close

Sabda Tuhan di Kepala Orang Gila | Cerpen Ken Hanggara

Aku ingin makan, namun tak memiliki uang. Kaprikornus, kuminta uang pada siapa saja di pasar. Setiap kutemui punggung seseorang, gue berdoa supaya hati orang itu diketuk sedemikian rupa oleh-Nya sehingga membantuku yg sedang kelaparan. Lalu kutepuk punggung itu & dgn wajah memelas kukatakan kalimat ini dgn begitu syahdu, “Minta uang dong.”

Aku tahu, mungkin jikalau tak makan hari ini gue masih hidup. Baru sampai besok lusa, kalau gue sungguh-sungguh tak makan apa pun, gue akan mati di pasar ini atau di mana pun yg tak jauh dr pasar ini.

Sulit membayangkan akan mati mirip apa & di mana jikalau Anda hidup sebatang kara di suatu pasar, & bermata juling, & berotak separuh sapi, & berbadan sebesar badak. Itulah saya, dgn segala ciriku. Hidup sendiri di pasar, pindah dr satu kota ke kota lain, hanya untuk makan.

Seharusnya orang kasihan kepadaku dgn mata julingku yg sulit membuatku melakukan pekerjaan di mana pun. Aku gampang letih & tak beres menggarap nyaris semua hal. Misalnya, gue tak bisa menghitung dgn pas & mungkin pula tak mampu melakukan pekerjaan di kawasan fotokopian dengan peran memencet-mencet tombol mesin fotokopi.

Aku sering membatin bahwa mungkin Tuhan menciptakanku untuk ini; terkadang beberapa hal sulit diterima, namun ku percaya memang begitulah adanya, yaitu gue dicipta sebagai sarana insan lain menuju surga. Aku didesain Tuhan menjadi pengemis yg dapat membangkitkan gairah kemanusiaan orang-orang. Aku dirancang sedemikian rupa oleh-Nya supaya orang-orang tak lupa sedekah. Jika sudah begitu, surga bakalan mereka dapat.

Memang semestinya orang berpikir begitu, mengingat betapa melas wajahku ketika berkata, “Minta uang dong.”

Biasanya kulengkapi kernyitan di dahi, lalu pada pipiku harus ada beberapa bercak kotoran. Aku tak mandi atau basuh paras sebelum mengerjakan ini, demi orisinalitas & bukan semacam tipuan. Aku tak perlu membuat luka-luka artifisial untuk mempesona simpati; cukup wajah gembilku saja yg natural, yg kubuat semelas & semalang mungkin, seakan tak makan kira-kira dua tahun berturut-turut. Kukira, itu jauh lebih ampuh.

Buktinya, badanku tetap sebesar badak & makanku tiada henti. Kadang-kadang sehari kuhabiskan empat mangkuk mi ayam plus dua bungkus roti bolu & beberapa bungkus teh botol. Artinya, akan senantiasa ada orang yg memberiku duit. Tuhan selalu saja mengetahui & mengabulkan doaku setiap kali kuamati punggung seseorang & kuniati untuk meminta uang darinya.

“Memang betul Tuhan merestuiku karena ia menciptaku sebagai fasilitas orang banyak dlm menuju nirwana,” kataku pada Bendi Afkir, seorang pengamen yg dahulu kala berimajinasi jadi jenderal dangdut, tetapi gagal. Waktu itu kami makan di salah satu warung.

  Menganyam Kesabaran | Cerpen Asma Nadia

“Manusia koplak sepertimu benar-benar memalukan,” jawabnya.

Aku & Bendi Afkir memang umummakan berdua, & ia umummenyebut diriku sebagai manusia paling memalukan, manusia kalah, insan berotak sapi, & lain-lain. Aku membisu saja & tak protes, karena apa pun yg kukatakan sudah niscaya akan dapat ia bantah.

Meski begitu, Bendi Afkir sering meminta uang kepadaku, tatkala ia tak dapat uang cukup dr ngamen. Kadang ia menyesal dahulu berimajinasi menjadi jenderal dangdut, bukannya menjadi pebisnis yg tentu tak kalah pamor dgn raja & pangeran dangdut sebagaimana kondisinya ketika ini. Bendi Afkir sering menangis apabila teringat keluarga di rumah.

