Keranda | Cerpen D. Inu Rahman Abadi

Dalam situasi & hiruk-pikuk jelang penyeleksian wakil rakyat sekaligus orang nomor satu republik ini, pulang ke kampung halaman malah tak membuatku terlalu minat menimbang-nimbang itu. Apalagi, berlomba-kontes menawarkan diri di hadapan salah satu calon dr kampung biar menjadi belahan timnya. Aku lebih menentukan di rumah, menyeduh kopi, lantas menyelai rokok. Membaca beberapa buku, mulai dr Gabriel Garcia, Haruki Murakami, Kafka, beberapa penulis dlm negeri, & terus terngiang seorang mitra sempat resah dlm ceritanya. Yang terakhir ini membuatku benar-benar terganggu.

Ketahuilah, di kampungku Kebun Sari ini, beragam peristiwa ajaib pernah ada & membekas usang di benak orang-orang. Tapi, yg diceritakan kawanku & akan kutulis untukmu hanya tiga kisah perihal keranda. Mengenai dongeng laut, Grup Petteng, hingga Sunan Kalijaga, biarlah di lain waktu saja.

Aku pun jadi ingat kau pernah pula bercerita mengenai orang-orang di kampungmu yg suka pergi ke makam malam-malam. Mereka biasa menyepi di makam keramat itu, katamu waktu itu. Dan entah di makam-makam lain, mungkin pula ada yg demikian. Datang untuk menyepi, melarikan diri dr kejaran orang-orang. Atau membuatnya kawasan menyembunyikan binatang curian, daerah pacaran, bahkan tempat belakang layar seseorang yg sungguh-sungguh bingung mesti berbuat apa kepada bayi merah yg sama sekali tak diharapkan kelahirannya.

Namun, beda kampung kita, beda kampung mana pun. Tapi, sudahlah, baiknya bayangkan saja kamu sedang mendengar talu keranda dr suatu makam di kampungku. Berderak-derak bagai sengaja digoyang, kemudian ditabuh begitu saja, cukup usang hingga keheningan menguasai, mengembuskan kengerian sendiri. Tahulah, keranda itu terletak di pelataran makam kampung yg dikeloni semak belukar karena bertahun tak terurus & sangat jarang dilewati. Bahkan, tak ada yg berani pergi ke sana. Kendati ada mayat baru secepatnya dikubur, tempatnya sudah bukan di situ lagi, tetapi sebidang tanah yg dijaraki dua petak di samping pemakaman lama itu.

“Kejadian itu berlangsung cukup usang, sampai suatu masa berlalu seiring tak terdengar lagi derak-derak suara beraroma ngeri dr keranda itu,” terperinci kawanku Jib Najib, memaparkan pitutur kakeknya. “Mulanya, makam itu biasa-biasa saja, lumrahnya yg lain. Tapi, semenjak keranda asing yg tak diketahui siapa yg membuat & menaruhnya di sana & tiba-datang berjejer dgn keranda lama yg biasa dipakai itu, mendadak suasana ikut berganti. Mencekam.”

Di sela diamku, Jib Najib melanjutkan lagi, “Kejadian itu dikenali sore hari, dikala sebuah keluarga hendak mengubur mayat lelaki sepuhnya di sana.” Ketahuilah, di kampung, tak ada tukang gali kubur khusus. Siapa pun mampu & boleh-boleh saja. “Delapan orang pergi ke sana. Empat orang bertugas menggali liang gres. Empatnya lagi mengambil keranda. Saat itulah mereka semua ternganga, dikejutkan keranda baru yg sama sekali belum pernah digunakan, jejer dgn keranda lama.”

  Jakarta Tidak Gemerlapan | Cerpen Seno Gumira Adjidarma

Namun, karena segala keperluan orang meninggal harus diurus, setelah percakapan, tak lebih getir panik. Masih dgn tubuh gemetar, mereka mengangkat keranda usang secara perlahan-lahan. Sementara penggali liang, dgn mata awas sarat waswas, terus menggali tanah dgn perasaan kesusu cepat selesai. Lepas itu, percakapan berembus cepat hingga ke seluruh kampung perihal keranda misterius itu. Dan berikutnya bagai teror. Ya, keranda itu teror bagi ketentraman jiwa.

Betapa orang-orang di kampung menjadi gentar, kerap menanyakan kemampuan & kesiapan diri dijemput maut. Kematian yg lebih kejam dr apa pun itu, selalu terus mengintai & tengah bersiap menghujamkan kuku-kukunya. Orang-orang memandang ke luar jendela, atau dr muka pintu mendongak ke langit, memeriksa di sela manakah maut berada. Sebab, tatkala terdengar keranda itu berbunyi, sudah dapat ditentukan keesokan harinya liang baru menganga untuk penghuni kubur gres.

