Tata Cara Pendidikan Nasional

BAB I
PENDAHULUAN
Sistem pendidikan di suatu negara didasarkan atas falsafah hidup negara itu sendiri. Falsafah hidup negara menggambarkan aspirasi rakyat dan pemerintah yang membuat metode pendidikan itumempunyai kekhusussan. Negara-negara barat yang mempunyai falasafah hidup rasional, materialis dan progmatis membuat metode pendidikannya yang bercorak rasionalis, progmatis dan materialis. Begitu pulalah

falsafah negara kita adalah pancasila, membuat metode pendidikan nasional indonesia bercorak khusus indonesia yang tidak dijumpai pada tata cara pendidikan lainnya. Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berakar pada budaya bangsa yang berdasarkan pada pancasila dan undang-undang dasar 1945.[1]

Dengan demikian pendidikan bukanlah sebuah proses yang yang sembarangan yang tanpa perencanaan dan tanpa perorganisasian. Bila pendidikan ialah suatu kegiatan, pasti ada banyak komponen yang menopang setiap aktivitas tersebut. Komponen tersebut saling bergantung, saling berhubungan, dan saling menentukan. Tepatnya menurut Jalaluddin, pendidikan ialah kumpulan acara dari sebuah sistem.[2]
Untuk itu dalam makalah ini, penulis akan suguhkan materi Ilmu Pendidikan Islam dengan topik Sistem Pendidikan Islam di Indonesia yang terdiri atas beberapa sub topik yaitu:
1.       Analisis metode pendidikan nasional
2.       Kedudukan pendidikan islam dalam metode pendidikan nasional
3.       Peran pendidikan islam dalam sistem pendidikan nasional
4.       Peran metode pendidikan nasional dalam pengembangan pendidikan islam  
Semoga makalah ini mampu menawarkan wawasan yang lebih luas kepada pembaca terlebih bagi penulis. Walaupun makalah ini memiliki keunggulan dan kekurangan. Penulis mohon untuk anjuran dan kritiknya. Terima kasih.
BAB II
PEMBAHASAN
A.   Analisis Sistem Pendidikan Nasional
Berbicara soal pendidikan dari dahulu sampai kini tidak ada habisnya, terlebih mewujudkan system pendidikan nasional yang notabene untuk mengembangkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang dikelola dengan undang-undang. Pendidikan dalam hal ini dapat dilihat selaku pengupayaan manusia sejatinya, disengaja, terarah, dan tertata sedemikian rupa menuju pembentukan insan yang ideal bagi kehidupannya.
Dengan demikian mampu dibilang bahwa pendidikan ialah penyediaan kondisi yang baik untuk menjadikan perilaku memiliki peluang yang dianugerahkan terhadap manusia tidak lagi sebatas kecenderungan manusia namun benar-benar actual dalam kenyataan kehidupannya. Sedemikian berartinya pendidikan bagi insan maka sudah seharusnya pendidikan di tata dan disediakan sebaik mungkin untuk merealisasikan keinginan pemerintah (system pendidikan nasional).
Pendidikan diartikan sebagai perjuangan sadar yang dilaksanakan oleh pendidik melalui bimbingan, pengajaran dan latihan untuk membantu penerima asuh menjalani proses diri ke arah tercapainya pribadi yang akil balig cukup akal.[3] Sehingga diharapkan pendidik dapat melakukan tutorial serta pengajaran kepada peserta latih sampai pada akibatnya penerima ajar menjadi eksklusif yang sampaumur. Sejarah pendidikan merupakan uraian yang sistematis dari segala sesuatu yang telah diuraikan dan dilakukan dalam lapangan pendidikan pada waktu yang telah lampau.[4]
        
1.     Sejarah dan Fakta Pendidikan Nasional
Pendidikan Nasional Indonesia dimulai semenjak Indonesia belum merdeka hingga sekarang. Pendidikan sebelum Indonesia merdeka dibedakan menjadi 3, ialah:
a.   Pendidikan Tradisional, ialah penyelenggaraan pendidikan di nusantara yang dipengaruhi oleh agama-agama besar dunia, mirip Hindu, Budha, Islam dan Nasrani (Katolik dan Protestan).
b.   Pendidikan Kolonial Barat, yaitu penyelenggaraan pendidikan di nusantara Indonesia oleh pemerintah kolonial Barat, utamanya oleh pemerintah kolonial Belanda.
c.    Pendidikan Kolonial Jepang, yaitu penyelenggaraan pendidikan di nusantara Indonesia oleh pemerintah militer Jepang dalam zaman Perang Dunia II.
