close

Batalyon Andjing Nica Lahir Di Bandung

 adalah masa yang begitu mencekam bagi orang Batalyon Andjing Nica Lahir di Bandung
Tentara Andjing NICA, Gombong 1948 (sumber foto dickyrachmadie)
“Masa Bersiap” yakni kurun yang begitu mencekam bagi orang-orang Belanda, Indo-Belanda, juga orang Indonesia yang dianggap pro-Belanda. Nyawa mereka terancam oleh serangan membabi-buta dari pengacau-pengacau yang mengaku diri pro-Republik. Orang-orang ini yaitu orang-orang yang begitu benci pada apapun yang berbau Belanda. 

Orang-orang yang terkait dengan Belanda pun dicap selaku “Andjing NICA.” Pengacau-pengacau revolusi Indonesia itu belum apa-apa sudah berhasil menakuti orang-orang Belanda yang gres bebas dari kamp tawanan Jepang. Baru saja keluar sangkar buaya, mereka terancam ditubruk macan.

“Cap Andjing NICA tidak pandang bulu, hanya uji nasib. Malah orang-orang Indonesia asli tidak jarang yang dicap sebagai intel Belanda,” tulis Kwee Thiam Tjing di Indonesia Raya 15-17 Agustus 1972, mirip dimuat dalam buku Menjadi Tjamboek Berdoeri: Memoir Kwee Thiam Tjing (2010).

NICA ialah kependekan dari Nederlandsche Indische Civil Administration, sebuah pemerintah sipil Hindia Belanda sementara yang dibentuk di Australia. Dalam pembacaan sejarah orang-orang Indonesia, NICA bisa memiliki arti juga selaku Tentara Belanda. Segala hal berbau Belanda di mata orang-orang Indonesia tahun 1945-1949 layak disebut NICA. Dan, semua pendukungnya adalah Andjing NICA.

Nama Andjing NICA itupun disematkan pada unit militer bekas tawanan perang di Bandung. Menurut pelaku sejarah RHA Saleh dalam bukunya Mari Bung Rebut Kembali (2000), orang-orang yang jadi korban Masa Bersiap itu begitu dendam. Mereka pun bertempur, membalas dengan bertindak beringas terhadap kombatan pejuang Indonesia.

 adalah masa yang begitu mencekam bagi orang Batalyon Andjing Nica Lahir di Bandung
Logo Andjing NICA (foto dickyrachmadie)

Mantan perwira Belanda yang jadi tangan kanan Jenderal Spoor, Rob Smulders, dalam Een Stem Uit het Veld: Herenneringen van de Ritmeester Adjudant van General SH Spoor (1988), mirip dikutip Gert Oostindie dalam buku Serdadu Belanda di Indonesia (2016), memuji batalyon ini.

  Pemberontakan DI/TII di Berbagai Daerah

“Andjing NICA ini, menempatkan dirinya melawan golongan Bersiap dan menyelamatkan, melindungi dan membebaskan para tawanan yang acap kali tak berdaya [….] Mungkin tidak ada kesatuan sebaik Andjing NICA yang mampu memahami kebenaran luar biasa dan tata cara kejam dari para gerilyawan dan kemudian memperoleh jawabannya dengan membentuk kontragerilya.”

Gert Oostindie dalam bukunya menyebut adanya pembantaian alias eksekusi tanpa pengadilan terhadap 5 orang warga kampung Jawa Balapulang oleh pasukan Andjing NICA dengan argumentasi kelima warga tersebut sudah membantai 18 orang Indo dengan kejam pada 1946. Dalam buku Het Andjing NICA Bataljon (KNIL) in Nederlands-Indie (1988), yang ditulis Sjoerd Albert Lapre dan mitra-kawan, cerita pembantaian itu tak disebut. Lapre juga mantan perwira batalyon tersebut di era revolusi.

Menurut catatan buku Het Andjing NICA Bataljon (KNIL) in Nederlands-Indie (1988), batalyon ini terbentuk pada 2 Desember 1945. Semula, ia berbasis di Bandung di bawah komando Brigade W. Pendidikan dan perekrutan batalyon ini dipimpin oleh mantan Kapten KNIL J.C. Pasqua. Seperti personel permulaan Andjing NICA, Pasqua juga bekas tawanan perang di masa pendudukan Jepang. Batalyon ini dibentuk di gedung bekas Koninklijk Militaire Academie (KMA) Bandung. Sejak 23 Desember 1945 sampai 18 Januari 1946, kekuatannya terbangun di sekeliling Bandung dan Cimahi.

Hingga Juni 1946, batalyon ini telah punya kekuatan 4 kompi. Tiap kompi punya ciri masing-masing dan masih rasis. Kompi Eropa dengan dasi hijau, Kompi Ambon dengan dasi merah, Kompi Timor dengan warna hitam, dan kompi campuran dengan warna biru. Lambang batalyon dirancang oleh E.C.E. Amade, dengan gambar anjing merah menyalak. Menurut RHA Saleh, personelnya sering mencoreti seragam tempur mereka goresan pena: Andjing NICA.

