Suasana malam yang sunyi dan masbodoh. Bintang-bintang bertaburan, bulan tampak berseri memancarkan sinarnya. Menggoda setiap mata menatap. Sedikit luka telah sirna oleh suasana alam yang menenangkan jiwa.
Langkah demi langkah kian niscaya melangkah maju sampai di halaman depan rumah. Sekejap bayangan itu telah tiada. Sekilas wujudnya terlihat orisinil di penglihatan, namun kurang jelas bayangan itu kabur.
“Oh, Tuhan… apakah mesti saya selalu terbayang wajahnya sampai saya tak tahu apa yang terjadi pada diriku ini?” Ujar Vania dalam pikiran.
Kutatap dalam-dalam hingga ujung pusara hingga mata ini tak menjangkau luasnya dunia. Pandangan ini hanya sampai pada hamparan sawah, bukit yang terlihat gelap gulita. Semua hanya tampaktitik-titik lampu di ujung sana.
Hanya sendiri bangun di tepian tebing rumah. Terlihat lereng-lereng pegunungan yang terjal. Sekejap teringat pada sebuah peristiwa yang tak terlupakan, di mana kutemukan kembali sosok teman ketika Sekolah Menengah Pertama dahulu. Sekarang menjelma sosok pria sampaumur yang berwibawa, berbadan tegap, dan gaya bicaranya sangat tegas.
Entah mengapa terbesit dalam diri untuk mengingat kurun-periode nostalgia sekolah dulu. Ketika sikapku yang angkuh, yang selalu mengejeknya di belakang kelas, menjaili beliau hingga kerap kali beliau malu dibuatku, ketika saya meledek ia dikala ia diolok-olok sobat pria.
Semua peristiwa tempo dahulu seperti menjadi rekaman yang didokumentasikan di dalam memori, dan sekaranglah kuputar rekaman itu. tampak terang kubayangkan kenangan dulu. Sekarang tak kusadari rekaman itu telah kuputar sampai membuatku tak mengerti dengan perasaanku dikala ini.
“Kusadari atau tidak, waktu telah berlalu. Melewati tahun demi tahun yang cukup panjang, tetapi kenapa datang-tiba kumengingatnya setelah acara reuni periode itu??” Kata Vania dalam kebimbangan hati yang tak tentu arah. Hatinya terus bergumam.
Lama Vania bangkit memandangi lingkungan yang sarat kedamaian. Tak disadari selama itu sudah dihabiskan untuk mengingat era kemudian. Masa-era sekolah ketika beliau duduk di dingklik SMP.
“Hufttt, kenapa dia, beliau, dan beliau yang mesti hadir dalam ingatan itu? Kenapa ia lagi? Kenapa harus beliau?” Hati Vania bergejolak dan bertanya-tanya pada dirinya sendiri.
Dalam rangkaian ingatanku akan tentang kisah dongeng SMP, cuma beliau yang selalu hadir dalam ingatan silam. Dia yaitu sosok sahabat kecilku yang datang tatkala aku tak mempedulikannya.
Ya, tak peduli.. entah apa yang membuatku tak hirau atau tak peduli padanya. Aku memang terkesan acuh taacuh ketika itu. mungkin alasannya sikapnya ynag cupu, pendiam, enggan bergabung atau membaur dengan sobat-sahabat.
Yang kulihat waktu itu ia hanya berteman dengan itu-itu saja, kadang beliau juga tidak proaktif saat proses pembelajaran di kelas atau yang membuatku kurang suka dengan beliau yaitu sikapnya yang selaluy mencampuri urusanku. Selalu mengajukan pertanyaan persoalan pelajaran. Apalagi dia anak yang pendiam.
Dulu saya anak yang malas belajar. Makara, wajar saja bila ada sobat yang membahas pelajaran, niscaya hati ini telah tidak nyaman bahkan saya tak segan-segan untuk tak peduli dengan mereka yang sedang membahas pelajaran..
“Kenapa perasaanku menjadi berantakan mirip ini? Kenapa sesudah kubertemu dengannya, hati ini menjadi gundah. Oh Tuhan, saya tak memahami dengan kondisi hatiku dikala ini. Ingan Vania, ingat beliau hanyalah sosok semu dari kurun kemudian yang hadir menghampiriku pada kurun kini,” ujar dalam benaknya.
***
Suatu hari yang sarat makna berguna buatku sendiri. Mungkin orang lain yang ada dalam suasana mengasyikkan itu, tidak merasakan seperti apa yang kurasakan ketika itu.
