Teks Naskah Khutbah Idul Fitri Quraish Shihab: Berkelompok Dan Berlawanan, Terbakar Amarah Dan Transit

Allah Akbar, Allah Akbar, Wa Lillahil Hamd.

Dengan takbir dan tahmid, kita melepas bulan berkat yang insya Allah sudah menempa hati, mengasuh jiwa serta mengasah akal kita. Dengan takbir dan tahmid, kita melepas bulan suci dengan hati yang mesti penuh harap, dengan jiwa besar lengan berkuasa penuh optimisme, betapa pun beratnya tantangan dan sulitnya suasana. Ini karena kita menyadari bahwa Allah Maha Besar. Allahu Akbar! Allahu Akbar!

Semua kecil dan ringan selama kita bersama dengan Allah. Kita bareng selaku umat Islam dan selaku bangsa, kendati mazhab, agama atau pandangan politik kita berbeda. Karena kita semua ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Kita semua satu bangsa, satu bahasa dan satu tanah air dan kita semua telah sepakat ber-Bhineka Tunggal Ika, dan menyadari bahwa Islam, bahkan agama-agama lainnya, tidak melarang kita berkelompok dan berlainan. Yang dihentikan-Nya adalah berkelompok dan bertikai.

Infografik Berkelompok dan Berbeda:

 kita melepas Ramadan yang insya Allah telah menempa hati Teks Naskah Khutbah Idul Fitri Quraish Shihab: Berkelompok dan Berbeda, Terbakar Amarah dan Transit

Maksudnya: “Janganlah menjadi serupa dengan orang-orang yang berkelompok-kalangan dan berselisih dalam tujuan, sesudah tiba terhadap mereka informasi-informasi. Mereka itulah yang mendapatkan siksa yang pedih.” Demikian Allah berfirman dalam Q.S. Ali ‘Imran ayat 105.

Saudara, keragaman dan perbedaan ialah keniscayaan yang diinginkan Allah untuk seluruh makhluk, tergolong manusia.

Seandainya Allah menghendaki pasti kamu dijadikannya satu umat saja, tetapi (tidak demikian kehendak-Nya). Itu untuk menguji kau menyangkut apa yang dianugerahkan-Nya terhadap kau. Karena itu berlomba-lombalah dalam kebajikan (Q.S. Al-Maidah ayat 48).

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Wa Lillahil Hamd!

Saudara, kini kita beridul fitri. Kata fithri atau fithrah bermakna “asal kejadian”, “bawaan semenjak lahir”. Ia ialah naluri. Fitri juga memiliki arti “suci”, sebab kita dilahirkan dalam kondisi suci bebas dari dosa. Fithrah juga bermakna “agama” alasannya keberagamaan mengirim manusia mempertahankan kesuciannya. Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama (Islam) dalam kondisi lurus.

Fitrah Allah yang telah membuat manusia atasnya. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. Itulah agama yang lurus; tetapi pada umumnya insan tidak mengenali. (Q.S. Ar-Rum ayat 30).

Dengan beridul fitri, kita harus sadar bahwa asal peristiwa kita adalah tanah: Allah Yang menciptakan sebaik mungkin segala sesuatu yang Dia ciptakan dan Dia sudah memulai penciptaan manusia dari tanah. (Q.S. AsSajadah ayat 7)

Kita semua lahir, hidup dan akan kembali dikebumikan ke tanah. Dari bumi Kami membuat kau dan kepadanya Kami akan mengembalikan kau untuk dikuburkan dan darinya Kami akan membangkitkan kamu pada kali yang lain. (Q.S. Thaha ayat 55).

Kesadaran bahwa asal peristiwa manusia dari tanah, harus mampu mengantar manusia memahami jati dirinya. Tanah berlawanan dengan api yang merupakan asal insiden iblis. Sifat tanah stabil, tidak bergejolak mirip api. Tanah menumbuhkan, tidak membakar. Tanah diharapkan oleh insan, hewan dan tanaman — tetapi api tidak diharapkan oleh hewan, tidak juga oleh tanaman. Jika demikian, insan mestinya stabil dan konsisten, tidak bergejolak, serta selalu memberi manfaat dan menjadi andalan yang diperlukan oleh selainnya.

