Tradisi dalam Teori Komunikasi
Sebagai orang yang mempelajari ilmu komunikasi, pertumbuhan di dalam rumpun bidang keilmuan ini mampu diamati salah satunya lewat perkembangan teori teori komunikasi yang ada di dalamnya.
Salah satu yang menarik perhatian ialah seorang ilmuwan komunikasi Stephen W. Littlejohn. Beliau yakni salah satu ilmuwan yang paling produktif dalam pengembangan ilmu komunikasi. Buku hasil karyanya Theories of Human Communication telah diterbitkan dalam 10 edisi (edisi terakhir tahun 2011) yang setiap edisinya menambahkan kemajuan teori komunikasi baru. Belum lagi buku buku lain yang mengimbangi buku utama ini.
Perubahan besar terjadi dalam Edisi 8 (2005) buku Littlejohn tentang Theories of Human Communication, beliau merubah secara keseluruhan struktur berpikirnya yang sudah dituangkan dalam 7 edisi sebelumnya. Perombakan besar-besaran dalam keseluruhan struktur dan isi teori yang sudah dikembangkan. Jika sebelum Edisi 8 Littlejohn senantiasa menekankan bahwa teori komunikasi mesti dilihat menurut level komunikasinya, maka dalam Edisi 8 ini semua ditinggalkan. Dapat disimpulkan niscaya ada sesuatu pergulatan besar dalam diri seorang Littlejohn sehingga mengganti teladan pikir yang sudah dibangunnya dalam tataran dunia teori komunikasi.
Ilmuwan lain yang juga mengalami hal yang sama mirip apa yang dijalankan oleh Littlejohn yaitu EM Griffin, seorang profesor emeritus komunikasi dari Wheaton College, Illinois. Beliau juga mengganti (ini dikatakannya selaku major changes) tatanan bangunan teori dalam bukunya A First Look at Communication Theory mulai Edisi 4 (2000) dari bukunya hingga Edisi 7 terbitan tahun 2009.
Yang menjadi pertanyaan kemudian bagi mereka yang mempelajari ilmu komunikasi yakni: Apa yang menimbulkan kedua ilwuwan komunikasi ini sampai mengganti contoh berpikir mereka perihal tatanan teori yang telah mereka berdiri dan kembangkan selama ini? Keyakinan-iktikad ilmiah macam apa yang menawarkan kebenaran pada mereka untuk melakukan perombakan besar-besaran bagi tataran keilmuan yang mereka kembangkan. Apa konsekuensinya bagi kita sebagai pembaca atau reader dari buku-buku mereka ini ?
Komunikasi sebagai Multidisiplin.
Perdebatan panjang bahwa studi komunikasi mempunyai sifat multidisiplin di awal pertumbuhan ilmu komunikasi sungguh disadari bahkan memperoleh iman dan pertolongan di antara ilmuwan komunikasi sendiri. Ilmu komunikasi adalah ilmu yang bersifat multidisiplin. Dalam buku Frank E.X Dance berjudul Human Communication Theory: Comparataive Essays (1982), Littlejohn sangat meyakini bahwa studi komunikasi yakni studi yang interdisiplin atau multidisiplin. Dia menyampaikan, “The study of communication constitutes an interdiscipline, in which communication process are inverstigated using insight from several traditional discipline (Littlejohn, 1982: 244).
Dia menerangkan bahwa kajian komunikasi merupakan pertemuan pucuk-pucuk dari disiplin ilmu murni sosiologi, antropologi, psikologi dan filsafat (Ibid.: 245). Masih menurutnya bahwa sifat multidisiplin ini memiliki laba alasannya adalah mampu menjelaskan acara scope kajian tentang komunikasi menjadi sangat luas. Tidak ada single teori, bahkan dengan cara mirip ini justru dapat menggambarkan sebuah proses komunikasi yang komprehensif (Ibid.: 245).
