close

Paman Klungsu dan Kuasa Peluitnya | Cerpen Ahmad Tohari

Di sekitar jalan simpang tiga akrab pasar, nama Paman Klungsu sudah lama mapan. ia yakni sosok yg punya kuasa di tempat itu. Dengan andalan lengking peluitnya, Paman Klungsu bisa menanggulangi kemacetan lalu lintas, khususnya di pagi hari. Pada saat itu, para pedagang pria & wanita mirip beradu cepat meraih pasar. Mereka naik sepeda atau motor dgn dua keranjang di cuilan belakang. Puluhan anak SMP & Sekolah Menengan Atas dgn motor yg knalpotnya dibobok pula berebut keluar dr jalan kampung ke jalan raya. Tanpa helm, tanpa SIM. Tetapi mereka kelihatan tak peduli & amat yakin diri. Guru-guru SD, beberapa di antaranya sudah bermobil ikut menambah kepadatan lalu lintas di simpang tiga itu. Maka, orang bilang, untung ada Paman Klungsu yg dgn lengking peluitnya mampu memuat semua menjadi tanpa hambatan.

Polisi lalu lintas belum pernah tiba di sana. Tetapi, Paman Klungsu biasa memakai rompi lusuh bercap “Poltas Swakarsa” dgn tulisan spidol. Entah siapa penulisnya. Selain rompi lusuh warna pupus pisang yg berpendar, Paman Klungsu pula melengkapi diri dgn peluit plastik warna merah. Meskipun kecil, suara peluit itu amat nyaring & terbukti wibawanya ditaati oleh para pengendara. Orang-orang sering bertanya mana yg paling berwibawa di simpang tiga itu; sosok Paman Klungsu atau peluitnya.

Empat-lima tahun yg lalu Paman Klungsu hanya orang lontang-lantung di pasar. Jalannya pincang. Kaki kirinya kecil & lebih pendek. Sebatang kara, di malam hari jadi peronda pasar. Di siang hari jadi kuli angkut yg membawakan barang milik penjualdr dlm pasar ke pinggir jalan atau sebaliknya. Para penjualmemberinya seratus atau dua ratus rupiah. Itu bekal Paman Klungsu untuk pergi ke warung nasi rames milik Yu Binah di belakang pasar.

Sekarang Paman Klungsu tak lagi memuat -angkut barang milik pedagang. ia merasa telah naik pangkat menjadi-ia menyebutnya sendiri-poltas swakarsa, yg amat ia banggakan. Apalagi Paman Klungsu pula sering mendapat duit receh. Itu pinjaman sopir-sopir yg merasa bersimpati. Mereka menghargai jasa Paman Klungsu yg punya prakarsa menertibkan lalu lintas di simpang tiga.

Pada awalnya Paman Klungsu sering dicibir orang. “Ah, ananda cuma polisi non-kerikil, polisi-polisian. Kamu cuma berani mengatur pedagang & anak sekolah, tapi tak berkutik jika yg melalui pejabat atau moge. Kamu pula senantiasa mengistimewakan Yu Binah. Kalau wanita itu melalui senantiasa ananda bukakan jalan.”

  Lelaki yang Menunggu Kepulangan Istrinya | Cerpen Riyan Prasetio

Ketika mendapatkan cibiran itu, Paman Klungsu hanya diam. Namun bantu-membantu ia sungguh tersinggung. Jadi suatu kali ia bergerak cepat tatkala ada suatu kendaraan beroda empat bersipongah mau melanggar aturannya. Dengan langkah terpincang-pincang, Paman Klungsu menghadang mobil anggun berpelat merah itu. Paman Klungsu berdiri tepat di depan kendaraan beroda empat, tangan kanannya tegak lurus. Tetapi, kaki kirinya bersijingkat alasannya adalah lebih pendek. Peluitnya melengking-lengking sekerasnya. Pengendara kendaraan beroda empat itu mendengus & berhenti dgn mata membulat. Kemarahan muncul penuh di parasnya. Tetapi, Paman Klungsu bergeming. Dan di luar praduga Paman Klungsu semua orang di simpang tiga bertepuk tangan mendukungnya. Peluit Paman Klungsu melengking kian nyaring & bertubi-tubi. Tangan kanannya tetap menjulang ke atas. Orang- orang bersorak semakin riuh.

