Makna Galungan Dan Kuningan Serta Ucapannya

pengertian Galungan dan Kuningan dari kata atau berdasarkan para ahli dan jago serta apa teladan ucapan selamatnya.

PENGERTIAN GALUNGAN DARI PENDAPAT PARA AHLI

Kata “Galungan” berasal dari bahasa Jawa Kuna yang artinya menang atau bertarung Galungan juga sama artinya dengan dungulan, yang juga bermakna menang. Karena itu di Jawa, wuku yang kesebelas disebut Wuku Galungan, sedangkan di Bali wuku yang kesebelas itu disebut Wuku Dungulan. Namanya berbeda, namun artinya sama saja. Seperti halnya di Jawa dalam rincian pancawara ada sebutan Legi sementara di Bali disebut Umanis, yang artinya sama: bagus. Contoh ucapan selamat yang sering didapatkan dalam kata-kata mutiara seperti: “Rayakan manisnya hari kemenangan dharma melawan adharma dengan menanamkan dharma dihati kita.” ataupun pesan dalam bahasa Bali “Rahajeng Rahina Galungan lan Kuningan, Dumogi iraga ngomolihin rahayu ring rahinane mangkin Ciptakan dharma dalam hati untuk kedamaian sejati”, Dalam bahasa Bali.

Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) online dan berdasarkan para jago bahasa

Kata Galungan – Ga-lu-ngan n hari raya umat Hindu Dharma setiap 210 hari sekali, jatuh pada hari Rabu Kliwon, dua kali dalam satu tahun (KBBI)

 Daftar hari raya keagamaan umat Hindu di dunia termasuk Bali  MAKNA GALUNGAN DAN KUNINGAN SERTA UCAPANNYA

Menurut Wikipedia

Hari raya Galungan dirayakan oleh umat Hindu setiap 210 hari, dengan memakai perhitungan kalender Bali adalah pada hari Budha Kliwon Dungulan (Rabu Kliwon wuku Dungulan) sebagai hari kemenangan Dharma (kebenaran) melawan Adharma (kejahatan).

  8 Makanan yang Bikin Organ Wanita Bau

Menurut Parisada Hindu Dharma Indonesia

Dalam sejarah Hari Raya Galungan, asal kata “Galungan” adalah berasal dari bahasa Jawa Kuna yang artinya menang atau bertarung. Galungan juga sama artinya dengan dungulan, yang juga berarti menang.

Menurut Lontar Purana Bali Dwipa

Dalam Lontar Purana Bali Dwipa menyampaikan Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama ialah pada hari Rabu Kliwon, (Wuku) Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra Loka.

Sejak itu Galungan terus dirayakan oleh umat Hindu di Bali secara semarak. Setelah Galungan ini dirayakan kurang lebih selama tiga periode, datang-datang entah apa dasar pertimbangannya, pada tahun 1103 Saka perayaan hari raya itu dihentikan. Hal itu terjadi ketika Raja Sri Ekajaya memegang tampuk pemerintahan.

Menurut sejarah, selama Galungan tidak dirayakan, konon musibah tiba tak henti-henti. Umur para pejabat kerajaan konon menjadi relatif pendek. Ketika Sri Dhanadi mangkat dan digantikan Raja Sri Jayakasunu pada tahun 1126 Saka, barulah Galungan dirayakan kembali, sehabis sempat terlupakan kurang lebih selama 23 tahun. Keterangan sejarah ini bisa dilihat pada lontar Sri Jayakasunu. Dalam lontar tersebut diceritakan bahwa Raja Sri Jayakasunu merasa heran mengapa raja dan pejabat-pejabat raja sebelumnya senantiasa berumur pendek.

Untuk mengetahui penyebabnya, Raja Sri Jayakasunu mengadakan tapa brata dan samadhi di Bali yang populer dengan istilah Dewa Sraya. Dewa Sraya artinya mendekatkan diri pada Para Dewa. Dewa Sraya itu dijalankan di Pura Dalem Puri, tak jauh dari Pura Besakih. Karena kesungguhannya melakukan tapa brata, Raja Sri Jayakasunu menerima pawisik atau “bisikan religius” dari Dewi Durga (Dewi Durgha), sakti dari Dewa Siwa.

Dalam pawisik itu Dewi Durgha menjelaskan terhadap raja bahwa leluhurnya senantiasa berumur pendek alasannya adalah tidak lagi merayakan Galungan. Karena itu Dewi Durgha meminta terhadap Raja Sri Jayakasunu semoga kembali merayakan Galungan setiap Rabu Kliwon Dungulan sesuai dengan tradisi yang pernah berlaku. Di samping itu disarankan pula biar seluruh umat Hindu memasang penjor pada hari Penampahan Galungan (sehari sebelum Galungan).

Makna yang diambil dari inti pokok perayaan hari Penampahan Galungan yakni melakukan byakala adalah upacara yang bermaksud untuk melepaskan kekuatan negatif (Buta Kala) dari diri insan dan lingkungannya. Semenjak Raja Sri Jayakasunu menerima bisikan religius itu, Galungan dirayakan lagi di Bali hingga sekarang dengan hikmat dan meriah oleh umat Hindu di Bali.

