close

Konsep Pedoman Nurcholis Madjid

Kata Pengantar
Puji dan syukur penulis panjatkan terhadap Allah SWT, karena atas limpahan rahmat dan taufiq-Nya makalah ini dapat  teratasi. Shalawat dan salam tak lupa penulis haturkan terhadap junjungan Nabi Muhammad SAW, yang sudah menenteng agama islam dari zaman jahiliyah sampe kezaman yang terang benerang.
Makalah ini disusun untuk memenuhi peran mata kuliah studi islam kekinian II yang diampu oleh dosen: jaenuddin, M.Ag, dengan judul: “tokoh pembaharuan islam Nurcholis Madjid, serta pandangan baru (pemikiran) pembaharuannya dalam islam”.
Kepada semua pihak, terutama Dosen Pengampu/Pembimbing yang telah menawarkan peran terhadap penulis dalam penyusunan makalah ini, penulis memberikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya. Harapan penulis, supaya makalah ini dapat menawarkan faedah serta memperbesar wawasan khususnya bagi eksklusif penulis sendiri. Tak lupa, kritik dan anjuran dari semua pihak sungguh penulis harapkan demi perbaikan/koreksi makalah ini biar menjadi lebih baik.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gelombang pedoman Islam kekinian yang muncul di dunia Islam pertanda, bahwa diskursus Islam akan terus mengalami kemajuan yang tak terbendung. Pemikiran ke-Islaman akan selalu mengikuti gerak sejarah (kemajuan zaman). Munculnya banyak sekali corak pemikiran Islam dalam mengapresiasi realitas modern dengan segala pranata sosialnya ialah anak kandung sejarah yang terus bergerak melintasi zamannya, baik yang progresif-liberal maupun yang tradisional-tekstual.
Gagasan pembaruan (tajdid) yang berkembang akhir-simpulan ini bukan ialah hal baru. Tiap kurun waktu, saat sebagian manusia telah tersesat, dan agama tidak lagi dijadikan sebagai tolak ukur dan fatwa, senantiasa ada yang terpanggil untuk menjadi pembaru (mujaddid) pada zamannya. Munculnya para pembaru ini merupakan bagian dari siklus sejarah kehidupan insan, bahwa manusia akan selalu berubah, baik perilaku, sikap dan mentalitas psikologis sosial maupun keagamaan.
Para pembaru berusaha memurnikan kembali berbagai pedoman atau pemahaman menusia terhadap Islam, yang telah berada pada kondisi “takut”, alasannya adalah taklid, jumud dan sebagainya. Pembaru itu berikhtiar memberikan dan memperlihatkan universalitas Islam yang sudah mengalami reduksi, sehingga tampang Islam selaku Rahmatan lil’alamin betul-betul terasa dan terwujudkan dalam kehidupan penduduk yang terus mengalami diaspora.
Menurut M. Din Syamsuddin, paling tidak ada dua aspek saling tarik mempesona yang menimbulkan gosip pembaruan pedoman dalam Islam. Pertama, etika keuniversalan Islam, dan yang kedua, moral kemutlakan Islam. Kedua aspek diatas masing-masing mempunyai sandaran dalam sumber-sumber akidah Islam yang dipakai untuk menguatkan argumentasi mereka.
Ide pembaruan dalam pedoman Islam cuma dapat mungkin dijelaskan, kalau seseorang mampu secara historis-kritis mengamati pertumbuhan pedoman Islam dalam hubungannya dengan konteks sosial-budaya yang mengitarinya. Tanpa mengaitkan dengan konteks tidak pernah ada pembaruan. Teks-teks al-Qur’an dan al-Sunnah akan tetap seperti itu adanya, sedang alam, peristiwa-perstiwa alam, peristiwa-insiden ilmu dan teknologi akan terus menerus meningkat tanpa mengenal batas yang selesai.
Dari alasan tersebut, dapat dikatakan bahwa tanpa pembaruan pemahaman, dogma keagamaan pada kurun tertentu akan membeku dan mampu kehilangan hubungannya. Penyegaran itu perlu untuk mencari relevansi pengertian pemikiran kitab suci dengan tantangan zaman dan gesekan antar berbagai tradisi keagamaan dalam periode globalisasi.
Dalam konteks inilah, kiranya umat Islam mesti selalu berusaha menggali dasar-dasar dalam iktikad Islam (al-Quran dan Sunnah) sebagai landasan memecahkan setiap problem historis-empiris yang terjadi. Dengan cara pembaruan, atau lebih konkritnya upaya interpretasi teks-teks kitab suci, akan menimbulkan Islam selalu sesuai selera zaman dan tidak usang tertutupi pertumbuhan.
Memperbincangkan gerakan pemaruan Islam di Indonesia tidak mampu dilepaskan dari sosok Cak Nur (Nurcholis madjid) alasannya beliau yaitu tokoh sekaligus pemain utamanya. Tentunya Cak Nur tak sendiri. Ada banyak tokoh yang seangkatan dengannya yang ikut serta dalam gerakan pembaruan Islam seperti, M. Dawam Rahardjo, Amin Rais, Gus Dur, Jalaluddin Rahmat dan pastinya masih banyak lagi.
Dalam persepsi Cak Nur (Nurcholis Madjid), yang mau kita bahas lebih jauh dalam bab berikutnya, bahwa pembaruan harus dimulai dari dua hal yang saling erat relevansinya, yaitu melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional, dan mencari nilai-nilai yang berorientasi ke kurun depan. Dorongan melaksanakan pembaruan inilah yang berdasarkan Cak Nur, mengandung konotasi, bahwa kaum muslim Indonesia sekarang ini sudah mengalami kejumudan kembali dalam pemikiran dan pengembangan pedoman-anutan Islam, dan kehilangan kekuatan secara psikologis perjuangannya.
