Contoh Cerpen Remaja “Cerita untuk Sang Prajurit
CERITA UNTUK SANG PRAJURIT
Oleh Mike Azminatul Khayatika
Hati yang galau terasa menggelayuti jiwa yang rapuh. Duduk menyendiri dikelilingi oleh kekalutan yang amat mendalam. Terlintas di benak akan hadirnya seseorang dalam lamunanku. Terbesit di benak akan era yang penuh gejolak, antara batin dan realita.
Kebekuan hati semakin besar lengan berkuasa ketika teringat akan seseorang yang pernah mengisi hati. Ini rahasia cerita yang terdalam, akan kusampaikan jikalau datang waktunya, nmun semua itu hanyalah sebuah cerita yang tak pernah terkuak oleh pemilik hati.
Jari – jemari ini menuntun pikiran untuk menulis sebuah cerita yang cuma tersampaikan melalui suatu goresan pena. Dalam benak Rani, perasaan yang amat mendalam ialah menyimpan suatu rasa pada seseorang yang pernah mengawalhari-harinya dalam keadaan suka maupun sedih. Menahan perasaan yang hanya melukai hati yang teramat perih demi mimpi dan abad depan yang ingin kucapai dan demi menjaga amanat orang tua.
Semakin lama mengenang ingatan silam, makin tersayat pilu hati ini. Seribu kali tak mengenang tentangmu, seribu kali kucoba untuk tak kembali dalam kenangan anggun yang semu, namun langkahku menjadi kian pasti dalam cinta yang semu.
Hati Rani makin bergejolak dengan apa yang terjadi pada dirinya. Semakin dalam beliau menatap dalam-dalam sebuah gambar dan mengulas kembali runtutan dongeng yang pernah ada dalam catatan memori, makin kikis harapan tuk melangkah maju.
Tak perlu lagi mengharap yang belum pasti. Hanyalah waktu yang hendak menjawabnya. Allah lebih tahu apa yang saya butuhkan, bukan yang kuinginkan alasannya adalah Allah tahu jalan hidupku ke depan. Aku selaku manusia cuma dapat berdo’a dan berupaya, selebihnya kuserahkan pada Allah.
***
Senja sudah di ufuk barat. Suasan sore merubah situasi jiwa. Pagi beralih siang, siang beralih sore, waktu berputar cepat seakan-akan menyeret langkah untuk memutari roda waktu yang tak disadari semua yang terjadi menjadi sisa akan agresi manusia.
Dengan pendiriannya, Rani mencoba untuk tegar menjalani hari-hari dan berusaha keras untuk menyimpan dalam-dalam ihwal perasaan yang pernah ada. Rani menjajal untuk menjaga perasaannya itu sampai datang waktu yang tepat. Tak tahu dengan siapa nanti saya bersanding dengan sosok imam yang menjadi sobat seumur hidupku. Hanya yang kuasa yang tahu misteri hidupku.
Menunggu waktu yang tak niscaya. “Kapankah semua ini mampu terungkap?? Tanpa ada hati yang tersakiti. Oh Tuhan… berikan aku tanggapan yang terbaik.”, kata Rani dengan nada lirih. Tanpa disadari, air matanya mengalir sampai menetes di atas kertas.
Ketika suasana sunyi yang sarat kegalauan, tiba-datang terdengar suara nada panggilan masuk. Seketika membuyarkan lamunannya itu.
Rani mengankat telefpon, “Assalamu’alaikun. Mas Fariz apa kabar? Bagaimana keadaan di sana??”
“Wa’alaikumsalam. Alhamdulillah kabar aku baik-baik saja. Keadaan di sisni kondusif terkendali. Heee… bagaimana kabar de Rani?”
“Syukur bila begitu. Alhamdulillah kabarku juga baik. Oya,, ada apa? Kenapa datang-datang menghubungiku, tampaknya penting?”, Tanya Rani dengan hati penasaran.