Dengan berjalannya waktu dibagian lain bukunya yaitu Theories of Human Communication Edisi 2 (1983), Littlejohn mulai melihat memang ada celah lemah dengan sifat multidisiplin dari kajian komunikasi. Dia menuliskan antara lain:
Although scholars from a number of disicipline share an interest in communication, the scholar’s first loyalty is usually to general concepts of the discipline itself. Communication is generally considered subordinate. For example, psychologist study perorangan behavior and view communication as a particular kind of behavior. Sociologist focus on society and social process, seeing communication as one of several social factors. Anthropologist are interested primarily in culture, and if they investigate communication they treat it as an aspect of broader themes (Ibid., 1983: 5)
Littlejohn mulai resah dengan sifat multidisiplin kajian komunikasi saat dia menyadari risikonya para ilmuwan yang berasal dari banyak sekali disiplin ilmu yang ada, yang memberi perhatian pada kajian komunikasi, cuma menganggap kajian komunikasi ini bukanlah kajian utama mereka. Kajian komunikasi cuma merupakan bab kecil saja dari interest mereka sebagai sebuah ilmuwan dari disiplin tertentu. Littlejohn sangat merasakan kajian komunikasi cuma menjadi kajian yang punya posisi subordinat dari kajian ilmu-ilmu yang masuk ke dalamnya.
Kegalauan perihal multidisiplin kajian komunikasi ini juga dicicipi oleh E.M Griffin. Dalam bukunya A First Look at Communication Theory Edisi 4 (tahun 2000) dia mulai menyadari wacana keterbatasan dalam mengkaji teori komunikasi alasannya adalah sifat multidisiplin ini. Griffin mengatakan bahwa, “there’s little dicipline in our discipline” (2000: 34). Hal ini terjadi alasannya menurutnya ilmuwan komunikasi itu memiliki pandangan yang divergen wacana apa itu komunikasi, sesuai dengan bidang mereka masing-masing. Menjadi sungguh sulit kemudian untuk melakukan pemetaan daerah kajian teori komunikasi sebab mampu saja para ilmuwan ini tidak oke pada pada suatu teori karena tidak cocok dengan pengalaman mereka.
Gugatan wacana sifat multidisiplin kajian komunikasi coba dijawab Robert T.Craig, seorang Professor Komunikasi dari University of Colorado, melalui serangkaian penelitian. Ia memperoleh aneka macam pendidikan tinggi yang menunjukkan pendidikan komunikasi dan banyak sekali text book yang membicarakan teori-teori komunikasi. Tetapi diantara ini semua beliau mendapatkan bahwa banyak sekali teori yang diajarkan dari banyak sekali pendidikan ini semua berlangsung sendiri sendiri, Craig menyebutnya there is no consensus on the field. Teori komunikasi sungguh kaya dengan ilham-ilham namun gagal dalam jumlah cakupannya. Teori komunikasi berkembang terus namun belum menawarkan pemahaman apa sesungguhnya teori komunikasi itu.
Craig menuliskan apa yang ditemukannya ini dalam bukunya Communication Theory as a Field (1999). Dengan tegas beliau menyampaikan bahwa communication theory is not yet a coherent field of study seems inescapable (Craig, 1999: 64). Craig menyaksikan bahwa tidak adanya koherensi dalam kajian komunikasi alasannya sifat multidisiplin yang dibawa oleh masing masing ilmuwan yang sering salah dalam penggunaannnya namun terus dipupuk dan dipertahankan.
