Tawa Gadis Padang Sampah | Cerpen Ahmad Tohari


Oleh: Ahmad Tohari


Korep, Carmi, & Sopir Dalim yakni tiga diantara banyak manusia yg sering tiba ke padang pembuangan sampah di pinggir kota. Dalim pasti insan sampaumur, sopir truk sampah berwarna kuning dgn dua awak. ia pegawai negeri, suka lepas-pakai kacamatanya yg berbingkai tebal. Carmi sesungguhnya masih terlalu muda untuk disebut gadis. Korep anak laki-laki yg punya noda bekas luka di atas matanya. Keduanya pemulung paling belia di antara warga padang sampah.

Sopir Dalim sesungguhnya pemulung juga. ia mengontrol kedua pembantunya supaya memulung barang-barang bekas paling baik tatkala sampah masih di atas truk. Perintah itu diberikan khususnya tatkala truknya memuat sampah dr rumah-rumah amat megah di Jalan Anu. Ikat pinggang kulit yg dipakai Sopir Dalim pula barang pulungan. Katanya, itu barang produksi Perancis yg dibuang oleh pemiliknya hanya karena ada sedikit noda tabrakan. Katanya lagi, pada umumnya penghuni rumah-rumah megah itu hanya mau memakai barang-barang terbaik tanpa noda sekecil apapun.

Ketika Korep & Carmi memasuki padang sampah, wangi busuk belum begitu terasa. Sinar matahari masih terhambat pepohonan di segi timur sehingga padang sampah belum terpangpang. Nanti menjelang tengah hari padang sampah akan terjerang & amis busuk akan menguap memenuhi udara. Sopir Dalim sering mengingatkan Carmi & Korep, jangan suka berlama-usang berada di tengah padang. “Sudah banyak pemulung meninggal karena sakit, paru-parunya membusuk,” katanya. Entahlah, Sopir Dalim merasa perlu mengingatkan Carmi & Korep. ia sendiri tak tahu kenapa hatinya bersahabat dgn kedua anak itu; barangkali alasannya adalah Korep & Carmi adalah dua pemulung paling bocah di padang sampah.

Belasan pemulung sudah bangkit berkerumun di segi selatan. Mereka sedang menunggu truk sampah datang. Ada pemulung perempuan memasang puntung rokok di mulutnya. Lalu bergerak ke sana-kemari meminta api. Ada tangan terjulur ke arah mulutnya. Api menyala & asap secepatnya mengepul. Tetapi wanita itu kemudian berteriak. Rupanya tangan lelaki pemegang korek api kemudian mencolek pipinya. ia kejar si lelaki & balas mencubit punggungnya. Mereka bergelut. Mendadak timbul tontonan yg semarak. Korep & Carmi ikut bersorak-sorak. Ada luapan sukacita & teriakan-teriakan yg riuh. Begitu riuh sehingga burung-burung gereja yg sedang cari makan di tanah serempak melayang ke udara. Seekor anjing yg merasa terusik segera menghilang di balik mesin pengeruk sampah yg sudah lama rusak, menjadi sampah juga.

Truk yg dibawa Sopir Dalim masuk. Dan dlm satu detik suasana berganti. Kerumunan para pemulung buyar. Mereka berlari di belakang sampai truk berhenti. Pada detik sampah tercurah terjadilah situasi yg sungguh ribut. Belasan pemulung tergolong Korep & Carmi berubah layaknya sekandang ayam kelaparan yg ditebari pakan; berebut, saling desak, saling mendahului, saling dorong. Mereka berebut mengais sampah mencari apa saja selain popok, kain pembalut atau bangkai tikus.

  Mustajab dan Pak Bupati | Cerpen Sigit Widiantoro

Korep mendapat dua mangga separuh busuk. Carmi ceritanya lain. Mata Carmi tertegun tatkala ada barang jatuh dr kolam truk menimpa kepalanya. Itu satu sepatu sebelah kanan yg cantik ukuran tanggung. Carmi segera mengambil sepatu itu. O, ia sering berimajinasi menggunakan sepatu seperti itu. Dalam mimpinya Carmi melihat betisnya amat bersih & berisi, & kian indah karena bersepatu. Carmi sungguh-sungguh berdebar. ia makin keras mengais-kais tumpukan sampah dgn tangan untuk memperoleh sepatu yg kiri. Keringat membasahi kening & pipinya, tetapi Carmi gagal. Maka ia menegakkan punggung & menyaksikan sekeliling; barangkali sepatu yg satunya ada di sana. Atau ditemukan oleh pemulung lain. Gagal juga. Maka Carmi berhenti kemudian meninggalkan timbunan sampah. ia bahkan membuang kembali tiga gelas plastik bekas air bungkus yg sudah didapatnya.