Hari raya Idul Fitri tahun kemarin yakni salah satu ingatan yang mengesankan. Berjumpa dan berkumpul dengan kerabat-kerabat, bersillaturrahmi dengan tetangga bersahabat, tokoh masyarakat, dan program yang membangkitkan dongeng usang sewaktu SMP yakni Reuni dan Halal Bi Halal rekan-rekan alumnus SMP.
Senang bukan main, bercampur rasa aib yang selalu menggelayuti diri ini tatkala menerima seruan Reuni alumnus Sekolah Menengah Pertama. Bayangan akan abad silam sekilas terlintas di benak. Rasa haru ingin cepat menghadiri program tersebut. Tak tabah hati ini ingin rasanya temu kangen dan bercengkrama dengan mereka kembali. Ingin tahu bagaimana kabar mereka sekarang? Sudah 5 tahun lamanya tak berkumpulbersama dengan mereka.
“Vania, aku kemari ingin bersillaturrahmi sekaligus memberikan seruan reuni alumnus Sekolah Menengah Pertama. Kamu hadir yah. Kami sungguh bahagia jikalau kamu ikut berpartisipasi untuk meriahkan acara tersebut,” kata kedua temanku itu, Rifqi dan Hisyam.
“Wah, aku sangat bahagia kalian mampu berkunjung ke rumah ini. Apalagi membawa info yang buatku bahagia. Insya Allah aku hadir di acara tersebut. Hari apa pelaksanaannya?” Ujarku pada mereka.
“Hari Kamis depan..,” jawab mereka.
Panjang lebar aku dan mereka bercerita perihal kabar guru-guru, sobat-sobat, dan menceritakan pengalaman aku dan mereka setelah lulus hingga sekarang. Masing-masing member warna dalam situasi yang cuma terjadi mungkin satu tahun sekali. Itu pun kalau ada sebuah acara, jika tida mereka tidak akan pernah tiba kemari.
Sudah usang obrolan mereka. Cerita mereka selsai pada topic lain ialah perihal seseorang yang jika disebut namanya, hati Vania seperti entah mengapa menjadi tidak lezat. Tak mampu diterangkan lewat kata-kata. Mendengar nama beliau, buatku tak aneh lagi. Namun, aku lupa raup wajahnya, postur tubuhnya, yang aku ingat hanyalah sikapku yang tak hirau, acuh taacuh dan kadang mengejeknya.
“O ya Vania, kau masih ingat Fariz?” Kata Hisyam sebelum menuntaskan obrolan.
“Hmmm… saya terkejut lho Vania saat mendengar kabar dia dari temenku. Katanya dia sedang menempuh pendidikan kemiliteran di Jakarta,” sahut Rifqi menyambung pembicaraan Hisyam.
“Hust..yang benar kamu Rifqi? Ah, kau itu kebiasaan usang. Masih sama mirip dulu, suka ngawur sama gak pernah serius jika bicara sesuatu. Nanti juga ujung-ujungnya bercanda. Heheheee,” ujar Vania.
“Heee kau masih ingat saja toh Vania? Rifqi kadang kala juga masih seperti dahulu. Cuma bedanya, kini dia telah sedikit kalem,” sambung Hisyam.
“Wah, wah, kalian mampu saja. Heee serius Vania. Kali ini saya tidak bercanda. Tanya saja sama Hisyam jika kamu tidak yakin apa yang aku katakan tadi. Dia juga dengar sendiri. Ya kan Hisyam?,” kata Rifqi untuk memutuskan kebenaran apa yang ia katakan.
“Rifqi memang benar, Vania. Aku juga tadinya kaget dan terkejut, namun rasa itu menjadi sirna ketika saya dengan Rifqi mengantar undangan ini pada Fariz. Uihh,, subhanallah banget dengar kisah singkat perjalanan hidupnya sampai menggeluti ke dunia militer. Makara pangling saya berjumpa dengannya,” kata Hisyam.
“Makara Fariz sekarang sudah jadi TNI? Maksud kamu tentara Tentara Nasional Indonesia kan? Sekarang ia dinas di mana?” Tanyaku dengan sedikit rasa penasaran.
“Ya benar Vania, namun Fariz masih menempuh pendidikan dan pembinaan kemiliteran. Katanya kurang enam bulan lagi. Dia di Angkatan Darat. Kenapa hayo? Kamu iri atau kagethayo?? Heee,” kata Rifqi menjawab rasa penasaranku.
