Suara Tuhan itu kini sedang menuntunmu, sedang ada dlm tubuhmu,” kata Parsyah. Luguwan bengong. Betulkah Suara Tuhan ada dalaman tubuhnya & sedang menuntunnya? Pertanyaan itu mampir pula di benaknya. Setelah sekian lama tak memperdulikannya, Luguwan balasannya luluh juga.
“Makanya turuti saja Suara Tuhan itu. Banyak orang, bbaaannyyaaakk sekali, yg menginginkan seperti dirimu,” kata Parsyah lagi.
Luguwan bahu-membahu orang yg sederhana. Sebagai anak yg lahir dr keluarga buruh tani yg miskin ia tak punya impian yg asing-gila. Kalaupun ada yg disebut aneh, untuk ukuran di kampungnya, ketika lulus Sekolah Menengah Pertama Luguwan begitu bersemangat melanjutkan ke SMK.
Tapi sesudah lulus SMK, cita-cita ajaib itu malah mendapat cemooh. Ya, karena sehabis melamar pekerjaan ke sana ke mari, jadi honorer sekalipun, tak ada yg mau mendapatkannya dengan-cara gratis. Akhirnya ikut bapak, tetangga & saudara-saudaranya, jadi buruh tani lagi di kebun-kebun milik orang kota.
Karena tak berpengaruh menghadapi cemooh & tertawaan orang-orang yg selalu bilang “ngapain sekolah tinggi-tinggi jikalau cuma jadi buruh tani”, Luguwan kemudian ke kota & bekerja di tukang bakso. Bukan pedagang bakso besar kawasan Luguwan bekerja. Hanya roda bakso kecil yg mangkal di depan sebuah perumahan kecil.
Tugas Luguwan sendiri mulai dr mempersiapkan roda, meladeni konsumen, basuh mangkok-gelas, lalu pula belanja & meracik. Lima tahun kemudian setelah melamar Siti Suciati, gadis sederhana yg bekerja sebagai tukang basuh piring di rumah makan Padang, Luguwan pulang ke kampungnya. ia mampu berdiri diatas kaki sendiri dgn berdagang bakso keliling dr kampung ke kampung menggunakan motor.
Empat belas tahun kemudian usahanya meningkat menjadi suatu warung bakso yg lumayan besar, sepuluh motor yg berkeliling ke banyak sekali penjuru kota kabupaten. Saat itulah, saat anak semata wayangnya lulus SD, Luguwan ingin memasukkan anaknya ke pesantren.
“Kamu jangan cuma bisa baca Qur’an sekadarnya, Jang. Kamu mesti tahu ilmu membaca yg benar, mesti hapal di luar kepala. Di jaman yg bertambah banyak godaan ini, sabda Tuhan dlm kitab suci akan makin berkhasiat, Jang,” kata Luguwan pada anaknya.
Tapi mau apa dikata tatkala Luguwan tak mendapatkan pesantren yg cocok untuk anaknya mencar ilmu. Pesantren kini berlainan dgn dulu. Saat kakek-neneknya berkisah masuk pesantren cuma cukup modal kemauan, membantu-bantu di rumah kiai, menjinjing hasil tani ala kadarnya bila pulang; kini tak ada lagi. Masuk pesantren itu mahal. Kaprikornus penghafal Qur’an itu butuh jutaan bahkan puluhan juta rupiah tatkala masuk. Malah jauh lebih mahal dr masuk kuliah.
Sebagai juragan bakso, Luguwan bergotong-royong sanggup saja membayar 10-20 juta rupiah untuk sekolah anaknya. Tapi ia melihat anak-anak tetangga, kerabat, orang-orang kampung lainnya yg secara umum dikuasai hidup sederhana. Mereka hanya bisa belajar iqro di masjid & madrasah. Hapal aksara & bisa baca karakter sambung saja sudah bersyukur.
“Begitulah impian saya, Ustadz. Saya merasa sakit hati dgn pesantren-pesantren yg untuk masuknya saja harus punya uang puluhan juta rupiah. Bagaimana anak-anak saudara kita, tetangga kita, yg untuk makan saja sering kerja serabutan, apakah mereka tidak memiliki hak untuk masuk Surga?” kata Luguwan pada Ustadz Yusuf, sahabatnya yg menjadi pengajar di sebuah madrasah kecil.
“Ana sudah lama mencemaskan itu. Ana terharu bila Antum punya rencana seperti itu,” kata Ustadz Yusuf dgn berurai airmata.
