Seputar Asas Konkordansi (Seri Kuliah)

Pada periode kolonialisasi, Negara jajahan mau tidak ingindipaksa menganut Negara yang menjajahannya. Penjajah adalah bangsa yang mayoritas menentukkan hukum yang ada di penduduk . Selain itu untuk mengisi kekosongan aturan yang ada di Negara jajahannya, maka diterapkanlah hukum yang ada di Negaranya, pasti dengan pembiasaan ala kadarnya sesuai keadaan wilayah jajahannya. Penerapan aturan mirip ini, dalam pengertian aturan sekarang masih dipakai, yaitu aturan mengikuti warga negaranya.
Para pakar aturan, sering menyinggung asas Konkordansi, untuk menyebut prilaku aturan seperti di atas. Selain itu, urusan ini terkait dengan teori Hukum antar Tata Hukum (HATAH) yang terkait dengan Hukum antar Tempat, Waktu dan Golongan. Asas Konkordansi sering diketahui bahwa “Hukum di Negara jajahan mesti mengikuti hukum Negara Penjajah”. Sifat aturan yang memaksa dipraktekkan dalam keadaan mirip ini, dimana Negara jajahan dipaksa mengikuti aturan Negara Penjajah. Paradigma ini juga terjadi di Indonesia saat dijajah oleh Belanda. Baca : Politik Hukum Belanda di Indonesia
Dasar aturan Asas Konkordansi (Concordantie-beginsel) adalah pasal 131:2 (a) Indiesche Staatsregeling (IS) : “…de in nederland geldende wetten gevolt..”, artinya berlaku (dianut) undang-undang yang berlaku di Negeri Belanda. Asas ini diberlakukan untuk kelompok rakyat eropa (Eropeanen). Pada waktu itu, pemberlakukan aturan digolongkan sesuai dengan penggolongan penduduk atau rakyat. Terdapat 3 golongan rakyat, yakni kelompok Eropa (Europeanen), kelompok Timur Asing (Vreemde Oosterlingen) dan Golongan Pribumi (inlanders).
Berdasarkan asas konkordansi pula sejak tahun 1848 hukum di Nederland berlaku bagi seluruh penduduk di Hindia Belanda. Pada waktu itu penduduk Hindia Belanda dibagi atas tiga golongan: Eropa, Timur Asing, dan Bumi Putra. Golongan masyarakatbukan Eropa dapat menundukkan diri pada aturan Eropa baik secara sukarela maupun diam-diam. Kodifikasi hukum Eropa ini berisikan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHDagang), dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHPidana). Dalam perkembangannya aneka macam bahan dalam KUHPerdata dan KUHDagang sehabis Indonesia merdeka memisahkan diri dalam bentuk lahirnya undang-undang tersendiri, seperti Undang-Undang Pokok Agraria, Undang-Undang Tenaga Kerja, Undang-Undang Perseroan Terbatas, Undang-Undang Merk, atau Undang-undang Rahasia Dagang.
Di Belanda sendiri ketiga kitab undang-undang tersebut telah mengalami berkali-kali perubahan, namun di Indonesia pergeseran terjadi melalui prosedur pembentukan aneka macam undang-undang gres yang dulunya dikontrol dalam KUHPerdata, KUHDagang dan KUHPidana. Perubahan undang-undang ini juga terjadi oleh alasannya adanya keputusan-keputusan pengadilan yang menetapkan penafsiran kepada undang-undang tersebut dan akibatnya menjadi yurisprudensi. Dengan demikian Indonesia dianggap menganut metode hukum civil law atau eropa kontinental.
Setelah Indonesia merdeka dan memanggil kembali datangnya investasi abnormal pada tahun 1967, maka mendorong perdagangan internasional Indonesia ke pasar dunia, dan berusaha mendapat pemberian-sumbangan luar negeri dari negara-negara maju. Akibatnya lambat laun efek common law secara disadari atau tidak menginfiltrasi perkembangan hukum di Indonesia.
Common law menghipnotis hukum Indonesia melalui perjanjian-kesepakatanatau konvensi-konvensi internasional di mana Indonesia menjadi anggotanya. Mulai kesepakatanantara para pebisnis, lahirnya institusi-institusi keuangan baru, hingga pengaruh para sarjana aturan yang mendapat pendidikan di negara-negara Common Law mirip Amerika Serikat, Inggris dan Australia. Penetrasi common law dalam sistem hukum Indonesia lebih banyak diakibatkan keterlibatan Indonesia menjadi anggota berbagai konvensi internasional, di mana sistem common law adalah lebih banyak didominasi.
Sudah saatnya Indonesia sebagai Negara dan Bangsa yang merdeka merevitalisasi warisan aturan Belanda. Revitalisasi aturan dilakukan dengan tetap melihat sejarah hukum yang sudah diterapkan di Indonesia, alasannya adalah aturan tidak mampu diterapkan secara sporadic. Akan tetapi aturan diterapkan berdasarkan gerak langkah atau keperluan masyarakat, sehingga legal gaps[1] mampu diminimalisir. Kaprikornus, apakah asas Konkordansi masih compatible dengan pertumbuhan aturan ketika ini yang telah mengenal asas equality before the law?



[1] Legal gaps disini dapat diartikan kesenjangan hukum dengan realitas yang ada. Lebih jauh lagi pertentangan antara impian (kepentingan) dengan keperluan (kemakmuran).