“Aku sebagai sobat ikut senang sekaligus terkejut mendengar kabar senang itu. Anak mirip dia ternyata mampu pertanda pada dunia bahwa beliau bisa menjadi orang berhasil. Dia saja mampu, kenapa kita enggak?? Kita pasti mampu bila ada niat dan usaha untuk maju,” ujar Vania.
“Kita setuju Vania, ia yang berasal dari kawasan pinggiran saja bisa.terlebih dia tidak seberuntung kita, namun nasibnya lebih mujur dari kita. Heheh.. Memang kita selaku manusia dilarang meremehkan hal kecil. Terkadang hal yang kita anggap kecil dan sepele malah menjadi besar. Kita jangan mau kalah. Makanya kita kuliah yang benar, rajin, dan rajin supaya lulus bisa jadi orang berhasil. Amin,” kata Hisyam memberi semangat pada makhluk yang sedang bercengkrama di ruang tamu.
“Amin.. kau memang benar,” sahut Vania dan Rifqi.
“Hmm…tetapi yang jadi penasaranku, bagaimana balasannya bila vania bertemu dan bertatap tampang eksklusif dengan Fariz?? Ada yang lagi galau nih rupanya. Pasti yang di depanku ini lagi menyusun taktik supaya gak grogi jikalau ketemu ia. Hahah,” sambung Rifqi yang melirik ke arah Vania dengan kelakar yang menjadi ciri khasnya.
“Lhoh, lhoh, kok jadi saya yang kena. Ya aku tahu, dahulu saya suka ngremehin ia, acuh taacuh sama beliau, bahkan gak mau tahu wacana dia. Apalagi saya suka mengejek di belakang dia, namun itu kan dulu, waktu usia akil balig cukup akal, kaya kalian gak kaya gitu. Kalau kini kan telah sama-sama cukup umur. Masa iya sih tega buat bersikap seperti itu padanya. Dia sudah jadi prajurit, takut sendiri nanti ditembak gas air mata lagi. Hahahaa,” ujar Vania membela diri dengan nada yang sedikit kocak.
“Alah, paling juga kau bilang seperti itu sebab menutupi rasa malu kau. Apalagi keberhasilan dia telah terlihat di depan mata. Kalau sudah final pendidikan itu, ia sudah terperinci jadi tentara. Ya kan, jawab jujur saja? Paling-paling juga bila ia belum seperti ini juga kamu akan bersikap seperti dahulu. Hehehe.. bukan maksud aku bagaimana,Van. Ini fakta kok. Kita udah kenal kamu usang. Sejak SD hingga SMP tolong-menolong. Cuma ruang dan waktu yang kurang berpihak pada jalinan persahabatan kita,” kata Rifqi.
“Ya..ya saya tahu. Dulu saya jahat banget sama beliau. Mungkin dia tidak sadar akan sikapku. Aku juga sadar diri dulu aku betul-betul semrawut sekali. Makanya kini saya berusaha buat berganti. Aku juga sedikit kasihan bahkan menyesal sudah bersikap demikian pada Fariz,” kata Vania.
“Setiap orang punya masa lalu yang berlawanan. Setiap orang memiliki sejarah hidup masing-masing, tetapi siapa pun punya hak buat jadi oreng sukses. Masa laluku adalah milikku, abad lalumu yakni milikmu, tetapi kesuksesan yaitu milik kita bareng . Benar begitu Vania?” Ujar Hisyam pada Vania dan sobat yang duduk di sampingnya.
“Bener banget, Syam. Yang penting belajar dari apa yang sudah terjadi untuk dipetik selaku pelajaran hidup yang berguna”, kata Rifqi.
“Ya memang benar, syam. Hmm,, yang jadi asumsi saya, apakah nanti Fariz mau memaafkan saya? Aku malu syam, saya malu qi..:, kata Vania dengan nada lirih.
“Tenang saja Vania, saya rasa Fariz itu penduduknya pemaaf. Apalagi jika kamu pinya itikad baik untuk minta maaf padanya. Pokoknya niatmu benar, Van”, sambung Hisyam untuk menenangkanku.
“Ya Vania, damai saja! Masa seorang Vania mempunyai mental gembus. Ditekan sedikit saja telah pribadi cekung hahaaaa”, kelakar Rifqi yang membuat suasana menjadi cair.
“Hahaahayyy..”, semua tertawa
***
Pagi yang ceria, awan biru nan cerah. Tak sedikit pun kabut hitam terlihat dalam pandangan mata. Hati yang berbinar menjinjing langkah kaki dengan niscaya dan selalu menebar senyum pada burung yang bersiul merdu, dedaunan yang rindang, dan awan yang menawarkan kecerahan. Kata Andrea Hirata, “Siapa yang menebar senyum, dialah yang menuai cinta.”
