SHOLAT JUM’AT MENURUT TAFSIR AL-JASAS, https://4.bp.blogspot.com |
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya terhadap kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ihwal Sholat Jum’at.
Makalah ini sudah kami susun dengan maksimal dan menerima perlindungan dari banyak sekali pihak sehingga mampu memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami memberikan banyak terimakasih kepada semua pihak yang sudah berkontribusi dalam pengerjaan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kelemahan baik dari sisi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh alasannya adalah itu, dengan tangan terbuka kami mendapatkan segala rekomendasi dan kritik dari pembaca semoga kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memperlihatkan faedah maupun pandangan baru kepada pembaca, serta dapat memperbesar khazanah wawasan kita. Amin
Yogyakarta,
Penyusun, 18 April 2017
DAFTAR ISI
COVER i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I 1
PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 2
1.2 Tujuan 2
BAB II 3
PEMBAHASAN 3
2.1 Biografi 3
2.1.1 Riwayat Hidup 3
2.1.2 Karya-karya Al-Jaṣaṣ 4
2.1.3 Guru-guru Al-Jaṣaṣ 4
2.2 Metodologi Penafsiran Al-Jaṣaṣ 5
2.3 Tafsir Sholat Jum’at dalam QS. Al-Jumu’ah : 9-11 6
2.3.1 Jumlah Minimal Jama’ah 8
2.3.2 Hukum Transaksi Jual Beli 8
2.3.3 Safar Ketika Hari Jumat 10
2.3.4 Berdiri Ketika Khutbah 11
2.4 Syarat-syarat Shalat Jum’at 12
2.4.1 Syarat Wajib Shalat Jum’at 12
2.4.2 Syarat Sah Shalat Jum’at 13
2.4.3 Fardhu Shalat Jum’at 13
2.4.4 Syarat-syarat Khutbah 13
2.4.5Sunnah-sunnah Hai’at Shalat Jum’at 13
BAB III 14
PENUTUP 14
3.1 Kesimpulan 14
DAFTAR PUSTAKA 15
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di dalam salah satu ritual ibadah rutinan umat muslim ada yang dinamakan dengan shalat jum’at, ibadah ini dikerjakan 1 minggu sekali pada hari Jum’at. Mengenai shalat jum’at terdapat perbedaan dengan shalat-shalat lainnya. Di dalam shalat jum’at ada semacam pekerjaan atau ibadah yang mesti dijalankan sebelum shalat itu dimulai, dan menjadi fardhu dalam shalat jum’at, yaitu khutbah
Ketika adzan shalat jum’at dikumandangkan, disyari’atkan bagi umat muslim untuk menghentikan segala aktivitasnya utamanya jual beli. Hal ini dijalankan sebagai bentuk penghormatan kepada shalat jum’at itu sendiri, dan kepada Allah berdasarkan apa yang telah Dia firmankan dalam AL-Qur’an.
Dalam makalah ini, penulis membicarakan urusan shalat jum’at menurut QS. Al-Jumu’ah : 9-11 berdasarkan tafsir al-Jasas yang dikarang oleh Abu Bakar bin Ali al-Razi. Meskipun kitab ini bermadzhab fiqih hanafi, tetapi kitab ini merupakan bil-Ma’tsur, yakni tafsir yang mengkaji ayat dengan menyertakan hadits Nabi, usulan para sahabat, dan tabi’in.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi tokoh ?
