Sedangkan menurut Mahmud Basuni Faudah, Tafsir Sufi Isy’ari yaitu penta’wilan ayat-ayat al-Qur’an al-Karim dengan penta’wilan yang menyalahi ketentuan-ketentuan dhahir ayat, alasannya adalah ingin mengemukakan isyarat-isyarat tersembunyi yang nampak oleh mufassir penganut sufi tersebut setelah melaksanakan beragai bentuk Riyadhah keruhanian dengan Allah SWT (Basuni Faudah, 1977: 249).
Tafsir sufi Isy’ari dibina atas dasar Riyadhah-Keruhanian yang telah ditetapkan oleh sang mufassir sufi bagi dirinya sendiri, yang dengannya beliau sampai terhadap sebuah keadaan yang bisa mendapatkan arahan-instruksi dan kelimpahan-kelimpahan Ilahi.
Setiap ayat mempunyai makna dhahir dan makna batin. Yang dhahir ialah apa yang secepatnya mudah dipahami nalar fikiran sebelum yang lain, sedangkan yang batin yakni instruksi-instruksi tersembunyi dibalik itu yang hanya nampak bagi andal suluk.
Sejarah Munculnya Dan Metodologi Tafsir Isyari
Apakah Tafsir Sufi Isyari itu memiliki dasar-dasar Syar’i? Ataukah ia timbul setelah hadirnya para penganut sufi dengan ungkapan-istilah dan prinsip-prinsip mereka itu sendiri?
Menurut Mahmud Basuni Faudah (1977:250) bahwa tafsir Sufi Isyari itu lahir pada periode Rasulullah saw dan periode para sobat yang mulia. Al-Qur’an sudah mengisyaratkan kepadanya dengan firman Allah: “Maka Apakah mereka tidak memperhatikan Al Alquran? jikalau kiranya Al Alquran itu bukan dari segi Allah, tentulah mereka menerima pertentangan yang banyak di dalamnya” (Q.S an-Nisa’: 82)
Sunnah juga sudah mengisyaratkan dari riwayat al-Hasan, sebagai hadis mursal dari Rasulullah saw, bahwa ia berkata: “ setiap ayat ada makna dhahir dan makna batinnya. Bagi setia karakter ada hadnya, dan bagi setiap had ada mathla’nya”, dikutip dari para sahabat Rasulullah saw, atsar yang memberikan bahwa mereka itu mengenal tafsir Isyari.
“Ibnu Hatim mengeluarkan dari jalur adh-Dhahhak, dari Ibnu ‘Abbas bahwa ia berkata: bahwasanya al-Qur’an itu mempunyai cabang-cabang ilmu-ilmu, bagian-bagian yang dhahir dan yang batin. Keajaibannya tidak akan pernah habis dan sasarannya tak akan pernah dicapai secara tuntas, maka barang siapa yang masuk ke dalamnya dengan lemah lembut, pasti selamat, tapi barang siapa yang memperlakukannya dengan kekerasan, niscaya celaka.
Berdasarkan atsar yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, kita menjadi tahubahwa al-Qur’an memiliki kandungan lahir dan kandungan batin. Yang dimaksud dengan kandungan lahir ialah apa yang bisa dipahami berdasarkan aturan bahasa arab semata-mata.
Tafsir Isyari mendasari metodologinya dengan berawal dari pengertian bahwa ayat-ayat al-Qur’an memiliki dua makna, yaitu makna zhahir dan makna batin. Maksud dari zhahir berdasarkan mereka yaitu makna yang pribadi mampu diterima oleh logika manusia sebelum yang yang lain. Sedangkan makna batin yaitu makna yang tersembunyi dari tanda-tanda ataupun aba-aba-arahan yang terlihat oleh para pelaku suluk.
Sebagian golongan sufi memahami bahwa makna batin tidak mampu dimengerti melainkan dengan cara riyâdhah rûhaniyyah (semacam amalan olah jiwa). Berawal dari eksperimen jiwa inilah seorang sufi mampu mencapai derajat kasyf (terbukanya tabir rahasia) yang dengannya aba-aba-arahan suci dari balik untaian ayat-ayat al-Qur’an dapat diraih.