Setelah dibacakannya teks Proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945, mulailah Indonesia menyusun metode pendidikannya secara berdikari. Pada tangal 18 Agustus 1945 Indonesia memutuskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 selaku dasar negara. UUD 1945 sendiri menjadi landasan undang-undang untuk menertibkan Sisdiknas sampai kini dengan landasan pasal 31 dan 32 dalam Undang-Undang Dasar 1945 tersebut. Setelah itu pada tanggal 4 April 1950 Pemerintah RI yang berpusat di Yogyakarta mengadakan UU No 4 Tahun 1950 wacana dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di sekolah.
Kemudian UU ini di berlakukan untuk seluruh kawasan Negara kesatuan republik Indonesia yang sudah diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, melalui UU No 12 tahun 1954 ihwal pernyataan berlakunya UU No 4 Tahun 1950 ihwal dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah. Setelah masuk pada zaman demokrasi terpimpin, disamping UU No 12 Tahun 1954 tentang pernyataan berlakunya UU No 4 Tahun 1950, Pada tanggal 14 Desember 1961 diberlakukan UU No 22 Tahun 1961 wacana Perguruan Tinggi dan dijadikan sebagai dasar Sistem Persekolahan.
Setelah itu di tahun 1965 timbul UU No 14 PRPS Tahun 1965 perihal Majelis Pendidikan Nasional dan UU No 19 PNPS Tahun 1965 ihwal pokok-pokok Pendidikan Nasional. Setelah itu Sisdiknas mulai meningkat menyesuaikan perkembangan SDM di Indonesia, terbukti pada tanggal 27 Maret 1989 diberlakukan UU No 2 Tahun 1989 perihal Sisdiknas yang didalamnya selain pendidikan sekolah, diberlakukan juga pendidikan luar sekolah guna mencerdaskan kehidupan bangsa yang menjadi tujuan dari UU tersebut.[5]
Dalam UU No.20 tahun 2003 wacana Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 3 disebutkan bahwa, Pendidikan nasional berfungsi menyebarkan kemampuan dan membentuk budpekerti serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi penerima bimbing biar menjadi insan yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, arif, piawai, kreatif, mampu berdiri diatas kaki sendiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[6]
Berdasarkan definisi ini, mampu dipahami bahwa pendidikan nasional berfungsi sebagai proses untuk membentuk kecakapan hidup dan abjad bagi warga negaranya dalam rangka merealisasikan peradaban bangsa Indonesia yang bermartabat. Namun, meskipun nampak ideal namun arah pendidikan yangmuncul justru yaitu sekularisme yakni pemisahan peranan agama dalam pengaturan problem-masalah kehidupan secara menyeluruh. Dalam UU Sisdiknas tidak disebutkan bahwa yang menjadi landasan pembentukan kecakapan hidup dan karakter akseptor ajar yaitu nilai-nilai dari aqidah Islam, melainkan justru nilai-nilai dari demokrasi.
Keterpurukan yang diakibatkan dari penerapan sistem pendidikan nasional yang sekuler antara lain:
a.   Berdasarkan hasil survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berpusat di Hongkong pada tahun 2001 saja menyebutkan bahwa tata cara pendidikan di Indonesia terburuk di daerah Asia, adalah dari 12 negara yang disurvei, Korea Selatan dinilai memiliki metode pendidikan terbaik, disusul Singapura, Jepang dan Taiwan, India, Cina, serta Malaysia. Indonesia menduduki urutan ke-12, setingkat di bawah Vietnam.[7]
b.   Laporan United Nations Development Program (UNDP) tahun 2004 dan 2005, menyatakan bahwa Indeks pembangunan manusia di Indonesia ternyata tetap buruk. Tahun 2004 Indonesia menempati urutan ke-111 dari 175 negara. Tahun 2005 IPM Indonesia berada pada urutan ke 110 dari 177 negara. Posisi tersebut tidak jauh berlainan dari tahun sebelumnya. Berdasarkan IPM 2004, Indonesia menempati posisi di bawah negara-negara miskin seperti Kirgistan (110), Equatorial Guinea (109) dan Algeria (108). Bahkan bila daripada IPM negara-negara di ASEAN mirip Singapura (25), Brunei Darussalam (33) Malaysia ( 58), Thailand (76), sedangkan Filipina (83). Indonesia hanya satu tingkat di atas Vietnam (112) dan lebih baik dari Kamboja (130), Myanmar (132) dan Laos (135).
c.   Badan Narkotika Nasional (BNN) menyebutkan jumlah pengguna narkoba di lingkungan pelajar Sekolah Dasar, SMP, dan Sekolah Menengan Atas pada tahun 2006 meraih 15.662 anak.