Cak Nur yakni pemikir Islam yang memiliki efek besar lengan berkuasa dan luas dalam sejarah intelektualisme Islam Indoneia. Pemikirannya membawa efek yang amat luas dalam kehidupan keagamaan Islam, dan lebih dari itu dia bahkan menjadi tumpuan serta kiblat kaum intelektual Muslim Indonesia. Salah satu bukti betapa kuatnya pengaruh Cak Nur, ia sukses menyebarkan ihwal intelektual dikalangan penduduk Islam secara terbaru, terbuka, egaliter, dan demokratis.
B. Rumusan Masalah
Berikut rumusan dilema, agar masalah yang diuraikan tidak keluar dari kajian yang mau dibahas.
  1. Siapakah Nurcholis Madjid?
  2. Bagaimana inspirasi atau pedoman tentang pembaruan islam?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan pembahasan makalah ini.
  1. Untuk mengenali biografi Nurcholis Madjid
  2. Untuk mengenali pandangan baru dan pemikirannya tentang pembaruan islam
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Nurcholis Madjid
        Nurcholis Madjid ataupun yang erat dengan sapaan Cak Nur, lahir di Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur, 17 Maret 1939 M bertepatan dengan 26 Muharram 1358 H dari keluarga kelompok pesantren. Nurcholis Madjid dibesarkan dilingkungan keluarga kiai terpandang. Ayahnya berjulukan KH. Abdul Madjid, seorang ulama ternama di golongan NU. Pendidikan yang ditempuh Nurcholis Madjid dimulai semenjak Sekolah Rakyat dan Madrasah Ibtidaiyah Pesantren Darul-ulum, lalu melanjutkan jenjeng pendidikannya di Kulliyatul Mu’allimin al Islamiyah (KMI) Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor Ponorogo. Setelah itu beliau melanjutkan studinya ke IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada Fakultas Sastra dan Kebudayaan Islam Jurusan Sastra Arab dan simpulan pada tahun 1968.
        Selama menjalani aktifitas kemahasiswaannya, Nurcholis Madjid aktif di aneka macam organisasi kemahasiswaan. Diantaranya yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan sekaligus pernah menjadi Ketua Umum Pengurus Besar (PB) HMI selama dua kala semenjak 1966-1969 dan 1969-1971). Pada tahun 1967-1969, dia menjadi Presiden Mahasiswa Islam Asia Tenggara, dan Sekretaris Jenderal International Islamic Federation of Students Organizations tahun 1969-1971. Sejak 1978 beliau melanjutkan studinya di University of Chicago USA dan meraih gelar Doktor (Ph.D Study Agama Islam) pada tahun 1984 dengan disertasi berjudul Ibn Taimiyah on Kalam and Falsafah: Problem of Reason and Revelation in Islam, (Ibn Taimiyah Tentang Kalam dan Filsafat: Suatu Persoalan Hubungan Antara Akal dan Wahyu Dalam Islam). Setelah kembali ke tanah air pasca menuntaskan studinya di AS, Nurcholis Madjid lalu mendirikan Yayasan Wakaf Paramadina.
        Selain menjadi staf pengajar di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sejak 1972, Nurchilis Madjid juga menjadi Guru Besar tamu pada McGill University, Montreal, Canada tahun 1991-1992. Nurchilis Madjid menjadi Ketua Yayasan Paramadina semenjak 1985, dan mejadi Rektor Universitas Paramadina Mulya semenjak 1998-2005. Dan Nurcholis Madjid wafat Pada 29 Agustus 2005.
B. Ide (fatwa) Nurcholis Madjid dalam pembaruan islam
        Ide-pandangan baru Nurcholis Madjid mulai timbul sejak beliau terjun di dunia kampus. Hingga hasilnya ia dianggap selaku salah satu penggagas pembaruan ajaran Islam. Ketokohannya secara tidak berlebihan dianggap mewakili figur pembaru aliran yang bisa menggagas Islam secara lebih brilian. Terbukti dengan banyaknya studi perihal pemikirannya dan peranannya dalam kebangkitan modernisme di Indonesia. Nurcholis Madjid juga diketahui selaku tokoh yang memperkenalkan anutan Islam neo-modernis di Indonesia. Pencetusnya adalah Fazlur Rahman, gurunya di saat di Chicago. Gagasan neo-modernis Islam ini menerima tempat di Indonesia, utamanya di golongan intelektual muda sejak permulaan tahun 1980-an hingga final tahun 1990-an, bahkan sampai memasuki era ke-21 sekarang.  
        Mengenai pemikiran Nurcholis Madjid, Abdurrahman Wahid menyampaikan bahwa beliau berangkat dari keterbukaan perilaku yang ditunjukkan oleh peradaban Islam di puncak kejayaannya sepuluh era yang kemudian. Keterbukaan yang menciptakan Islam bisa menyerap yang terbaik, dari mana pun datangnya. Penyerapan tersebut membuat Islam penuhdengan nilai universal. Karenanya, Madjid selalu menekankan pentingnya mencari persamaan di antara semua agama dan semua kebudayaan. Sikap memisahkan diri dari universalitas peradaban insan cuma akan menyempitkan Islam sendiri.
       Cak Nur diketahui dengan desain pluralismenya yang mengakomodasi keberagaman/ke-bhinneka-an kepercayaan di Indonesia. Menurut Cak Nur, dogma yaitu hak primordial setiap insan dan iman meyakini eksistensi Tuhan yakni iman yang fundamental. Cak Nur mendukung desain keleluasaan dalam beragama, tetapi bebas dalam desain Cak Nur tersebut dimaksudkan selaku keleluasaan dalam melakukan agama tertentu yang dibarengi dengan tanggung jawab sarat atas apa yang dipilih. Cak Nur meyakini bahwa manusia selaku individu yang paripurna, ketika menghadap Tuhan di kehidupan yang hendak datang akan bertanggung jawab atas apa yang ia kerjakan, dan keleluasaan dalam menentukan adalah rancangan yang logis.
