Siapakah Helvy Tiana Rosa? – Helvy Tiana Rosa atau yg lebih dikenal dgn nama pena HTR merupakan sastrawan yg lahir di Medan pada tanggal 2 April 1970. Menelusuri dunia akademisnya, menurut sumber dr sastrahelvy.com ia menyelesaikan S1 & S2-nya di Fakultas Sastra/ Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia. Selain diketahui selaku sastrawan, ia pula merupakan Dosen Fakultas Bahasa & Seni, UNJ.
Tahun 1990 Helvy mendirikan Teater Bening, terlibat sebagai sutradara & penulis naskah dlm berbagai pementasannya. Pernah menjadi redaktur & Pemimpin Redaksi Majalah Annida, Helvy kemudian banyak terlibat dlm membidani kelahiran para penulis dr aneka macam golongan, di banyak sekali daerah di Indonesia hingga mancanegara, lewat Forum Lingkar Pena (FLP) yg ia dirikan, 1997. Koran Tempo menjulukinya sebagai Lokomotif Penulis Muda & The Straits Times menjulukinya pionir bagi sastra Islam Indonesia kontemporer (2003).
Helvy pernah menerima 30 penghargaan tingkat nasional di bidang penulisan & pemberdayaan masyarakat, antara lain sebagai Tokoh Sastra dr Balai Pustaka & Majalah Sastra Horison (2013), Tokoh Perbukuan IBF Award dr IKAPI (2006), Tokoh Sastra Eramuslim Award (2006), Ummi Award (2004), Nova Award (2004), Kartini Award selaku salah satu The Most Inspiring Women in Indonesia (2009), SheCAN! Award, & Danamon Award untuk FLP yg ia dirikan (2008).
Anggota Dewan Kesenian Jakarta (2003-2006) ini kini yakni Anggota Majelis Sastra Asia Tenggara & Wakil Ketua Liga Sastra Islam Dunia untuk Wilayah Indonesia. Tahun 2011 ia terpilih selaku Anggota Komisi Pengembangan Seni Budaya Islam, Majelis Ulama Indonesia. Nama Helvy kemudian masuk dlm buku kontroversial 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh di Indonesia yg ditulis Jamal D. Rahman dkk (Gramedia, 2014). Selama enam tahun berturut-turut (2009, 2010, 2011, 2012, 2013/2014, 2014/2015) ia pula terpilih selaku satu dr 500 Tokoh Muslim Paling Berpengaruh di Dunia hasil riset Royal Islamic Strategic Studies Centre, Jordan bersama beberapa universitas terkemuka di dunia.
mengecup
semua luka kita yg mawar
engkaukah itu yg berkata, cinta?
sementara membisu-membisu kita berikan
keping luka & risau kita
pada angin yg tak desau
5
Di dlm bis yg menenteng banyak orang,
Kau cari gue hari itu.
Tapi kau tak tahu
aku telah mencarimu semenjak konferensi pertama kita
Mengapa kau sisakan peta buram yg sama
hingga gue tak pernah mampu memandang punggungmu
Di antara dinding acuh taacuh di sekitar kita
kau cari gue hari itu
tapi kau tak tahu
saya sudah mencarimu bermusim-isu terkini
dan selalu hanya pilu
yang memeluk & membujukku
Pulanglah, kau sudah begitu lelah
6
Begitulah
kata telah lama berhenti
pada napas & airmata
Di manakah kau, di manakah aku?
Labirin ini begitu sunyi
dan cinta terus sembunyi
7
Seperti gelombang yg setia pada lautan
saya telah lebih dulu kau campakkan
ke pantai paling rindu itu
tapi sebagai ombak gue memang mesti kembali
meski dgn luka yg paling topan
8
Begitulah perempuanmu
memintal kemudian menguraikan kembali
ingatan di sepanjang jalan beling yg retak itu
Kau mungkin lupa pernah
menitipkan kilat asa di mataku
yang menjelma beliung
tetapi tak perlu bulan, lilin atau kunang-kunang
selalu kutemukan jejak pula napasmu
di jalan raya kehidupanku
Membayangkan wajahmu gue pun berkhayal
tentang matahari lain yg menyala suatu masa
Mungkin kita mampu saling memandang lama
melepas beliung abai yg menyiksa selama ini
9
:Aku sudah berjuang untuk melupakanmu
Seperti gres kemarin kau datang & kita bicara
sambil menatap ubin, dinding & pohon jambu itu
Kau bilang tak mungkin, sebab
ada yg lebih penting kau tuntaskan
Seperti angin yg tak sadar disapa waktu
aku berpura tak mendengar
Dia akan datang, kataku.
Tapi katamu, kau akan tiba setelah persoalan selesai.
Bagaimana kalau ia yg tiba lebih dahulu?
Siapakah yg harus kuabaikan?
Siapa yg perlu kulupakan?
