) hal ini berdasarkan pasal 4 Permen KP No. 17 Tahun 2014. Untuk pengangkatan dan pemberhentian Pengawas Perikanan yang berasal dari pemerintah tempat atau kabupaten/kota dilaksanakan oleh Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Perikanan (Dirjen PSDKP) menurut anjuran dari Kepala DKP Provinsi dan DKP Kabupaten/Kota hal ini sesuai dengan pasal 6.
Selanjutnya Peraturan Menteri tersebut juga mengatur kewenangan Menteri Kelautan dan Perikanan mengangkat dan memberhentikan Pengawas Perikanan, yang pelaksanaannya didelegasikan kepada Dirjen PSDKP. Adapun syarat seseorang dapat diangkat sebagai Pengawas Perikanan meliputi PNS yang bekerja di bidang perikanan dengan pangkat paling rendah Pengatur Muda Tingkat I, golongan ruang II/b, sudah mengikuti pendidikan dan training Pengawas Perikanan yang dibuktikan dengan sertifikat dan sehat jasmani dan rohani. Sedangkan, pemberhentian Pengawas Perikanan dijalankan jika Pengawas Perikanan sudah dialihtugaskan dari bidang pe ngawasan perikanan, mengundurkan diri selaku Pengawas Perikanan, tidak cakap dalam menjalankan tugasnya, menyalahgunakan wewenang dalam mengerjakan tugas dan fungsinya, telah ditetapkan menjadi terdakwa, berhalangan tetap, atau diberhentikan dari PNS.
Dalam Pasal 9 dikelola perihal wilayah peran Pengawas Perikanan, yakni di :
- WPP-RI;
- kapal perikanan;
- pelabuhan perikanan dan/atau pelabuhan yang lain yang ditunjuk;
- pelabuhan tangkahan;
- sentra acara perikanan;
- area pembinahan ikan;
- area pembenihan ikan;
- area pembudidayaan ikan;
- UPI; dan/atau
- daerah konservasi perikanan
Apabila dalam pelaksanaan pengawasan perikanan didapatkan atau pantas disangka adanya tindak pidana perikanan atau layak diduga adanya tindak pidana perikanan dan adanya bukti permulaan yang cukup, Pengawas Perikanan wajib menindaklanjuti dengan menyerahkan terhadap Penyidik di bidang perikanan untuk diproses lebih lanjut.
Dalam Pasal 10 diatur perihal pelaksanaan peran Pengawas Perikanan di WPP RI sebagaimana dalam Pasal 9 aksara a, dikerjakan kepada: penangkapan ikan,pembudidayaan ikan dan pembenihan ikan, pengangkutan dan distribusi keluar masuk ikan, perlindungan jenis ikan, terjadinya pencemaran akibat tindakan manusia, pemanfaatan plasma nutfah, observasi dan pengembangan perikanan. Untuk pelaksanaan tugasnya Pengawas Perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan patroli pengawasan dan pemantauan pergerakan kapal perikanan.
Kewenangan kawasan tugas untuk Pengawas Perikanan yang berasal dari DKP Provinsi dan DKP Kabupaten/Kota, pada era berlakunya UU No. 32 Tahun 2004 diatur dalam Pasal 18 yang menentukan daerah peran Pengawas Perikanan DKP Provinsi adalah 12 Mil maritim dari garis pantai sedangkan DKP Kabupaten/Kota 1/3 Mil maritim atau 4 Mil bahari dari daerah provinsi.
Dengan adanya kewenangan Pengawas Perikanan Kabupaten/Kota budget pengawasan dari KKP kepada pemerintah kabupaten/kota mampu langsung disalurkan lewat pemerintah provinsi, demikian halnya juga dalam hal pendukung pengawasan perikanan berupa speedboat dan barang invetaris pengawas lainnya.
Setelah UU Nomor 32 Tahun 2004 tidak berlaku dan digantikan dengan UU Nomor 23 Tahun 2014 wacana Pemerintahan Daerah terdapat polemik khususnya, di sini membicarakan kewenangan pemerintah kabupaten/kota atas persoalan bidang kelautan dan perikanan. Lebih khusus lagi alasannya kewenangan pengelolaan sumberdaya bahari akan ada di propinsi. Bahwa ini akan berimbas pada pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan yang notabene sebelumya dikelola oleh pemerintah kabupaten/kota untuk jarak 4 mil bahari.
Dalam Pasal 27 UU No. 32 Tahun 2014 sama sekali tidak tetulis kewenangan pemerintah kabupaten/kota dalam hal mengorganisir sumber daya alam di bahari, yang ada hanyalah kewenangan pemerintah provisi dalam hal eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan bahari di luar minyak dan gas bumi, pengaturan administratif, pengaturan tata ruang, ikut serta dalam memelihara keselamatan di laut dan ikut serta dalam mempertahankan kedaulatan negara.
Kewenangan pemerintah kabupaten/kota hanyalah dalam hal pembagian bagi hasil yang ada dalam Pasal 14 UU No. 23 Tahun 2014 menyangkut persoalan perikanan tangkap yang berisikan pemberdayaan nelayan kecil, dan pengelolaan penyelenggaran daerah pelelangan ikan. Dan juga menyagkut perikanan budidaya yang terdiri dari penerbitan IUP, pemberdayaan usaha kecil pembudidayaan ikan dan pengelolaan ikan.
Dengan adanya perubahan hukum ini, ada kegundahan acara yang disusun pemkab atau Pemerintah Kota tidak diakomodir. Apalagi turunan berbentukperaturan pemerintah hingga ketika ini belum ada, Tentunya hal ini menyebabkan kekhawatiran dan kevakuman kewenangan. Sedangkan dengan dihapusnya kewenangan pengawas perikanan kabupaten/kota hal ini memiliki efek pada pemberdayaan SDM Pengawas Perikanan kabupaten/kota, dan juga budget KKP ke kabupaten/kota akan memakai dana dekonsentrasi terhadap pemerintah provinsi.
Tulisan ini mampu juga dilihat di Website Data TPP Nasional http://urlke.com/1fe659
29 Mei 2015
Sherief Maronie
Uncac Dan Pidana Mati Tipikor ; Sebuah Persoalan