“Ibu pasti menangis melihatku begini di sini, hari ini, duduk di suatu warung nasi bersama orang mengenaskan. Lihat tubuh gendutmu ini, mata julingmu, segala padamu. Tidak ada apa pun yg membuatmu sadar untuk melakukan pekerjaan jujur ketimbang minta duit. Setiap kali kudengar ananda bilang, ‘Minta duit dong,’ rasanya dunia mirip roboh & di kepalaku seluruhnya serba debu-bubuk. Barangkali ibu menyesal melahirkanku dua puluh tujuh tahun yg lalu,” katanya.

Aku tak pernah ambil sakit kepala omongan Bendi Afkir. Biasanya kami berpisah usai ia dgn puas menuduhku sinting & tak bertanggung jawab, pula pemalas, lalu kami ketemu lagi beberapa jam setelahnya & makan berdua seperti ini untuk bicara hal-hal yg tak jauh berlawanan.

Aku tak pernah bosan makan dgn Bendi Afkir, sekalipun ia tak pernah ada niat mengeluarkan uang utang-utangnya. ia senantiasa bilang uangnya tak cukup. Padahal, Bendi Afkir mengamen di mana-mana sambil menjinjing suatu alat yg dibentuk dr beberapa tutup botol yg dihimpun bersama sebatang kayu. Bendi Afkir laki-laki, tetapi ia tak aib menggunakan rok & berbedak mirip badut. Aku tahu ia tampaksungguh manis & tak ganteng, tetapi pernah kami buang air bersama di suatu sungai & kali itulah gue tahu ia laki-laki.

Aku tak tahu rumah Bendi Afkir, alasannya adalah katanya itu bukan urusanku. Aku sendiri tinggal di pasar & kadang kala pindah ke seberang pasar, ke sebuah pagar kuburan, & di sana mampu tidur sepuasnya tanpa diganggu, di bawah sebatang pohon yg tak kutahu jenis pohon apa.

Di sana gue membayangkan dapat aneka macam pekerjaan & tak betah, lalu Tuhan bersabda, “Kamu dicipta bukan untuk bekerja keras, tetapi sebagai fasilitas orang banyak menuju nirwana!”

  Senja Wabah | Cerpen Dadang Ari Murtono

Lalu gue pergi dr kawasan-tempat kerjaku & bos-bos yg kutinggalkan marah, & gue tak peduli. Kemudian gue pergi ke pasar ini & meminta duit pada semua orang dgn perasaan lapang.

Aku sering membayangkan itu setiap kali becermin. Maksudku, suatu sabda dr langit, yg mendukungku untuk semua ini. Aku tak pernah kurang uang, namun gue pun rela tak menyewa kamar demi bikin Bendi Afkir senang. Jika duit yg kudapat kupakai semua, gue tak mampu membantu Bendi Afkir & beberapa temanku di pasar. Mereka semua rata-rata tak punya keluarga.

Setahuku, gue pula tak ada keluarga, sebab dahulu tahu-tahu gue sudah hidup tanpa bapak-ibu & mengais-ngais makanan dr mana saja. Aku pula tak mampu membaca, meski sudah diajari berulang kali oleh orang-orang baik yg nyaris selalu kutemui di mana saja.

Orang-orang ini memaksaku membaca, namun gue bilang tak mampu. Aku tahu bedanya karakter O & Q, namun gue malas. Kaprikornus, gue putuskan bahwa membaca itu bukan sesuatu yg penting.

Mungkin alasannya adalah sudah takdirnya gue tak melakukan pekerjaan di mana-mana & cuma jadi fasilitas orang banyak menuju nirwana, maka timbul rasa malas dlm dadaku. Aku berpikir itulah anugerah Tuhan. Karena bila tanpa orang sepertiku yg malas & bikin -buat wajah melas biar orang bersimpati, mungkin saja tak ada yg ingat beramal & tiap orang cukup umur di dunia ini nanti dibakar di neraka. Itu tak semestinya terjadi, kukira.