Dengan kemantapan hati, kuberanikan diri untuk menghadiri acara Reuni Alumnus SMP. Rasa gundah tetap melekat di benak, namun dikala kuingat perkataan Hisyam dan Rifqi, saya menjadi percaya untuk hadir di acara tersebut.
Sampai di suatu gedung pertemuan program reuni, tiba-tiba hati Vania bergejolak, seakanakan melawan dan memusnahkan yakin dirinya secara perlahan. Rasa berdegup kencang semakin menjadi.
Gugup dan canggung dikala menapaki langkah demi langkah memasuki pintu masuk. Berdebar-debar membatasi niatku untuk masuk, namun saat kulihat dari teman-sobat dekatku dari kejauhan, rasa bingung saat itu juga musnah.
Langkah kaki kian percaya, kuberjalan menghampiri mereka. Belum hingga di kerumunan mereka, Siska dan yang lain menghampiriku dengan sapaan hangat. Kami saling merangkul erat untuk melepas rindu dan menebus rasa rindu yang sudah usang belum terobati dan terpendam di hati.
Ketika kumelangkah menuju daerah duduk untuk berbincang-bincang dengan kawanku yang lain tiba-tiba langkah kaki ini berhenti kaku seakan-akan memaksakanku untuk berdiam diri biar tidak legi melanjutkan langkah kaki ini. Semua itu terjadi sebab kumelihat seseorang yang membuatku merasa bersalah dan malu.
Sejauh mata memandang, rasa takjup kepada ciptaan sang Pencipta begitu bermakna dan berbicara raut parasnya, postur tubuhnya, sorotan mata yang begitu tajam, idiolek atau gaya beliau dalam bicara semua itu mengingatkanku untuk kembali pada masa kemudian.
Dia begitu terlihat berlawanan. Dia bukan lagi seperti Fariz yang dulu kukenal. Rasa terkesima mengisyaratkan hati yang tadinya beku menjadi leleh seketika tatkala kumelihatnya dari kejauhan.
“Vania…Vania..”, bunyi itu datang-tiba mengacaukan lamunanku dan menyadarkanku kembali.
Kaget rasanya dikala kutengok dan kucari di mana hadirnya sumber bunyi itu? siapa yang menyebut namaku tadi? Rasa ingin tau mulai menyerang pikiranku tak pasti arah.
Tak kusadari ternyata sosok yang memanggil namaku tadi duduk di sebelahku. Sementara saya berdiri kaku di posisi semula. Mungkin alasannya adalah grogi dan virus mati gaya buatku salah tingkah dan kaku.
“Diakah yang memanggil namaku? Lalu kenapa dia datang-datang berada di sampingku?” ujar Vania mengajukan pertanyaan-tanya pada dirinya sendiri.
“Hallo Vania.. kenapa bangun saja? Mari duduk!” ajak Fariz padaku.
“Apa?? Fariz bicara padaku? Dia mengajakku untuk duduk di sampingnya. Sepertinya dia tidak sedikit pun memendam kebencian padaku. Syukurlah.. mungkin perasaanku saja”, kata Vania dengan hati lega dalam batinnya.
“Vania apa kabar?”, Tanya ia mengejutkanku.
“Hmm eh..eh..oh.. duwh ma’af kok jadi salah tingkah begini hehe Alhamdulillah baik-baik saja”, ujar Vania sembari duduk dan mengontrol nafas supaya tidak nervous lagi.
“Syukurlah”, sahut beliau
“o ya, kamu sendiri bagaimana?”, katu menyambung pembicaraan
“Kabarku Alhamdulillah baik juga”
Entah mengapa semua rasa yang telah buatku tersiksa dikala mendengar namanya menjadi sirna dikala saya duduk di sampingnya. Perasaan negatif yang dahulu pernah ada menjadi berganti, aku tak lagi membencinya.
Ketika sosok itu tiba, tak kusadari jikalau beliau menjadi ilham buatku. Dia juga sudah banyak memberi usulan, berbagi pengalaman ketika beliau berada di pondok pesantren, juga berbagi ilmu agama. Aku sadari, kalau hidup itu sarat dengan teka-teki. Tak pernah kita tahu jika kita akan menjadi apa, namun kita cuma mampu berusha untuk menjadi yang kita kehendaki.
—–
Demikian postingan ihwal Unsur Intrinsik Cerpen. Semoga bermanfaat.
Selamat Belajar…!!! 🙂