Dari peristiwa sejarah ini mendefiniskan makna filosofis Galungan yakni menyatukan kekuatan rohani agar menerima fikiran dan pendirian yang terperinci. Bersatunya rohani dan pikiran yang jelas inilah wujud dharma dalam diri. Sedangkan segala kekacauan pikiran itu (byaparaning idep) adalah wujud adharma. Dari konsepsi lontar Sundarigama inilah didapatkan kesimpulan bahwa hakikat Galungan adalah merayakan menangnya dharma (kebaikan) melawan adharma (kejahatan).

PENGERTIAN KUNINGAN DARI PENDAPAT PARA AHLI

Kata Kuningan mempunyai makna “kauningan” yang artinya mencapai peningkatan spiritual dengan cara introspeksi agar terhindar dari mara ancaman. Dalam hari besar Kuningan adalah hari raya umat Hindu Dharma dua minggu setelah Hari Raya Galungan dirayakan setiap 210 hari sekali atau sekali tiap 6 bulan berdasarkan penanggalan Bali. Hari Kuningan merupakan hari resepsi bagi hari Galungan selaku kemenangan dharma melawan adharma yang pemujaannya ditujukan terhadap para Deva dan Pitara supaya turun melakukan pensucian serta mukti, atau menikmati sesaji yang dipersembahkan. Contoh ucapan selamat yang sering ditemukan dalam kata-kata mutiara mirip: “Rayakan hari ini dengan mengintrospeksi diri supaya terhindar dari mara ancaman dan hindari memutuskan persaudaraan cuma alasannya adalah sepatah kata yang tak sengaja terucap, ataupun pesan dalam bahasa Bali “Rahajeng Rahina Galungan 24 Juli 2019 lan Kuningan 3 Agustus 2019 Dumogi sareng sami manggih kerahayuan.”

Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) online dan berdasarkan para hebat bahasa

Kata Kuningan2/Ku·ni·ngan/ n hari raya umat Hindu Dharma dua minggu sesudah hari raya Galungan (yang dirayakan setiap 210 hari sekali atau sekali tiap 6 bulan menurut penanggalan Bali) – KBBI

  Puisi tentang kesetiaan cinta

Menurut Wikipedia

Hari raya Galungan dirayakan oleh umat Hindu setiap 210 hari, dengan menggunakan perkiraan kalender Bali (1 bulan dalam kalender Bali = 35 hari). Sepuluh hari sehabis hari raya Galungan. Kata Kuningan memiliki makna “kauningan” yang artinya meraih kenaikan spiritual dengan cara introspeksi supaya terhindar dari mara ancaman. Hari raya Kuningan yakni hari raya yang dirayakan umat Hindu Dharma di Bali. Perayaan ini jatuh pada hari Saniscara (Sabtu), Kliwon, wuku Kuningan.

Menurut Parisada Hindu Dharma Indonesia

Sehari sebelum hari raya kuningan yakni Hari Penampahan Kuningan yang jatuh pada hari Jumat Wage Kuningan.

Baca:

Menurut Lontar Sundarigama

Dalam lontar Sundarigama tidak disebutkan upacara Hari Penampahan Kuningan yang harus dilangsungkan. Hanya disarankan melakukan kegiatan rohani yang dalam lontar disebutkan Sapuhakena malaning jnyana (lenyapkanlah kekotoran asumsi). Keesokan harinya, Sabtu Kliwon disebut Kuningan.

Menurut Babad Bali

Hari raya Kuningan ialah perayaan turunnya Ida Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa, para dewa dan dewa pitara ke dunia untuk melimpahkan karuniaNya berupa kebutuhan utama, sehingga pada hari itu dibentuk, nasi kuning selaku lambang kemakmuran dan dihaturkan yadnya selaku tanda terimakasih dan suksmaning idep kita sebagai manusia (umat) menerima anugrah dari Hyang Widhi berupa

  • Bahan-materi sandang
  • Pangan
  • yang semuanya itu dilimpahkan oleh dia terhadap umatNya atas dasar cinta-kasihnya.

KESIMPULAN MAKNA GALUNGAN DAN KUNINGAN SERTA UCAPANNYA

Umat Hindu Dharma di Bali merayakan Hari Suci Galungan pada Rabu (3/7/2019) hingga 3 Agustus 2019 Mendatang. Hari Raya Kuningan atau sering disebut Tumpek Kuningan jatuh pada hari Sabtu, Kliwon, wuku Kuningan. Pada hari ini umat melaksanakan pemujaan terhadap para Dewa, Pitara untuk memohon keselamatan, kedirgayusan, santunan dan tuntunan lahir-bathin. Akhir kata keluarga besar pengertianartidefinisidari.blogspot.com mengucapkan selamat memperingati hari galungan dan kuningan bagi sobat-sahabat saudara terbaik di Bali yang merayakannya!!