       Berikut ini akan kami sebutkan beberapa pedoman Nurcholis Madjid yang menjinjing imbas besar pada rekonstruksi fatwa Islam dan dinamisasi semangat keislaman di Indonesai.
1. Modernisasi
        Modernitas selaku gerakan pembaharuan yang berawal di Eropa menawarkan cara pandang gres terhadap fenomena kebudayaan. Modernitas muncul selaku sejarah penaklukan nilai-nilai usang kurun pertengahan oleh nilai-nilai baru modernis. Kekuatan rasional digunakan untuk memecahkan segala problem kamanusiaan dan menguji kebenaran lain seperti wahyu dan mitos tradisional.
        Jika modernisasi ialah produk pertumbuhan ilmu wawasan, maka Islam berdasarkan Nurcholis Madjid, yakni agama yang sungguh modern bahkan terlalu modern untuk zamannya, sebab Islam adalah agama yang secara sejati mempunyai hubungan organik dengan ilmu pengetahuan dan bisa menerangkan kedudukan ilmu wawasan tersebut dalam kerangka keimanan, maka kaum Muslim hendaknya percaya bahwa Islam bukan saja tidak menentang ilmu pengetahuan, namun justru menjadi pengembangannya  dan tidak menyaksikan perpisahan antara dogma dan ilmu.
        Argumentasi Nurcholis Madjid tersebut meningkat dari pandangannya ihwal historisitas sejarah Islam yang sempat mengalami puncak kejayaannya semenjak periode kekhalifaan hingga runtuhnya kerajaan-kerajaan awal Islam di zaman klasik yang kesemuanya memiliki kultur pengembangan ilmu wawasan yang sangat besar lengan berkuasa. Kultur ini terjadi karena di zaman itu (zaman klasik Islam) terjadi perjuangan-perjuangan yang serius dalam hal interpretasi teks-teks kitab suci yang imbas positifnya masih terasa hingga kini.
        Untuk memberikan suatu batas-batas asumsi tentang modernisasi, kita lihat usulan Nurcholis Madjid sebagi berikut:
        Pengertian yang gampang perihal modernisasi adalah pengertian yang identik, atau nyaris identik, dengan pemahaman rasionalisasi. Dan hal itu bermakna proses perombakan acuan berpikir dan tata kerja lama yang tidak akliah (rasional), dan menggantikannya dengan bola berpikir dan tata kerja baru yang akliah. Kegunaanya yaitu untuk mendapatkan daya-guna dan efisiensi yang optimal…. Makara sesuatu mampu disebut terbaru, jika dia bersifat rasional, ilmiah dan bersesuaian dengan hukum-aturan yang berlaku dalam alam.
        Sebagai seorang Muslim yang dengan sepenuhnya meyakini Islam sebagi Way of Life, yang juga akan menganut cara berfikir Islami, berdasarkan Nurcholis Madjid, pemaknaan terhadap substansi modernis mesti berorintasi terhadap nilai-nilai besar Islam. Dengan demikian akan memperkuat iktikad kita bahwa modernisasi memiliki arti rasionalisasi untuk mendapatkan daya guna dalam berpikir dan melakukan pekerjaan secara maksimal merupakan perintah Tuhan yang imperatif dan mendasar. Karena manusia pada prinsipnya akan senantiasa mengalami pergeseran dalam setiap kurun waktu, maka modernitas ialah kelanjutan masuk akal dan logis dari sejarah pertumbuhan insan yang lambat atau cepat pasti akan muncul.
        Hakikat zaman modern berdasarkan Nurcholis Madjid bukan alasannya kebaruannya yang seperti tidak ada lagi tahap yang selanjutnya, terbaru mengisyaratkan evaluasi tertentu yang condong konkret (modern memiliki arti maju dan baik). Bagi Nurcholis Madjid, menjadi terbaru juga mempunyai arti progresif dan dinamis, jadi tidak mampu bertahan terhadap sesuatu yang sudah ada, sebab itu bersifat merombak tradisi-tradisi yang tidak benar, tidak rasional, tidak ilmiah, tidak sesuai dengan hukum alam.
Zaman sekarang yang di sebut zaman modern bukanlah selesai dari pertumbuhan peradaban insan, ataupun klimaks dari segala pemanfatan fungsi inderawi manusia utamanya fungsi nalar, karena boleh jadi sesudah zaman modern ini akan ada zaman lain yang otoritas dan tingkatan ilmu pengetahuannya lebih meningkat dan canggih dari yang kita saksikan kini. Ini merupakan konsekuensi logis dinamika kehidupan manusia, alasannya peradaban manusia telah beberapa kali mengalami (yang biasanya kita kenal) revolusi, dari revolusi Industri (teknologis) di Inggris Tahun 1793, revolusi Perancis (sosial-politik) 1798, dan juga revolusi Rusia 1917.
Meski demikian, kemodrenan kata Nurcholis Majid yaitu relatif sifatnya, alasannya adalah terikat oleh ruang dan waktu. Sesuatu yang dikatakan modern mampu ditentukan menjadi terbelakang (tidak terbaru lagi) di kurun yang akan datang, sedangkan yang terbaru secara mutlak yaitu yang benar secara mutlak, ialah Tuhan. Jadi modernitas berada dalam suatu proses inovasi kebenaran yang relatif menuju inovasi kebenaran yang mutlak, yaitu Allah.
