Seandainya di bumi ini setiap manusia dijatah mempunyai tawa dgn volume yg sangat terbatas. Misalnya, tawa satu orang insan disimpan di dlm tabung tertentu, sehingga tak ada yg sembarang pilih melempar tawanya, demi berjaga-jaga agar suatu tatkala seseorang tak kehabisan tawa untuk hal-hal yg tak penting.
Aku sudah membayangkan hal ini, sekalipun Tuhan tak memberi tahu para nabi & rasul bahwa setiap insan mempunyai jatah tawanya masing-masing. Kaprikornus, menurut keyakinanku (dan mudah-mudahan ini benar), tawa setiap jiwa disimpan dlm satu tabung yg tersembunyi di dlm tubuhnya.
“Kamu sudah gila. Sebaiknya ananda bawa dirimu ke hebat saraf, atau mungkin sudah saatnya ananda resign. Pekerjaanmu yg gila sungguh-sungguh membuatmu gila!” kata satu orang temanku.
Aku bekerja di suatu kantor yg mengorganisir hitungan angka hingga berbelas digit, & bukan cuma itu saja; bila salah, risiko besar menghabisiku. Aku tak boleh salah hitung & harus akurat. Aku memang selalu bisa diandalkan dlm urusan ini, namun karena inilah gue cepat renta. Kata ibuku, pekerjaanku gajinya gede, namun ibuku tahu di kepalaku sudah tumbuh beberapa helai uban yg seharusnya belum waktunya ada di sana.
Temanku beropini bahwa keyakinanku akan adanya tabung tertawa disebabkan oleh pekerjaanku. Setiap hari gue bertemu angka-angka & jarang tertawa. Aku lebih sering diam & hampir senantiasa bersitegang dgn siapa saja yg kuhadapi, kecuali bos pastinya, dibandingkan dengan tertawa.
Aku bersitegang dgn orang-orang di luar kantor bahkan untuk hal-hal sepele. Aku mampu saja emosi menghadapi tukang sate pagi ini, & nanti siang gue kembali emosi karena merasa ada tindakan yg kurang ajar dr seorang penjaga kios fotokopi. Kukira itu wajar pada awalnya; gue merasa marahku bukan tanpa argumentasi. Namun lama-usang orang menganggapku sombong. Semakin ke sini, gue malah dianggap robot.
“Kamu insan robot yg tak bisa tertawa. Kamu insan yg kaku & tak pandai berbasa-basi,” kata teman yg lain. Aku dianggap gampang tersinggung & tak tahu banyolan-lelucon dasar yg harusnya anak SD saja paham.
Setelah tuduhan itu, gue tak pernah tenang dlm tidur. Di kepalaku bukan cuma ada angka-angka, namun pula wajah orang-orang yg menghina & tertawa. Kupikir tak ada seorang pun yg seharusnya tertawa tanpa argumentasi. Bahkan, hal sekecil diriku-yang- dianggap-robot, mereka sangat gemar menertawakannya. Padahal, bukankah itu persoalan diriku langsung?
Itulah yg kemudian mendasariku membayangkan bahwa setiap insan punya jatah tawanya masing-masing. Jatah tawa itu disimpan Tuhan di dlm semacam tabung, & tabung tersebut cukup diselipkan di sela-sela organ badan. Tidak ada dokter mana pun yg tahu, pastinya atas kehendak Tuhan. Seandainya itu memang terjadi, kukira tak akan ada lagi tawa tidak berguna di muka bumi ini.
Semua orang menertawakanku dengan-cara sia-sia. Itu karena mereka tak tahu yg kualami di kantor & risiko yg kutelan jikalau sampai salah hitung angka berbelas digit itu. Mereka sesuka hati mengumbar tawa seakan gue robot betulan yg bisa mereka perbaiki dgn tawa basi itu.
“Sekali-kali pergi cari cewek, Bung,” kata mereka.
Aku tak pernah menimbang-nimbang hal lain dengan-cara serius selain pekerjaanku. Urusan apa gue tidak punya pacar, sekalipun umurku sudah menjelang angka tiga, itu bukan soal. Ibu saja tak pernah mendesak-desakku untuk cepat kawin. Ibu cuma prihatin dgn uban yg satu demi satu mulai bertumbuhan di kepalaku.
Ibu menyarankan supaya gue sesekali tertawa agar uban-uban itu rontok. Ibu tahu gue enggan bila seseorang duduk di belakangku & ia memegang pinset untuk mencabuti rambut-rambut putih yg berkembang berpencar di kulit kepalaku. Aku tak suka lantaran itu membuatku terlihat konyol.
Aku sendiri bukan membenci tawa, dgn kondisiku yg mirip sekarang ini. Di permulaan bekerja dulu gue pernah tertawa beberapa kali di jam istirahat cuma supaya gue tak jadi stress & gila karena setiap hari menghadap angka-angka. Bahkan, orang pencinta matematika sepertiku saja butuh hiburan & gue tahu itu.
Tapi, tatkala itu, tertawa membuatku celaka. Aku tertawa & satu digit angka salah kumasukkan, sehingga bos memarahiku & membawaku ke suatu tempat. Itu semacam kastil drakula, tetapi gue tahu di Indonesia tak ada tempat semacam itu. Aku pula tahu mungkin tempat itu hanyalah rumah insan lazimyg didesain menyerupai kastil drakula semoga tak ada maling yg berani menyatroni.