Bendi Afkir tak baiklah waktu kukatakan hal itu. Jika mereka yg memberi uang kepadaku masuk nirwana, bermakna semua yg meminta-minta uang akan masuk neraka?

Bendi Afkir dgn kesal berkata, “Kalau gue masuk neraka, harusnya ananda pula masuk neraka. Aku berada di neraka paling atas & ananda paling bawah. Karena gue masih melakukan pekerjaan & ananda tak melakukan pekerjaan . Aku tahu, gue mungkin masuk neraka karena tak pernah sembahyang & bahkan kadang-kadang mencurigai bantuan-Nya. Tapi, gue tahu Tuhan bilang, orang hidup harus kerja. Setahuku itu. ia tak membuat orang-orang udik & kalah untuk jadi pengemis!”

Tapi, kukatakan pada Bendi Afkir bahwa itu tak mungkin. ia tahu jika gue tak makan hari ini mungkin gue masih hidup. Baru sampai besok lusa, jika gue betul-betul tak makan apa pun, gue akan mati di pasar ini atau di mana pun yg tak jauh dr pasar ini. Intinya, kalau gue tak makan, baru gue mati.

  Sampan Zulaiha | Cerpen Hasan Al Banna

Bendi Afkir kesal & mengaku tak tahu maksudku. Lalu kuingatkan ia bahwa di tempat fotokopian, sekalipun gue tak kerja di sana, gue tahu benda-benda mirip buku & setumpuk kertas, apabila ditaruh di suatu kardus, yg lebih dahulu ditaruh senantiasa di bawah.

Aku punya duit cukup untuk makan & tak mati dlm waktu dekat, & justru Bendi Afkir yg sering minta duit. Jika misalnya kuputuskan untuk tak memberinya uang lagi, ia bisa mati & ditaruh lebih dahulu dlm kotak yg bernama neraka. Maka, ia sebaiknya berada di neraka potongan bawah.

Sejak kukatakan itu, Bendi Afkir tak kelihatan batang hidungnya. Aku tak tahu di mana ia tinggal. Jadi, kucari jenderal dangdut itu ke sekitar warung yg lazimkami datangi. Aku tak mendapatkan Bendi Afkir & gue kelaparan. Harusnya gue tak terlambat makan. Kaprikornus, saat itu pula gue makan tanpa Bendi Afkir. Selesai makan & membayar apa yg kumakan, gue kembali mencarinya.

Aku memang mesti mencarinya alasannya adalah sesuai sabda Tuhan, sebaiknya gue ada untuk membuat orang-orang lain dgn lancar pergi ke surga suatu ketika nanti. Aku tak tahu kenapa Bendi Afkir berpikir ia bakal masuk neraka. Aku yakin ia masuk surga jika mau sembahyang & sesekali membayar utang kepadaku. Seharusnya ia tahu ia punya peluang.

“Kenapa kau kabur, wahai jenderal dangdut?”

Aku capek mencari Bendi Afkir sampai kira-kira sepuluh jam lamanya & pingsan di depan pagar kuburan pada subuh hari itu. Lalu gue bermimpi melihat kakek berbaju rombeng mendatangiku & memberiku sebutir telur. Lalu kumakan telur itu & gue kenyang. Tidak usang kemudian, masih dlm mimpi itu, perutku mulas. Aku buang hajat begitu banyaknya hingga-sampai siapa pun yg berlangsung di depan kuburan itu menghindariku & berkata, “Nggak sopan, ya!”

Aku baru bangun dr pingsanku dikala hari sudah siang. Kali itu Bendi Afkir ada di dekatku & menangis. ia bilang ingin mengakhiri hidup, namun tak tega kepadaku. ia bilang ingin hidup bersamaku selamanya demi membuatku sadar. ia pula bilang di dunia ini harga bahan masakan meningkat, jadi cara berpikir mesti ditingkatkan biar kami semua tak mati & ditaruh di neraka paling bawah. Aku tak tahu maksudnya, tetapi ia berbisik, “Tuhan pula menciptaku selaku sarana menuju nirwana.”

Dan kami pun berpelukan layaknya saudara kandung. (*)