2. Bagaimana metodologi penafsiran al-jasas ?
3. Bagaimana penafsiran shalat jum’at dalam QS. Al-Jumu’ah ayat 9-11 ?
4. Apa saja syarat-syarat shalat jum’at ?
5. Apa saja sunnah-sunnah hai’at dalam shalat jum’at?
1.2 Tujuan
1. Mengetahui biografi tokoh
2. Mengetahui metodologi penafsiran al-jasas
3. Mengetahui penafsiran shalat jum’at dalam QS. Al-Jumu’ah ayat 9-11
4. Mengetahui syarat-syarat shalat jum’at
5. Mengetahui sunnah-sunnah hai’at dalam shalat jum’at
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Biografi
2.1.1 Riwayat Hidup
Nama lengkap dia yaitu Abu Bakar bin Ali al-Razi, populer dengan panggilan al-Jashash (Tukang Kapur) , lahir dikota Baghdad pada ahun 305 H dan wafat masih dikota yang sama pada tahun 370 H. Al-Jaṣaṣ ialah nama Laqab dia yang dinisbatkan kepada pekerjaan beliau selaku tukang plester(gabungan semen, pasir, kapur, untuk melekatkan kerikil bata). Dalam kamus Lisān al-‘Arab kata al-Jaṣaṣ maknanya adalah kapur atau tukang kapur. Kadang beliau juga di panggil dengan panggilan Jaṣaṣ al-Ḥanafi, al-Razi al-Jaṣaṣ , Ahmad ibn ‘Ali, Abu Bakar, dll. Sedangkan untuk panggilan Abu Bakar yakni Kunyah dia. Beliau yaitu imam yang ternama dimasanya, luas dalam thalab ilmunya, dia belajar kepada Abu Suhail al-Zujaj, Abu al-Hasan al-Kurkhi dan kepada yang yang lain diantara ‘ulama fiqih pada jamannya dan menghabiskan studinya di kota Baghdad. Beliau mengambil manhaj zuhud dari gurunya imam al-Kurkhi. Dari sikap zuhudnya itu sampai-hingga ada tawaran berulang kali kepada dia menjadi qodli atau hakim, tetapi beliau menolaknya.
Beliau meriwayatkan hadis dari Abdul Baqi bin Qani’. Kemudian, atas rekomendasi gurunya, al-Karakhi, beliau merantau ke Naisabur berguru kepada Hakim an-Naisaburi lalu kembali ke Baghdad pada tahun 344 H. Mulai ketika itu, dia menetap dan mengajar di Irak. Suatu dikala beliau ditawari menjadi Qadhi, namun beliau menolak. Kegiatannya dalam pendidikan memberikan hasil aktual. Berkat bimbingannya, lahir pakar-pakar fiqh antara lain Muhammad Yahya al-Jurjani dan Abu Hasan az-Za’farani. Al-Manshur Billah memasukkannya ke dalam kelompok Mu’tazilah, sebagaimana banyak terlihat dalam penjelasan tafsirnya.
2.1.2 Karya-karya Al-Jaṣaṣ
Karya dia yang paling penting ialah tafsir Ahkam al-Qur’an. Selain itu, beliau juga melahirkan beberapa karya, antara lain :
1. Syarh Mukhtashar al-Karakhi
2. Syarh Mukhtashar at-Thahawi
3. Syarh al-Jami’ li Muhammad ibn al-Hasan
4. Syarh al-Asma’ al-Husna
5. Adab al-Qadha
6. Ushul Fiqh (dituangkan dalam muqaddimah tafsirnya).
Adapun hasil dari buah karya baliau sangatlah banyak dan dianggap yang paling aadalah kitab Ahkam al-Quran. Beliau membuat karya berbentuksyarah Mukhtashar imam al-Kurkhi, mukhtashar imam al-Thohawi dan syarah al-Jami’ al-Kabir karya imam Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani. Selain kitab-kitab tersebut, beliau juga membuat karya kitab ushul fiqih dan budpekerti al-qodlo. Maka dari hasil karya-karya ia ulama pada masanya memndang beliau sebagai khoirotul ‘ulamau al-a’lam (sebaik-baik ulama dunia-terkenal-) dia menjadi salah satu sandaran pembelaan terhadap madzhab hanafiah. Beliau menerima gelar al-manshuru billah (penolong Allah) pada thobaqoh mu’tazilah.