Sejak kejadian itu, Paman Klungsu makin percaya diri & merasa lebih gagah. ia senang alasannya ternyata orang-orang berada di pihaknya. Maka, ia mengulangi sikap itu; tak mengutamakan siapa saja yg lewat. Juga barisan puluhan moge yg menderu menggila dr barat pada Jumat & menggelegar pongah balik dr timur pada Ahad. Maka, Paman Klungsu dgn peluitnya yaitu sosok kekuasaan yg faktual di simpang tiga itu. Sayangnya, orang-orang pula masih jadi saksi peluit Paman Klungsu tak pernah melengking nyaring terhadap Yu Binah. Bila ia melalui, Paman Klungsu senantiasa mendahulukannya, dgn keramahan yg aktual pula. Terhadap Yu Binah, peluit Paman Klungsu seakan bisu.

Ketika sedang istirahat pada suatu tengah hari di emper toko, ada orang mengajukan pertanyaan, “Ah, ananda ternyata tetap memprioritaskan Yu Binah. Ada apa ya? Awas, Yu Binah punya suami; ananda jangan macam-macam.”

Pertanyaan itu membuat Paman Klungsu cemas. Wajahnya secara tiba-tiba beku. Bibirnya gemetar. ia tergagap, & kata-kata yg kemudian diucapkan terdengar patah-patah.

“Yu Binah? Iya. ia memang punya suami. Dan saya tak mengapa-apakan ia.” Paman Klungsu gugup. Namun, usang-kelamaan bicaranya lebih tertata. Katanya, ia banyak berutang kebijaksanaan pada Yu Binah. Penjual nasi itu suka memberinya rames lengkap berapa pun Paman Klungsu membayarnya. Menyadari uangnya sering tak cukup, tambahnya, ia biasa cuma minta nasi & air putih. Lauknya cukup kecap & sambal yg memang disediakan cuma-cuma. Tetapi, Yu Binah tetap memberinya nasi rames lengkap dgn taburan bawang goreng, tahu atau tempe, bahkan kadang ikan juga.

“Taburan bawang goreng di atas nasi hangat, ditambah sambal & kecap, wah!”

“Jadi cuma alasannya bawang goreng, ananda merasa harus memprioritaskan Yu Binah?”

  Hening di Ujung Senja | Cerpen Wilson Nadeak

Paman Klungsu tersipu, kemudian meneruskan penjelasannya. Katanya, ada sesuatu yg sangat mengesankan pada Yu Binah, yaitu gerak tubuh, utamanya kedua tangannya tatkala Yu Binah menyiduk nasi dr bakul lalu menampungnya dgn piring.

“Itu seperti tangan orang menari, atau apa. Itu pantes banget, perempuan banget. Tidak semua perempuan mampu mirip itu,” tambah Paman Klungsu.

Orang yg mendengar ucapan Paman Klungsu tertawa.

“Ah, ananda mengada-ada saja. Cuma bawang goreng & gerak tangan wanita menyiduk nasi kenapa ananda begitu terkesan?”

Jawaban Paman Klungsu keluar lagi sehabis ia berdiam diri. ia mengaku dirinya orang perasa sehingga gampang tersentuh oleh keanggunan yg terlihat olehnya. Apalagi, tambahnya, keanggunan gerak Yu Binah tatkala menyiduk nasi selalu dibarengi ketulusan yg konkret terlihat di parasnya.

*****

Ini jam 9 pagi, kemudian lalang di simpang tiga sudah mereda. Anak-anak sekolah, para guru, & pegawai sudah usang hingga ke kawasan kerja masing-masing. Yang masih berkendara melalui simpang tiga hanya orang-orang yg mau pergi atau pulang dr pasar. Udara mulai panas & bunyi lengking peluit buat sementara tak terdengar. Karena tak padat, arus kendaraan mampu mengalir tanpa kendala meskipun tanpa lengking peluit Paman Klungsu. Ke mana ia?