  3+ Latar Belakang Peristiwa Pertempuran 10 November di Surabaya

Menurut catatan Lapre, Komandan Batalyon yakni Letkol Aldus Pieter van Santen. Kompi keempat dipimpin Letnan Maximilian Nutter, kompi ketiga oleh Kapten Thijs Nanlohy, kompi kedua Letnan C.I. Trieling, dan kompi pertama oleh Lapre sendiri. Di kala revolusi, pasukan bernama Andjing NICA yang tercatat sebagai Batalyon Infanteri V KNIL itu jadi andalan Tentara Belanda.

Batalyon Andjing NICA tak kalah beringas dibanding Batalyon KNIL di Jakarta yang bermarkas di bekas tangsi Batalyon X. Setelah Agresi Militer Belanda pertama pada Juli 1947, pasukan ini berpindah-pindah posisi. Dari Bandung, ia bergerak ke Cirebon melalui Sumedang. Setelah itu, ia bergerak ke Purbalingga, Purwokerto, lalu ke Gombong.

Di Gombong, pasukan Andjing NICA disebar ke beberapa daerah. Kompi pertama di Kroya, kompi kedua di Sumpiuh, kompi ketiga di Benteng Gombong dan kompi keempat di sisi timur Gombong. Mereka agak lama di sekitar Gombong. Foto-foto dalam buku Het Andjing NICA Bataljon (KNIL) in Nederlands-Indie menawarkan pasukan ini melakukan parade militer dan sempat menghadapi kurun hening di Gombong.

Mereka baru bergerak dan bertempur lagi saat pecahnya Agresi Militer Belanda II. Pasukan ini mendukung gerakan pasukan Brigade T ke Magelang pada 19 Desember 1948. Pasukan ini menghadapi peperangan-peperangan sengit yang membuat mereka kehilangan banyak personel pada 1949. Di Mlasen, serdadu kelas dua dari suku Sunda bernama Djenel terbunuh di pada 11 Januari 1949. Enam hari lalu, di Dawukan, Banyumas, menyusul Kopral Eropa berjulukan J.

Brinkman juga terbunuh. Di Krangggan, Kopral Ambon A. Matitanatiwen juga tewas. Korban paling banyak di Purworejo. Pada 13 Maret 1949, mereka kehilangan serdadu-serdadunya: Ikim orang Sunda, Bintang orang Manado, Usmani asal Manado, A. Noya dari Ambon, Samad orang Jawa, Hiariej asal Ambon, Kaawoan asal Manado, Joeseoef bin Kembang orang Sunda, E. Seipatttiratu asal Ambon, H Newaoema asal Timor, Ene orang Sunda, dan K. Moningka asal Manado.

  Islam Pada Periode Orde Gres

Pangkat semua prajurit-serdadu keturunan Indonesia itu ialah tentara kelas dua. Tentu saja puluhan serdadu Andjing NICA banyak yang terluka di awal tahun 1949.

Setelah agresi militer Belanda kedua, Batalyon Andjing NICA bertahan di sekeliling Magelang. Anggotanya disebar juga ke Muntilan, Salaman, Parakan, dan Temanggung. Bulan Desember 1949, mereka menerima perintah baru semoga pindah dari Magelang. Mereka diberangkatkan dengan kapal Waibolang ke Kalimantan Timur melalui Semarang.

Setelah van Santen diganti Major van Loon, sialnya van Loon malah cedera sebab jipnya di Semarang menabrak pohon. Perwira paling senior di Andjing NICA, Kapten Schlosmacher, pun mesti memimpin batalyon ini.

Ketika mereka tiba di Balikpapan, pasukan ini mengalami kelemahan perwira. Akhirnya, seorang perwira dari batalyon XIV, Letnan HC Toorop, pun diperbantukan. Meski basisnya di Balikpapan, kompi-kompinya dikirim sampai jauh sekali ke luar kota. Wilayah paling bersahabat yaitu Sepinggan dan Samboja. Ada yang ditugaskan di Samarinda, sedangkan yang terjauh yaitu Tarakan.

Sesuai akad Konferensi Meja Bundar di Belanda 1949, tentara-tentara dari Batalyon Andjing NICA pun diberi pilihan untuk bergabung dengan ikut ke Belanda atau bergabung dengan Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS). Tak semua KNIL mampu mendapatkan berubah tuan, dari Ratu Belanda ke Pemerintah Republik yang sebelumnya jadi musuh mereka.

Dari Batalyon Andjing NICA sendiri, kemudian ada kalangan yang jadinya bersedia masuk APRIS. Yang paling populer di antara mereka ialah bekas Kopral Smit, yang ketika masuk APRIS pangkatnya Letnan. Setelah 26 Juli 1950, KNIL dinyatakan bubar, maka secara otomatis riwayat Andjing NICA pun selsai. Sumber: https://tirto.id/sejarah-batalyon-andjing-nica-ck6Y