        Dalam perspektif ini, kemodrenan dengan segala implikasi sosialnya ialah perjuangan kritis insan dalam memenuhi permintaan hidupya. Karena dia ialah usaha manusia maka dengan sendirinya beliau menjadi relatif, alasannya pada dasarnya kebenaran insani apapun bentuknya menjadi relatif, dan kebenaran mutlak adalah milik Allah. Tidak seorang manusiapun berhak menyampaikan kebenaran insani sebagai kebenara mutlak, sebaliknya, karena menyadari kerelatifan manusia, setiap orang harus menerima dan menyimak kebenaran dari orang lain. Dengan demikian akan terjadi suatu proses kemajuan yang terus menerus dari kehidupan manusia sesuai dengan fitrah dan wataknya yang hanif yaitu mencari dan merindukan kebenaran.
        Modernisasi sering dikaitkan bersahabat dengan dunia Barat, sebab secara kebetulan momentum zaman terbaru dimulai oleh Eropa Barat, sehingga akan menjadi persoalan bagi bangsa-bangsa bukan Barat dikala memasuki atau tepatnya ingin melaksanakan usaha-perjuangan menuju proses modernisasi. Bangsa-bangsa non-Barat akan diperhadapkan secara dilematis antara usaha mempertahankan keaslian budaya mereka dengan metode modernisasi yang sepenuhnya dianggap sudah menyatu dengan budaya Barat.
Masalahnya semakin kompleks ketika diperhadapkan dengan asumsi sosial bahwa sebab modernisasi merupakan produk Barat, maka bangsa-bangsa (terutama bangsa non-Barat) yang ingin menjadi terbaru mesti terlebih dulu ter-Barat-kan, mengambil alih budaya setempat mereka dengan kebudayaan yang mirip Barat atau mengalami westernisasi, karena westernisasi yaitu pintu menuju modernisasi, mirip misalnya yang di kerjakan oleh Mustafa Kemal Attaturk (Kemalisme) yang menciptakan Turki Baru di atas puing-puing kekuasaan Turki Usmani dan melaksanakan upaya kearah Westernisasi dan modernisasi.
        Dalam memposisikan Islam dengan moderitas yang oleh kebanyakan orang dinilai dikotomis, mestinya kita kembali melihat Islam dalam semangatnya yang lebih dalam. Islam yakni suatu agama yang mempunyai moral, visi, dan pandangan yang ke arah perkembangan. Islam justru sangat memuka potensi dan memberi kawasan pada modernitas. Dalam hal ini penduduk Islam bisa saja hidup di alam kemodrenan dengan tetap mempertahankan dan memegang teguh nilai-nilai agama yang di anut. Menjadi terbaru itu tidak mesti membatasi seseorang untuk tetap teguh dan kaffah dalam menjalankan pedoman agamanya. Fraseologinya seseorang bisa menjadi modern dengan tetap setia terhadap Islam.
2. Tentang Substansi
       Nurcholis Madjid dikategorikan selaku golongan pemikir substantivistik. Hal itu dimaksudkan sebagai aksentuasi kepada pemikirannya bahwa substansi atau makna iktikad dan peribadatan lebih penting daripada formalitas dan simbolisme keberagamaan serta ketaatan yang bersifat literal kepada teks wahyu. Pesan-pesan al-Qur’an dan Hadīth yang mengandung esensi infinit dan mempunyai arti universal, ditafsirkan kembali berdasarkan tuntutan dan jangka waktu sejarah kaum Muslim serta dikontekstualisasikan dengan keadaan-kondisi sosial yang berlaku pada masanya.
Dengan aliran substantivistiknya, Madjid mengelaborasi apa yang disebutnya paralelisme atau kemanunggalan keislaman dan keindonesiaan. Dengan kata lain, sebagai salah satu penunjang dan sumber utama nilai-nilai keindonesiaan, Islam mesti tampil produktif dan konstruktif utamanya dalam mengisi nilai-nilai keindonesiaan dalam kerangka Pancasila, yang menjadi kesepakatan luhur dan merupakan kerangka acuan bersama bangsa Indonesia.
        Dalam bidang politik, kaum substansialis berupaya menekankan manifestasi substansial dari nilai-nilai Islam dalam acara politik. Bukan cuma dalam penampilan akan tetapi juga dalam format pemikirannya. Menurut Madjid, keberadaan dan artikulasi nilai-nilai Islam yang intrinsik, dalam iklim politik Indonesia lebih penting dan sungguh memadai untuk menyebarkan islamisasi dalam muka kulturalisasi masyarakat Indonesia terbaru. Proses Islamisasi seharusnya mengambil bentuk kulturalisasi, bukan politisasi. Dengan demikian gerakan-gerakan Islam semestinya menjadi gerakan budaya daripada menjadi gerakan politik.
        Pemikiran Madjid tersebut tampaknya terinspirasi dari pengalamannya berada di dunia barat dimana akhlak dan nilai-nilai kesalihan sosial diterapkan dengan baik. Sehingga dalam kehidupan bermasyarakat kelihatan lebih “islami” daripada umat Islam yang berada di negara-negara yang secara umum dikuasai orangnya Muslim. Untuk kasus di Indonesia, yang lebih banyak didominasi orangnya beragaman Islam, maka nilai-nilai keislaman yang seharusnya lebih dikembangkan dalam kehidupan bermasyarakat. Sehingga orientasi kehidupan umat Islam semestinya tidak hanya mengarah pada kesalihan eksklusif dengan orientasi keakhiratan saja, melainkan harus menjaga keseimbangan antara kehidupan dunia dan alam baka.