Dengan bekal uang seribu lima ratus derma tiga sopir yg menyadari perut siapa pun harus diisi nasi, Paman Klungsu masuk ke warung Yu Binah. Di depan pintu warung lelaki pincang itu berpapasan dgn dua pedagang yg baru selasai makan nasi rames. Paman Klungsu duduk sendiri, menaruh peluitnya di atas meja, lalu menyulut rokok. Yu Binah menyambutnya dgn senyum. Ah, Paman Klungsu tak akan melepaskan potensi menikmati keanggunan gerak Yu Binah tatkala perempuan itu sedang menyiapkan nasi rames. Atau, barangkali Paman Klungsu sulit menjawab jikalau ditanya, mana yg lebih ia sukai, keanggunan gerak Yu Binah atau nasi ramesnya.

“Yu, uangku cuma seribu lima ratus.”

“Ya, tak apa. Ah, semenjak pagi ananda jerih payah tiup-tiup peluit di simpang tiga. Jadi perutmu tentu lapar. Sekarang makanlah hingga kenyang.”

“Dengan duit seribu lima ratus ya, Yu?”

“Ya, itu kan biasa. Kamu jangan terlalu perasa. Kamu sudah usang mengenal aku, kan?”

Yu Binah memutar tubuh, mengambil satu piring kemudian bergeser ke erat wadah nasi, mengangkat ciduk. Paman Klungsu menatapnya dr samping dgn mata tanpa kedip. Rokoknya dibiarkan tak tersentuh di atas asbak dgn asap terus mengepul. “Itu betul sebuah lenggang yg pantes banget, & gue tak akan bosan melihatnya,” ujar Paman Klungsu dlm hati. Dan kemudian hatinya merasa sejuk seperti diguyur air tatkala Yu Binah menyorongkan piring itu. Isinya sarat ; nasi putih dgn taburan bawang goreng & sayur buncis. Wadah sambal, botol kecap, & segelas air putih disorongkan juga.

  Patung Garuda | Cerpen Risda Nur Widia

“Ayo makan. Kamu tentu sudah lapar.”

Suara itu terasa seperti dendang alam di indera pendengaran Paman Klungsu. Tatkala sekejap menengadah, Paman Klungsu pula menyaksikan muka tulus itu. Mata yg jernih, senyuman yg polos, sederhana. Paman Klungsu menunduk, mengamati rokok di asbak yg nyaris habis tanpa diisap. Menarik napas panjang, kemudian menawan piring lebih akrab. Aroma bawang goreng menghidupkan seleranya. Dan Paman Klungsu sadar, harga nasi rames yg sedang disantap pasti di atas seribu lima ratus.

Selesai makan, Paman Klungsu minta diri dgn cara orang yg amat mengetahui berterima kasih. Meskipun tahu dr jam sembilan hingga jam satu lalu lintas di simpang tiga tak ramai, Paman Klungsu tidak mau terlalu usang meninggalkan daerah itu. Namun, sampai di depan pasar Paman Klungsu mesti berhenti. Yu Binah memanggil-manggilnya dr belakang. Yu Binah berjalan tergesa-gesa, tangan kirinya menjimpit sesuatu dgn ibu jari & telunjuk. Menahan rasa jijik. Tangan kanannya menutup hidung & lisan.

“He, ini, peluitmu tertinggal. Idih, ampun! Baunya busuk sekali,” kata Yu Binah dgn suara teredam oleh bungkaman tangan sendiri. “Peluitmu senantiasa kena ludah namun tak pernah ananda basuh ya? Idih, minta ampun busuknya!”

“Begitu ya, Yu? Tetapi, peluitku amat penting. Bunyinya berkuasa mengendalikan simpang tiga,” jawab Paman Klungsu sambil berupaya menangkap peluit yg dilemparkan Yu Binah ke arahnya.

“Iya, lah, gue tahu. Namun, kenapa peluitmu yg punya kuasa itu mesti bacin busuk? Ah, cucilah barang busuk itu. He, dengar. Kamu jangan ke warungku sebelum peluit itu ananda basuh. Benar ya?”

Paman Klungsu mengangguk & tersenyum. Setelah Yu Binah berbalik, Paman Klungsu melamun sejenak. Mendadak ia termakan untuk menjajal merasakan sendiri bacin peluitnya. Maka lubang pada barang kecil itu didekatkan ke hidungnya. O, Paman Klungsu secara tiba-tiba tersentak & berkali-kali bergidik, lalu cuh! Kemudian Paman Klungsu berjalan terpincang-pincang sambil menunduk, pulang ke simpang tiga. Panas matahari menyengat kepalanya. Dan peluit sakti yg bau busuk itu tetap dlm genggaman. [*]