Perspektif Tujuh Tradisi
Dengan keprihatinan inilah Robert T Craig secara optimis memperlihatkan communication theory as a field of study that integrattes seven traditions of thought with share focus on practical communication problems (Ibid.: ix). Menurutnya bahwa sebagai suatu kajian, ilmu komunikasi mampu memiliki teori yang koheren melalui sebuah proses yang digambarkannya:
A field will emerge to the extent that we increasingly enggage as communication theoriests with socially important goals, questions, and controversies that cut across the various disciplinary traditions , substantive specialities, methodologises, and school of thought that presently divide us. (Ibid.: 64)
Komunikasi memungkinkan timbul sebagai sebuah bidang kajian yang utuh asal ada kesadaran dari masing masing ilmuwan yang terlibat di dalamnya bahwa mereka mempunyai tujuan, persoalan atau bahkan perbedaaan yang mampu mengeluarkan mereka dari belenggu masing masing disiplin ilmu yang memisahkan diantara mereka. Dibutuhkan dua persyaratan untuk menyaksikan teori komunikasi selaku sebuah kajian keilmuan. (1) a common understanding of the similarities and differences among theories, Metamodel (model of models) (2). A new definition of theories , theories are form of discourse; a discourse about discourse (Metadiscourse) (Ibid., 2007: 67-69).
Dialogical vs dialectical
Dalam memulai idenya perihal tradisi teori komunikasi, Craig terlebih dulu menggambarkan dengan jelas apa yang dimaksudkannya dengan tradisi. Menurutnya tradisi adalah something handed down from the past, but no living tradition is statis. Traditions are constantly changing (Ibid.: xiii). Sesuatu yang sudah kita miliki sejak dulu (waktu sebelumnya), yang tidak statis tetapi terus meningkat sesuai dengan jaman. Lebih jauh Craig memastikan bahwa traditions are not homogeneous. Every tradition is characterized by a history of argument about beliefs and values that are important to the tradition. Ini lebih menerangkan bahwa dalam memelihara sebuah tradisi tugas nilai nilai yang telah ada menjadi hal utama yang harus diperhatikan.
Untuk setiap tradisi yang diungkapkannya Craig memberikan indikator dari masing-masing antara lain dengan karakteristik definisi komunikasi dan kekerabatan yang terbentuk sebab definisi tersebut; metadiskursif vacobulary, hal yang tidak mampu digugat (taken for granted) dalam metadikursif komunikasi dan penempatan metadiskursif dari masing-masing tradisi yang memberikan sisi mempesona atau menantangnya (Ibid.: 72).
Perlu ditekankan di sini dalam memandang penempatan masing-masing tradisi keilmuan komunikasi Craig mendasarkan pada rancangan praktek komunikasi sehari hari dan sesuai dengan kemajuan dari tradisi itu sendiri. Untuk itulah dia menempatkan tradisi retorika selaku tradisi pertama dalam peletakannya karena menimbang retorika adalah praktek komunikasi yang paling terperinci terlihat dan sudah ada begitu usang selaku suatu tradisi. Dengan nalar semacam ini pula bahwa tradisi kritikal mendapat tempat terakhir dalam penempatan Craig sebab dianggapnya paling sikit (kurang) sebagai sebuah bentuk praktek komunikasi dan juga muncul selaku tradisi yang cukup gres.
Titik tolak lain yang juga harus diamati dalam kajian Craig ini beliau senantiasa menempatkan manakala tradisi-tradisi ini saling bertentangan atau juga tidak memenuhi persyaratan yang ada maka langkah penting yang mesti dikerjakan yaitu dengan cara dialog dan dialektikal. Kesadaran untuk saling melengkapi satu sama lain dan memberikan perhatian untuk perbedaan dari masing-masing teori.
Similarities vs Differences
Biarpun sedikit telat di banding ilmuwan lain, Littlejohn mulai merespon pandangan baru Craig untuk menetralisir sekat ‘multidisiplin’ kajian teori komunikasi pada bukunya Human Communication Theory Edisi 7 (2002). Dalam buku ini baru sedikit saja wangsit Tujuh Tradisi dalam Teori Komunikasi dimunculkan, ialah cuma pada Bab I Communication Theory and Scholarship, poin Communication Theory as a Filed (Ibid.: 12-15). Di sini beliau mengakui bahwa Craig proposes a vision for communication theory that takes a huge step toward unifying our otherwise disparate field (Ibid.: 12)
Kejelasan dari pengertian Littlejohn perihal Tujuh Tradisi dalam Teori Komunikasi ini dilakukannya dengan merubah secara besar-besaran bukunya Theory of Human Communication Edisi 8 (2005). Dalam menerangkan teori komunikasi dari Littlejohn tidak lagi berdasarkan tingkatan atau levels komunikasi tetapi pengelompokan sebuah teori komunikasi dikerjakan menurut pengelompokkan di masing-masing tradisi. Littlejohn secara tegas menyampaikan bahwa we particularly like Robert Craig’s model because it offers a way of looking at and reflecting on the communication field in a holistic way (2009: 34).