3. Integrasi Keislaman dan Keindonesiaan
        Madjid menyadari bahwa pluralisme internal selaku kondisi obyektif bangsa Indonesia tidak mampu dihadang, bahkan dihindari. Oleh alasannya itu ia berpendapat bahwa pengembangan Islam di Indonesia membutuhkan pengertian dan strategi yang matang. Ia mengajukan gagasan wacana perlunya integrasi keislaman dan keindonesiaan. Menurutnya, walaupun nilai-nilai dan fatwa Islam bersifat universal, pelaksanaannya itu sendiri menuntut pengetahuan dan pengertian tentang lingkungan sosio-kultural masyarakatnya secara keseluruhan, termasuk didalamnya lingkungan politik dalam kerangka konsep nation-state (negara bangsa).
        Gagasan integrasi keislaman dan keindonesiaan yang disediakan Madjid sejalan dengan konsep pribumisasi Islam-nya Abdurrahman Wahid. Keduanya bekerjsama ialah bentuk akulturasi Islam terhadap budaya setempat. Dalam hal ini, Madjid menyatakan perlunya frame of reference (kerangka acuan) yang terang tentang keindonesiaan. Dia merasa optimis bahwa semangat nasionalitas ialah modal yang bagus untuk mengarah pada terwujudnya konvergensi nasional, ialah sebuah bentuk saling pengertian yang berakar dalam semangat untuk saling memberi dan mendapatkan. Sikap untuk saling memberi dan menerima itu bermuara pada kemantapan masing-masing kelompok, kelompok, maupun agama.
        Dengan adanya integrasi keislaman dan keindonesiaan bangsa Indonesia, Madjid optimis Indonesia siap menghadapi dan menerima modernisasi. Modernisasi bermakna rasionalisasi untuk menemukan daya guna dalam berpikir dan bekerja yang maksimal. Hal itu merupakan perintah Allah yang imperatif dan fundamental.  Modernisasi bermakna berpikir dan melakukan pekerjaan berdasarkan fitrah atau sunnatullah yang hāq. Sunnatullah sudah mengejawantahkan dirinya dalam aturan alam, sehingga untuk menjadi terbaru, manusia mesti memahami terlebih dulu aturan yang berlaku dalam alam itu (perintah Allah). Pemahaman insan kepada hukum-aturan alam melahirkan ilmu pengetahuan, sehingga modern berarti ilmiah. Dan ilmu pengetahuan diperoleh manusia lewat akalnya (rasionya), sehingga terbaru memiliki arti  ilmiah, memiliki arti pula rasional.
4. Penerimaan Terhadap Pancasila
        Mengenai penerimaan Pancasila selaku ideologi umat Islam Indonesia, Madjid mengapresiasi tugas besar dari NU dan Muhammadiyah sehingga Pancasila mampu diterima oleh umat Islam yang ialah penduduk lebih banyak didominasi. Tinggal bagaimana caranya untuk mengisi dan mengerjakan Pancasila secara lebih baik dan konsisten. Mengingat bahwa Pancasila ialah suatu ideologi terbuka, maka terbuka lebar potensi untuk semua golongan sosial guna mengambil bagian secara faktual untuk mengisi dan melaksanakannya. Madjid mengatakan bahwa kaum Muslim Indonesia mampu mendapatkan Pancasila setidak-tidaknya dengan dua pertimbangan. Pertama, Nilai-nilainya dibenarkan oleh fatwa Islam. Kedua, Fungsinya sebagai nota janji antara aneka macam kelompok untuk merealisasikan suatu kesatuan politik bersama.
       Madjid membenarkan pernyataan Mohammad Hatta, salah seorang penunjuktangan Piagam Jakarta, yang nilai-nilainya kelak disebut Pancasila itu, yang merumuskan bahwa sila Ketuhanan Yanag Maha Esa adalah sila primer dan utama yang menyinari dan menjadi sumber dalam kehidupan manusia. Begitu pula usulan Hamka yang menyatakan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa itulah yang secara mutlak memberi arti bagi Pancasila dan sila apapun dalam kehidupan manusia. Ketuhanan  atau tauhid itulah yang mendasari dimensi-dimensi budpekerti yang akan menopang setiap peradaban manusia dan menjadi intisari agama-agama yang dibawa oleh para nabi. Menurutnya, umat Islam tidak perlu menuntut adanya negara Islam, sebab yang paling penting ialah substansinya, bukan bentuk formalnya. Dia lebih baiklah terhadap rancangan dan keberadaan negara nasional, dalam hal ini negara pancasila.
       Pendapat Madjid tersebut merupakan perwujudan dari cara berfikirnya yang moderat. Pengalaman dari beberapa negara yang berupaya mendirikan negara Islam memperlihatkan pelajaran bahwa rancangan tersebut hanya akan mengecilkan dan menyederhanakan peranan Islam sendiri selaku suatu tata cara nilai. Perdebatan mengenai penerimaan Pancasila sebaiknya telah dianggap akhir pada dikala Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Apalagi nilai-nilai yang dikandung dalam Pancasila tidak ada yang berlawanan dengan nilai-nilai yang dikembangkan dalam Islam.
5.    Islam Yes, Partai Islam No!
        Mangenai peranan umat Islam dalam bidang politik, Madjid mengetengahkan pertimbangan “Islam yes, partai Islam no!”. Menurutnya, kalau partai-partai Islam merupakan wadah ilham-inspirasi yang mau diperjuangkan berdasarkan Islam, sudah terang bahwa ide-wangsit tersebut sudah tidak mempesona untuk kala kini. Karena ide-ide tersebut sekarang sedang menjadi absolut, memfosil, dan kehilangan dinamika. Kenyataannya, partai-partai Islam yang ada gagal dalam membangun gambaran konkret dan simpatik dan bahkan yang terjadi yakni sebaliknya. Misalnya kian banyaknya umat Islam yang melaksanakan korupsi. Madjid tidak oke dijadikannya Islam selaku ideologi politik. Baginya yang paling penting yakni membentuk masyarakat yang telah ada ini menjadi lebih Islami dengan pendekatan-pendekatan kultural yang mampu dikerjakan.