d.   Pencapaian APK (Angka Partisipasi Kasar) dan APM (Angka Partisipasi Murni) selaku indikator keberhasilan acara pemerataan pendidikan oleh pemerintah, sampai tahun 2003 secara nasional ketercapaiannya ternyata masih rendah, hal ini didasarkan pada indikator: (1) anak putus sekolah tidak mampu mengikuti pendidikan (usia 7-15) sekira 693.700 orang atau 1,7%, (2) putus sekolah Sekolah Dasar/MI ke Sekolah Menengah Pertama/MTs dan dari Sekolah Menengah Pertama/MTs ke jenjang pendidikan menengah mencapai 2,7 juta orang atau 6,7% dari total masyarakatusia 7-15 tahun (Pusat Data dan Informasi Depdiknas, 2003). Rasio partisipasi pendidikan rata-rata cuma mencapai 68,4 persen. Bahkan, masih ada sekitar 9,6 persen masyarakatberusia 15 tahun ke atas yang buta abjad.
e.   Data dari Balitbang Depdiknas 2003 yang menyebutkan bahwa porsi ongkos pendidikan yang ditanggung orang tua/siswa berkisar antara 63,35%-87,75% dari ongkos pendidikan total.
f.    Kebijakan UN yang banyak ditentang oleh penduduk alasannya adalah dinilai diskriminatif dan hanya memboroskan budget pendidikan, antara lain ditentang oleh Koalisi Pendidikan yang berisikan Lembaga Advokasi Pendidikan (LAP), National Education Watch (NEW), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), The Center for the Betterment Indonesia (CBE), Kelompok Kajian Studi Kultural (KKSK), Federasi Guru Independen Indonesia (FGII), Forum Guru Honorer Indonesia (FGHI), Forum Aksi Guru Bandung (FAGI-Bandung), For-Kom Guru Kota Tanggerang (FKGKT), Lembaga Bantuan Hukum (LBH-Jakarta), Jakarta Teachers and Education Club (JTEC), dan Indonesia Corruption Watch (ICW), berdasarkan kajian terhadap UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Kepmendiknas No. 153/U/2003 ihwal Ujian Akhir Nasional, Koalisi Pendidikan menemukan beberapa kesenjangan.
g.   Rendahnya tingkat kesejahteraan guru yang besar lengan berkuasa terhadap rendahnya mutu pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005.
h.   Realisasi anggaran pendidikan yang masih sedikit. Ketentuan anggaran pendidikan dalam UU No.20/2003 pasal dinyatakan bahwa Dana pendidikan selain honor pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan sekurang-kurangnya20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) (ayat 1).
i.     Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan semenjak tahun 1990 membuktikan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S1 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada era yang sama kemajuan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan ialah 13,4%, 14,21%, dan 15,07%.
Data di atas merupakan beberapa indikator yang menunjukan betapa tata cara pendidikan nasional kita saat ini tengah didera oleh aneka macam problematika, yang pada akhirnya penyelenggaraan pendidikan tidak dapat menunjukkan penyelesaian kepada urusan pembentukan abjad manusia yang berakhlak mulia, pembentukan kemampuan hidup, penguasaan IPTEK untuk peningkatan mutu dan taraf hidup masyarakat, serta memecahkan aneka macam problematika kehidupan lainnya. Padahal diantara tujuan semula pendidikan yakni untuk itu semua.
2.     UU No. 20 Tahun 2003 serta kebijakan-kebijkan yang terkait dengannya
Salah satu alat kebijakan pemerintah yang ter independensi dengan kebijakan-kebijakan publik lainnya adalah penyusunan rencana pendidikan. Proses penyusunan rencana pendidikan di Indonesia diarahkan pada relevansi, efesiensi, dan efektivitas, tetapi optimalisasi kinerja administrasi pendidikannya belum berjalan sesuai dengan harapan.[8]
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 sudah bertahan untuk dikala ini kurang lebih selama 12 tahun. Angka tersebut ialah angka yang cukup matang untuk terlaksananya suatu kualitas pendidikan yang kian tinggi dan bermutu. Namun pada selesai-tamat ini hukum yang terdapat dalam undang-undang tersebut banyak yang kurang atau bahkan tidak cocok lagi dengan pertumbuhan negara Indonesia ketika ini. Berdasarkan pendapat dari H. A. R Tilaar bahwa:
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional menggarisbawahi perlunya janji pemerintah kepada pendidikan. Namun dalam APBN/ APBD justru dikalahkan oleh suatu peraturan pemerintah. Kurangnya komitmen pemerintah pusat dan daerah untuk menimbulkan pendidikan sebagai titik tolak reformasi masyarakat dan bangsa Indonesia menuju masyarakat yang cerdas dan demokratis bekerjsama telah terlihat di dalam ketiadaan arah pengembangan pendidikan nasional.[9]
Sebagai salah satu subsistem di dalam metode negara/pemerintahan, keterkaitan pendidikan dengan subsistem lainnya sangat saling membutuhkan, saling berketergantungan, serta saling melengkapi.
