Tentara KNIL dari orang pribumi |
“Zaman Normal istilah orang-orang bau tanah untuk menyebut zaman penjajahan Belanda.”
Bekas abdi kolonial memimpikan zaman normal, alih-alih zaman merdeka. Ada juga yang merasa terikat sumpah setia kepada Ratu Belanda.
Masa-kurun Hindia-Belanda sebelum 1942 sering disebut zaman normal. Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Batas-batas Pembaratan (1996) menyebut zaman normal selaku “era saat segala sesuatu berjalan normal dibanding dengan kegelisahan politik yang terjadi berturut-turut sejak 1942.” Maksudnya yaitu zaman kolonial Hindia-Belanda.
Pada “tahun-tahun awal kemerdekaan, masyarakat akan merujuk pada masa kolonial pra-perang selaku Zaman Aman atau Zaman Normal, seakan-akan Hindia Belanda sudah menjadi tempat berlindung bagi kedamaian dan ketenangan,” tulis Frans Hüsken dalam Orde Zonder Order: Kekerasan dan Dendam di Indonesia 1965–1998 (2003).
Misbach Yusa Biran, yang lahir di zaman kolonial, dalam Keajaiban di Pasar Senen (2008) mencatat “Zaman Normal (yaitu) ungkapan orang-orang renta untuk menyebut zaman penjajahan Belanda.”
Bagi sebagian orang-orang bau tanah yang merasa tenteram di zaman kolonial dan mencicipi hidup lebih susah di zaman Jepang dan Indonesia merdeka, zaman penjajahan Belanda pun mereka sebut selaku zaman normal.
Menurut Justian Suhandinata dalam WNI keturunan Tionghoa dalam stabilitas ekonomi dan politik Indonesia (2009), “penduduk orisinil menggemari posisi dalam pemerintahan, kaum peranakan mendapatkan mereka selaku karyawan kantor perusahaan swasta” di zaman wajar .
“Budaya priayi faktual masih besar lengan berkuasa. Pada masa zaman normal, para birokrat mampu hidup dengan cukup, tetapi tidak berlebihan, dengan terhormat,” kata David H. dalam Menembus Batas: Damai untuk Semesta (2008).
Di zaman kolonial, derajat golongan priayi lebih tinggi daripada rakyat jelata. Sudah jadi kebiasaan di kawasan tertentu rakyat jelata harus berlaku sopan dan tunduk kepada kalangan priayi.
Revolusi kemerdekaan Indonesia, yang juga diwarnai revolusi sosial, mengobrak-abrik tatanan feodal tersebut. Kardinah, adik Kartini, menjadi salah satu korban dari keganasan revolusi sosial. Kardinah diarak dan dipermalukan di hadapan khalayak lazim.
Selain itu, revolusi juga menciptakan seorang buta aksara mampu jadi komandan militer yang dihormati macam Abdullah, yang lalu punya istri seorang Indo. Atau rakyat jelata macam Soeharto mampu menikahi putri priayi bernama Hartinah alias Tien Soeharto.
Di zaman normal, hal-hal tersebut tak terjadi. Kaum Indo punya derajat lebih tinggi, sebagaimana kaum priayi. Jika priayi harus jadi korban revolusi sosial, orang-orang Indo sempat jadi korban “Masa Bersiap” di permulaan kemerdekaan Indonesia. Maka, di mata mereka, Republik Indonesia dianggap payah dan tidak mempunyai kala depan, sehingga tak perlu mereka dukung.
Lepas dari prestise, duduk perkara kemakmuran—alias duit—juga jadi alasan yang tak kalah penting.
Zaman wajar memang kala mapan bagi orang-orang bumiputera yang punya pangkat di pemerintahan sipil maupun di militer.
Didi Kartasasmita, seorang mantan letnan satu serdadu kolonial Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL) dalam autobiografinya, Didi Kartasasmita: Pengabdian Bagi Kemerdekaan (1993)—ditulis Tatang Sumarsana—berkata pemasukan bulanannya sekitar 350 gulden di zaman wajar . Setelah zaman wajar berakhir, lantaran kehadiran Jepang, hidupnya sulit. Tak ada lagi gaji bulanan yang besar.
Setelah Jepang kalah, lalu Indonesia merdeka, ada yang memimpikan zaman wajar kembali lagi. “Mereka yang tadinya menjadi BB (Binnenland Bestuur, pegawai negeri Belanda), babu, atau tukang kebun Belanda, menginginkan akan menerima pekerjaan kembali,” tulis Toeti Kakiailatu dalam B.M. Diah: Wartawan Serba Bisa (1997).
