Peradilan dari sisi sejarahnya
Sejarah adanya peradilan telah semenjak kurun silam, sebab didorong oleh kebutuhan kesejahteraan hidup dan peristiwa manusia itu sendiri, oleh sebab itu, peradilan sudah diketahui semenjak abad-kala pertama, dan tidak mungkin sebuah pemerintahan di dunia ini, apapun bentuknya, yang mau mampu berdiri tanpa menegakkan peradilan, karen atidak mungkinnya masyarakat manusia mampu menghindari persengketaan, oleh karena itu pula maka peradilan dipandang suci oleh semua bangsa, dalam banyak sekali tingkat kemajuannya. Karena menegakkan peradilan mempunyai arti menyuruh kebaikan dan menangkal bahaya kezaliman, memberikan hak kepada yang berhak, mencegah langkah-langkah kezaliman, mengusahakan islah di antara insan, menyelamatkan sebagian mereka dari kesewenang-wenangan ssebagian lainnya, karena manusia tidak mungkin menemukan kestabilan persoalan mereka tanpa adanya peradilan. Dengan adanya peradilan, maka darah manusia dilindungi, dan pada suatu dikala terpaksa ditumpahkan, dan dengan peradilan insan diperjodohkan, dan perzinahan diharamkandan harta benda ditetapkan pemiliknya, dan juga sebuah ketikam dicabut hak kepemilikan itu, dan muamalat mampu dimengerti mana yang boleh dan mana yang dihentikan, mana yang makruh dan mana yang disunnahkan.
Kehidupan insan pada setiap masanya selalu memerlukan peradilan, karena kalau tidak, maka kehidupan mereka akan menjadi liar, dan jikalau telah dimaklumi perlunya undang-undang bagi kehidupan penduduk , sedang sekedar memutuskan susunan undang-undang belumlah cukup untuk menyelamatkan kehidupan sosial dan menertibkannya, sebab manusia kadang-kadang berselisih tentang makna rumusan undang-undang, tentang tunduk kepada undang-undang itu serta kewajiban menghormatinya, dan kadang kala perselisihan mereka itu terletak pada penerapan rumusan undang-undang itu kepada kasus yang terjadi, baik yang menyangkut makna undang-indang itu sendiri maupun segi lainnya, dan kadang-kadang ada yang secara terperinci-terangan menentang rumusan undang-undang itu atau memungkirinya, maka peradilanlah yang hendak berperan memilih makna undang-undang dengan secara tepat, alasannya memilih yang lebih aktual dari kekhusussan-kekhusussan rumusan undang-undang yakni termasuk sifat sebuah penetapan.[1]
1. Peradilan bagi bangsa romawi, persi dan mesir antik[2]
Daulat persi, romaei dan bangsa mesir antik telah mempunyai lembaga peradilan yang teratur dengan memiliki undang-undang, peraturan-peraturan atau program-acara yang dilaksanakan oleh para qadhi, dan sejarah timur bersahabat mengkidahkan kepada kita wacana adanya syari’at Hamurabi yang meletakkan dasar peradilan yang sudah mendekati keadilan, dan Daulat Asyur yang diresmikan di atas puing-puingnya, dan setelah itu Daulat Israil, dan bangsa-bangsa sebelum Islam, yang beropini bahwa alat-alat bukti itu yaitu; saksi, sumpah atau keadaan ketahuan. Sejarah bangsa bangsa Barat juga menceritakan kepada kita tentang teknis pengambilan keputusan dan alat-alat pembuktian yang asing hingga pada pertengahan kala ke XII Miladi.
Apapun keadaannya, namun yang terang, bahwa sejrah peradilan telah dimulai sejak periode-kurun silam.
Sedang hal yang teristimewa yang menjadi perhatian bangsa-bangsa ini wacana peradilan ada dua macam:
- Kemampuan qadhi, dan kebaikan akhlaknya, maka tidak akan seseorang diangkat selaku qadhi bila beliau tidak memiliki kesanggupan bidang ini, oleh alasannya adalah itu akan diperhatikan pula ihwal kecerdasannya, kecerdikannya, dan keluasan ilmunya, demikian juga ihwal segi-segi ketenangan hatinya, kebersihan jiwanya dan keluhuran budinya.