3.     Analisis UU No. 20 Tahun 2003
Sistem pendidikan nasional bertujuan untuk menunjukkan arah kepada semua kegiatan pendidikan dalam satuan-satuan pendidikan yang ada. Tujuan pendidikan nasional tersebut merupakan tujuan biasa yang hendak dicapai oleh semua satuan pendidikannya. Meskipun setiap satuan pendidikan tersebut mempunyai tujuan sendiri, tetapi tidak terlepas dari tujuan pendidikan nasional.
a.   Penyelenggaraan Otonomi Pendidikan
Pemerintah sudah memutuskan kebijakan otonomi pendidikan, sebagaimana mengacu pada UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pasal 53 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) bahwa: 1) Penyelenggara dana/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk tubuh aturan pendidikan. 2) Badan aturan pendidikan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) berfungsi memperlihatkan pelayanan pendidikan terhadap peserta bimbing. 3) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berprinsip nirlaba dan mampu mengorganisir dana secara mampu berdiri diatas kaki sendiri untuk meningkatkan satuan pendidikan. 4) ketentuan ihwal badan aturan pendidikan dikelola dengan undang-undang tersendiri.
Berdasarkan pasal di atas maka penyelenggaraan pendidikan tidak lagi menjadi tanggung jawab negara melainkan diserahkan terhadap lembaga pendidikan itu sendiri. Kemandirian dalam penyelenggaraan pendidikan ialah kondisi yang ingin dicapai melalui pendirian BHP, dengan menerapkan MBS pada pendidikan dasar dan menengah, serta otonomi pada pendidikan tinggi. Hanya dengan kemandirian, pendidikan mampu menumbuhkembangkan kreativitas, inovasi, mutu, kelonggaran, dan mobilitasnya.[10] Artinya pemerintah menilai bahwa selama ini terhambatnya perkembangan pendidikan Indonesia di antaranya karena pengelolaan yang sentralistis sehingga perlunya kebijakan desentralisasi kewenangan untuk mengembangkan Indonesia.
Dengan desain ajaran reformasi, budaya global, dan otonomi daerah, pendidikan ke depan harus dikembangkan secara lebih realistis sesuai dengan tuntunan zaman.[11] Kebijakan tersebut menuai berbagai sikap kontra dari masyarakat alasannya adalah dinilai sarat dengan tekanan pihak asing (negara donor) yang menghendaki privatisasi forum-forum yang diatur negara termasuk forum pendidikan sehingga negara pun akan lepas tangan dari tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan secara penuh.
b.  Keterbatasan Anggaran
Ketersediaan budget yang mencukupi dalam penyelenggaraan pendidikan sungguh mensugesti keberlangsungan penyelenggaraan tersebut. Ketentuan anggaran pendidikan tertuang dalam UU ini pasal 49 perihal pengalokasian dana pendidikan yang menyatakan bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik dan ongkos pendidikan kedinasan dialokasikan sekurang-kurangnya20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sector pendidikan dan sekurang-kurangnya20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Permasalahan yang penting untuk diperhatikan ialah alasan pemerintah untuk berupaya mewujudkan anggaran pendidikan 20% secara bertahap alasannya pemerintah tidak memiliki kesanggupan untuk mengalokasikan 20% secara sekaligus dari APBN/APBD. Padahal kekayaan sumber daya alam baik yang berbentukhayati, sumber energy, maaupun barang tambang jumlahnya melimpah sungguh besar. Akan namun, alasannya adalah selama ini penanganannya secara kapitalis, return dari kekayaan tersebut malah dirampas oleh para pemilik modal. [12]
B.    Kedudukan Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional
kedudukan pendidikan islam dalam sistem pendidikan nasional adakalanya sebagai mata pelajaran dan kalanya sebagai forum (satuan pendidikan).[13]
1.        Sebagai mata pelajaran
Istilah “pendidikan agama islam” di indonesia dipergunakan untuk nama sebuah mata pelajaran di lingkungan sekolah-sekolah yang berada di bawah training kementerian pendidikan nasional, pendidikan agama dalam hal ini agam islam termasuk dalam struktur krukulum pendidikan nasional. Ia termasuk kedalam kalangan mata pelajaran wajib dalam setiap jalur jenis dan jenjang pendidikan, berpadanan dengan mata pelajaran lain sepererti pendidikan kewarrganegaraan, bahasa, matematika, sosial dan budaya (pasal 37 ayat 1). Memang semenjak peroklamasi kemerdekaan republik indonesia hingga terwujudnya undang-undang nomor 2 tahun 19989 perihal metode pendidikan nasional dan disempurnakan dengan UU No. 20 tahun 2003  perihal tata cara pendidikan nasional eksistensi pendididkan islam telah diakui oleh pemerintah selaku mata pelajatran di sekolah (Sekolah Dasar s.d PT).