“Sebenarnya maksud mas menelepon ade, ada hal yang ingin mas sampaikan. Insya Allah, selasa yang akan dating, komando serdadu khusus Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, sebagian dari anggota akan diterjunkan ke kawasan beresiko pertentangan di Papua. Mas minta do’anya supaya lancer dan aman terkendali yah de”, Kata mas Fariz.
“Oallah…. Insya Allah saya di sini mendo’akan keselamatanmu di sana. Kaprikornus mas tergolong anggota yang diterjunkan di Papua? Berapa hari di sana?”, Tanya Rani dengan hati yang semakin cemas.
“Ya de…bukan berapa hari lagi di sana, tapi berminggu-ahad. Di surat dinas, hampir dua bulan. TNI AD Kodim 0503 diperbantukan untuk wilayah riskan konflik. Masalah hidup dan mati itu sudah risiko mengemban peran Militer yang berani bekorban demi keselamatan Negara bahkan nyawa sekalipun. Tenang saja de, Insya Allah mas di sana baik-baik.”
“Mas Fariz jangan berkata yang sangat jauh, ucapan tadi buatku merinding saja. Aku yang dengar jadi cemas sendiri. Lama sekali di sana. Jaga diri baik-baik yah di sana. Rani di sini cuma bias mendo’akan, tak mampu melaksanakan apa-apa selain berdo’a untukmu.”
“Makasih de… itu saja sudah lebih dari cukup buatku. Sudah de,, jangan cemas. Masih ada Allah yang mau melindungi Umat-Nya yang berjuang demi keselamatan Negara. Kemiliteran ialah duniaku. Hidup dan mati dipertarukan demi bela Negara. Itulah sumpah bakti tentara TNI. Ade baik-baik yah di sana. Astaudikumullah…. Kutitipkan engkau pada Allah.”
“Mas Fariz, sangat apa yang engkau ucapkan tadi buatku terharu. Aku harap agar Allah selalu melindungimu. Mas Fariz psti pulang kembali dengan selamat. Aku di sini mendo’akanmu supaya tidak terjadi apa-apa. Makasih buat do’anya. Sedikit kata penyemangatku dalam berlari meraih mimpi.”
“Jangan lupa berguru, banyakin ibadah alasannya hidup di dunia ini apa yang kita kerjakan semata-mata cuma untuk ibadah, mencari berkahnya. Bakti sama kedua orang renta. Selagi akrab dengan dia, jangan sia-siakan potensi itu. Lha sepertiku ini, sudah jauh dari orang renta, keluarga, sanak saudara, jauh pula dari kamu. Heee…. Di markas, semua terasa abnormal bagiku”, ujar beliau member pesan tersirat pada Rani.
“Yam as Fariz, sekali lagi makasih buat nasihatnya. Rani akan berupaya buat bahagiain orangtua. Menjadi orang sukses yang selalu dibanggakan orang tua. Mas harus tetap semangat demi masa depan.”
“sama-sama de… kita hidup untuk saling menyebarkan dan memahami satu sama lain. Perbedaan itu untuk melengkapi. Begutupun antara saya dank au. Amin… agar engkau menjadi orang berhasil. Bagaimana kuliahnya?”
“Amin… Alhamdulillah lancer. Ya walaupun ada beberapa hambatan, cobaan, wajarlah namanya hidup gak mungkin mulus. Jalan aja engga rata, ada tanjakan, ada turunan, ada lubang. Sama halnya dengan jalan hidup insan untuk mencapai kebahagiaan…. Jieeaaahhh sok akil balig cukup akal banget aku yah. Heee.. tinggal beberapa semester lagi lulus. Semoga diberi kemudahan dalam meraih apa yang kuharapkan”, ujar Rani dengan sarat impian yang amat mendalam.
“Yah de… di sini saya juga mendo’akan dan mendukungmu. Kita sama-sama berjuang dan berusaha untuk menerima yang terbaik. Semua itu tidak lepas dari do’a orang bau tanah. yang terpenting turutilah pesan yang tersirat orang bau tanah. apa yang dia katakana, laksanakan1 walaupun itu sangat susah dan penuh sulit payah.”