- Bahwa qadhi mesti diliputi suasana yang mampu menjamin kebebasan dirinya dalam melakukan tugasnya yang suci, maka semakin tinggi pertumbuhan bangsa, maka semakin besar pula jaminan-jaminan tersebut dapat diperoleh oleh para qadhi.
2. Peradilan bagi bangsa Arab sebelum Islam[3]
Bangsa Arab sebelum Islam sudah mempunyai qadhi untuk menuntaskan segala sengketa mereka, cuma saja mereka belum memiliki undang-undang tertulis yang dapat dijadikan pegangan para qadhi. Sedang mereka menetapkan hukum-aturan mereka dengan cara menyesuaikan dengan adat kebiasaan mereka yang turun-temurun, dan dari pendapat kepala-kepala suku, atau dari orang-orang yang mereka pandang pandai yang dikenal selaku orang-orang yang jitu pendapatnya, dan menguras hak-hak dengan firasat dan tanda-tanda, sedang kecerdasan andal-mahir hukum mereka, mengakibatkan mereka lebih mendahulukan memutuskan hukum dengan firasat dan gejala dibandingkan dengan dengan alat-alat bukti lainnya mirip saksi atau pengukuhan.
Dan mereka menyebut qadha sebagai hukumah, sedang qadhi mereka sebut hakam, dan setiap qabilah (puak) memiliki hakam sendiri dan hukuman (tubuh peradilan) bagi mereka tidak ada yang bangun sendiri kecuali bagi suku Quraisy, dan para hakam mengadakan sidang-sidangnya di bawah pepohonan atau kemah-kemah yang diresmikan, sampai dibangunnya gedung-gedung dan bangunan-bangunan dan di antara gedung-gedung itu yang termasyhur adalah Darun Nadwah yang berada di Mekah, dan gedung itulah yang pertama kali didirikan di sana, yang dibangun oleh Qushay bin Ka’ab, yang pintunya dihadapkan mengarah ke Ka’bah, dan pada permulaan Islam, gedung itu menjadi kawasan tinggalnya para Khalifah dan amir-amir di waktu trend hajji, dan pada pertengahan abad ke XIII Hijriah sehabis gedung itu roboh atau doyong, maka Khalifah Mu’tadlid al Abbasy (281 H) menyuruh supaya gedung tersebut dihancurkan sama sekali dan dihubungkannya dengan Masjidil Haram.
Kedua: Taha-tahap yang dilalui peradilan di abad Islam.
3. Peradilan di mass Rasulullah saw.[4]
Setelah Islam tiba dan Allah memerintahkan Nabi-Nya (Muhammad saw.) supaya menyampaikan risalah, maka Ia memerintahka juga biar ia menyelesaikan segala sengketa yang timbul dengan firman-Nya:
فلا وربك لا يؤمنون حتى يحكموك فيما شجر بينهم ثم لا يجدوا في انفسهم حرجا مما قضيت ويسلموا تسليما
Terjemahnya:
”Maka demi Tuhanmu, mereka itu (hakekatnya) tidak beriman, sehingga mereka mau mengakibatkan kamu sebagai hakim kepada perkara yang mereka perselisihkan, lalu mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. ” (QS al-Maidah; 65)
Dan di ayat lain Ia menyuruh kepada Nabi-Nya, dan membimbingnya agar menetapkan hukum dengan apa yang Ia turunkan kepadanya. Firman-Nya:
فاحكم بينهم بما انزل الله
Terjemahnya:
”Dan putuskanlah aturan di antara mereka dengan apa yang sudah diturunkan oleh Allah” (QS al-Nisa: 51)
Dan firman-Nya:
انا انزلنا الكتاب بالحق لتحكم بين الناس بما اراك الله ولا تكن للخائنين خصيما
Terjemahnya:
“Sesungguhnya Kami sudah menarunkan Kitab kepadamu, dengan menenteng kebenaran, semoga kau mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kau menjadi penantang (orang yang tidak bersalah) alasannya adalah (membela) orang yang khiyanat.”(QS al-Maidah: 105)
Mulailah Rasulullah saw. melakukan perintah Tuhannya, kemudian beliau berda’wah, dan di Madinah beliau menampilkan dirinya untuk menyelasaikan persengketaan-persengketaan, dan mcmberikan ajaran-ajaran, di samping menyampaikan terhadap insan apa yang diwahyukan Allah kepadanya perihal aturan-aturan dan mengontrol pelaksanaan hukum-aturan tersebut, maka di tangan Nabi saw tergenggam kekuasaan-kekuasaan ini semua dan belum dipisahkan, maka diajukanlah kepadanya banyak sekali masalah lalu dia putuskan hukumnya, sebagaimana halnya dia memperlihatkan fatwa kalau diajukan permohonan ajaran kepadanya, sedang dia menetapkan hukum kepada hak-hak insan atas dasar dhahirnya kasus dan dengan sumpah kalau tidak ada bukti, dan keputusan aturan Nabi saw. adalah berdasarkan ijtihad dan bukan dari wahyu.