2.1.3 Guru-guru Al-Jaṣaṣ
Al-Jaṣaṣ mempunyai guru yang masing-masing guru tersebut mempunyai disiplin ilmu tersendiri, di antaranya yakni:
1. Abi al-Hasan al-Karahy. Dari Abi al-Hasan al-Karahy-lah dia menerima ilmu zuhud.
2. Aby Ali al-Farisy dan Aby Amr Ghulam Tsa’lab wacana ilmu lughat
3. Aby Sahl al- Zarjaji tentang ilmu fiqh
4. Al- Hakim al-Naysaburi tentang hadits.
2.2 Metodologi Penafsiran Al-Jaṣaṣ
Sekilas Tentang Kitab Ahkamul Qur’an
Karangan yang paling monumentalnya yakni Tafsir Ahkam Al-Qur’an atau yang diketahui dengan tafsir al-Jaṣhaṣ. Kitab Tafsīr Ahkām Al-Qur’an adalah kitab tafsir yang dikarang oleh Ahmad ibn ‘Ali al-Razy. Kitab tafsir ini ialah kitab tafsir yang dijadikan referensi oleh ulama’-ulama’ Hanafi ihwal fikih, alasannya tafsir Ahkam al-Qur’an ini yakni kitab Tafsir yang isinya atau tafsirannya mengarah kepada masalah fikih atau mampu dikatakan kitab ini ialah kitab fikih. Khususnya fikih Hanafi.
Kitab Tafsīr Ahkām Al-Qur’an merupakan kitab tafsir yang istimewa, sebab penafsirannya memakai metode bil Ma’tsūr (penafsiran dengan tata cara mengutip informasi yang ada dalam Al-Qur’an, Sunnah, atau kata-kata sahabat sebagai klarifikasi kepada firman Allah) sedangkan lazimnya orang yang bermazhab hanafi lebih cenderung kepada ra’yi dari pada riwayat. Al-Jaṣaṣ ialah penganut pemikiran ahlu as-Sunnah wal Jama’ah tetapi ada sebagian orang yang menatap beliau sebagai penganut aliran muktazilah, dengan dalil dalam tafsirannya beliau ada tafsiran yang mengarah pada anutan muktazilah.
2.3 Tafsir Sholat Jum’at dalam QS. Al-Jumu’ah : 9-11
“
(9) Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, Maka bersegeralah kau kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah perdagangan, yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengenali. (10) kalau telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kau di tampang bumi; dan carilah karunia Allah dan camkan Allah banyak-banyak semoga kau beruntung. (11) dan bila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka lewati kau sedang bangun (berkhotbah). Katakanlah: “Apa yang di segi Allah lebih baik ketimbang permainan dan perniagaan”, dan Allah Sebaik-baik pemberi rezeki”.
Allah berfirman,
“Hai orang-orang beriman, kalau diseru untuk menunaikan shalat Jum’at”
Menurut kesepatan mereka tentang maksud dari permintaan (panggilan) disini yakni mengumandankan adzan, dan tata cara adzan tidak dijelaskan dalam ayat ini. Tetapi diterangkan dalam hadits Rasul tentang mimpi Abdullah bin Zaid, sebetulnya di dalam mimpi tersebut Rasulullah mengumandangkan adzan. Dan Umar pun juga bermimpi seperti halnya mimpi Ibnu Zaid.
Dalam Al-Qur’an. Nabi mengajari Abu Mahdzurah, lalu beliau pun menyebutkan takbir berkali-kali dalam awal adzan, dan sudah kami sebutkan hal itu di dalam firman Allah
“Dan jika kita diseru (diundang) untuk menjalankan sholat” (Al-Ma’idah:58).
Dalam hadits Nabi. Telah diriwayatkan dari Ibnu Umar dan Hasan, di dalam firman Allah
“Apabila diseru (dipanggil) untuk menjalankan sholat di hari jum’at”.
Nabi bersabda “Apabila imam telah keluar dan mu’adzin telah mengumandangkan adzan, maka hal itu menunjukan undangan kepada kita untuk segera melaksanakan sholat”.