Infografik Terbakar Amarah

 kita melepas Ramadan yang insya Allah telah menempa hati Teks Naskah Khutbah Idul Fitri Quraish Shihab: Berkelompok dan Berbeda, Terbakar Amarah dan Transit

Bumi di mana tanah berada, beredar dan stabil. Allah menancapkan gunung-gunung di perut bumi supaya penghuni bumi tidak oleng – begitu firman-Nya dalam Q.S. An-Nahl ayat 15. Peredaran bumi pun mengelilingi matahari sedemikian konsisten! Kehidupan manusia di dunia ini pun terus beredar, berputar, sekali naik dan sekali turun, sekali bahagia di kali lain sulit.

Saudara, jikalau tidak tertancap dalam hati insan pasak yang berfungsi mirip fungsinya gunung pada bumi, maka hidup insan akan oleng, kacau acak-acakan. Pasak yang harus ditancapkan ke lubuk hati itu yakni iman wacana Ketuhanan Yang Maha Esa. Itulah salah satu alasannya adalah mengapa lebaran disambut dengan takbir.

  Teladan Teks Khutbah Jumat Muhammadiyah: Berhasil Mempergunakan Waktu

Kesadaran akan kedatangan dan keesaan Tuhan ialah inti keberagamaan. Itulah fithrah atau fitri insan yang atas dasarnya Allah membuat manusia (Q.S. Ar-Rum ayat 30).

Selanjutnya alasannya adalah manusia diciptakan Allah dari tanah, maka tidak aneh jika nasionalisme, patriotisme, cinta tanah air, merupakan fithrah yaitu naluri manusia. Tanah air ialah ibu pertiwi yang sangat mencintai kita sehingga mempersembahkan segala buat kita, kita pun secara naluriah mencintainya. Itulah fithrah, naluri manusiawi. Karena itulah, hubbu al-wathan minal iman, cinta tanah air ialah manfestasi dan dampak keimanan. Tidak heran kalau Allah menyandingkan akidah dengan tanah air (Q.S Al-Hasyr ayat 9).

Sebagaimana menyejajarkan agama dengan tanah air, Allah berfirman: Allah tidak melarang kau berlaku adil (memberi sebagian hartamu) terhadap siapapun – walau bukan muslim— selama mereka tidak memerangi kamu dalam agama atau menghalau kamu dari negeri kamu (Q.S. Al-Mumtahanah ayat 8). Demikian pembelaan agama dan pembelaan tanah air yang disejajarkan oleh Allah.

Saudara, (siapa) yang mengasihi sesuatu akan memeliharanya, menampakkan dan mendendangkan keindahannya serta menyempurnakan kekurangannya bahkan bersedia berkorban untuknya. Tanah air kita, yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, mesti dibangun dan dimakmurkan serta dipelihara persatuan dan kesatuannya. Persatuan dan kesatuan adalah anugerah Allah yang tidak ternilai.

“Seandainya engkau, siapapun engkau, menafkahkan segala apa yang di bumi untuk mempertautkan hati anggota penduduk , engkau tidak akan bisa, tetapi Allah yang mempertautkan hati mereka,” begitu Firman-Nya dalam Q.S. al-Anfal ayat 63.

Sebaliknya, perpecahan dan tercabik-cabiknya masyarakat ialah bentuk siksa Allah. Itulah antara lain yang diuraikan Al-Quran menyangkut penduduk Saba’, negeri yang tadinya dilukiskan Al-Quran sebagai baldatun thayyibatum wa rabbun ghafur, negeri makmur yang dinaungi ampunan Illahi tapi mereka durhaka dengan menganiaya diri mereka, menganiaya negeri mereka.

Maka Kami jadikan mereka buah bibir dan kami cabik-cabik mereka sepenuh pencabik-cabikan. (Q.S. Saba’ ayat 18).