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadis, bahwa Nabi saw. pernah bersabda terhadap dua orang pria yang bersengketa wacana harta pusaka antara keduanya yang sudah lenyap bukti-buktinya:
انما انا بشر مثلكم وانكم تختصمون الي ولعل بعضكم الحن بحجته من بعض
Artinya:
”Sesungguhnya saya hanya seorang manusia sebagaimana kau semua, sedang kau mengajukan kasus kepadaku, oleh sebab itu barangkali sebagian kau lebih mengetahui dan lebih mengetahui ketimbang sebagian yang lain” (HR Bukhari Muslim)
Dan kedua belah pihak di hadapan Nabi saw., masing-masing bebas (mengemukakan isi hatinya) sehingga masing-masing dapat mendengarkan pembicaraan pihak lawannya. Sedang alat-alat baginya ialah: legalisasi, saksi, sumpah, firasat, diundi dan lain-yang lain. Dan Nabi saw. bersabda:
البينة على المدعي واليمين على من انكر
Artinya:
”Bukti itu (wajib) bagi penggugat, dan sumpah itu (wajib) bagi orang yang ingkar. ”
Maksudnya, bahwa penggugat dituntut untuk mampu menerangkan atas gugatannya, dan Nabi saw. bersabda:
امرت ان احكم بالظاهر والله يتولى على السرائر
Artinya:
”Aku ditugaskan memutuskan aturan dengan berdasar kepada dhahirnya kasus, sedang Allah yang mengenali segala rahasia.”
Di samping itu, sehabis da’wah Islam mulai tersebar, maka Rasulullah saw. memberi izin sebagian sahabatnya (untuk memutuskan aturan perkara yang mereka hadapi) alasannya jauhnya tempat, dan bahka diizinkan juga di antara Sahabatnya untuk menetapkan perkara di kawasan Nabi saw. berada, dan hal ini dimaksudkan sebagai pendidikan bagi sahabatnya ihwal ijtihad, memutuskan perkara dan memimpin bangsa, serta membimbing dan mempersiapkan bolehnya mengangkat penguasa-penguasa dan hakim-hakim.
Imam Tirmidzi meriwayatkan di dalam Sunannya:
ان عثمان قال لعبد الله بن عمار اذهب فقض بين الناس فقال اوتعافيني يا امير المؤمنين قال وما تكره من ذلك وقد كان ابوك يقضى قال ان ابي كان يقضى فإن أشكل عليه شيء سأل رسول الله
Artinya:
”Bahwa Khalifah Usman bin Affan pemah berkata terhadap Abdullah bin Umar: Pergilah kcmudian putuskanlah kasus di antara manusia. Ia menjawab: Hendaknya engkau bebaskan saya hai Amirul mukminin! Khalifah berkata: Apakah gerangan yang menyebabkan engkau enggan (melakukan) itu, padahal ayahmu pernah melaksanakannya? Ia menjawab: Sesungguhnya ayahku dulu pernah (diserahi tugas) memutus masalah, namun jika in menemui kesusahan, ia (langsung) mengajukan pertanyaan kepada Rasulullah saw….”
Ini bukti, bahwa Umar bin Khathab pernah melaksanakan peradilan di zaman Rasulullah saw.
Seperti juga diriwayatkan, bahwa Rasul saw. pernah mcngutus Ali bin Abi Thalib padahal ia masih muda belia ke Yaman untuk ditugaskan memutus kasus di antara mereka, lalu beliau menepuk dada Ali seraya berdo’a:
اللهم هدى قلبه وسدد لسانه
Artinya:
”Ya Allah berilah petunjuk hatinya dan luruskanlah pembicaraannya.”