        Sebagaimana sudah dikenali, partai Islam yang bermunculan sesudah Indonesia merdeka. Partai-partai tersebut bertarung pada pemilu tahun 1955 dan banyak yang mengalami kegagalan. Hingga alhasil pada masa Suharto partai-partai tersebut difusikan dalam satu partai, adalah PPP. Setelah terbukanya pintu reformasi, partai Islam bermunculan kembali, tetapi tetap kalah oleh partai nasionalis. Posisi yang lebih baik diterima oleh PKB dan PAN yang menggunakan Pancasila sebagai ideologi partainya. Meskipun di satu segi keduanya diuntungkan dengan adanya basis massa yang besar (NU dan Muhammadiyah), namun di sisi lain penggunaan ideologi Pancasila pada dua partai tersebut memperlihatkan sikap terbuka keduanya dalam menanggapi keberagaman Indonesia.
6.  Sekularisasi bukan Sekularisme
        Salah satu aliran Nurcholish Madjid yang menerima banyak reaksi keras ialah tentang sekularisasi. Madjid menyampaikan bahwa Sekularisasi yang dimaksudkannya tidaklah diarahkan untuk penerapan sekularisme. Menurutnya,  yang dimaksud dengan sekularisasi yakni setiap bentuk liberating development. Proses pembebasan ini diperlukan alasannya umat Islam dalam perjalanan sejarahnya tidak sanggup lagi membedakan nilai-nilai yang didugaIslami, mana yang transendental dan mana yang sifatnya temporal. Oleh alasannya adalah itu, sekularisasi harus dipahami sebagai sebuah proses kemajuan yang membebaskan, yang menghendaki umat Islam melaksanakan upaya mereka mengaitkan universalisme Islam dengan realita-realita cukup umur ini. Relevan pula dengan fungsi mereka selaku khalifah Allah di atas bumi.
        Sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme dan merubah Muslim menjadi sekularis. Tetapi dimaksudkan untuk menduniawikan nilai-nilai yang sebaiknya bersifat duniawi dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrawikannya. Dengan demikian, kesediaan mental untuk selalu menguji kebenaran sebuah nilai di hadapan kenyataan-realita budpekerti, material, ataupun historis, menjadi sifat kaum muslimin.  Mengenai banyaknya perilaku kontra terhadap idenya tersebut, Madjid menyampaikan bahwa Ia tidak pernah mengusulkan sekularisme akan tetapi sekularisasi”.
Sekularisasi yang dimaksud di atas tampaknya mengarah kepada kecermatan dan kecerdasan kaum Muslim dalam mengatasi dilema-persoalan yang dihadapi. Mereka harus mampu membedakan mana masalah dunia dan mana masalah darul baka. Umat Islam mesti mampu berfikir secara bebas dan inovatif, sebab dengan begitu memungkinkan umat Islam untuk bisa berijtihad dalam menanggulangi urusan-pe Sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme, sebab sekularisme yaitu nama sebuah ideologi, suatu pandangan dunia gres yang tertutup yang dipandang berfungsi sungguh mirip dengan agama. Dalam hal ini, yang dimaksudkan adalah setiap bentuk perkembangan yang membebaskan. Proses pembebasan ini diperlukan alasannya umat Islam, akhir perjalanan sejarahnya sendiri, tidak mampu lagi membedakan nilai-nilai yang di sangkanya Islami itu, mana yang transendental dan mana yang temporal.
        Dari penegasan tersebut, kelihatannya Nurcholis Madjid ingin menerangkan bahwa antara sekularisasi dan sekularisme merupakan dua hal yang berbeda. “Sekularisasi” condong terhadap sebuah proses, dan “sekularisme” dengan isme-nya merupakan bentuk iktikad yang dianggap sebagai padanan agama, mirip yang ada pada dua ideologi besar dunia, sosialisme-komunis dan kapitalisme-sekuler yang dalam prosesnya berusaha melepaskan ketergantungan insan dari asuhan agama.
Dengan mengutip pandapat Talcoot Parson, Nurcholis Madjid menunjukkan bahwa sekularisasi sebagai suatu proses sosiologis, lebih banyak mengisyaratkan pemahaman pembebasan masyarakat dari belenggu takhayul dalam beberapa faktor kehidupannya, dan tidak berarti abolisi orientasi keagamaan dalam norma dan nilai kemasyarakatan.
       Penegasan lebih terperinci perihal penggunaan ungkapan sekularisasi, Nurcholis Madjid menyampaikan;
       Kaprikornus sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme dan mengubah kaum Muslimin menjadi sekularis. Tetapi dimaksudkan untuk menduniawikan nilai-nilai yang telah semestinya duniawi, dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk meng-ukhrawi-kannya. Dengan demikian, kesediaan mental untuk selalu menguji dan menguji kembali kebenaran sebuah nilai di hadapan kenyataan-kenyataan material, budbahasa ataupun historis, menjadi sifat kaum Muslimin. Lebih lanjut, sekularisasi dimaksudkan untuk lebih memantapkan tugas dunawi manusia selaku “khalifah Allah di bumi”. Fungsi sebagai khalifah Allah itu menawarkan ruang bagi adanya keleluasaan manusia untuk menetapkan dan memilih sendiri cara dan tindakan-tidakan dalam rangka perbaikan-perbaikan hidupnya di atas bumi ini.
        Secara sosiologis, sekularisasi adalah manifestasi pandangan manusia selaku khalifah Allah. Dunia dan alam diserahkan terhadap kebebasan dan tanggungjawab insan, untuk di manfaatkan. Maka seperti yang di katakan Nurcholis Madjid, sekularisasi yakni pembebasan dari asuhan agama, sebagai cara beragama secara dewasa, beragama dengan sarat kesadaran dan pemahaman, tidak sekedar konfensional belaka.