Kalimat terakhir itu membius hati Rani. Sejenak kebekuan itu menyumbat pikirannya untuk berhenti sejenak. Tak tahu apa yang harus dikatakanyya untuk menyikapi obrolan tersebut.
“De…de Rani… kok jadi diam?”, Tanya mas Fariz yang mengagetkan.
“Owh, Hmm…. Hmm… meskipun orang tua melarang anaknya untuk berhubungan dengan seseorang nan jauh di sana??”, tanyaku dengan bunyi terbata.
“Kenapa datang-datang menanyakan hal itu? Ada apa?.”
“Engga apa mas. Aku cuma ingin tahu tanggapanmu saja.”
“Baiklah, siapa pun bau tanah mengharapkan yang terbaik untuk anaknya. Maka bila itu yang terbaik menurut orang tuamu, maka turutilah. Jangan sampai menyesal di final jalan. Lebih baik berpikir masak-masak, walaupun seribu kali pikir, namun bila kamu mau mengambil risiko dan mau menghadapi risiko itu dengan penyelesaian bijak maka turutilah kata hatimu.”
Sekilas terdengar bunyi ibu yag memanggilku, “Rani…..Rani….”
“Wah, tampaknya ibu memanggilku. Makasih yah mas, buat nasihatnya. Kita lanjut di lain waktu. Salam militer dariku. Salam tenang!”
“Ok siap komandan! Heee.. slam juga buat bapak Polisi. Hee.. wah, bantu-membantu ada yang ingin kutanyakan tentang pertanyaanmu tadi, tapi berhubung ibu sudah memanggilmu ya sudah kapan-kapan saja. Salam bagus dariku untuk orang yang mendengar suaraku.”
“Terima kasih…. Baik-baik di sana,” ujarku membalasnya.
“Ya dik Rani. Astaudikumullloh. Kutitipkan engkau pada Allah. Kamu juga baik-baik yah. Semoga berhasil senantiasa.”
***
Udara dingin mulai menepis kulit. Dalam kehampaan waktu, kuberdiam sejenak setelah melakukan berbagai acara sehari penuh. Rasa letih sudah terhapus dan sirna seketika tatkala melihat bayangannya yang tersenyum anggun ketika pamit pergi untuk merantau dan pergi untuk peran Negara.
Bayangan itu hanya sekilas melintas di benak Rani dikala teringat akan pesan yang tersirat ibu waktu itu. kebimbangan hati mulai bergejolak, beradu dengan prinsip dan rasa yang makin kuat. Entah apa yang terjadi pada dirinya ini hingga tak mengetahui apa yang harus dia kerjakan.
Teringat jelas pada memori Rani, saat tatapan ibu memandangnya dengan sarat makna. Member sebuah arahan yang bertentangan dari apa yang ia sakan dan ia fikirkan dikala itu.
“Oallah nduk,,,,coba jawab jujur pada ibu. Siapa pria yang berseragan prajurit itu?? Kawan? Atau lebih dari sekedar sahabat? Ada perlu apa ia dating kemari?”, kata ibu dengan raut muka masbodoh.
“Ibu, Rani minta maaf belum minta izin pada ibu. Namanya mas Fariz. Kawanku dikala SMP dahulu. Dia dating kemari cuma untuk bersillaturrahmi sekaligus pamit. Hanya itu ibu.”, jawabku dengan hati yang sarat galau.
“Kawam? Kamu bilang mitra? Sejak kapan kamu berani untuk mengkhianati kepercayaan ibu? Atau Kamu masih menutupi kebohongan itu? Kalau cuma sekedar kawan, kemudian kenapa dia mau pergi hingga pamit segala. Ibu tahu nak, hati seorang ibu itu peka terhadap gerak-gerik pergantian sikap anak. Tidak ada seorang ibu yang ingin anak-anaknya kecewa. Ibu manapun akan berjuang mati-matian demi kebahagiaan anak”, ujar ibu dengan nada yang paling menyentuh hati. Mata ibu berkaca-beling seakan ingin mengatakan suatu hal yang tak mampu dibilang langsung takut melukai hati anaknya.