Dan beliau memesan kepadanya (Ali):
اذا جلس بين يديك الخصمان فلا تقضى حتى تسمع كلام الأخر كما سمعت من الاول فانه احرى ان يتبين لك القضاء
Artinya:
”Apabila duduk di hadapanmu, dua pihak yang berperkara, maka janganlah tergesa-gesa memutuskan aturan, sebelum kau mendengar pembicaraan kedua belah pihak, sebab hal itu lebih layak bagimu dalam mengambil keputusan. ”
Dan diriwayatkan bahwa pernah dihadapkan kepada Ali suatu perkara, lalu Ia berkata:
اقضي بينكم فإن رضيتم فهو القضاء، والا حجزت بعضكم عن بعد حتى تأتوا رسول الله ليقضي بينكم فلما قضى بينهم ابو ان يتراضعوا واتوا الرسول ايام الحج فهو عند مقام ابراهيم، وقصّوا عليه ما حدث فاجاز قضاء علي وقال: هو ما قضى بينكم
Artinya:
”Aku akan putuskan aturan di antara kamu, kemudian jika kamu sudah mendapatkan (keputusanku itu) maka laksanakanlah, namun bila kau tidak mau menerimanya, maka aku cegah sebagian kau dari sebagian yang Iain (berbuat sesuatu), sampai kau menghadap (sendiri) kepada Rasulullah saw. agar ia memutus di antara kau. Lulu sehabis Ali memutuskan aturan di antara mereka itu, maka mereka menolak dan tidak mau menerima keputusannya, dan pergilah mereka menghadap Rasulullah. Pada animo haji, sedang Beliau berada di makam Ibrahim dan berceritalah mereka terhadap beliau wacana apa yang telah terjadi. Kemudian Nabi saw. membenarkau keputusan Ali dan bersabda: Itulah apa yang telah beliau putuskan di antara kamu.[5]
Kejadian di atas menawarkan:
Pertama: Bahwa peradilan dan kekuasaan pemerintahan bcrada pada satu tangan, dan dengan kalimat lain mampu dibilang, bahwa kekuasaan paradilan dan kekuasaan pemerintahan tidak dipisahkan satu dengan yang lain. Dan ini ditarik kesimpulan dari perkataan Ali! kamu sudah menerima (keputnsan itu) maka laksanakanlah, tetapi kalau kau tidak mau menerimanya, maka aku cegah sebagian kamu dari sebagian lain (berbuat sesuatu), hingga… dan seterusnya.
Kedua: bahwa di kala Nabi saw. telah dikenal adanya peninjauan kembali suatu putusan hukum yang telah dijatuhkan dan hal itu secara praktis dilakukannya, alasannya apa yang terjadi itu menggambarkan semacam adanya keputusan dari pengadilan yang lebih tinggi, sehingga ditunjau kembali masalah itu, kemudian keputusan itu ada kemungkinan akan dibatalkan, atau dikukuhkan, atau diganti dengan keputusan baru.
Dilihat dari kata-kata Ali’ sampai kamu datang sendiri terhadap Rasul saw. sedang Ali tidak memaksa mereka mematuhi keputusannya, dalam kedudukannya sebagai pembentnk aturan dan selaku hakim kaum muslimin dan selaku pengawas terhadap pelaksanaan hukum-hukum Islam, dan bahkan beliau lebih menonjolkan dalam kedudukannya selaku qadhi, adalah nampak dalam kata-katanya: ’semoga dia (Nabi saw.) memutuskan di antara kau’, dan juga dilihat dari kata-kata Nabi saw. dikala masalah itu dinaikkan banding kepadanya: ’Itulah apa yang sudah diputuskan di antara kamu’; ini semua memberi arti wacana adanya PENGUKUHAN keputusan hukum dari qadhi pada (pengadilan) tingkat pertama (oleh pengadilan yang lebih tinggi).