Dalam hal penggunaan ungkapan sekularisasi diatas, Nurcholis Madjid seakan ingin memberikan suatu pemahaman wacana pentingnya membedakan agama dan paham keagamaan. Menurut Nurcholis Madjid, agama dan paham keagamaan yakni sesuatu yang berlawanan. Agama ialah sesuatu yang mutlak alasannya berasal dari Tuhan, yang maha mutlak, namun pemahaman keagamaan, cara manusia mengerti agama tersebut terdapat komponen-unsur yang berlainan dalam lingkungan daya dan kesanggupan insan untuk melaksanakannya. Daya dan kesanggupan manusia yaitu bernilai manusiawi, alasannya adalah ia berada pada diri manusia itu sendiri.
        Pemahaman keagamaan menurut Nurcholis Madjid lahir dari pada usaha-perjuangan keras (ijtihad) manusia kepada pesan-pesan yang di sampaikan Tuhan, sehingga jelas mengisyaratkan adanya intervensi manusia dalam mamahami agama itu sendiri. Pemahaman terhadap agama itu sendiri, oleh Nurcholis Madjid dihentikan disaklarkan, sehingga dibutuhkan secara kontinyu perjuangan-usaha menghidupkan kembali ilmu pengetahuan yang sudah hilang di era-era kejayaan penduduk salaf untuk memahami kembali pesan-pesan agama.
        Matinya ilmu wawasan dalam Islam berdasarkan Nurcholis Madjid ialah akibat melemahnya kondisi sosial politik dan ekonomi dunia Islam, disebabkan percekcokan yang tidak habis-habisnya dikalangan mereka tidak dalam bidang-bidang pokok melainkan dalam bidang-bidang kecil seperti duduk perkara fiqih dan peribadatan. Perdebatan itu justru diakhiri dengan menutup sama sekali pintu ijtihad, dan mewajibkan setiap orang taqlid kepada para pemimpin atau pemikir keagamaan yang sudah ada, yang berakibat mematikan kreatifitas individual dan sosial kaum Muslim.
       Dalam kekerabatan ini, dapatlah kita mengetahui mengapa Nurcholis Madjid menyesalkan keputusan para pemuka Islam untuk menutup pintu ijtihad. Sehingga yang terjadi ialah umat Islam kehilangan kreatifitas dalam kehidupan duniawi, dan mengesankan seakan-akan mereka sudah memilih untuk tidak berbuat, dengan kata lain mereka sudah kehilangan semangat ijtihad.
Umat Islam kini, menurut Nurcholis Madjid condong mengetahui Islam cuma dari satu sisi ilmu tradisional Islam saja, yaitu ilmu fiqih yang hanya membidangi sisi-segi formal peribadatan dan hukum, sehingga tekanan orientasinya sangat eksoteristik, perihal hal-hal lahiriah. Sementara ilmu-ilmu tradisional Islam lain, yakni Falsafah, Kalam, dan Tasawuf masih kalah mendalam dan meluas.
        Nampaknya Nurcholis Madjid menghendaki umat Islam tidak secara parsial mengerti Islam dengan cuma menakankan pada problem fiqhiyah. Apalagi fiqih itu sendiri tak lebih ialah perjuangan-usaha ulama dalam mengkontektualisaikan pemikiran Islam. Secara logis alasannya adalah ulama itu sendiri adalah manusia, maka tafsiran ulama tersebut tidak bisa dilepaskan dari sifat kemanuisaannya, dan tak patut dianggap absolut. Karena mengabsolutkan asumsi ulama – sama artinya mengobsolutkan sesuatu selain Tuhan – secara theologis mampu berakibat pada kesyirikan kepada Allah, Tuhan yang maha otoriter.
7.  Peranan Umat Islam
        Mengenai peranan yang mesti dimainkan umat Islam di Indonesia, berdasarkan Madjid terpusat pada tiga hal, ialah: Pertama, mendukung negara Nasional Republik Indonesia. Dalam hal ini Pancasila dipandang sebagai persetujuan sosial yang mengikat seluruh masyarakat. Kedua, Mengembangkan pengertian terhadap agama Islam selaku sumber kesadaran makna hidup yang handal bagi masyarakat yang sedang mengalami pergeseran dinamis. Ketiga, mengembangkan prasarana sosio-kultural untuk mendukung proses pembangunan menuju penduduk industri yang maju. Hal ini harus dijadikan pengertian keagamaan umat Islam sehingga akan menciptakan proses saling menguatkan antara agama dan masyarakat. 
        Madjid menegaskan pendiriannya bahwa Pancasila yaitu suatu ideologi terbuka dan demokratis. Sehingga Pancasila mesti mampu difahami secara benar agar tidak berubah menjadi rumusan-rumusan iktikad yang mati dan kaku. Sikap yang tepat terhadap Pancasila akan menutup kesenjangan antara konsep keumatan dan kenegaraan, utamanya alasannya adalah mayoritas masyarakatIndonesia beragama Islam. Dengan hilangnya kesenjangan, maka dapat dibutuhkan pada diri umat Islam rasa ikut mempunyai Indonesia sepenuhnya. Kondisi ini berikutnya akan melandasi pertumbuhan korelasi antara Islam dengan Indonesia, yaitu bahwa keislaman yaitu keindonesiaan dan keindonesiaan ialah sebagian besar keislaman.