Saudara, yang dikemukan ayat-ayat di atas yakni sunatullah. Itu yakni aturan kemasyarakatan yang kepastiannya tidak berbeda dengan kepastian “hukum-aturan alam”. Allah berfirman: “Sekali-kali engkau -– siapapun, kapan dan di mana pun engkau — tidak akan mendapatkan bagi sunnatullah satu pergantian pun dan sekali-kali engkau tidak akan mendapatkan bagi sunnatullah Allah sedikit penyimpangan pun.

Itulah yang terjadi di Uni Soviet dan Yugoslavia dan yang prosesnya mampu jadi yang kita saksikan remaja ini di sekian negara di Timur Tengah.

Allahu Akbar, Allah Akbar, Wa Lillahil Hamd.

Saudara-kerabat sekalian, Allah berpesan bahwa kalau hari raya fithrah datang, maka hendaklah kita bertakbir. ْKalimat takbir ialah satu prinsip lengkap menembus semua dimensi yang mengendalikan seluruh khazanah fundamental keimanan dan kegiatan insan. Dia yaitu pusat yang beredar, di sekelilingnya sejumlah orbit unisentris serupa dengan matahari, yang beredar di sekelilingnya planet-planet tata surya. Di sekeliling tauhid itu beredar kesatuan-kesatuan yang tidak boleh berpisah atau memisahkan diri dari tauhid, sebagaimana halnya planet-planet tata surya — karena jika berpisah akan terjadi peristiwa kehancuran.

Kesatuan-kesatuan tersebut antara lain. Pertama, kesatuan seluruh makhluk alasannya adalah semua makhluk kendati berlawanan-beda namun semua diciptakan dan di bawah kendali Allah. Itulah “wahdat al-wujud/Kesatuan wujud” – dalam pengertiannya yang otentik.

Kedua, kesatuan kemanusiaan. Semua insan berasal dari tanah, sejak Adam, sehingga semua sama kemanusiaannya. Semua mesti dihormati kemanusiaannya, baik masih hidup maupun telah wafat, walau mereka durhaka. Karena itu: Siapa yang membunuh seseorang tanpa argumentasi yang benar, maka dia bagaikan membunuh semua insan dan siapa yang memberi kesempatan hidup bagi seseorang maka dia bagaikan telah membangkitkan semua manusia.“ [Q.S. al-Maidah ayat 32]

  Khutbah Jumat Yang Sungguh Menyedihkan: 7 Golongan Yang Di Lindungi Allah Pada Hari Kiamat

Memang jikalau ada yang manusia yang berbagi teror, menghalangi tegaknya keadilan, menempuh jalan yang bukan jalan kedamaian, maka kemanusiaan mesti mencegahnya. Hal ini dikarenakan, menurut Q.S. Al-Hajj ayat 40: Seandainya Allah tidak mengizinkan insan menghalangi yang lain melakukan penganiayaan pasti akan diruntuhkan biara-biara, gereja-gereja, sinagog-sinagog, dan masjid-masjid, yang merupakan kawasan-daerah yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Tetapi Allah tidak mengharapkan roboh-robohnya kawasan-tempat peribadatan itu. Karena itu pula kemanusiaan harus bersifat adil dan beradab.

Ketiga, di sentra tauhid beredar juga kesatuan bangsa. Kendati mereka berlainan agama, dan suku, berlainan dogma atau persepsi politik, mereka semua bersaudara, dan berkedudukan sama dari kebangsaan. Karena itu sejak zaman Nabi Muhammad SAW., ia sudah memperkenalkan perumpamaan “Lahum Ma Lanaa Wa ‘Alaihim Maa ‘Alaina”. Mereka yang tidak seagama dengan kita mempunyai hak kewargaan sebagaimana hak kita kaum muslimin dan mereka juga mempunyai keharusan kewargaan sebagaimana kewajiban kita.

Dan alasannya adalah itu pula, pemimpin tertinggi Al-Azhar, Prof. Dr. Ahmad At-Thayyib, berkata: “Dalam tinjauan kebangsaan dan kewargaannegaraan, tidak masuk akal ada istilah dominan dan minoritas alasannya semua telah sama dalam kewargaan negara dan lebur dalam kebangsaan yang serupa.”