Hanya saja, orang banyak berbeda pendapat dalam memahami makna bathin al-Qur’an itu, kaum bathiniyah, contohnya, mengakui adanya makna bathin terhadap al-Qur’an tersebut, tetapi mereka menafsirkan makna bathin al-Qur’an tersebut berdasarkan angan-angan mereka sendiri yang rusak dan sama sekali mengingkari makna dhahirnya (Basuni Faudah, 1977:252).
Syarat-syarat diterimanya Tafsir Isyari
Para ulama memberikan batas-batas-batasan berupa akad tentang adanya kriteria bagi diterimanya tafsir ishari (Basuni Faudah, 1977:255). Syarat-syarat itu ialah sebagai berikut:
- Tidak boleh bertentangan dengan makna dhahir dari susunan kalimat ayat-ayat al-Qur’an.
- Harus didukung oleh kesaksian syara’ yang menguatkannya.
- Tidak bertentangan dengan syara’ dan nalar.
- Tidak mengandung penyelewengan-penyelewengan dari susunan kalimat lafad-lafad al-Qur’an.
Keempat persyaratan di atas merupakan kunci kesejajaran tafsir ishari dengan tafsir-tafsir tekstual lainnya. Bagi para ulama, menghapus salah satu unsur di atas menyebabkan tafsir ishari tertolak dan menafikan kelayakkannya.
Pendapat Para Ulama’ Tentang Tafsir Isyari
Para ulama berlainan pertimbangan perihal eksistensi tafsir isyari. Sebagian mereka ada yang mengijinkan, sementara lainnya menghujatnya. Ada yang mengatakan termasuk dari kesempurnaan akidah dan kedalaman ilmu. Bahkan ada yang lebih ekstrim lagi yaitu menganggap sesat dan menyimpang dari fatwa syari’at bagi siapa saja yang mengikutinya. Berikut akan dikemukakan beberapa balasan para ulama tersebut.
Al-Zarkasyi dalam kitab al-Burhan, sebagaimana yang dituturkan Hasbi (1993: 250), menyatakan bahwa perkataan ulama sufi dalam menafsirkan al-Qur’an sesungguhnya bukanlah termasuk klasifikasi tafsir. Semua itu hanyalah perasaan dan khayalan mereka belaka dikala membaca al-Qur’an.
Ibnu Shalah dalam fatwanya berkata dikala ditanya wacana ucapan-ucapan kaum sufi mengenai al-Qur’an, “Saya menerima info dari imam Abu Hasan al-Wahidi, seorang mufassir, berkata, “Imam Abû ‘Abdurrahman al-Sulami sudah mengarang suatu kitab yang berjudul Haqâiq al-Tafsîr. Jika ada yang berkeyakinan bahwa itu yakni kitab tafsir, maka sangat beliau telah kafir” (Hasbi al-Shiddiqy, 1993: 250). Demikianlah, Ibnu Shalah mengaharamkan penafsiran model ini, bahkan menggolongkan kafir bagi yang mengikuti atau bahkan sekedar memberi bantuan saja.
Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah bisa menjadi pegangan selama menyanggupi empat syarat tidak berlawanan dengan makna (lahir) ayat makna yang dimaksud ada dan termuat dalam teks ayat yang ditafsirkan ada pemberitahuan isyarah atau indicator dalam lafal a-Qur’an (untuk memakai pengertian yang bersifat implicit) serta antara penafsiran dan makna ayat terdapat jalinan relasi yang mengikat (istimbath al-talazumi (Basuni Faudah, 1977: 254).
Akan namun Ibnu ‘Arabi menilai bahwa ucapan-ucapan para sufi dalam menafsirkan al-Qur’an dapat dibilang sebagai tafsir yang hakiki bagi makna-makna al-Qur’an. Tafsir mereka itu bukanlah sekedar perbandingan makna-makna tersebut.