        Keparalelan keislaman dengan keindonesiaan, berdasarkan Madjid secara lebih lanjut mengisyaratkan legalisasi akan absahnya pandangan yang melihat perlunya menciptakan interpretasi – kalau bukan pembiasaan – aliran-fatwa universal Islam untuk memenuhi tuntutan-tuntutan positif Indonesia. Dalam pertumbuhan selanjutnya, Indonesia akan menjurus menjadi suatu “negara santri.” Ini tidak bermakna Pancasila akan terhapus atau terganti, akan namun nilai-nilai Pancasila akan mengejawantah dalam bentuk inlai-nilai kesantrian yang kosmopolit dan nasional.
Menurut Madjid, Islam adalah agama yang partikular dan universal. Di satu pihak Islam bersifat universal yang terbebas dari dampak budaya lokal. Di pihak lain, Islam mesti hadir di bumi yang penyebaran dan penerimaannya oleh umat manusia terbungkus oleh budaya-budaya lokal. Ajaran Islam yang universal cuma bisa ditangkap dalam bentuk nilai, sehingga saat beliau turun dan jatuh ke tangan insan menjadi bentuk dalam pemahaman budaya. Dalam pemahaman budaya inilah Islam mampu muncul dalam aneka macam warna dan corak.
        Dengan demikian, integrasi antara keislaman dan keindonesiaan akan mampu terwujud jikalau umat Islam mampu memaknai dan memahami Pancasila dengan benar. Hal itu bergotong-royong tidak sulit untuk diwujudkan karena  pada dasarnya nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sesuai dengan nilai-nilai Islam. Selain itu, Islam yang berkembang di Indonesia yaitu Islam yang masuk dengan tenang dan melalui proses dialogis dengan budaya yang ada di Indonesia, yang banyak di antaranya dikembangkan oleh para wali songo. Islam intinya telah berakulturasi dan mengakar dalam budaya Indonesia jauh sebelum kemerdekanaan. Sehingga momentum kebebasan dan demokrasi yang meningkat sesudah jatuhnya Suharto sebaiknya dapat dimanfaatkan oleh umat Islam untuk kian mengukuhkan nilai-nilai yang diajarkan agama dalam kehidupan masyarakat modern.   
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
        Nurcholis yang terbaru, berawal dari pendidikannya di Amerika. Diintegrasikan dengan pola fikir Islami yang rampung pada implementasi nilai-nilai Barat yang beliau adopsi dari Robert N. Bellah dan Harvey Cox. Sementara asal usul pemikiran sekularisasi dikerenakan evolusi agama Nasrani yang bertransisi menuju rasionalisasi agama alasannya adalah pertentangan rancangan ilahi dan hidup mereka yang tidak jelas. Akhirnya nilai- nilai Islam disampingkan dalam kehidupan sosial  melahirkan sekularisasi, inklusifisme dan pluralisme dalam Islam yang terbaru. Padahal penurut para salafi semua itu ialah bid’ah dalam Islam yang mesti dihapuskan, alasannya berpaling dari keberadaan Tuhan sebagai pencipta dan pengatur kehidupan duniawi.
        Tapi dalam hal semua ini para pembaru islam mengharapkan biar umat islam bisa meningkat dan maju dalam keadaan zaman yang berganti adalah  zaman modern (era globalisasi) ketika ini, maka dari itu perlu adanya rasionalisasi dalam mengetahui aliran-ajaran islam yang cocok ataupun yang relevan dalam perkembangan insan kini dalam kata lain perlu adanya pengertian kontekstual sesuai dengan kemajuan insan dan zaman supaya mampu mudah diterima. Tetapi nilai-nilai islam tetap diutamakan dan jangan ditinggalkan. Dan harapan membangun kembali khazanah-khazanah keilmuan yang dahulu pernah dicapai oleh para ulama terdahulu.
B. Saran dan Rekomendasi
       Semua ajaran tokoh pembaruan islam utamanya dalam makalah ini anutan Nurcholis Madjid menujukkan agar umat islam mampu lebih maju dan mampu mendapatkan hal yang rasional untuk menghadapi pertumbuhan insan dan zaman pada ketika ini, tapi yang perlu kita garis bawahi apa yang telah dituangkan oleh para tokoh pembaru islam atau pemikiran -gagasan yang sudah mereka buat mesti mampu kita filter dan kritisi tidak semata-semata mesti kita telaah semua atau kita sepakati semua apa usulan mereka, dalam kata lain  kita mesti mampu mengambil hal yang baik,(secara rasionalis dan agamis), ataupun sesuai dengan nilai-nilai islam, seperti halnya semangat mereka dalam pergantian menuju yang lebih baik. Dan mengembalikan tugas manusia dibumi  sebagai kholifa fil ardi, dan mengambil kembali  Keilmuan-keilmuan yang sudah diukir oleh ulama-ulama terdahulu, alasannya adalah sebenarnya ilmu pengetahuan itu yang menciptakan zaman ini berkembang.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Halim, Abdul, Editor, Menembus Batas Tradisi, Manuju Masa Depan Yang Membebaskan, Refleksi atas Pemikiran Nurcholis Madjid, Penerbit; Buku Kompas, Jakarta, Cet; II, Oktober 2006.
Madjid, Nurcholis, Islam Doktirn dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis Tentag Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodrenan, Penerbit; Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta, Cet; I, 1992.
Adnin Armas, Menelusuri Gagasan Sekularisasi Nurcholis Majid, Jurnal
Tsaqafah Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Islam, ( Volume
4, No.2, Jumadal Ula 1428).
Abdul Qodir, M.Ag, Jejak Langkah Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung: Pustaka Pelajar, 2004), hal. 105-107.
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran Dan Gerakan, Cet. 6 (Jakarta:PT. Bulan Bintang, 1988), 11-12.
.
http://www.gaulislam.com/rancangan-civil-society-dalam-perspektif-islam-sebuah-tinjaun-ideologis.html.
.