Kesadaran ihwal kesatuan dan persatuan itulah yang mengharuskan kita duduk bareng bermusyawarah demi kemaslahatan dan itulah makna “kerakyatan yang dipimpin oleh pesan tersirat budi dalam permusyawatan perwakilan”. ْ

Saudara, kesadaran ihwal kesamaan dan kebersamaan itu merupakan salah satu alasannya adalah mengapa dalam rangkaian idul fithri, setiap muslim berkewajiban menunaikan zakat fitrah yang ialah simbol kepedulian sosial serta upaya kecil dalam berbagi keadilan sosial. Selain kesatuan-kesatuan di atas, masih banyak lainnya, mirip: kesatuan suami isteri, yakni kendati mereka berbeda jenis kelamin tetapi mereka mesti menyatu. Tidak ada lagi yang berkata “saya” tetapi “kita”, alasannya adalah mereka sama-sama hidup, sama-sama cinta serta sama-sama menuju tujuan yang serupa.

Akhirnya, walau bukan yang terakhir, perlu juga disebut kesatuan jati diri insan yang berisikan ruh dan jasad. Penyatuan jiwa dan raga, mengirim “hewan cerdas yang menyusui” ini menjadi insan utuh sehingga tidak terjadi pemisahan antara keimanan dan pengamalan, tidak juga antara perasaan dan sikap, tindakan dengan akhlak, idealitas dengan realitas. Akan tetapi, masing-masing ialah bagian yang saling melengkapi. Jasad tidak mengalahkan ruh dan ruh pun tidak merintangi kebutuhan jasad.

Kecenderungan individu memperkukuh keutuhan kolektif dan kesatuan kolektif mendukung kepentingan individu. Pandangan tidak cuma terpaku di bumi dan tidak juga hanya mengawang-awang di angkasa. Demikian itulah insan yang ber-‘idul fithri, yang kembali ke asal kejadiannya.

Anda mendapatkan dia teguh dalam keyakinan. Teguh tetapi bijaksana, selalu higienis walau miskin, hemat dan sederhana walau kaya, murah hati dan murah tangan, tidak menghina dan tidak mengejek, tidak menyebar fitnah tidak menuntut yang bukan haknya dan tidak menahan hak orang lain.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Wa lillahil Hamd.

Saudara, kitab suci Al-Qur’an menguraikan bahwa sebelum insan diperintahkan ke bumi, Allah memerintahkannya transit apalagi dulu di surga. Itu dimaksudkan agar Adam dan ibu kita Hawa menemukan pelajaran berharga di sana. Di nirwana, hidup bersifat sejahtera. Di sana, menurut Al-Qur’an Surah Thaha ayat 118-119, “tersedia sandang, papan dan pangan yang merupakan tiga keperluan utama insan. Di sana juga tidak terdengar, jangankan ujaran kebencian, ucapan yang tidak berguna pun tidak ada wujudnya. Yang ada cuma damai… tenang dan tenang.

Infografik Transit

 kita melepas Ramadan yang insya Allah telah menempa hati Teks Naskah Khutbah Idul Fitri Quraish Shihab: Berkelompok dan Berbeda, Terbakar Amarah dan Transit

Mereka tidak mendengar di dalamnya perkataan yang sia-sia dan tidak pula yang menyebabkan dosa, akan namun ucapan salam lagi sejahtera. (Q.S. Al-Waqiaah ayat 25-26).

  Khutbah Jumat Lengkap Dengan Rukunnya: Menuju Insan Kamil

Situasi demikian, dialami oleh manusia terbaru pertama itu, bukan saja agar bila mereka tiba di pentas bumi mereka rindu terhadap nirwana sehingga berusaha kembali ke sana, tetapi juga agar berupaya merealisasikan bayang-bayang nirwana itu dalam kehidupan di bumi ini, ialah hidup makmur, tercukupi keperluan utama setiap individu, dalam suasana damai, bebas dari rasa takut yang mencekam, bebas juga dari kesedihan yang berlarut. ْ

Saudara! Di surga juga keduanya menghadapi akal kancil iblis dan mengalami kepahitan balasan memperturutkannya. Sementara pakar berkata bahwa kata “iblis” terambil dari bahasa Yunani Kuno yakni Diabolos, yang bermakna “sosok yang memfitnah, yang memecah belah”. Iblis memfitnah Tuhan dengan berkata bahwa Allah tidak melarang Adam dan pasangannya merasakan buah terlarang, kecuali sebab Allah enggan keduanya menjadi malaikat atau hidup infinit (Q.S. Al-’Araf ayat 20). Iblis memfitnah, memecah belah, dan menanamkan praduga buruk.