Allah berfirman,
“Maka bersegeralah kau terhadap mengingat Allah dan meninggalkan perdagangan”
Dalam hadits Nabi, sudah diriwayatkan az-Zuhri dari Ibnu Musayyib dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah Saw bersabda : “Apabila hari Jum’at datang, maka disetiap pintu masjid terdapat malaikat yang mencatat siapa pun yang datang lebih dahulu (untuk menghadiri sholat jum’at). Apabila imam sudah duduk (di atas mimbar), mereka menutup lembaran catatan untuk turut mendengarkan khutbah. Misal orang yang tiba pada awal jum’at bagaikan orang yang berkurban seekor unta, kemudian (orang yang datang berikutnya) bagaiakan orang yang berkorban seekor sapi, lalu (orang yang datang berikutnya) bagaikan orang yang berkurban seekor domba, lalu (orang yang tiba berikutnya) bagaikan orang yang berkurban seekor ayam, lalu (orang yang datang berikutnya) bagaikan orang yang berkurban sebutir telur”
2.3.1 Jumlah Minimal Jama’ah
Adapun aturan berjama’ah dalam shalat Jum’at yaitu wajib. Sedangkan mengenai jumlah sekurang-kurangnyajamaah dalam shalat Jum’at terdapat perbedaan usulan dikalangan ulama.
Pertama, Abu Hanifah, Zafar, dan Muhammad beropini bahwa jumlah minimal jama’ah dalam shalat Jum’at yaitu empat (tiga selain imam).
Kedua, menurut Abu Yusuf sekurang-kurangnyajama’ah adalah tiga termasuk imam.
Ketiga, Ats-Tsauri beropini minimal dua tergolong imam.
Abu Bakar berkata: Jabir meriwayatkan bahwa Nabi Saw pernah berkhutbah dikala hari Jumat. Kemudian tiba kafilah dan manusia pun berlari menuju kafilah itu sehingga cuma tersisa 12 pria bersama nabi Saw. Lalu Allah menurunkan ayat, dan ketika mereka menyaksikan dagangan atau permaian maka merekapun akan menuju kepadanya. Telah dikenali bahwa Nabi Saw tidak pernah meninggalkan shalat Jumat sejak berada di Madinah dan tidak pernah mengingatkan perihal kembalinya kaum, sehingga shalat Jumat wajib diresmikan oleh (minimal) 12 orang laki-laki. Dan jago sejarah menukil bahwa shalat Jumat yang pertama kali didirikan di Madinah yaitu shalat Mus’ab bin Umair dengan 12 pria atas perintah Nabi Saw. Dan hal itu terjadi sebelum hijrah. Maka mampu dibilang gugur (bathal) jumlah syarat 40 orang laki-laki. Dan juga, tiga mirip halnya empat puluh ialah angka plural yang sah. Dan yang kurang dari tiga masih diperselisihkan kesahannya sebagai angka plural. Maka bisa dicukupkan dengan tiga dan tidak mensyaratkan yang lebih dari tiga.
2.3.2 Hukum Transaksi Jual Beli
Dan firman Allah tinggalkanlah jual beli, Abu Bakar berkata bahwa terdapat pertengkaran di antara ulama salaf dalam waktu pelarangan perdagangan. Masyruq, Dhahaq, dan Muslim bin Yasar meriwayatkan jual beli hukumnya haram saat matahari condong ke arah barat (zawal asy syams). Adapun Mujahid dan Zuhdi beropini haramnya dikala adzan dikumandangkan. Ada sebuah komentar yang menyatakan bahwa pertimbangan waktu dengan zawal asy syams itu lebih baik, sebab hukum pelarangan jual beli tidak akan gugur sebab adzan yang diakhirkan.
Para ulama bertikai pendapat dalam pelegalan (sah) jual beli dikala adzan shalat jumat.
Pendapat pertama, Abu Hanifah, Abu Yusuf, Zafar, Muhammad, dan Syafi’i berpendapat bahwa perdagangan tersebut sah namun tidak boleh. Kedua, Imam Malik mengatakan batal (tidak sah).