Kesempatan itu terbuka. Nederlandsch Indische Civil Administration (NICA), suatu pemerintah sementara yang dibentuk Belanda di bekas kawasan Hindia Belanda, memerlukan mereka kembali.
“Memang, NICA pasti memerlukan kita,” kata bekas Kapten KNIL, Wardiman, seperti dikutip dalam autobiografi Didi Kartasasmita.
Didi setuju dengan Wardiman tentang hal itu. Menurut Didi, “Personel yang dibawa dari Negeri Belanda belum cukup menyanggupi kebutuhan mereka. Karena itu, mereka belum mampu melaksanakan manouver-manouver (militer).” Didi ialah perwira bekas KNIL di zaman normal. Setelah Indonesia merdeka, ia menghimpun para mantan perwira KNIL untuk mendukung Republik.
Pihak Belanda setidaknya sudah menawan Soeriosentoso, Soerjobroto, Soewondo, Poerbo Soemitro, Sultan Hamid II, ke pihak mereka. Kecuali nama terakhir, yang lainnya yaitu perwira-perwira KNIL senior dari golongan priayi Jawa. Jika Sultan Hamid II hidup di kamp interniran, banyak perwira lain hidup di luar kamp, tetapi selalu dalam pengawasan tentara-serdadu Jepang. Rata-rata perwira itu sudah berpangkat Kolonel di KNIL menjelang 1950.
Upaya gagal pemerintah kolonial kembali ke Hindia Belanda menjadi mimpi jelek bagi orang-orang yang melakukan pekerjaan untuk Belanda. Golongan pegawai negeri kolonial, yang sebelum perang punya pangkat tinggi, terancam tidak menikmati lagi kemakmuran ala zaman normal. Bagi yang sudah pensiun pun terancam kehilangan sumbangan hari tua.
“Pada 25 Maret 1946, muncul organisasi politik bernama Twaalfde Provincie (TWAPRO), diketuai oleh Jan Mawikere,” tulis Laurens Th Manus dalam Sejarah revolusi kemerdekaan, 1945-1949 kawasan Sulawesi Utara (1991). Jan Mawikere yakni pensiunan Sersan KNIL. “Para anggota pada umumnya adalah pensiunan dinas militer KNIL, guru, dan pegawai yang lain yang puluhan ribu banyaknya.“
Hal seperti ini tak hanya dicicipi oleh mantan abdi kolonial di daerah Indonesia timur. Tak sedikit bekas abdi kolonial di Indonesia bab barat pun merindukan zaman normal.
Kaum usahawan perkebunan, yang pada umumnya orang Eropa, tidak diuntungkan atas kemerdekaan Indonesia. Mereka bakal jadi orang aneh di kebun mereka yang mempekerjakan orang-orang bumiputera.
Tak heran kalau Westerling pada 1949 dianggap pahlawan menjelang pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil. Menurut laporan Jawatan Kepolisian Negara bertanggal 21 Februari 1950 perihal Aksi Westerling, seorang pebisnis perkebunan Inggris di Bandung berjulukan Tom menyebut Westerling sebagai “A Big Fellow”—Sang Pembesar.
Para pengusaha itu sering menerima gangguan dari gerombolan bersenjata. Karenanya, mereka membuatpasukan sendiri untuk menjaga aset mereka. Selain usahawan-pengusaha perkebunan Eropa, beberapa pebisnis Tionghoa juga terlibat dalam pendanaan kepada Westerling. Begitu juga pejabat dari perusahaan pelayaran Belanda—Koninklijk Packetvaart Maaatschappij (KPM)—Leon Nicolaas Hubert Jungschlager.
Selain KPM dan kelompok-kelompok tadi, menurut laporan yang sama, perusahaan-perusahaan besar macam Lindeteves, Javastaal, Le Wehry, Borsumij dan BPM—yang disebut The Big Five—juga terlibat dalam pendanaan agresi-aksi Westerling pada 1949-1950.
Sebagaimana Gert Oostindie dalam Serdadu Belanda di Indonesia 1945-1949 (2017) mencatat pengukuhan seorang tentara Belanda bernama Jan van Tright pada pertengahan 1947: “Orang menginginkan nasi, ketertiban, dan kepastian hukum. Semua ini tidak ada selama para pentolan Republik memegang kemudi. Tidak aman di semua bidang. Terjadi pembunuhan dan penjarahan.”
Bagi mereka, zaman normal mesti kembali dan Republik Indonesia lebih baik tak pernah ada ketimbang kehilangan ketentraman dan kemewahan, yang mereka pernah nikmati di bawah hukum kolonial.Sumber: https://tirto.id/menolak-republik-karena-kangen-=kondusif-norma