Kata kunci yang dipegang Littlejohn dalam menerapkan Perspektif Tujuh Tradisi Komunikasi yakni (1) a common understanding of similarities and differences, or tension points among theories (2) a commitmen to manage these tensions through dialogue (2008: 6). Berpegang pada prinsip perbedaan dan persamaan suatu teori bagi Littlejohn tidak cuma berdasarkan dari daftar (list) yang membedakan atau menyamakan saja, tetapi lebih pada kesamaan wangsit mengapa suatu teori itu memiliki kesamaan ataupun perbedaan.
Hal ini disebut Littlejohn sebagai Metamodel atau versi dari versi telah ada. Metamodel ini menawarkan teladan-acuan yang koheren yang mampu membantu menyatukan definisi informasi-gosip dan asumsi-asumsi yang ada dalam teori komunikasi. Sisi lain yang perlu diperhatikan juga ialah rancangan definisi sebuah teori. Teori tidak hanya dipandang selaku suatu penjelasan atau proses belaka, melainkan harus dilihat selaku suatu statement atau argumen yang mendukung sebuah pendekatan. Teori menjadi bentuk diskursus atau lebih khusus lagi sebaga suatu metadiskursus.
Melalui anutan Craig ini Littlejohn meyakini bahwa Perspektif Tujuh Tradisi Teori Komunikasi mampu berkhasiat sebagai a guide and tool for looking at the assumption, perspectives and focal points of communication theories to be able to see their similarities and differences (2008: 33). Karena Littlejohn berpegang pada konsep kesamaan dan perbedaan dari masing-masing teori dalam suatu tradisi maka menurutnya ke tujuh tradisi dalam teori komunikasi itu mampu dimulai dari semiotik, phenomenologi, cybernetic, psikologisosial, sosio-kultural, critical dan rhetorika.
Misal antara tradisi semiotika dan phenomenologi berdekatan alasannya secara persamaan kedua tradisi ini membicarakan bagaimana memaknai sebuah simbol, sedang dari perbedaan bahwa dalam tradisi semiotik pemaknaan timbul sebab tanda atau simbol itu sendiri sedangkan dalam tradisi phenomenologi pemaknaan dilakukan secara efektif, disengaja sesuai dengan pengalan masing-masing individu.
Obyektif vs Interpretif.
Griffin jauh lebih singkat ketimbang Littlejohn dalam merespon ilham Craig. Setahun setelah Craig menuliskan idenya (1999) Griffin dalam bukunya A First Look at Communication Theory Edisi 4 (tahun 2000) memasukan wangsit ini sebagai salah satu bagian dari chapter bukunya. Dalam hal ini Griffin sungguh menyanjung Craig dengan menyampaikan, “Craig offers a more sophisticated solution” (2009: 41).
Mengapa Griffin mendukung ilham Craig sebab menurutnya pendekatan Craig ini memakai apa yang telah dikerjakan dalam dilema dan praktek komunikasi sehari-hari. Kaprikornus berdasarkan Griffin apa yang ada dalam Tujuh Tradisi dalam Teori Komunikasi ini ialah tujuh tradisi yang telah dilakukan sebelumnya. Yang paling penting ialah bahwa tradisi dalam teori komunikasi ini memperlihatkan perbedaan, yaitu perbedaan dalam cara-cara mengkonseptualkan problem dan praktek komunikasi. Dari sini akan timbul kesadaran setiap ilmuwan yang mengatakan dalam tiap tradisi tidak akan menatap lagi keilmuannya secara terkotak-kotak sesuai asal mereka.