Abu bakar berkata, Allah berfirman janganlah kalian mengkonsumsi harta kalian dengan batil kecuali hasil jual beli yang saling ridho; dan Nabi bersabda, tidak halal harta serang muslim kecuali atas kerelaan hatinya; bahwa kedua dalil ini menyatakan transaksi perdagangan hukumnya sah dilakuakn di waktu kapanpun. Apabila ada komentar bahwa Allah berfirman tinggalkanlah perdagangan, maka kami menggapi bahwa kami menkombinasikan dua dalil tadi sehingga aturan transaksi tersebut sah namun haram. Adapun kepemilikian dihukumi dengan ayat dan hadis lain.
Pelarangan (haram) perdagangan tidak berafiliasi dengan transaksi tersebut, tetapi berhubungan dengan hal di luar transaksi yaitu kewajiban melakukan sholat. Maka hukum perdagangan tetap sah. Sama juga seperti perdagangan di selesai waktu shalat yang ditakutkan akan habis waktunya jikalau tetap dijalankan jual beli. Hukumnya sah tetapi haram alasannya keharusan untuk secepatnya melaksanakan shalat. Dan juga sama (sah tapi haram dikerjakan) mirip talaqqiyil jalab, transaksi orang kota kepada orang desa, dan transaksi yang dilaksanakan di lokasi yang tidak mendapatkan izin (maghsub). Diriwayatkan Abdul Aziz Ad Darowardi dari Yazid bin Khushaifah dari Muhammad bin Abdurrahman bin Tsauban dari Abu Hurairah, bila kau menyaksikan seseorang yang melaksanakan jual beli di masjid, maka katakanlah kepadanya semoga Allah tidak memberi keuntungan untukkmu. Dan kalau kamu menyaksikan orang yang mencari barang yang hilang di masjid maka katakanlah kepadanya, semoga Allah tidak mengembalikannya kepadamu. Kemudian Muhammad bin ‘Ajlan meriwayatkan dari Amru bin Syua’ib dari ayahnya dari kakeknya bahwa Rasulullah melarang bertransaksi jual beli, mencari barang yang hilang dan melantunkan syair di dalam masjid. Dan Nabi juga melarang memotong rambut di hari jumat sebelum sholat. Kemudian Muhammad bin Muslim bercerita terhadap kami dari Abdu Rabbihi bin Abaidillah dari Makhul dari Muaz bin Jabal bahwa Rasulullah bersabda jauhkan anak anak kecil kalian, orang abnormal kalian dari masjid-masjid kalian.
2.3.3 Safar Ketika Hari Jumat
Adapun pertimbangan perihal safar dihari Jum’at yaitu:
1. Atha’ dan Qasim bin Muhammad bahwa ia membenci untuk keluar untuk keluar di tengah hari Jumat.
2. Al Hasan dan Ibnu Sirin menyampaikan tidak mengapa bepergian di waktu Jumat selagi belum masuk waktu atau belum didirikan shalat Jumat.
3. Israil dari Ibrahim bin Muhajir dari An Nakh’i menyatakan bahwa saat seseorang ingin bepergian dikala hari Kamis, maka bepergianlah saat pagi menjelang siang. Jika dan saat hari menjelang sore maka jangan pergi sehingga beliau shalat Jumat.
4. Atha’ dari Aisyah bahwa saat seseorang menemui malam Jumat maka jangan pergi sampai menunaikan shalat Jumat.
5. Ibrahim, Allah berfirman Dialah yang mengakibatkan bumi dhalulan maka berjalanlah di manakibiha, bahwa ayat ini mengindikasikan bolehnya bepergian di waktu kapanpun tanpa ada batas waktu.