2.        Sebagai lembaga/satuan pendidikan
Apabila pendidiakan agama islam di lingkungan lembaga atau satuan pendidikan yang berada di bawah naungan kementerian pendidikan nasional terwujud sebagai mata pelajaran, maka dilingkungan kementerian agama terwujud sebagai satuan pendidikan yang berjenjang naik mulai dari Taman kanak-kanak  (Raudhat al-athfat), hingga keperguruan tinggi (al jamiat). Pengertian pendidikan keagamaan isaalam disini mengacu terhadap satuan pendidikan keagamaan atau forum pendidikan keagamaan islam.
Kalau dalam UU No. 2 Tahun 1989 perihal metode pendidikan nasional, forum pendididkan keagamaan yang diakui eksistensinya cuma yang berada pada jalur pendidikan pormal (sekolah). Namun dalalm UU No 20 Tahun 2003 tentang tata cara pendididkan nasional, lembaga pendididkan keagamaan ini diakui dan dapat dijalankan bukan saja pada jalur pendidikan formal, namun juga pada jalur pendidikan non formal (pesantren, madrasah diniaah) dan dalam jalur pendidikan in formal (keluarga).
3.        Kedudukan dan orientasi Pendidikan Islam dan keberadaannya di zaman reformasi
Kajian historis seperti yang diungkapkan terdahulu bahwa pendidikan Islam di Indonesia, sudah berlangsung semenjak masuknya islam ke Indonesia. Pendidikan itu pada tahap permulaan terealisasi atas adanya kesepakatan antara penjualatau mubaligh dengan masyarakat sekitar, bentuknya lebih mengarah terhadap pendidikan informal. Setelah bangun kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia maka pendidikan Islam tersebut berada di bawah tanggung jawab kerajaan Islam. Dan pendidikan tidak hanya berlangsung dilanggar-adu atau masjid, namun ada yang dijalankan di forum pendidikan pesantren.[14]
Setelah 32 tahun lamanya pergumulan pendidikan islam di tengah-tengah tata cara pendidikan nasional, ternyata belum cukup bisa memuaskan. Meskipun pendidikan islam telah mulai diakui sebagai salah satu bab tak terpisahkan dalam system pendidikan nasional, tetapi tidak jarang madrasah selaku representasi pendidikan islam mendapatkan perlakuan yang kurang proporsional.
Memasuki kurun reformasi upaya untuk mencari format pendidikan nasional selalu dilaksanakan oleh pemerintah. Pada kala reformasi dengan berbagai karakteristiknya sungguh mensugesti terjadinya perubahan dalam acara pendidikan nasional. Dengan semangat pergeseran yang sangat besar dan mendasar dalam upaya mewujudkan sebuah tata Negara yang demokratis, adil dan sejahtera atau sering disebut selaku masyarakat yang madani, maka pendidikan selaku media yang sangat strategis untuk turut andil dalam memilih nasib generasi bangsa ini  mencoba untuk mampu menanggapinya sesuai permintaan reformasi.
Kondisi sosial, politik, ekonomi yang terpuruk menyebabkan adanya tuntutan terhadap dunia pendidikan untuk bisa mengambil peran dalam memilih masa depan Bangsa dan Negara tercinta ini. Era dimana nilai-nilai  keleluasaan, transparansi dan kebebasan selaku ciri reformasi juga menjadikan terjadinya perubahan administrasi pendidikan nasional baik secara makro maupun mikro.
Dari level substantive, satuan pendidikan hingga pada tingkat kelembagaan. Oleh sebab itu, pendidikan yang selama ini telah diupayakan ternyata belum cukup mampu untuk mencetak kader-kader penerus bangsa yang sempurna, maka pada zaman reformasi ini dirasa perlu untuk melakukan inovasi-penemuan yang lebih sesuai dengan pertumbuhan dunia global.
Undang-undang No. 2 Tahun 1989 wacana Sistem Pendidikan Pendidikan Nasional dirasa tidak mencukupi lagi pada kala reformasi ini. Dari banyak sekali macam pergeseran iklim baik dalam bidang social, politik, dan ekonomi serta yang tarjadi secara global yang di penjuru dunia menenteng imbas yang hebat bagi kehidupan berbangsa dan Negara. Dengan itu semua pemerintah pun menciptakan berbagai kebijakan khususnya di dunia pendidikan. Salah satu diantaranya adalah merombak UUSPN Tahun 1989 yang selanjutnya disempurnakan dan muncullah Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003.