“Rani resah mau berkata apa pada ibu. Sungguh ibu, Rani tidak berniat untuk mengkhianati keyakinan ibu. Kalau boleh Rani berkata jujur, dari hati Rani berupaya untuk mempertahankan perasaanku agar Rani tidak melakukan kesalahan. Rani memang ada sedikit rasa dengannya, tetapi rani mengetahui bahwa waktunya belum sempurna untuk melangkah lebih jauh. Makara, Rani dengannya masih berteman baik. Rani belum menuntaskan kuliah. Masih panjang jalan hidupku”, ujar rani dengan rintihan air mata yang tak terbendung lagi.
“Nduk,,, Ibu ini paham, ibu mengerti dengan perasaanmu itu, alasannya adalah ibu juga dahulu pernah mengalami semua hal, dari sulit hingga senang, dari pahit menjadi manis. Ibu bukannya melarang kau untuk pacara, dan ibu tidak berencana untuk menghalangi relasi kau dengan ia atau mungkin kamu beranggapan pada ibu bila ibu membenci atau tidak baiklah. Itu semua salah nduk. Lihat muka ibu, tatap mata ibu dengan hati yang acuh taacuh. Ibu cuma ingin kamu sukses dan senang dengan pilihanmu. Ibu tidak inginkeputusanmu untuk menjadi guru akan rampung tidak berguna alasannya adalah kamu tidak mampu melalui semua cobaan itu. ibu cuma ingin mengentarkanmu ke gerbang kesuksesan”, jawab ibu dengan sarat impian demi kebaikan anaknya.
“Rani minta maaf, ibu… Rani sudah melukai hati ibu. Sungguh Rani bangga memiliki ibu. Ranibelum pacaran sama beliau bi. Kita masih berteman. Rani memahami dengan semua nasehat ibu. Terimakasih bu. Bismillah… insya Allah Rani akan senantiasa menuruti pesan tersirat ibu. Lagi pula rani ingin menjadi guru dan jika Allah memberikan potensi aku inin menjadi seorang dosen. Rani ingin dapat beasiswa S2 untuk melanjutkan sekolah. Rani minta do’a dari ibu. Semoga aku mampu melalui cobaan yang ada.”
“Iya nduk… tinggi sekali angan dan mimpimu itu, maka janganlah engkau putus tali jembatan untuk menuju gerbang kesuksesan. Hati-hati atau jikalau kamu lengah, maka engkau akat terjatuh ke tebing yang curam. Ibu niscaya akan mendoakan yang terbaik untukmu. Ibu bersikeras untuk menasihatimu sampai semaksimal mungkin biar kamu tidak jatuh. Syukur bila kamu mengerti yang ibu katakana. Kamu sekarang bilang tidak pacaran, masih berteman, tapi..tetapi waktu yang mau menjawabnya dan mebuktikan upan mu itu. Jika dalam jalan kamu, waktu berputar dilalui dengan terus berkomunikasi dengannya, maka semua akan menjadi berubah. Lama-lama kamu akan lupa dan gegabah dengan prinsip dan mimpimu itu. bias jadi kau menjadi orang yang tidak konsisten.”
“Ibu, jujur Rani gundah dengan semua ini. Lalu Rani harus bagaimana? Apa yang harus Rani Lakukan? Haruskah Rani mengorbankan perasaan ini demi kurun depan ?,” Tanya Rani dengan hati yang tidak yakin.
“Ya tentu! Asalkan kamu lapang dada menjalaninya. Jangan ada unsure keterpaksaan. Segala sesuatu perlu diperjuangkan, dan di balik usaha pasti ada pengorbanan. Simpan baik-baik perasaanmu itu. mengertikah apa yang ibu katakana?”