Maka dibangunlah sebuah rumah sederhana. Awalnya anak tetangga, saudara, orang-orang kampung, mencar ilmu di Rumah Qur’an Luguwan. Guru-gurunya yaitu anak-anak muda yg tak saja mencari pekerjaan, tetapi pula ingin membaktikan ilmunya. Mereka yakni para hafizh dan hafizhah lulusan pesantren besar & perguruan tinggi tinggi di Mesir, Turki, Yordania, & yang lain.
“Anak siapapun boleh belajar di sini. Mulai dr iqra hingga menjadi hafizh dan hafizhah, bayarannya semampunya. Modal terutama adalah kemauan, kesungguhan, & semangat untuk hidup lebih baik dgn memahami Alquran yg sesungguhnya.” Begitu lazimnya bila Luguwan pidato membuka tahun fatwa gres.
Dengan rumah berguru yg sederhana itulah, siapa sangka Luguwan menjadi sangat terkenal. Sosok, Rumah Qur’an, warung baksonya, kerap kali hilir mudik di media massa & media sosial. Saat itulah Parsyah datang & datang lagi menemui Luguwan & menyampaikan hal yg sama.
“Suara Tuhan itu sekarang sedang menuntunmu, sedang ada dlm tubuhmu,” kata Parsyah.
Akhirnya Luguwan pun berdasarkan. ia menjadi nomor urut 1 dr Partai Rantai yg dipimpin Parsyah di kabupatennya dlm Pemilu Legislatif. Dan betul saja, tanpa penawaran spesial yg berlebihan sekalipun, tanpa memasang poster di pohon-pohon & tembok-tembok pun, Luguwan terpilih menjadi salah seorang yg terhormat Wakil Rakyat.
“Suara Rakyat itu Suara Tuhan, & itu kini sedang berbisik di hatimu. Dengan menjadi Wakil Rakyat, tak saja Rumah Qur’an yg kecil & sederhana yg bisa ananda persembahkan buat masyarakat, namun jjaaauuuhhh lebih besar dr itu,” kata Parsyah.
Luguwan percaya itu. Dan memang betul, beberapa tahun kemudian rumah mencar ilmu sederhana dgn guru-guru muda yg shaleh dan shalehah itu sudah menjelma pesantren dgn masjid yg megah. Anak-anak pejabat, bawah umur orang kaya, para kenalan Luguwan yg kian banyak, mulai berguru di Pesantren Luguwan. Pengelola yg pikiran usahanya lebih terbaru mulai direkrut.
Dan Luguwan sendiri, sudah berubah juga. ia tak seramah & sesederhana dulu. Luguwan semakin pandai berorasi & semakin sensitif. ia cepat curiga terhadap apapun yg menjamah sensitifitasnya.
“Orang yg duduk di pojok itu layak dicurigai. ia sudah bicara tak jelas. ia sudah melaksanakan penghinaan. ia harus diperiksa!” kata Luguwan sehabis jadi pembicara dlm Diskusi Politik untuk Publik.
Orang yg duduk di pojok itu pun ditangkap. Tuduhan pencemaran nama baik disematkan kepadanya. Tapi sebelum masuk ke pengadilan, tangan kanan eksklusif membisikkan sesuatu pada Luguwan.
“Kami sudah periksa semua kamera yg merekam kegiatan kemarin itu, Pak. Orang itu tak menyampaikan apapun. Memangnya kata-kata apa yg terdengar oleh Bapak?” kata asistennya.
“Oh, tidak. Tidak apapun.”
Begitulah, Luguwan jadi cepat curiga dgn orang-orang yg tampaknya menyampaikan sesuatu. ia mendengar dgn terang kata-kata itu. “Suara Rakyat itu Suara Tuhan. Tapi Suara Tuhan telah ananda bungkam!” Begitu Luguwan mendengarnya.
Setahun menjelang masa jabatannya selesai, Luguwan tertangkap basah KPK mendapatkan uang 5 miliar rupiah saat mengatur perizinan Perumahan & Sekolah Internasional di kotanya. Semua orang terkejut. Beritanya cepat viral di media massa & media umum. Pro kontra, percaya & tidak, tak pernah ada habisnya. Orang-orang terdekatnya melaksanakan pembelaan. Di masjid megah yg didirikannya, setiap malam digelar doa bareng untuk Luguwan.
Sementara Luguwan sendiri, didalam penjara, semakin yakin, bunyi yg mengejek itu memang ada. Semakin terang.
“Suara Tuhan sudah ananda bungkam!” kata bunyi itu. Suara dr dlm hatinya sendiri.(*)