Kita melongo mengamini ubin, dinding & pohon jambu
suara sapu ibu kos di ruang tamu, kendaraan kemudian lalang
beberapa mahasiswa dgn jaket kuning melintas
mungkin sebentar lagi gerimis
Dalam sepi itu tiba-tiba kita pun teringat
perkataan seorang sahabat
Katanya kita punya sesuatu, semacam kekerabatan indah,
yang tak mampu dirumuskan
Ketika kau pulang senja itu
aku tahu mungkin kita tak akan bertemulagi
untuk waktu yg lebih dr lama
Menyakitkan, tapi bukankah
tak semua kebersamaan
mesti jadi monumen
kadang lebih baik dibuang
biar usang dlm tong sampah
10
Dan tamat adalah awal
kau gue tak pernah menapaki mula
juga mungkin tak pernah hingga
pada selesai
mirip puisi yg kutanam
di kuntum hatimu
11
Hai
katamu gue tetap wanita itu
tak henti menyelami lautan huruf
demi yg Maha Cinta
dan kau sungguh tahu
atas nama cinta pula
telah kuputuskan berhenti
menuliskan ingatan tersisa
titik tanpa koma
pada Februari ke lima
Depok, 1995
Cintamu padaku
ialah kerinduan waktu
memeluk bisu di batu-batu
dikala gerimis jatuh
Embun
Terik. Maha. Kau
MATA KETIGA CINTA
Apakah dua mataku
lalu hari-hari pun terbenam
dalam secangkir kopi tanpa gula
daun-daun jatuh di luar jendela
dan sunyi menyanyikan lagi
lagu gerjaji
dengan masih terpejam
cuma dgn mata ketiga cinta
kulihat sebuah wajah di jantungmu
: ia yg kau bilang tak bernama
menempatkan
Tuhan & rakyat dlm diri serta diskusi-diskusi itu.
Bisakah mereka istirah dr perseteruan, lantaran waktu telah
kian debu. Kota-kota berteriak parau, merdeka!
Kau masih berteriak-teriak gelegar ke setiap penjuru,
menciutkan nyali banyak negeri. “Usamah, Abdullah, Umar,
Muhammad, Ibrahim” itu nama-nama para teroris,
katamu & kau menyebut sarat prasangka nama-nama
para ulama dlm daftar yg sungguh panjang
Pada ketika yg sama, kau sang pemimpin polisi dunia,
menikmati pertunjukan di Palestina sambil memaki para
pejuang kemerdekaan Palestina selaku teroris serta
bersalaman dgn Sharon sang penjagal
Padahal Palestina berjuang untuk merdeka dr kebiadaban
Zionis Israel.
berhenti
mengepulkan
suatu wajah
: Bagaimana rasanya rindu yg selesai?
KANGEN
Telah kutuliskan puisi-puisi itu
semenjak usiamu 26 tahun
di saat pertama kali kita bertukar senyum
pada jarak pandang yg begitu erat
Kau ingat,
dikala kubisikkan mungkin gue tak perlu matahari,
bulan atau bintang lagi
cukup kau, cahaya yg ia kirimkan untukku
Ah, apa kau masih menyimpan puisi-puisi itu?
Belasan tahun kemudian
saya masih menikmati
mengirimimu puisi
hingga hari ini
saya pun menjelma hujan yg enggan berhenti di berandamu
bersama angin yg selalu kasmaran
Kau tahu, gue masih saja menatapmu
dengan mataku yg dahulu
laki-laki sederhana berhati samudera
yang selalu membawaku berlabuh padaNya
Pada berkali masa, kau pernah berkata,
“Aku tahu, Aku cuma ingin menikahi jiwamu senantiasa”
sobat,
guru & matahari
ibu yg sanggup hadirkan
sosok & petuah ayah yg tiada lewat cerita
PUISI UNTUK SEORANG IBU YANG MENDOBRAK PULAZI
Untuk Yoyoh Yusroh
Seperti mendengar lagi namamu
dibawa angin ke berbagai benua
berdenyar di nadi-nadi waktu
Matahari yg leleh memahat langkahmu
yang tak pernah lelah
selaku jejak cahaya
pada ekspresi dominan-demam isu airmata & darah
Adakah ibu yg hidupnya tanpa istirah selama itu?
Mendobrak pulazipulazi yg berkembang dr kelaliman
melipatnya dlm sapu tangan bunga
yang kau pakai
untuk mengusap keringat kanak-kanak Palestina
Hidup bagimu adalah mengabdi Ilahi
dan usaha membahagiakan sesama
dari rumah tangga hingga ke tingkat dunia
Tak mirip yg lain, politik adalah jalan
yang kau luruskan sepenuh cinta
Kau terus menebar maslahat, Ibu
tanpa mengkalkulasikan, tanpa hirau posisi di dunia
namun kau, sering tak bisa pejamkan mata
alasannya adalah gundah memikirkan tempatmu kelak di alam baka
padahal kamu-sekalian yakni orang yg senantiasa
bersandar pada Quran
Oh ibu Indonesia, ibu Palestina, Ibu segala benua
Kau embun yg menetes di lara dunia
dalam ada & tiada
berubah menjadi binar infinit
di pucuk-pucuk semesta cinta
(14 Agustus 2011)