Aroma kematian benar-benar menyelubungi segenap kampung!

“Tentu bagi mereka yg rumahnya cukup akrab dgn lokasi pemakaman, bukan lagi kepalang kengerian itu terasa. Sungguh beruntung tak mati mendadak,” cetusku, menanggapi. Jib Najib mengangguk-angguk.

Mungkin kesannya biasa-biasa saja bila di sisi lain kehidupan di kampung mendadak berganti. Sisi lain itu, orang-orang mirip gres dilahirkan kembali. Mereka tak berani bermusuhan, menebar kerusuhan, mencuri, hingga tak segan saling membunuh—baik alasannya adalah dilema harga diri, keyakinan, kecemburuan kelas sosial, maupun kedengkkian yg bersarang di dlm dada. Mereka lebih ngeri mempertimbangkan ajal itu sendiri. Sampai suatu masa, di mana masa itu berlainan sama sekali. Keranda itu tak berderak-derak mirip biasa. Bahkan lenyap kendati tak dimengerti kapan persisnya. Begitulah, & kawanku belum melanjutkan ceritanya. ia beralih sebentar pada tiga buku kumpulan dongeng yg kutulis dlm rentang waktu cukup lama. Salah satunya kububuhi judul Orang-Orang Kampung karena terkesan judul goresan pena maestro dlm negeri, Orang-Orang Bloomington.

Setelah menyeduh kopi & menyulut rokok, ia memastikan, “Memang, sepertinya orang-orang kampung butuh hiburan, suasana gres yg lebih segar. Kendati sudah lenyap cemas itu, hidup terasa normal kembali, lebih tertata & berwarna, terlarang semua yg memicu kerusuhan atas nama apa pun, pertumpahan darah sesama orang kampung, & sungguh menjunjung tinggi perdamaian.”

  Pion Catur | Cerpen Fachru Rozi

Berpuluh tahun kemudian, suatu malam di tahun 2000, kampung kembali heboh. Pasalnya, seorang pengendara sudah menabrak sesuatu di depannya.

“Sungguh aneh, mana ada keranda di jalan kampung?”

“Itu betul. Tapi, gue sungguh-sungguh menabraknya.”

“Terus, sehabis itu?”

“Aku lari menenteng motorku. Tak acuh lagi pada luka di lutut kiri.”

“Keranda itu?”

“Tiba di rumah lebih dulu. Tutup atas keranda terbuka begitu saja seolah sengaja menampilkan isinya. Aku terkejut. Istri & anakku pun kagetmenyaksikan seluruhnya.”

“Apa yg kamu saksikan?”

“Batangan-batangan emas & tumpukan uang.”

“Ah, kamu suka ngarang. Dan ini terlalu berlebihan. Aku tak percaya padamu.”

“Nanti kamu akan percaya. Ha ha…”

Berbeda dgn lorong yg dilalui orang itu, tak berselang lama setelahnya terjadi hal serupa. Seorang pejalan kaki yg rasanya seolah tersandung suatu benda. Setelah berhenti, lamat, mewujudlah di bawahnya sebujur keranda. Tentu saja orang itu cemas, kendati keranda itu bagai diriapi cahaya kunang-kunang. “Ya, mengenai salah seorang ini, ia pula bercerita pada kakekku, Jib Najib,” kata temanku, serius. Aku terus mendengarkan dgn dahi mengerut & dada kemeriut. “Orang itu lari cemas. Terjatuh & bangkit kembali. Sampai di rumah dijumpai istrinya yg kebingungan & mengajukan pertanyaan-tanya ada apa?”

“Ada keranda di seberang sana,” jawab laki-laki itu pada istrinya.

“Kenapa kamu lari?”

“Aku sungguh-sungguh takut.”

“Itu keranda keberuntungan. Mestinya kau tengok dulu isinya. Ayo kita ke sana.”

“Aku takut.”

“Sudah, ayo.” Dan di jalan itu sudah tak ada apa-apa lagi. Hanya gulita. Lalu, mereka pulang tak menjinjing apa-apa, kecuali sesal istrinya sepanjang jalan.

“Mestinya kamu berpikir lebih dulu. Bukannya seluruh kampung sudah umum dgn keranda keberuntungan itu?” Lelaki itu hanya diam. “Sungguh disayangkan, keberuntunganmu itu lenyap begitu saja karena rasa takutmu. Pengecut sekali jadi laki-laki.”