Sebagaimana diriwayatkan, bahwa Nabi saw. pernah menggtus Muadz bin Jabal ke Janad (Yaman) untuk mengajar Al-Qur’an dan Syari’at Islam, dan menjadi qadhi, dan juga beliau diberi wewenang menghimpun zakat para pegawai yang berada di Yaman, dan oleh sebab ia akan diserahi urusan qadha’ dan lain-lainnya, maka Nabi saw. (mengetesnya terlebih dulu; Nabi bersabda:
Artinya:
”Bagaimana cara engkau mengadili, apabila ada perkara yang diajukan kepadamu? Ia menjawab: Aku akan mengadilinya dengan Kitabullah, lalu beliau mengajukan pertanyaan: Bagaimana jika kau tidak mendapatkan (hukumnya) di dalam Kitabullah? Ia menjawab: Dengan Sunnah Rasul-Nya. la mengajukan pertanyaan: Kalau tidak kamu dapatkan di dalam Sunnah Rasul-Nya? Ia menjawab: Aku akan berijtihad dengan Ra’yuku dan aku akan berusaha sekuat-kuatnya. ”
Demikian pula Rasul saw. pernah mengangkat ’Itab bin Usaid sebagai walikota Mekah dan sekaligus selaku qadhi setelah ditaklukkannya kota itu, dan jabatan itu tetap dipegangnya di kurun Khilafah Abu Bakr as Shidiq sampai beliau meninggal dunia.
Dan Rasul saw. sudah memberikan upah tertentu kepada para pejabat peradilan yang cocok dengan situasi keperluan sehari-hari pada kurun itu, hal itu dapat diambil kesimpulan dari ucapan ’Itab bin Usaid sebagai berikut: (Artinya) Sungguh Nabi saw. sudah memberi saya dua dirham setiap harinya, padahal tidak ada perut yang tidak dapat dikenyangkan dengan uang dua dirham seharinya.
Oleh alasannya adalah itu, jika ada orang yang berani mengatakan, bahwa peradilan di era Nabi saw. masih samar-samar dan tidak terang serta tidak gampang mendapatkan suatu gambaran yang konkrit, supaya dia berfikir lain untuk menemukan gambaran tersebut, sebab kami mampu memastikan dan menenteramkan hatinya dengan menyatakan, bahwa Islam yaitu agama dan kekuasaan dengan berbagai organisasinya, yang antara lain yaitu a1 qadha’ (peradilan). Sedang proses pembentukan aturan Islam telah menggariskan fatwa bagi jalannya peradilan dan meletakkan dasar-dasar prinsipnya sebelum berakhimya wahyu. Adapun tidak berperanannya sunnah dalam memerinci bidang ini, dam tampilnya Ulama’ mujtahidin di kelompok kaum Muslimin yang lalu melangkah lebih jauh dalam menangani dilema ini, yakni semata-mata alasannya faktor waktu dan lingkungan, yang menghipnotis kemajuan pergaulan dan organisasi kekuasaan. Kemudian qadha’ berfungsi menerapkan aturan-aturan berdasarkan insiden yang terjadi (masalah-masalah yang detail), yang keseluruhannya itu sudah ditetapkan hukumnya oleh Syari’at, yang adakalanya dalam bentuk rincian mirip hukuman (had) pencurian dan perzinaan, dan adakalanya dalam bentuk qaidah-qaidah lazim mirip aturan-aturan yang bermaksud melindungi kebiasaan atau kemaslahatan lazim.