Bos membawaku ke sana & menghukumku. Memang benar di sana tak ada yg namanya makhluk sejenis drakula, tetapi di setiap ruangan terdapat banyak sekali macam alat siksa yg bikin otak seseorang kembang-kempis & mungkin meledak. Ini tak masuk akal. Memang tak masuk akal. Dan tak semua orang pantas percaya, tetapi itu memang terjadi. Aku dieksekusi di salah satu alat & merasa nyawaku di ujung pedang. Bos bilang, “Jika ananda masih mau hidup, sebaiknya nggak usah tertawa-tawa!”
Sejak itu, gue berharap mudah-mudahan Tuhan memang membuat tabung khusus guna menampung tawa setiap insan. Makara, tawa itu dijatah & tak ada orang yg mampu dengan-cara sembarangan tertawa lepas. Tertawa harus berdalih: dlm rangka komedi & tak bikin seseorang rugi besar.
Bosku punya keyakinan, setiap angka yg salah, sama dgn selangkah pada maut. Aku & semua pegawai panik, & itulah yg membuat kami kesannya jadi malas tertawa. Kami mulai merekayasa fikiran tertentu yg bikin kami damai sebab tak lagi tertawa, kecuali memang sempurna waktunya tertawa, gara-gara mengalami ledekan tak adil dr orang-orang luar pekerjaan.
Kami dianggap robot & tak gaul & pastinya kurang piknik. Suatu tatkala gue & teman-sahabat sedesa pergi piknik untuk membuat puas kehendak tertawa mereka. Dalam sehari itu gue hanya tersenyum empat belas kali, & tak tertawa, sehingga orang pun tak ragu menganggapku insan mati rasa. Padahal semua tahu, pada hari itu, salah satu dr kami tak sengaja menginjak tahi sapi & ia terpaksa pulang bertelanjang kaki. Banyak wanita di tempat rekreasi tertawa melihatnya yg konyol. Hanya gue yg tak tertawa.
Kepada seorang sobat yg agak mampu dipercaya, kuungkapkan pemikiranku soal tabung tawa.
Kukatakan padanya, “Aku sudah membayangkan, sekalipun Tuhan tak memberi tahu nabi & rasul bahwa setiap manusia mempunyai jatah tawanya masing-masing. Kaprikornus, menurut keyakinanku (dan gampang-mudahan benar), tawa setiap jiwa disimpan dlm satu tabung yg tersembunyi di dlm tubuhnya.”
Temanku malah menganggapku gila & menyuruhku resign.
Kubilang padanya, gue tak makan kalau resign. Ia pergi & memintaku jangan menghubunginya lagi. Ia tak ingin orang-orang di desa mengucilkannya juga, karena menilai membelaku yg tak pantas dibela.
Kenyataan ini tak cuma gue yg mengalami; teman-sobat kantorku pula sama. Di satu daerah kami pun berkumpul & sepakat membangun golongan anti-tawa, yg isinya orang-orang serius dgn keyakinan: bahwa setiap insan mempunyai tabung tawa masing-masing, & bila terlalu banyak tertawa selama hidup di bumi, maka suatu hari nanti, apabila masuk surga, ia tak bisa tertawa, sekalipun di nirwana ada banyak kelucuan.
Kami percaya hal itu & memegang teguh hal itu. Kami terus menghadap belasan digit angka & tak pernah keliru. Kami tak tertawa & hari ke hari uban di kepala ini makin bergerumbul. Satu demi satu, Ibu menghitungnya, sampai ada saatnya Ibu mulai malas, sebab matanya menua & tak sanggup lagi membedakan uban yg sudah dihitung & uban yg baru bercokol. Itu karena saking banyaknya uban di kepalaku.
Bukan cuma dikuasai uban di usia muda, golongan anti-tawa ini orang-orangnya mulai mengeriput, alasannya barangsiapa benci tertawa, maka waktu menarik kuat kulit wajahnya ke bawah. Aku tak percaya, tetapi suatu hari kusadari wajah kami memang mulai kisut. Ibu cemas tak bisa punya cucu, karena gue anak semata wayang & gue belum kawin. Dan ia pun mulai ke sana kemari mencarikan jodoh untukku.
Aku tak peduli lagi omongan orang, & gue terus mencari uang dgn angka-angka sebagai senjataku. Keyakinan bahwa tabung tawaku kelak akan berguna di nirwana tetap kujaga. Akhirnya dua bulan kemudian gue menikah dgn janda beranak lima; ia benar-benar sudah tua & berumur hampir lima puluh, namun gue tak peduli.
Suatu hari, sahabat yg dulu menjauhiku, mampir ke rumah & mengajukan pertanyaan kabarku. Ia tampak prihatin melihat rambut di sekujur kepalaku memutih rata. Kukatakan bahwa gue baik-baik saja, & bahwa gue kini sudah mampu bebas menjalani hidupku yg tanpa tawa, serta pastinya tanpa mengkhawatirkan omongan orang.
Temanku meminta maaf. Ia sadari semua ini tak perlu terjadi. Maksudnya, tak perlu ada ledekan kepadaku, yg hidup sesuai caraku. Juga tak perlu ada kecaman yg golongan anti-tawa kerjakan terhadap mereka yg suka menganggap hidup cuma sekadar bermain-main.
“Bagaimanapun, kita semua butuh saling menghargai,” kataku menutup konferensi sore itu. [*]