close

Wagimin Tikus | Cerpen Gunawan Budi Susanto


Oleh: Gunawan Budi Susanto

Di Gebyog, kampung daerah tinggal saya 12 tahun terakhir ini, saya adalah pendatang. Dan, sialan, agaknya hingga kapan pun, sekalipun bakal tinggal sampai mati di kampung ini, saya tetap dianggap & diperlakukan selaku pendatang. Tentu saja saya merasa berhak tersinggung. Ya, siapa mau dianggap & diperlakukan terus-menerus sebagai pendatang, meski sudah tinggal berbelas tahun? Bahkan berencana tinggal hingga ajal menjemput.

Bagi saya, rata-rata warga orisinil—begitulah mereka menyebut diri mereka—kampungan & sungguh tak berakal. Apalagi kebanyakan mereka cuma lulusan sekolah dasar. Kalaupun ada satu-dua lulusan sekolah tinggi tinggi, perilaku & cara berpikir mereka pun setali tiga duit. Sama saja, kampungan & tak cendekia.

Sialan!

Kalian mungkin menganggap saya sombong & tinggi hati karena berkesan merendahkan mereka. Ya, saya akui saya memang menatap rendah mereka. Betapa tidak? Sudah tak berpendidikan, picik pula!

Kepicikan itu terbukti, contohnya, dr sapaan mereka pada sesama. Coba pikir, bagaimana mampu hampir semua nama mereka di kampung dibarengi “gelar”, poyokan, atau usikan yg tak patut disandingkan dgn nama manusia. Joyo Manol masih mampu saya terima alasannya Joyo memang bekerja sebagai manol, kuli angkut. Barjo Becak pula masih bisa saya amini karena Barjo memang tukang becak. Lebih mampu saya terima sebutan Marno Guru untuk membedakan dr Marno Bakul yg melakukan pekerjaan sebagai bakul buah.

Namun Wagimin Tikus? Bukankah itu penghinaan? Bagaimana mungkin mereka menyapa, mengundang, atau menamakan saudara sekampung dgn suplemen tikus? Wagimin memang bukan nama yg memberikan keterpelajaran. Nama kampung, kampungan. Namun kenapa masih diembel-embeli tikus?

  Sirajatunda | Cerpen Nukila Amal

Wagimin Tikus. Panggilan itu menciptakan saya ingin tau. Tatkala saya mengajukan pertanyaan pada Jamal Bubut, si tukang bubut, tetangga depan rumah, ia menjawab, “Karena ia berkawan dgn tikus, Pak Gun.”

Berkawan dgn tikus? Macam perkawanan seperti apa? Tikus sebenar-benar tikus atau tikus sebagai ibarat atau majas?

“Ibarat apa ta? Majas itu apa?” sahut Jamal. “Njenengan kok abnormal-abnormal saja. Berkawan ya berkawan. Wagimin memang berkawan dgn tikus. Sahabat tikus.”

“Kok mampu? Berkawan macam apa?”

“Ya berkawan, sungguh-sungguh berkawan.”

“Piye sih?”

“Ya, boten piye-piye. Anu saja…, njenengan tanya pribadi saja pada beliau. Sekarang ia kan menyewa & menggarap tanah di samping rumah njenengan. ia menanam pogung, singkong, untuk tikus, mitra-kawannya.”

Ya, Wagimin memang menyewa tanah pekarangan di samping rumah saya. Dan, ia menanam singkong yg tumbuh subur di tanah itu. Namun apa hubungan singkong & tikus? Kenapa kata Jamal singkong itu untuk para tikus sahabatnya?

“Tanyakan saja pada ia. Wagimin Tikus! Ha-haha!” ujar Jamal sambil ngeloyor pergi.

Diamput! Apakah tingkah macam itu layak disebut tingkah orang berilmu? Dasar kampungan!

Kesempatan untuk mengetahui asal-seruan panggilan Wagimin Tikus terbuka tatkala suatu sore saya melihat Wagimin berada di kebun samping rumah saya. Seolah-olah sambil lalu, saya mendekat, menyapa, & mengajak ia berbincang-bincang. Obrolan tak tentu arah, asal omong, omong kosong. Ya, kan percuma pula saya ajak ia bicara soal sastra, musik, atau seni rupa?

Setelah dialog tak keruan juntrungan itu, hasilnya saya mengajukan pertanyaan pula kenapa Wagimin Tikus diundang Wagimin Tikus.

“Bagi saya, tak masalah diundang begitu,” ujar beliau.

“Sampean tak tersinggung?” tanya saya.

  Mata, Air, Hujan | Cerpen Sungging Raga

“Tidak.”

“Kenapa? Bukankah itu penghinaan?” kejar saya.

“Dasar kampungan!” batin saya.

“Saya memang berkawan dgn tikus kok, Pak Gun.”

“Berkawan?”

“Ya, berkawan. Benar-benar berkawan.”

“Sampean tak merasa terhina dgn panggilan itu?”

“Kenapa terhina? Bagi saya, itu justru legalisasi apa yg saya lakukan memang benar.”

“Apa yg sampean lakukan?”

“Ya, itu tadi… berkawan dgn tikus.”

“Piye sih, kok mbulet? Apa sebenarnya yg sampean lakukan pada tikus? Perkawanan macam apa antara sampean & tikus?”

“Pak Gun, saya memang berkawan dgn tikus. Saya tak pernah membunuh tikus, tak ingin membunuh tikus. Meski ratusan ekor tikus menjadi ancaman, bakal menyikat habis padi di sawah saya.”

“Terus piye? Jika sampean tidak ingin membunuh tikus, bukankah padi sampean bakal dimangsa?”

“Saya memberi makan tikus-tikus itu dgn singkong.”

“Apa relasi tikus & singkong?”

“Saya beri makan tikus-tikus itu dgn singkong yg saya tanam ini. Dan, padi saya kondusif. Tikus tak memangsa padi saya.”

“Bagaimana caranya?”

“Saat musim tikus menyerang, saya sudah panen singkong. Saya sebar singkong yg sudah saya potong-potong di sekeliling sawah, di tepian pematang. Tikus-tikus itu tak bakal menyerbu padi yg sudah berat membulir, karena sudah kekenyangan makan singkong. Nah, padi saya selamat.”

“Jadi sampean menanam & memanen singkong sesuai dgn demam isu menanam & memanen padi?”

“Lebih tepatnya, saya menanam & memanen singkong sesuai dgn ekspresi dominan hama tikus menyerang padi di sawah. Ha-ha-ha!”

Saya terpana, terlongong. Diam-diam saya malu. Ternyata bukan Wagimin, Wagimin Tikus, yg kampungan & tak cerdik. Bukan! Namun saya, ya sayalah. (92)

Omahalas, 26 Agustus 2016