Melalui undang-undang ini keberadaan madrasah semakin terlihat akan eksistensinya. Madrasah sudah terintegrasi dalam metode pendidikan nasional. Dimana madarasah ialah bagaian yang terpisahkan dari administrasi Pendidikan Nasional. Integrasi madrasah ke dalam Sistem Pendidikan Nasional sudah tuntas. Legalitas persamaan dan kesetaraannya selaku bagian dari Sistem Pendidikan Nasional telah tercapai. Meskipun secara praksis pengelolaan dilimpahkan terhadap kementerian agama, tetapi dalam segala kebijakan dan pengambilan kebijakan lazim bidang pendidikan, madrasah makin mendapatkan fleksibilitas.
Pada pasal 17 ayat 2 dinyatakan bahwa, “Pendidikan Dasar berbentuk sekolah dasar, (Sekolah Dasar) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrash Tsanawiyah (MTs) atau bentuk lainnya. Dari pasal tersebut telah diakui secara legal formal bahwa kesetaraan antara madrasah dan sekolah telah diakui.
Kemudian pada pasal 50 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2003 juga diterangkan bahwa, “pengelolaan system pendidikan nasional merupakan tanggung jawab Menteri” (pendidikan nasional, pen).[15]
Selain tanggung jawab madrasah berada pada pemerintah pusat (kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Agama), Madrasah juga menerima perhatian secara khusus oleh pemerintah di tingkat daerah. hal ini mampu dilihat pada pasal 10 UU No. 20 Tahun 2003 yang menyatakan bahwa, Pemerintah dan Pemda berhak mengarahkan, membimbing, menolong dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada pasal 11 ayat 1 dijelaskan bahwa, Pemerintah dan Pemda wajib menunjukkan layanan dan fasilitas, serta menjamin terselenggaranya pendidikan bermutu bagi setiap warga Negara tanpa diskriminasi.
Ditambah lagi Undang-undang No. 32 Tahun 2004 perihal Pemerintah daerah pada pasal 10 ayat 1 dinyatakan bahwa, Pemda mengadakan masalah pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali persoalan pemerintahan yang oleh undang-undang ini ditentukan menjadi persoalan Pemerintah.
Mengacu dari aneka macam kebijakan pemerintah tersebut, maka jelaslah bahwa pada dikala ini pendidikan Islam merupakan persoalan pemerintah baik sentra maupun kawasan. Pendidikan Islam mempunyai posisi yang serupa dengan Pendidikan Umum. Madrasah selaku aktualisasi dari forum pendidikan Islam memiliki kesempatan yang serupa dengan sekolah sebagai forum pendidikan umum untuk berkembang lebih baik. madrasah dan sekolah telah terintegrasi dalam system pendidikan nasional.
C.   Peran Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional
1.        Sebagai mata pelajaran
Pendidikan agama islam sebagai mata pelajaran wajib diseluruh sekolah di Indonesia berperan:[16]
a.   Mempercepat proses pencapaian pendidikan nasional
Pendidikan Nasioal bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta ajar semoga jadi manusia yang beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berakal, piawai, kereatif, berdikari dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Secara sederhana mampu dirinci poin-poin yang terdapat dalam tujuan nasional tersebut:
1)    Berkembangnya potensi pesserta latih.
2)    Beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
3)    Berahlak mulia, sehat berilmu, mahir, kereatif dan mandiri
4)    Menjadi warga negara yang demokratis.
5)    Bertanggung jawab.
Di dalam rumusan tujuan tersebut terdapat istilah “ iktikad” dan “taqwa” kedua perumpamaan tersebut memiliki kaitan yang erat dengan aliran isalm. Oleh alasannya itu mampu disimpulkan bahwa mata pelajaran pendidikan agama islam memiliki tugas yang memilih dalam upay apencapian tujhuan pendidikan nasional.
b.   Memberikan nilai kepada mata pelajaran umum.
Seperti kita ketahui bahwa mata pelajaran biasa yang diajarankan di sekolah yakni ilmu pengatahuan produk Barat yang bebas dari nilai (values free). Agar mata pelajaran umum yang di ajarkan di sekolah/madrasah mempunyai nilai, maka pendidikan agama isalam mampu diintegrasiakan dalam setiap mata pelajaran tersebut, terlebih dalam krukulum sekolah mata pelajaran pendidikan agama terletak pada urutan pertama. Nilai-nilai yang terdapat dalam aliran islam inilah yang diinternalisasikan dalam peroses pembelajaran terhadap peserta didik.
2.        Sebagai forum (institusi)
Madrasah sebagai subsistan pendidikan nasional tidak hanya dituntut untuk mampu mengadakan pendidikan dasar dan menengah yang bercirikan keagamaan, namun lebih jauh madrasah dituntut pula memainkan peran lebih besar ialah sebagai basis dan benteng tangguh yang mau mempertahankan dan memperkokoh adab dan budpekerti bangsa. Maka dalam hal ini madarasah memainkan perannya sebagai berikut:
a.      Meidia sosialisasi nilai-nilai jaran islam.
b.     Memelihara teradisi keagamaan.
c.      Membetuk ahlak dan abjad.
d.     Brteng moralitas bangsa.
e.      Lembaga pendidikan alternatip.