Demikianlah beberapa pandangan para ulama seputar pro-kontra keberadaan tafsir isyari. Dari keragaman pandangan tersebut dapatlah dimengerti bahwa tidak semua pihak setuju dengan model tafsir isyari. Yang menjadi persoalan adalah sulitnya merumuskan metodologi tafsir ini dalam konteks makro. Artinya, produk tafsir ini tidak memungkinkan dikonsumsi oleh orang-orang awam.
Kelebihan dan Kelemahan Tafsir Isyari
Kehidupan ini sangat diputuskan oleh apa yang tidak terlihat , yakni perasaan, emosi, iktikad, sesuatu yang sangat tidak tersentuh oleh inderawi, dan sesuatu yang tidak bisa dilacak oleh alat-alat fisik. Yang sangat halus dan lembut dan justru memiliki efek yang sangat dahsyat.
Jika al-Qur’an hanya sekedar himpunan kata-kata yang kering dan tidak mengandung makna-makna batin maka tidak mungkin melahirkan inspirasi-pandangan baru spiritual. Sayyid Qutub misalnya sekalipun diketahui sebagai pembela golongan literalis pernah menyampaikan bahwa kebahagiaan spiritual dan wangsit sesuatu yang sangat menentukan bagi kehidupan setiap insan. Sementara itu, Tafsri isyari hadir memperlihatkan makna yang dalam atau hakikat dari setiap symbol dan segala sesuatu yang tidak mampu dijangkau oleh inderawi.
Sementara itu, kelemahan Tafsir Isyari, berdasarkan Penulis, yaitu produk Tafsir ini tidak memungkinkan untuk dimakan bagi orang-orang awam. Selain itu, dalam tafsir isyari kita dihadapkan kepada tafsir yang tidak saja mengemukakan makna lafad-lafad, sebagaimana yang diinginkan lafad, tetapi kita juga menghadapi makna yang diharapkan aba-aba.
Kesimpulan
Tafsir isyari adalah salah satu jenis tafsir yang dalam menawarkan penjelasan ayat-ayat al-Qur’an kental dengan takwil, faktor-aspek esoteric dan aba-aba-instruksi yang terkandung dalam teks ayat-ayat al-Qur’an. Terlepas dari kontroversi yang terjadi dalam mengomentari jenis tafsir ini, yang terang tafsri isyari yakni ialah bentuk bantuan dari ulama dalam memperkaya pembendaharaan litelatur tafsir yang sekaligus juga memperluas pemahaman wacana makna al-Qur’an. Ala kulli hal tafsir isyari telah memberi warna yang khas dalam diskursus tafsir dai kurun ke kurun.
Sebagaimana ajaran tafsir lainnya yang berpaling untuk dikembangkan, tafsir isyari pun berkemungkinan bagi upaya pengembangannya untuk era sekarang dan kurun mendatang. Tentu saja, perhatikan kepada rambu-rambu penafsiran supaya tergolong tafsir isyari al-maqbul bukan tafsir isyari al-mardud.
Daftar Pustaka
- Ahmad Syadali. 2000. Ulumul Qur’an II. Cet. II. Bandung : Cv. Pustaka Setia
- Ahmad Izzan. 2011. Metodologi Ilmu Tafsir. Bandung: Takafur
- Mahmud Basuni Faudah. 1977. Tafsir-tafsir al-Qur’an; perkenalan dengan metodologi tafsir. Terj. H.M Mochtar Zoeni, dari judul orisinil: At-Tafsir wa Manahijuh. Bandung: PUSTAKA
- Manna Khalil al-Qattan. 1973. Studi ilmu-ilmu al-Qur’an. Terj. Mudzakir. Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa
- M. Hasbi al-Shiddiqy.1993. Ilmu-ilmu al-Qur’an: Media-media Pokok dalam Menafsirkan al-Qur’an. Cet.III. Jakarta: Bulan Bintang