Adapun dalam penerapan aturan-hukum itu, haruslah diamati prinsip-prinsip wacana pemeliharaan hak-hak sebagaimana keharusan berpegang kepada adanya bukti-bukti dan memutuskan tempo dalam pemeriksaannya. Sedang prinsip-prinsip itu sudah ada di dalam dalil -dalil Syari’at dengan ketentuan tidak boleh menyalahinya sedikit atau banyak. Adapun aturan-aturan pelengkap yang dianggap selaku sendi keadilan, maka meningkat kemudian berdasarkan situasi zaman dan daerah, oleh sebab itu, Islam menawarkan potensi ijtihad bagi pejabat qadha’.[6]
Oleh alasannya itu, terdapat informasi-informasi sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hajar al Aqqallani[7] bahwa di daerah-tempat jika dihadapkan kepada kasus-masalah yang memerlukan penyelesaian hukumnya, mereka bertahkim kepada pejabat yang diperintahkan di kawasan itu dan mereka mendapatkan serta berpegangan dengan keputusannya, sedang bila di antara pejabat itu menemui kesusahan dalam menetapkan hukum sebuah masalah, maka diutuslah seseorang menghadap dan menanyakannya langsung terhadap Rasul saw. Maka. Nabi saw. semasa hidupnya, mengajar kepada pembantu-pembantunya, meluruskan mereka kalau mereka menyimpang dan memecat mereka jika mereka tidak lurus.[8]
4. Peradilan di abad Khulafa’
Di kurun Abu Bakar tidak nampak ada sebuah pergantian dalam lapangan peradilan ini sebab kesibukannva memerangi sebagian kaum Muslimin yang murtad sepeninggal Rasul saw.. dan kaum nakal menunaikan zakat dan permasalahan-problem politik dan pemerintahan lainnya di samping belum meluasnva wilavah kekuasaan Islam pada masa itu; Hanya diriwayatkan, bahwa pada kala Abu Bakar ini urusan qadha diserahkan kepada Umar bin Khatthab selama dua tahun lamanya, namun selama itu tidak pernah terjadi adanya sengketa yang perlu dihadapkan ke tampang pengadilan, alasannya adalah dikenalnya Umar sebagai orang yang sangat keras,[9] dan juga sebab faktor langsung-pribadi kaum Muslimin pada abad itu yang diketahui selaku (sangat saleh dan toleran kepada sesama Muslim, sehingga faktor inilah yang sangat membantu tidak terwujudnya selisih sengketa di antara mereka.
Tetapi setelah meluasnya wilayah kekuasaan Islam di abad Umar bin Khatthab serta makin banyaknya beban-beban yang menyangkut bidang peradilan ini, ditambah dengan kewajiban peningkatan perhatian dalam problem pemerintahan di tempat-daerah, maka Khalifah Umar bin Khatthab mulai memisahkan antara kekuasaan peradilan dengan kekuasaan pemerintahan dan beliau mengangkat Abu Darda’ sebagai qadhi di kota Madinah dan Suraih bin Qais bin Abil Ash di Mesir.
Diriwayatkanlah bahwa Umar pernah berkata terhadap salah seorang qadhi demikian:
رد عني الناس في الدرهم والدرهمين
Artinya:
”Janganlah dibawa kehadapanku, perkara persengketaan yang bernilai satu atau dua dirham.”
”Dan sesudah masalah peradilan ini merupakan bagian dari kekuasaan lazim, maka di antara wewenang penguasa yakni menentukan wewenang qadhi terhadap sebagian persoalan peradilan yang harus ditanganinya serta membatasi wewenang tersebut,” dan alasannya itu, maka Khalifah Umar saat mengangkat pejabat-pejabat qadhi, dia membatasi mereka, khusus ihwal penyelesaian sengketa harta benda (persoalan perdata), namun masalah-perkara pidana (jinayah) yang menyangkut hukum qishash, atau had-had maka tetap menjadi wewenang Khalifah dan penguasa-penguasa tempat.
Sedang Khalifah Usman bin Affan yakni Khalifah yang pertama kali mendirikan gedung pengadilan yang di kurun dua orang Khalifah sebelumnya, acara ini dikerjakan di masjid. Demikian juga di masa Khalifah-khalifah ini telah ditertibkan honor bagi pejabat-pejabat peradilan dengan diambilkan dari Kas Baitul Mal yang mula-mula dirintis di periode Khilafah Abu Bakar r.a.
Demikian pula Khalifah Ali bin Abi Thalib mengangkat An-Nakha’i selaku Gubernur di Ustur dan Mesir dengan pesan-pesannya, supaya ia bertakwa kepada Allah, dan biar hatinya diliputi rasa kasih sayang dan kecintaan terhadap rakyat, dan biar bermusyawarah dan menentukan penasehat-penasehat, serta dijelaskannya tentang siasat pemerintahan, lalu dia berkata (memesan) tentang khusus permasalahan qadha . ”Kemudian seleksilah untuk jabatan qadhi di antara rakyatmu yang engkau pandang sebagai orang yang terhormat yang tidak direpotkan oleh masalah-urusan lain dan anjurkanlah agar mereka bersabar dalam perjuangan mengungkapkan tabir yang menyelimuti diam-diam perkara yang sebenamya, lalu pilihlah orang yang tidak arogan lantaran kebanggaan, dan tidak cenderung lantaran hasutan, kemudian perbanyaklah menawarkan Pesan-Pesan kepadanya dan berilah fasilitas yang mampu mengendorkan bebannya …”.