Hal tersebut sudah dhahir (terperinci) dalam hukum malam jumat, sebelum masuk waktu zawal asy syams, dan bolehnya safar dikala keduanya. Yang niscaya tidak boleh ialah sesudah zawal asy syams, alasannya seseorang akan menjadi orang yang terikat keharusan shalat (ahlul khitab). Dan perihal Firman Allah, ketika telah dikumandangkan shalat di hari Jumat maka menujulah untuk megingat Allah dan tinggalkanlah perdagangan, terdapat suatu komentar: tidak ada pertengkaran dalam ayat ini bahwa perintah tersebut tidak dikhususkan untuk musafir, namun aturan fardhu shalat berkaitan dengan simpulan waktu masuk waktu sholat. Maka ketika seseorang bepergian dan saat masuk sholat beliau dalam kondisi musafir, maka ia tidak tergolong ahlul khitab.
Ketika sholat itu sudah ditunaikan maka betebarlah di paras bumi dan carilah anugerah Allah. Al Hasan dan Dhahak berkata bahwa ini ialah izin dan dispensasi yang Allah berikan. Abu Bakar mengatakan dikala ayat sebelumnya pertanda wacana keharaman jual beli, maka ayat setelahnya menjelaskan ihwal kebolehan dan terlepas dari aturan haram. Seperti ayat dikala kalian sudah bertahalul maka berburulah. Ada sebuah komentar: mencari anugerah Allah itu dengan cara taat dan berdoa kepada Allah. Ada lagi yang berkomentar mencari anugerah Allah itu dengan berdagang dan semacamnya. Dan usulan kedua ialah pertimbangan yang lebih kuat, alasannya indikasi ayat sebelumnya melarang transaksi.
Abu bakar berkata secara kontekstual ayat carilah anugerah Allah itu ialah kebolehan berjual beli. Allah berfirman, ada orang-orang yang mencari anugerah Allah dan ada juga yang berperang di jalan allah. Maka ayat carilah anugerah Allah ialah carilah anugerah Allah dengan berdagang. Hal ini juga diindikasikan oleh kepingan ayat setelahnya adalah dan camkan Allah senantiasa. Dan dalam ayat betebarlah di wajah bumi dan carilah anugerah Allah juga memberikan hukum bolehnya bepergian sesudah shalat Jumat.
2.3.4 Berdiri Ketika Khutbah
Diriwayatkan dari Jabir bin Hasan bahwa para sahabat melihat kafilah makanan tiba ke madinah dan mereka dalam kelaparan ketika itu. Jabir beropini bahwa al lahwu di sini yaitu seruling, sedangkan menurut Mujahid yaitu drum. Katakanlah sesuatu yang disisi allah adalah pahala untuk menyimak khutbah dan mauidhah, itu lebih utama dari pada senda gurau dan berjualan.
Dan mereka meninggalkanmu dalam keadaaan bangun. Ayat ini menawarkan bahwa khutbah itu bangkit. A’mas bin Ibrahim meriwayatkan bahwa seorang pria bertanya kepada Alqomah, apakah Nabi khutbah bangun atau duduk? Dia menjawab apakah Kau tidak membaca ayat dan mereka meninggalkanmu dalam keadaaan bangun. Hashin dari Salim dari Jabir meriwayatkan bahwa dahulu pernah tiba kafilah dari Syam dikala Rasulullah sedang berkhutbah. Kemudian sobat berpaling kepadanya dan meninggalkan Nabi dan 12 laki-laki. Maka turun ayat ini. Ja’far bin Muhammad meriwayatkan dari ayahnya dari Jabir bahwa Nabi ketika itu sedang khutbah kemudian tiba kafilah dan manusia pun keluar untuk menuju kafilah tersebut sehingga tersisa dua belas laki-laki. Abu Bakar berkata bahwa Ibnu Fudhail dan Ibnu Idris berselisih pertimbangan pada hadis pertama. Ibnu Fuhdail menyampaikan bahwa matan hadisnya yaitu kami shalat dengan Nabi. Ibnu Idris menyatakan bahwa matan hadis itu adalah Nabi berkhutbah. Mungkin yang diharapkan dengan sholat berdasarkan usulan Ibnu Fudhail ialah akan melaksanakan shalat, alasannya adalah orang yang menunggu shalat itu hukumnya sama dengan orang sedang shalat. Kemudian Abdullah bin Muhammad bercerita dari Hasan dari Abdurrazak berkata bahwa Abdullah bin Mu’ammar dari Al Hasan, bahwa ketika itu sahabat lapar dan harga barang mahal; kafilah datang saat Nabi berkhutbah; lalu mereka berpaling kepada kafilah itu dan Nabi ditinggal berdiri; Nabi berkata, andaikan orang-orang yang tersisa mengikuti orang-orang itu, maka sungguh lembah ini akan terbakar oleh api.
