close

Tanah Manokwari Cerpen Yuditeha


MENJELANG subuh, gue mendengar gaduh di depan rumah. Kamu yg kukira masih terlelap di sampingku ternyata sudah bangkit. Bahkan, tatkala gue akan keluar kamar, ananda meraih pergelangan tanganku.

“Tetaplah di sini,” katamu dgn suara lirih.

“Ada suara.”

Kamu menjelaskan, justru alasannya bunyi itu ananda menahanku untuk tetap di kamar. Kamu yg karenanya beranjak dr tempat tidur, kemudian berjalan menuju jendela kamar. Perlahan ananda buka jendela itu. Oh, bukan membukanya, tapi hanya membuat sedikit celah, yg tentu saja untuk ananda gunakan melihat ke luar. Tak usang kemudian ananda tutup lagi jendela itu, membalikkan badan & menatap ke arahku. Meski semua itu ananda kerjakan setenang mungkin, gue masih bisa membaca raut wajahmu yg sedikit menegang. Karena itu, perasaanku menjadi tak tenang.

“Ada apa, Abah?” tanyaku pelan.

Kamu tak eksklusif menjawab. Kamu mendekatiku, lalu duduk di bibir tempat tidur, memegang pundakku sembari berkata bahwa perasaanmu tak enak alasannya adalah ada beberapa orang Belanda di depan rumah. Setelah itu, situasi hening mirip tiba-tiba menyergap pikiran kita.


Aku kepikiran perihal ananda jauh sebelum kita menikah. Kamu tinggal di daerah religius yg sebagian besar anak-anak di sana sekolah di pesantren. Itu membuatmu bersahabat dgn ilmu Islam. Bahkan, ananda sempat dikenal sebagai mubalig. Selain itu, ananda besar di keluarga penjualyg berhak mewarisi pekerjaan selaku pedagang batik yg sukses. Tapi, dunia pergerakan rupanya lebih menawan minatmu.

Setahuku, pada dikala Sarekat Islam berdiri di Surakarta & ananda masuk menjadi anggotanya itulah ananda mulai aktif di pergerakan. Setelah itu, bersama Bapak Kartodikromo, ananda menjadi jurnalis. Puncaknya, pada tahun 1915 bersama sahabat-temanmu mempublikasikan koran sendiri yg ananda namai Medan Moeslimin. Koran itulah yg ananda pernah bilang selaku trompetmu untuk memprotes ketidakadilan & penindasan kolonial.

Karena imbas orang kiri seperti Sneevliet & Semaun-lah ananda mulai tertarik dgn marxisme, khususnya perihal ketajaman analisis membongkar kejahatan kapitalisme. Pada saat terjadi kerisauan kaum buruh & petani akibat kebijakan kolonial, ananda mulai menyuarakan problem-persoalan itu. Karenanya, pemogokan sering terjadi hingga Belanda mencidukmu. Itulah awal dr penangkapan-penangkapanmu. Karena kepikiran perihal kebiasaan penangkapanmu, hingga gue menduga peristiwa itu pasti ada relevansinya dgn serangan bom di sejumlah kantor pemerintah & kabar ihwal pelemparan kotoran ke potret Ratu Wilhelmina, & ananda yg akan dituding selaku dalangnya.

  Menulis Cerpen Menurut Peristiwa Yang Pernah Dialami

“Pilih mana?” tanyamu, membuyarkan lamunanku.

“Pilih apa?”

“Aku jumpai mereka atau membisu-membisu pergi lewat belakang?”

“Abah yakin mereka akan menangkap Abah?”

Kupikir, jikalau ananda lari & mereka tahu, timah panas akan mengancam jiwamu. Tapi, kalau ananda menemui mereka, meski tetap tak aman bagimu, setidaknya mereka tak akan langsung mencederaimu. Belum sempat gue memberi jawaban, ananda sudah lebih dulu mengajukan pertanyaan lagi kepadaku, bagaimana jika ananda menemui mereka saja. Dan gue cuma bisa mengangguk.

“Kamu tetap di dalam, jaga belum dewasa. Siapa tahu mereka sudah bangun,” katamu.

Aku sempat mengantarmu sampai di pintu depan. Setelah itu, gue memilih sengaja tak menyaksikan proses pertemuanmu dgn mereka. Aku menurutimu, eksklusif menuju kamar anak-anak & menjaga mereka. Tak berselang usang, kudengar suara tembakan, gegas gue menuju ruang depan & melihatmu dr balik gorden jendela. Aku lega karena tak terjadi apa-apa denganmu, bahkan pada saat itu ananda sedang berlangsung ke arah masuk rumah. Begitu ananda muncul dr balik pintu, gue ingin segera bertanya apa yg terjadi, namun gue urungkan. Kuputuskan untuk menunggu ananda menjelaskan tanpa lebih dahulu kutanya.

“Terpaksa kita pisah lagi. Mereka menangkapku & katanya akan dibawa ke Manokwari. Kamu jaga belum dewasa.”

Pada ketika itu gue mempertimbangkan banyak hal & semua itu rasanya susah gue uraikan. Begitu penuh & sesak. Satu-satunya yg terngiang agak jelas tentang dua kali peristiwa penangkapanmu yg dulu. Sesungguhnya gue sudah menyadari, menjadi istri orang pergerakan sepertimu akan menciptakan keadaanku & bawah umur seperti di ujung tanduk, yg kapan saja ananda bisa dijauhkan dr kami. Meski hal itu dahulu sudah ananda ungkapkan tatkala akan menikah, kesadaranku tetap akan buyar saat menghadapi insiden aktual mirip ini. Tapi, sebab menikah denganmu telah menjadi pilihanku sendiri, gue tetap akan berusaha menjadi istri yg setia bagimu. Aku akan tanggung beban ini tanpa gerutu.