Dalam mendapatkan ilham Tujuh Perspektif Tradisi dalam Teori Komunikasi, Griffin tetap memegang komitmen awal dari apa yang sudah diajarkannya bahwa dalam menyaksikan teori harus membedakannya berdasarkan pendekatan obyektif ataukah interpretif. Ciri-ciri pendekatan objektif menurutnya antara lain the assumption that truth is singular and accessible through unbiased sensory observation; committed to uncovering cause and effect relationship (2009: 14), teori-teori yang bersifat positivis dan berprinsip pada hipothetico deductive verificative. Hubungan antara peneliti dengan yang diteliti terpisah dimana peneliti berada di luar obyek yang diteliti. Pendekatan interpretif ialah the linguistic work of assigning or value to communicative texts; assumes that multiple meaning or truth are possible (Ibid.: 15).
Pengelompokan Tujuh Persepektif dalam Tradisi Komunikasi menurut Griffin menjadi tidak seperti pemikiran Craig ataupun Littlejohn. Pengelompokan masing-masing tradisi dilakukannya menurut pendekatan obyektif ataukah interpretif. Hal ini dijelaskannya, “It’s important to realize that location of each tradition on the map is far from random. My rationale for placing them where they are is based on the distiction between objective and interpretive theories (2009: 51).
Tujuh Persepektif Tradisi Komunikasi
(Griffin, 2009: 51)
Berdasarkan anutan Griffin ini maka tradisi psikologi sosial dan cybernetic berada di tradisi yang paling bersifat obyektif, sedangkan phenomenology dan critical paling bersifat interpretif.
Implikasi dalam Penelitian
Ide Craig perihal Tujuh Tradisi dalam Teori Komunikasi yang disokong penuh oleh Littlejohn dan Griffin selain sudah membuka ruang gres untuk menetralisir sekat-sekat multidisiplin dalam kajian komunikasi juga mampu memberikan pengertian penggunaan teori dalam penelitian. Sunarto (2011: 12) menyatakan bahwa versi tradisi ini menolong untuk lebih mengerti kaitan antar banyak sekali tradisi dengan implikasi berbagai teori komunikasi yang ada di dalammya dengan sistem observasi yang digunakan.
Hal ini seperti yang dilontar Griffin (2009:51) dalam kajiannya dengan menunjukkan mana kalangan dari ke Tujuh Tradisi dalam Teori Komunikasi yang dapat dilakukan dengan observasi yang menurut obyektif, positivis, sistem kuantitatif dan mana yang interpretif dengan kekuatan pada tata cara kualitatif.
Dengan melihat skema anutan dari Griffin diatas dapat dilihat bahwa tradisi psikologi sosial dimana di dalamnya terdapat banyak teori-teori komunikasi interpersonal akan lebih banyak dikerjakan dengan pendekatan penelitian obyektif, kuantitatif. Sedangkan teori-teori yang berada dalam tradisi phenomenology dan critical lebih sempurna dilaksanakan dengan pendekatan observasi yang bersifat interpretif-kualitatif. Tradisi semiotika dan sosial-budaya akan berada dalam kawasan antara kuantitatif dan kualitatif.
Implikasi perspektif Tujuh Tradisi dalam Teori Komunikasi secara luas dapat dipraktekkan dengan aneka macam paradigma penelitian yang telah dikembangkan oleh banyak sekali ilmuwan. Sunarto (2011: 12) menyaksikan sangat memungkinkan muncul relasi yang signifikan antara apa yang dilihat Miller (2005) lewat paradigma postpositivistik; interpretif dan kritis dan anutan Griffin yang meletakan perspektif obyektif dan interpretif dalam mengetahui ke perspektif Tujuh Tradisi dalam Teori Komunikasi. Tradisi yang masuk dalam ranah objektif, dapat dibilang memakai positivistik dan postpositivitistik. Tradisi yang masuk subyektif.