2.4 Syarat-syarat Shalat Jum’at
2.4.1 Syarat Wajib Shalat Jum’at
Syarat yang mengharuskan seseorang melaksanakan shalat jum’at ada 7, yaitu :
1. Beragama Islam
2. Dewasa
3. Berakal Sehat
4. Merdeka
5. Laki-laki
6. Sehat Jasmani
7. Bermukim (bukan musafir)
2.4.2 Syarat Sah Shalat Jum’at
Syarat-syarat sahnya melaksanakan shalat jum’at ada 3, adalah :
1. Tempat pelaksanaannya ada di kota atau di desa
2. Jumlah orang yang berjama’ah sekurang-kurangnya 40 orang yang kesemuanya telah menyanggupi syarat
3. Dilakukan dalam waktu Dzuhur
2.4.3 Fardhu Shalat Jum’at
Hal-hal yang mesti dipenuhi dalam mengerjakan shalat jum’at ada 3, yaitu :
1. Adanya 2 khutbah yang dilaksanakan dengan berdiri dan ke-2 nya dipisah dengan duduk
2. Dilakukan sebanyak 2 raka’at
3. Dilakukan secara berjama’ah
2.4.4 Syarat-syarat Khutbah
Syarat-syarat dalam khutbah jum’at ada 4, yakni :
1. Isi rukun khutbah mampu didengar oleh 40 orang
2. Berturut-turut antara khutbah pertama dengan khutbah kedua
3. Menutup aurat
4. Badan, pakaian dan tempatnya suci dari hadats dan najis
2.4.5 Sunnah-sunnah Hai’at Shalat Jum’at
Sunnah-sunnah hai’at dalam shalat jum’at ada 4, yaitu :
1. Mandi
2. Membersihkan Tubuh
3. Memakai Baju Putih
4. Memotong Kuku, dan menggunakan pengharum
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Shalat jum’at dihukumi wajib bagi semua kaum muslim laki-laki. Di dalam makalah kami kali ini, sudah dijelaskan mengenai syarat-syarat wajib, syarat-syarat sah, fardhu dalam shalat jum’at, serta sunnah-sunnah hai’at dalam shalat jum’at. Hukum berjama’ah dalam shalat Jum’at yakni wajib. Sedangkan mengenai jumlah minimal jamaah dalam shalat Jum’at terdapat perbedaan usulan dikalangan ulama. Hukum transaksi ketika hari jum’at serta safar ketika hari jum’at masih terdapat perbedaan usulan dari para Ulama. Dalam tafsir al-jasas ini juga sudah diterangkan perihal usul adzan, serta keutamaan-keistimewaan pahala yang diperoleh bagi orang yang berangkat terlebih dulu ke masjid untuk menunaikna shalat jum’at.
DAFTAR PUSTAKA
Daib Al-Bigha, Musthafa. (2008). Komplikasi Hukum Islam Ala Madzhab Syafi’i. Sa’id An-Nadwi, Fadlil. Al-Hidayah. Surabaya
Rifa’i, Moh. (2004). Risalah Tuntunan Shalat. PT Karya Toha Putra. Semarang
Seto, Wiyonggo. “Sejarah Akan Terus Makara Inspirasi”. , diakses pada tanggal 15 April 2017 pukul 09.42
Terjemahan Kitab Fathul Qarib
Baca Juga: Surat Al-Isra Ayat 78-79 (Waktu Shalat)