Apabila diamati kedudukan madrasah dan pondok pesantern selaku subsistem pendidikan nasional seperti yang ditekankan oleh UU No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS tampakdengan terang perannya dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yakni membuat insan indonesia yang brkualitas, beriman dan bertqwa kepada yang kuasa yang maha esa, berbudi luhur, jujur, terampil dan bertanggung jawab. Hal; ini busa dijalankan alasannya pada forum madrasah dan pondok posantren mata pelajan sari’at islam ialah mata pelajaran wajib, mirip al-Qur’an, Hadist, Akidah ahlak, fiqh, sejarah kebudayaan islam. Mata pelajaran ini merupakan kunci untuk membina aksara peserta latih semoga menjadi insan yang berkualitasa lahir dan batin, dunia dan akhirat.
D.   Peran Sistem Pendidikan Nasional dalam Pengembangan Pendidikan Islam
Undang-undang sistem pendidikan nasional no.20 tahun 2003 bab I perihal ketentuan biasa menyebutkan, bahwa pendidikan yakni usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran supaya penerima ajar secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk mempunyai kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, adat mulia, serta keahlian yang diperlukan dirinya, penduduk , bangsa dan Negara.
Sedangkan pendidikan nasional dalam undang-undang tersebut diartikan sebagai pendidikan yang menurut Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Sementara sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk meraih tujuan pendidikan nasional.
Yang dimaksud dengan tujuan pendidikan nasional dalam sisdiknas yakni berkembangnya potensi penerima bimbing agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, cerdik, mahir, inovatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.[17]
Dari pengertian pendidikan, pendidikan nasional, metode pendidikan nasional dan tujuan pendidikan nasional, sangat kental nuansa nilai-nilai agamanya. Pada beberapa bagian yang lain juga sungguh tampak bahwa kata agama dan nilai-nilai agama kerap mengikutinya. Misalnya, dalam bagian III ihwal prinsip penyelenggaraan pendidikan disebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Begitupula dalam bab IX tentang kurikulum, bahwa dalam penyusunannya diantaranya mesti mengamati peningkatan dogma dan takwa serta peningkatan ahlak mulia.
Dari rumusan diatas memperlihatkan bahwa agama menduduki posisi yang sangat penting dan tidak mampu dipisahkan dalam membangun manusia Indonesia seutuhnya. Hal yang wajar jikalau pendidikan nasional berlandaskan pada nilai-nilai agama, sebab bangsa Indonesia ialah bangsa yang beragama. Agama bagi bangsa Indonesia ialah modal dasar yang menjadi aktivis dalam kehidupan berbangsa.
Agama mengatur korelasi insan dengan Tuhan, relasi manusia dengan insan, korelasi manusia dengan alam dan relasi insan dengan diri sendiri. Dengan demikian terjadilah keserasian dan keseimbangan dalam hidup insan baik selaku individu maupun selaku anggota masyarakat.
Jika hal tersebut dipahami, diyakini dan diamalkan oleh manusia Indonesia dan menjadi dasar kepribadian, maka manusia Indonesia akan menjadi insan yang paripurna atau insan kamil. Dengan dasar inilah agama menjadi bagian paling penting dari pendidikan nasional yang berkenaan dengan faktor pelatihan sikap, tabiat, kepribadian dan nilai-nilai ahlakul karimah.
Sejalan dengan hal tersebut, Prof. Mastuhu mengungkapkan bahwa pendidikan islam di Indonesia mesti sungguh-sungguh mampu menempatkan dirinya selaku aksesori dan pelengkap bagi pendidikan nasional, sehingga metode pendidikan nasional bisa membawa keinginan nasional, yakni bangsa Indonesia yang modern dengan tetap bermuka doktrin dan takwa. [18]
Tidak jauh beda dengan usulan Mastuhu, guru besar Ilmu Pendidikan Islam  Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, DR. Ahmadi yang dikutip oleh Endin Surya Solehudin, menyebutkan bahwa implikasi dari pemaknaan pendidikan Islam ialah reposisi pendidikan Islam dalam tata cara pendidikan nasional. Mengenai reposisi pendidikan islam dalam pendidikan nasional, Ahmadi mengemukakan tiga argumentasi, pertama,  nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai dasar pendidikan tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam (Tauhid); kedua, persepsi kepada manusia sebagai makhluk jasmani-rohani yang memiliki potensi untuk menjadi insan bermartabat (makhluk paling mulia); ketiga, pendidikan bertujuan untuk membuatkan potensi (fitrah dan sumber daya manusia) menjadi insan beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur (budpekerti mulia), dan memiliki kemampuan untuk memikul tanggung jawab selaku individu dan anggota masyarakat.[19]
Perbedaan antara keduanya cuma terletak pada posisi desain. Ditinjau dari tataran universalitas konsep Pendidikan Islam lebih universal karena tidak dibatasi negara dan bangsa, tetapi ditinjau dari posisinya dalam konteks nasional, konsep pendidikan Islam menjadi subsistem pendidikan nasional. Karena posisinya selaku subsistem, kadangkala dalam penyelenggaraan pendidikan hanya diposisikan selaku tambahan.