Sementara itu, seseorang yg dianggap beruntung itu telah menepati ucapannya. ia bikin program besar di lapangan kampung. Mulai memanggil kiai untuk ceramah, mempersiapkan biduan, hingga menggelar pementasan wayang. Puncaknya, orang-orang kampung kerap berimajinasi . Lagu-lagu khayalan menguasai benak mereka. Mereka betul-betul terperangkap dlm dunia imajinasi.

Sepertinya, di sinilah letak kesalahan itu. Orang-orang menjadi dirinya masing-masing. Dunia gres yg menguasai mereka, sungguh-sungguh candu paling ganas. Tidak genap setahun, orang yg pernah beruntung & diidam-idamkan yg lain mirip dirinya meninggal di rumah besar berhalaman luas yg pembangunannya baru saja selesai. Barang-barang berharga di rumah itu raib & cuma sedikit tersisa. Di sisi lain, terasa kampung berubah, lebih semarak dgn pembangunan di mana-mana. Entah, beragam cara ditempuh untuk itu. Dan semua bermula, tentu saja, dr lamunan-lamunan panjang mereka.

  Mustajab dan Pak Bupati | Cerpen Sigit Widiantoro

“Kampung menjadi tak kondusif lagi. Teror di mana-mana. Begitulah jika orang-orang sudah melalaikan dr mana asalnya.” Kawanku Jib Najib menyesap rokok lagi. “Begitulah! Tempat hiburan bagai kecambah. Dan kesunyian terasa sekali di daerah-kawasan ibadah.” Aku lantas bermenung. Seperti itukah kampungku dahulu? Sungguh tak habis dipikir.

“Lalu? Sekarang?” Tepat dugaanku, kau mulai mengajukan pertanyaan ihwal kondisi kampungku. Tapi, pertanyaan itu selang sebulan dr jangka waktu kukirim tulisanku ke e-mailmu. “Bagaimana kini?” Pada wajahmu gue membayangkan ketidaksabaran itu. Tapi sungguh kusayangkan, kamu belum membaca goresan pena berikutnya. Di mana kukisahkah pula mengenai keranda berbeda yg muncul untuk kali ketiga sehabis kurun waktu cukup panjang.

Aku telah mengisahkan cukup panjang, namun sederhananya begini: Lihatlah jauh ke angkasa. Biarkan matamu tetap terbuka untuk beberapa saat lamanya. Pelan-pelan kau menyaksikan panorama menakutkan yg membuat dadamu berdebar & lututmu gemetar. Seperti yg dicicipi orang-orang di kampungku. Mendadak ratusan pasang mata terpaku begitu saja. Mereka menduga bintang jatuh, yg semakin bersahabat makin terang bentuknya bukan bintang. Melainkan, suatu keranda terbang dgn alur cahaya sehingga begitu terperinci berjalan di udara. Tentu yg menambah kengerian itu yakni para pengusung keranda. Bagai dibalut jubah putih seputih kafan.

Namun, begitulah, kau boleh percaya atau tidak. Orang-orang di kampungku sekarang tak jauh berbeda dgn mereka yg sempat semasa dgn insiden muskil itu. Ketakutan yg mereka rasakan saat melihat atau mendengar pitutur orang-orang yg menyaksikan pribadi keranda melayang itu tak hingga membuat fikiran & hati mereka tergugah. Kendati hanya merenung, apalah artinya keranda terbang di malam cerah begitu?

“Sekarang kampungku… ah, sudahlah, lanjut saja kau baca tulisanku itu. Dan dapatkan sendiri jawabannya.”

“Mana mampu begitu? Ayolah, gue sibuk. Sebagai kandidat anggota legislatif, banyak hal menuntutku segera teratasi. Nanti sore saja gue harus ke kantor, ngurus ini & itu.”

“Oh, gue lupa, tak semestinya kukisahkah padamu. Apa pula cuma keranda.” Aku bergumam sendiri setelah cepat-cepat kututup telepon & tak mengaktifkannya lagi.

Aku memandang ke luar jendela, mudah-mudahan, tetap saja kudoakan kebaikan untukmu, jalanmu tak mendapatkan aral melintang. Nanti jadilah perempuan yg sungguh-sungguh jujur & amanah.

Dan berikutnya yakni upaya tersenyum di sela bulu mataku mengerjap-ngerjap. Aku menyaksikan keranda berlainan, cinta kami terbujur di dalamnya. (*)