Di tepi padang sampah ia coba memasang sepatu itu pada kaki kanan. Hatinya kembali berdebar alasannya sepatu itu terasa begitu nyaman di kakinya. Dilepas & dibersihkan dgn remasan kertas koran. Setelah agak higienis dipasang lagi. Carmi bangkit, berputar & mengangkat-angkat kaki kanan agar mampu memandang dgn seksama bagaimana sepatu itu menghiasi kakinya. Sungguh, ia berharap besok atau kapan sepatu yg kiri akan sampai pula ke padang sampah ini. Siapa tahu. Ya, siapa tahu. Bukankah benda apa saja mampu hingga ke sini?

Korep datang & pribadi tertawa melihat ulah temannya. Carmi merengut. ia tersinggung tetapi tak mau merespon ulah Korep. Atau mata Carmi lebih tertarik pada dua mangga di tangan Korep. Carmi lega sebab Korep tanggap. Apalagi Korep tak meneruskan bicara soal sepatu di kaki kanannya.

Kita makan mangga saja. Ayo.” Ajak Carmi sambil memasukkan sepatu yg hanya sebelah itu ke kantung plastik kuning. Korep nyengir, namun ia merasa usul Carmi menawan juga. Maka Korep & Carmi bergerak ke segi timur. Di sana ada pohon ketapang yg rindang. Korep mengeluarkan pisau kecil dukungan Sopir Dalim. Satu mangga ada di tangan kiri. Dengan sekali gerak tersayatlah mangga itu sempurna pada batas yg busuk. Carmi memandang permukaan sayatan yg berwarna kuning segar. Liur Carmi terbit, tetapi kemudian bergidik alasannya adalah ada dua belatung muncul di permukaan sayatan. Korep tertawa, lalu membuat sayatan lagi, lebih ke dalam. Kali ini kepingan mangga yg busuk sungguh-sungguh hilang. “Siapa bilang mangga separuh busuk tak yummy disantap, iya kan?” Kata Korep sambil menyodorkan satu iris daging mangga tanpa busuk pada Carmi. “Iya, kan?” Carmi hanya tertawa. Korep memandang deretan gigi Carmi yg memang yummy dilihat.

*****


Setiap hari Carmi menenteng-bawa kantung plastik kuning berisi sepatu sebelah kanan. Akhirnya siapa pun tahu gadis kecil itu masih menunggu sepatu yg sebelah kiri. Mereka merasa iba. Itu nyaris mustahil. Namun pada Carmi semua pemulung berjanji akan membantunya. Sopir Dalim bahkan punya ide yg luar biasa. ia akan menyuruh kedua awak truknya mengunjungi setiap rumah di Jalan Anu. Keduanya akan disuruh bertanya pada pembantu, sopir, atau tukang kebun di sana, apa mereka tahu di mana sepatu kiri yg sedang dinantikan Carmi.

  Eksis | Cerpen Yudhistira ANM Massardi

Tetapi pemikiran Sopir Dalim yg cemerlang itu tak usah dikerjakan. Beberapa hari setelah penemuan sepatu kanan oleh Carmi, Sopir Dalim digoda oleh kedua pembantunya. Saat itu ia tengah mengemudikan truk di jalan raya. Tiba-tiba di depan matanya, diluar beling ruang kemudi ada sepatu kiri yg bergerak turun naik. Pasti sepatu itu diikat dgn tali panjang & ujungnya dipegangi oleh pembantunya di bak truk. Dengan serta-merta Sopir Dalim menginjak pedal rem. Bunyi derit ban menggasak permukaan aspal. Di atas kolam truk kedua pembantu terhuyung & rubuh ke depan.

Sopir Dalim melompat turun, eksklusif melepas kacamata. Kedua awak truk pula turun. Salah satunya menyerahkan sepatu kiri itu pada Sopir Dalim yg kemudian tersenyum lebar. Sambil memegangi gagang kacamata ia mengucapkan kebanggaan pada Tuhan hingga tiga kali.

Kamu temukan di mana?

Ya di bak sampah depan rumah di Jalan Anu, nomer berapa, lupa.