Mengingat bahwa secara filosofis (ontologis dan aksiologis) pendidikan Islam berkaitan dan ialah bab integral dari tata cara pendidikan nasional, bahkan secara sosiologis pendidikan Islam merupakan aset nasional, maka posisi pendidikan Islam sebagai subsistem pendidikan nasional bukan sekadar berfungsi sebagai embel-embel, tetapi sebagai bagian substansial. Artinya, pendidikan Islam ialah bagian yang sangat memilih perjalanan pendidikan nasional.
Dari uraian di atas tampaknya dapat ditarik kesimpulan tugas sisdiknas kepada pengembangan pendidikan islam mirip yang dikemukakan oleh Prof. Dr. H. Ramayulis sebagai berikut:
1.     Memperkuat kedudukan pendidikan Islam dalam sisdiknas
2.     Memperluas Jangkauan dan target pendidikan Agama
3.     Memberikan jaminan secara yuridis formal bahwa penerima bimbing akan mendapatkan pengajaran agama sesuai dengan agama yang diyakininya dan diajarkan oleh guru yang seagama
4.     Memberi potensi dan peluang untuk berkembangnya pendidikan Islam secara terintegrasi dalam tata cara pendidikan nasional.[20]
BAB III
PENUTUP
Pendidikan ialah bimbingan yang dijalankan secara sadar oleh pendidik kepada pertumbuhan jasmani dan rohani peserta asuh menuju terbentuknya kepribadian yang utama.Pembentukan kepribadian yang utama pastinya tidak terlepas dari peran pendidikan agama. Oleh alasannya adalah itu pendidikan agama menempati posisi yang penting dalam lingkup metode pendidikan nasional.
disebutkan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi akseptor ajar supaya menjadi insan yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlaq mulia, sehat, berilmu, mahir, inovatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dari ragam uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam rangka membangun paradigma pendidikan nasional, mau tidak mau harus meninjau kembali pelaksanaan metode pendidikan di Indonesia.
Di antara problematika yang ditinjau dari eksistensinya selaku sebuah subsistem yakni terlihat pada UU NO. 20 Tahun 2003 pasal 53 bahwa tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan nasional saat ini akan dialihkan dari negara ke masyarakat dengan prosedur Badan Hukum Pendidikan (BHP), yaitu adanya mekanisme Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) pada tingkat SD-SMA dan otonomi pendidikan pada tingkat perguruan tinggi tinggi.
Secara garis besar ada dua penyelesaian ialah: solusi sistemik, yakni penyelesaian dengan mengubah metode-metode sosial yang berhubungan dengan tata cara pendidikan dan solusi teknis, yaitu penyelesaian untuk menuntaskan berbagai problem internal dalam penyelenggaraan tata cara pendidikan.
Sebagai usulan, UU NO. 20 Tahun 2003 ini secara isi atau substansi masih terdapat juga kelemahan-kelemahan yang membutuhkan penyempurnaan dalam pembahasan setiap ayat dalam sebuah pasal. Kemudian yang terakhir secara empiris dengan mengamati kondisi rill pendidikan Indonesia ketika ini UU NO. 20 Tahun 2003 ini masih membutuhkan banyak perbaikan ke arah yang lebih baik lagi untuk terciptanya pendidikan yang sungguh-sungguh berlandaskan nasionalisme dalam mendukung tujuan mulia ketimbang pendidikan itu sendiri. Dilihat dari fungsi dan tujuan Pendidikan Nasional di Indonesia maka sangat diharapkan adanya kebijakan dan penemuan dalam dunia pendidikan kita.
Dari tujuan pendidikan nasional tersebut kita mampu menyimpulkan bahwa pendidikan nasional berkehendak mencipta manusia yang relegius dan nasionalis. Relegius berkorelasi dengan penciptaan kepribadian mulia atau ahlak mulia, sedang nasionalis lebih kepada rasa tanggung jawab sebagai putra bangsa.
Dengan demikian, dapat dimengerti bahwa sistem pendidikan nasional sejalan dengan pendidikan islam bahkan ialah bagian integral dari sistem pendidikan nasional. Sehingga bantuan tata cara pendidikan nasional kepada pendidikan Islam sungguh terasa sebagai sesuatu yang saling berhubungan.


[1]Naskah Asli Dapat Dipesan Via email di buku tamu