  Uban di Kepala Ibu | Cerpen Teguh Affandi

“Kali ini jauh dr rumah, & entah hingga kapan,” katamu.

“Kalau begitu, biarkan kami ikut,” sahutku.

“Tapi, ini akan berat.”

“Kupikir akan lebih berat jikalau kami tanpa Abah.”

Lebih lanjut ananda mengatakan, kehidupan di luar akan keras & itu tak cocok buatku serta bawah umur. Tetapi, gue justru berpikir sebaliknya, seberat apa pun jalannya hidup, jika kita tetap bersatu, pasti akan lain rasanya. Kupikir demikian pula dgn perjuanganmu itu. Aku merasa tak banyak yg mampu memahami jalan pikiranmu. Orang sepertimu memang senantiasa punya sobat yg solid, namun tak banyak. Yang terjadi justru sebaliknya, banyak orang yg akan mengenyahkanmu. Namun, saya, pula anak-anaklah, yg akan senantiasa bisa menerimamu dlm segala keadaan.

“Kamu benar, lebih baik kalian ikut karena bergotong-royong gue sendiri tak percaya kapan bisa kembali,” katamu.

Akhirnya, ananda sepakat kita pergi bareng . Setelah itu, gue memberi tahu belum dewasa, kemudian dgn cekatan kita bersama-sama merencanakan perlengkapan. Aku masih mengingatnya, saat itu tanggal 18 Juli 1924, kita dikirim menuju kapal yg akan berlayar dr Surabaya ke Manokwari. Menempuh perjalanan selama 20 hari dgn 17 kali singgah di pelabuhan sepanjang Jawa sampai Papua, sungguh sangat berat, apalagi pasti bagi bawah umur. Tetapi, selama perjalanan kulihat belum dewasa kita sehat-sehat saja. Perasaan mereka belum begitu terbebani. Hal itulah yg mungkin menimbulkan mereka lebih bisa menikmati perjalanan. Justru gue merasa ananda lebih banyak mengkhawatirkanku. Fisikku memang tak bisa berbohong karena pada kenyataannya akulah yg lemah. Meski di depanmu gue berupaya tetap tegar, rupanya ananda bisa tahu bahwa bekerjsama gue sangat kecapekan. Beberapa kali gue terjangkit sesak napas & batuk, tapi ananda merawatku dgn telaten.

Kita lega alasannya adalah akibatnya pada tanggal 7 Agustus 1924 hingga pula di Manokwari. Di sini kita mulai berbenah diri & memulihkan keadaan. Tapi, tak lama kemudian, ananda sudah kembali ke duniamu. Diawali dgn pemenuhan janjimu untuk menulis kronologi perjalanan kita lewat surat yg dimuat di koran Medan Moeslimin. Aku tak pernah mencurigai, dunia pergerakan memang sudah sungguh-sungguh menjadi panggilanmu. Dunia yg bagimu tergolong berjuang untuk Islam. Kamu pernah menyampaikan bahwa perjuanganmu melawan kapitalisme & imperialisme ananda anggap sebagai jihad fi sabilillah. Dan Manokwari, tempat yg jauh ini, tak mengakibatkan pergerakanmu luntur. Dari kota ini pula ananda justru melahirkan risalah Islamisme & Komunisme, yg kutahu kemudian pula dimuat berseri di Medan Moeslimin. Di risalah itu pula ananda membuat pernyataan, masih pula ihwal keyakinanmu perihal komunis & Islam.

  Warga Kota Kacang Goreng | Cerpen Adek Alwi

Mungkin alasannya adalah keberanianmu di Manokwari ini tetap bergelora, Belanda tetap mengawasimu. Tetapi, tampaknya ananda tak peduli hal itu. Kamu tetap terus bergerak tanpa lelah & hal itu sempat beberapa kali melemahkan fisikmu hingga terjangkit demam. Sementara itu, gue terus berbenah tempat tinggal kita sembari merawat belum dewasa. Kondisi badanku rupanya belum bisa berdamai dgn keadaan di Manokwari. Pernapasanku sering terganggu & puncak dr sakitku, TBC menjangkiti tubuhku. Karena hal itulah ananda meminta izin pada pemerintah untuk mencari pengobatan untukku, bermaksud membawaku keluar dr Manokwari. Kuperhatikan beberapa hari sehabis pengajuan itu ananda terlihat kesal, mungkin sebab permohonanmu tak secepatnya mendapat respon . Bahkan sampai keadaanku kritis pun, tanggapan dr pemerintah tak tiba juga. Sesungguhnya gue sudah pasrah. Meski begitu, dlm keadaanku yg lemah itu justru gue tetap berupaya menenangkanmu. Kadang gue pula menceritakan apa yg selama ini menjadi impian-harapanku, salah satunya wacana rasa bahagiaku mampu menjadi istri dr orang hebat sepertimu.

“Andai jiwaku tak bisa terselamatkan, sebetulnya gue sudah lega. Setidaknya apa yg dahulu kupikirkan sudah kesampaian. Aku ingin menjadi istri yg setia bagimu. Istri yg mampu menerimamu dlm segala kondisi. Istri yg bisa menemanimu di mana pun ananda berada, tergolong di tanah Manokwari ini.”(*)