Dengan beridul fitri, kita hendaknya sadar tentang peranan Iblis dan pengikut-pengikutnya dalam menyebar luaskan fitnah dan hoax serta menanamkan prilaku jelek serta untuk memecah belah persatuan dan kesatuan.

Saudara, Al-Qur’an melukiskan bahwa mempercayai ujaran Iblis, mengakibatkan tanggalnya pakaian Adam dan Hawa. (Q.S. Al-araf ayat 27). Pakaian yakni hiasan, busana juga menandai identitas dan melindungi manusia dari sengatan panas dan hambar sambil menutupi bab yang enggan diperlihatkan. Selama bulan pahala ini, kita menenun pakaian takwa dengan nilai-nilai luhur.

Nilai yang sudah disepakati oleh bangsa kita yakni nilai-nilai yang bersumber dari agama dan budaya bangsa yang tersimpul dalam Pancasila. Itulah busana kita selaku bangsa. Itulah yang membedakan kita dari bangsa-bangsa lain. Itulah hiasan kita dan itu pula yang dengan menghayatinya kita dapat terlindungi — atas sumbangan Allah — dari aneka sengatan panas dan cuek, dari aneka ancaman yang mengusik keberadaan kita sebagai bangsa.

Allah berpesan: Jangan menjadi seperti seorang perempuan gila dalam cerita usang yang merombak kembali tenunannya sehelai benang demi sehelai sehabis ditenunkannya (Q.S. An Nahl ayat 92).

Saudara-kerabat, para ‘Â’idîn dan ‘Â’idât, yakinlah bahwa kita mempunyai nilai-nilai luhur yang dapat mengantarkan kita ke harapan proklamasi. Tetapi agaknya kita kurang bisa merekat nilai-nilai itu dalam diri dan kehidupan bermasyarakat. Nilai-nilai inilah yang membentuk kepribadian anggota penduduk ; semakin matang dan dewasa penduduk , kian mantap pula pengejawantahan nilai-nilai tersebut. Masyarakat yang sakit yakni yang mengabaikan nilai-nilai tersebut.

Ada orang atau masyarakat yang sakit tetapi tidak menyadari bahwa dia sakit. Sayyidina Ali pernah berucap melukiskan keadaan seseorang atau penduduk : “Penyakitmu disebabkan oleh ulahmu tapi engkau tidak lihat obatnya ada di tanganmu tapi engkau tak sadar.”

Keadaan yang lebih parah adalah tahu dirinya sakit, obat pun telah dimilikinya, tetapi obatnya ia buang jauh-jauh. Semoga bukan kita yang demikian.

Akhirnya, mari kita jadikan ‘idul fithri, selaku saat-saat untuk membina dan memperkukuh ikatan kesatuan dan persatuan kita, menyatupadukan hubungan kasih sayang antara kita semua, sebangsa dan setanah air.

Marilah dengan hati terbuka, dengan dada yang lapang, dan dengan muka yang jernih, serta dengan tangan terulurkan, kita saling memaafkan, sambil mengibarkan bendera as-Salâm, bendera kedamaian di tanah air tersayang, bahkan di seluruh penjuru dunia.

“Ya Allah, Engkaulah as-Salâm (kedamaian), dari-Mu bersumber as-Salâm, dan kepada-Mu pula kembalinya. Hidupkanlah kami, Ya Allah, di dunia ini dengan as-Salâm, dengan aman dan hening, dan masukkanlah kami kelak di negeri as-Salâm (surga) yang penuh kedamaian. Maha Suci Engkau, Maha Mulia Engkau, Yâ Dzal Jalâli wal Ikrâm.