Cukup. Di mana sepatu kiri ini ananda temukan bukan hal yg penting.

Sopir Dalim berhenti bicara alasannya adalah mau melepas kacamata & memakainya lagi. Kini ia memijit-mijit dahi, terkesan sedang berpikir keras. Perilaku Sopir Dalim membuat dua pembantunya bertanya-tanya. Mikir perihal apa lagi? Bukankah cuma tinggal satu hal: menyerahkan sepatu kiri ini pada Carmi?

Nanti ananda yg menyerahkan sepatu ini pada Carmi.” Ini perintah Sopir Dalim pada pembantu yg bercelana pendek. Yang ditunjuk mengangkat paras alasannya adalah agak terkejut.

Sebaiknya Pak Dalim saja.

Ya betul, seharusnya Pak Dalim saja,” kata pembantu yg bercelana panjang. ia mendukung temannya. Sopir Dalim mendesah lalu melepas kacamata. Sebelum memakainya lagi ia berbicara dgn bunyi tertekan.

Ah, kalian tak tahu. Masalahnya, gue tak sampai hati menyaksikan Carmi pada detik ia menerima sepatu ini. Carmi mungkin akan melonjak-lonjak, tertawa-tawa, atau bahkan menjerit-jerit karena begitu girang. Barangkali matanya akan berbinar-binar atau sebaliknya, berlinang-linang. Ah, cuma alasannya adalah suatu sepatu bekas yg diambil dr tempat sampah hati Carmi akan berbunga-bunga. Aku tak akan tega menyaksikannya. Itu akan terasa amat pahit di hati. Kalian bisa tega?

  Pohon Keramat | Cerpen M Dawam Rahardjo

Tanpa menunggu balasan Sopir Dalim menetapkan lain. Sepatu kiri itu akan ditaruh di bawah pohon ketapang di segi timur. Carmi & Korep biasa berteduh di sana pada waktu tengah hari. Semua setuju, maka Sopir Dalim melompat ke ruang kemudi dgn sepatu kiri itu di tangannya. Kedua pembantu naik ke atas kolam & truk pun bergerak menuju padang sampah.

Saat matahari sempurna di atas padang sampah semua pemulung menepi ke empat segi. Mereka akan menata hasil pemulungan, memasukkan ke dlm karung atau mengikatnya dgn tali plastik. Carmi pula menepi. ia mendapatkan belasan gelas plastik bekas bungkus air minum, disusun rapi sehingga gampang dibawa. Di tangan kiri masih ada kantung plastik kuning berisi sepatu kanan. Beriringan dgn Korep yg membawa seraup mangga separuh busuk, Carmi bergerak ke sisi timur menuju kerindangan pohon ketapang.

Ketika udara di padang sampah amat panas, tanpa angin, amis busuk mengembang ke mana-mana, burung gereja berdatangan, pula anjing-anjing; siapakah yg kemudian mendengar Carmi tertawa keras dibarengi teriakan hore berkali-kali? Tawa keras itu terasa selaku pelampiasan rasa gembira berlebihan sehingga terdengar memilukan hati?

Yang mendengar tawa Carmi belasan pemulung di padang sampah. Dan hanya mereka pula yg mampu memaknai dgn sempurna serta menghayati sepenuhnya tawa gadis kecil pemulung itu. Maka lihatlah, para pemulung bangkit & tersenyum tatkala memandang Carmi & Korep pergi memnggalkan padang sampah. Carmi tertawa-tawa, tentu alasannya adalah ada sepasang sepatu di kakinya Tetapi kedua bocah pemulung itu mau ke mana kiranya? Semua warga padang sampah tahu Carmi & Korep tidak mempunyai rumah untuk pulang. (*)


Ahmad Tohari, lahir di Banyumas, 13 Juni 1948. Sekarang menetap di Desa Tinggarjaya, Jatilawang, Purwokerto, Jawa Tengah. Karyanya yg paling populer novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk. Kumpulan cerpennya, Senyum Karyamin, Nyanyian Malam, & Mata yg Enak Dipandang. Buku-buku lainnya berupa novel: Kubah (1982), Di Kaki Bukit Cibalak (1977), Bekisar Merah (1993), Lingkar Tanah Lingkar Air (1995), Belantik (2001), & Orang-orang Proyek (2002). Tohari hingga kini telah menulis delapan novel. Sampai kini di kampung halamannya ia tetap produktif menulis & menjadi pembicara di sejumlah kota.