Dan Khalifah-khalifah sering sekali memperbaharui pesan-pesan mereka terhadap para Penguasa dan qadhi-qadhi dcngan memperlihatkan panduan-tutorial. Di antaranya, ialah surat Khalifah Umar terhadap Abu Musa Al-Asy’ari qadhi di Kufah yang isinya mengandung pokok-pokok solusi kasus di wajah sidang, yang ternyata disambut dan diterima di kalangan Ulama’ serta dihimpunlah daripadanya, pokok-pokok hukum. Dan mengingat pentingnya surat ini maka kami sajikan selengkapnya:
Teknis mereka dalam memutus masalah dan memberi pedoman
Adalah para Khalifah, jika dihadapkan suatu masalah kepada mereka, atau dimohon menunjukkan aliran aturan, maka mereka mencari ketentuan hukumnya di dalam Kitabullah, kemudian jika mereka tidak menemukannya sebuah ketentuan hukum di dalam Kitabullah, maka mereka mencarinya di dalam Sunnah Nabi saw., lalu bila mereka tidak menerimanya di dalam Sunnah, maka mereka menanyakan orang-orang, apakah di antara mereka ada yang mengenali aturan masalah mirip itu di dalam Sunnah, apabila ditemukan maka mereka berpegangan dengan Sunnah tersebut setelah mendapatkan penguat dengan saksi-saksi, mirip yang diperbuat Abu Bakr, Umar, atau dengan menyumpah pembawa Sunnah tersebut atas kebenarannya sebagaimana yang dikerjakan Ali bin Abi Thalib. Dan jika mereka tidak mendapatkan hukum dilema yang mereka hadapi itu dengan cara demikian, maka mereka berijtihad dengan ijtihad bareng (jama’i) kalau problem itu menyangkut aturan dan bekerjasama dengan masyarakat, dan dengan ijtihad perseorangan (fardi) kalau masalahnya menyangkut hal-hal yang bersifat khusus, menyangkut masalah orang-seorang.
Dapatlah diambil kesimpulan, bahwa ada abad ini, nara qadhi belum memiliki sekretaris atau catatan yang memhimpun aturan-aturan produk qadha’nya sebab qadhilah yang melakukan sendiri segala keputusan yang dikeluarkannya demikian pula qadli pada era itu belum memiliki tempat khusus (gedung pengadilan), sehingga mula-mula seorang qadhi hanya berada di rumah, kemudian pihak-pihak yang berperkara itu tiba ke rumahnya, kemudian diperiksa dan diputus di situ juga. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya, masjidlah yang dijadikan daerah untuk menuntaskan segala sengketa dimana fungsi masjid yang sebenamya tidaklah terbatas hanya untuk melakukan ibdah saja, tetapi dia ialah sentra bagi memecahkan segala masalah sosial, mirip peradilan, pengajaran dan memecahkah aneka macam persoalan.[10]
5. Peradilan di kurun Bani Umayah[11]
Terjadilah kesemrawutan dan fitnah, sehingga rampung dengan jatuhnya kekuasaan di tangan Muawiyah Khalifah pertama dari kelompok Bani Umaiyah. Sedang mahir-jago fiqih dari kalangan sobat dan Tabi’in pada periode itu telah bertebaran di banyak sekali ibukota alasannya makin luasnya kawasan penaklukan, maka Khalifahlah yang mengangkat qadhi-qadhi yang bertugas di ibukota pemerintahan, dan untuk qadhi-qadhi yang bertugas di daerah, diserahkan pengangkatannya oleh penguasa-penguasa daerah, maka qadhi-qadhi itu melakukan pekerjaan tanpa pengawasan dan masing-masing berdiri sendiri, hanya mereka secara hirarkis berada di bawah Khalifah dan wakil-wakilnya.