“Maksud Ibu, Rani menjauhi mas Fariz?”
“Kalau kau memang bias lakukanlah, tetapi jika itu terlalu sulit, kubur dalam-dalam perasaanmu itu dan coba bersikap mirip biasa. Jangan lanjutkan langkah itu. kau perbaiki dulu segala hal. Luluskan dulu kuliahmu, gapai era depanmu. Banyak berbenah diri insya Allah semua akan berbuah bagus.”
“Tapi….. hmmmm Rani sulit untuk melakukannya bu. Rasanya berat untuk mengosongkan hati yang sudah terlanjur terjerat cinta,” ujar rani dengan tampang sendu.
“Nduk, Kamu belum tahu apa arti hidup yang bekerjsama. Soal cinta nanti juga akan kamu pahami dikala waktu yang sempurna. Simpanlah rasa itu. nanti jika memang Allah mengharapkan suatu yang kamu inginkan, juga akan terkuak. Sekarang yang terpenting ialah kuliah yang benar, tekun, rajin supaya cepat lulus sempurna waktu. Kaprikornus, lulus juga bukan asal lulus, tetapi ilmunya dapat diamalkan dan berfaedah untuk orang lain dan diri kamu sendiri,” dengan lembut ibu member pemahaman pada Rani akan sebuah hal yang tak pernah Rani lupakan.
“Sekarang Rani pahamdan mengetahui apa yang ibu katakana dan ibu lakukan untukku. Terima kasih Ibu… Rani minta ma’af yah bu,” ujar Rani dengan hati yang paling dalam.
“Ya nduk… Ibu telah mema’afkan sebelum kau memintanya. Turuti yah apa yang ibu katakana. Kamu pasti bias kok. Pelan-pelan saja. Perlahan, sedikit demi sedikit kau niscaya bias melupakannya. Demi ibu dan demi abad depanmu. Ingat berhubungan dengan seorang prajurut itu banyak risikonya.”
“Jadi itukah yang menciptakan ibu…….,” belum hingga tamat Rani berkata, bunyi hangat ibu kian menyambung begitu cepat.
“Ssstt… telah nak. Seperti apa yang ibu katakana di awal obrolan. Tidak ada seorang ibu yang ingin melihat anaknya kecewa. Semua ingin yang terbaik untuk anak. Sudah adzan. Lekaslah shalat. Jangan lupa renungi apa yang ibu sampaikan yah nduk,” ujar ibu dengan senyum hangat yang yang mendamaikan hati.
“Ya bu, insya Allah Rani akan lakukan itu”
“jangan cuma ucapan saja, namun wujudkan dalam wujud tindakan. Jadi antara ucapan dan tindakan itu sepadan. Semoga kamu mampu menjadi anak yang selalu dibanggakan orang tua.”
“Amin…,” jawabku dengan penuh haru.
“Bismillah… supaya Rani mampu melalui semua ini. Semoga da jalan yang terbaik,” ujar Rani dalam hati.
Setelah obrolan itu, terasa ada hal yang sangat berguna selaku pembelajaran hidup, yaitu hidup yakni sesuatu yang perlu diperjuangkan dan di balik usaha ada pengorbanan untuk mencapai sebuah yang diharapkan seseorang. Semoga ada jalan yang terbaik.
Rani melewati hari-hari dengan penuh lapang dan tulus untuk mencoba tidak menanggapi perasaan yang ada dalm hatinya. Mungkin semua itu telah melukai hati sebab cinta tak semanis madu. Cinta bagai terumbu karang yang membentur kapal sampai hancur berkeping-keping. Cinta akan semanis madu kalau cinta itu berkembang alasannya adalah jalan Allah yang menuntun langkah, bukan ego dan ambisius diri yang mempertemukannya. Cinta akan indah jikalau tiba pada waktu yang sempurna.
SELESAI