Dan qadhi-qadhi pada abad itu dibatasi wewenangnya, hanya memutus perkara dalam permasalahan-permasalahan khusus, sedang yang berhak melakukan keputusan-keputusan tersebut adalah khalifah sendiri atau wakil-wakilnya dengan intruksi daripadanya, dan itulah yang pada era kini dikerjakan oleh forum tersendiri selama keputusan itu sudah mempunyai ketetapan.
Qadhi kebanyakan ialah seorang mujtahid, sehingga tidak ada qadhi yang memegangi suatu usulan tertentu, namun ia memutus perkara yang tidak ada ketentuan nashnya dari Al Qur’an atau Sunnah Nabi saw. atau ijma’, dengan usulan dan ijtihadnya sendiri, dan kalau ia memperoleh kesulitan dalam menentukan hukumnya, maka dia minta pemberian andal-mahir fiqih yang berada di kota itu, dan banyak di antara mereka yang berkonsultasi dengan Khalifah atau Penguasa dalam mencari suatu ketentuan usulan. Oleh karena itu, qadhi-qadhi pada kala itu keputusan-keputusan hukumnya tidak dipengaruhi oleh kecenderungan-kecenderungan pribadi, sehingga keputusan-keputusan mereka itu betul-betul berwibawa, walaupun kepada para penguasa itu sendiri. Dan juga di antara faktornya, sebab Khalifah sendiri selalu memantau keputusan-keputusan yang mereka keluarkan, di samping adanya bahaya pemecatan bagi siapa yang berani melakukan penyelewengan.
Dan dalam masa ini belum diketahui adanya pencatatan keputusan pengadilan dan teknis pengajuan masalah yaitu dengan cara mula-mula diajukan kepada qadhi, lalu ditelitinya, kemudian kedua pihak yang berperkara itu dihadapkan ke muda sidang , kemudian qadhi menyempaikan keputusannya.
Hanya di abad khilafah Mu’awiyah sudah ada seorang qadhi di Mesir yang berpendapat ihwal pentingnya pencatatan keputusan. Karena pada sebuah ketika sudah terjadi sengketa harta pusaka yang sudah diputus, lalu di lain waktu pihak-pihak yang berperkara tersebut mengingkari keputusan itu dan mereka saling berselisih ihwal keputusan itu, kemudian mereka memulami mengajukan perkara tersebut lalu diputus dan dicatat serta dihimpun di dalam buku khusus. Maka itulah pertama kali suatu keputusan yang dibukukan /dicatat.
6. Peradilan di kala Bani Abbas dan sesudahnya[12]
Di era Bani Abbas ini, peradaban sudah makin meluas, dan aneka macam kasus telah terjadi akhir dari semakin berkembangnya ilmu pengetahuan, perekonomian dan kemasyarakatan, maka membawa akibat pula saling bertikai dan berbeda pendapat antara ahli-mahir fiqih, dan timbullah madzhab-madzhab sehingga timbul pula taqlid, yang hal ini menghipnotis juga terhadap keputusan-keputusan para qadhi, alasannya adalah seorang qadhi di Irak memutus hukum dengan berpegangan kepada mazhab Hanafi, dan di Syam dan Maghribi mengikuti mazhab Syafi’i. Dan bila ada dua pihak yang berperkara yang bukan dari pengikut mazhab yang termashur di negeri itu, maka ditunjuklah seorang qadhi yang hendak memutus perkara itu sesuai dengan mazhab yang dibarengi kedua belah pihak yang berperkara, dan bahkan ada juga sebagian khalifah Abbasiyah yang ikut campur dalam penanganan masalah oleh qadhi, sehingga hal ini menjadikan menjauhnya fuqaha dari jabatan ini.
Dan suasana kacau-balau dalam aturan ini, serta tidak adanya ketentuan hukum yang harus dipegangi oleh qadhi, sehingga mendorong Ibnul Muqaffa’ untuk mengirim surat kepada Khalifah Ja’far al-Mansur, supaya dipilih di antara pertimbangan dari imam-imam mazhab dan fuqaha’, suatu aturan yang akan dipegangi oleh para qadhi di seluruh negeri. Dan Khalifah benar-benar telah menyetujui harapan ini dan meminta terhadap Imam Malik untuk melaksanakan inspirasi ini.
Seperti halnya Abu Yusuf hebat fiqih dari madzhab Hanafi, bahwa beliau telah mendapat kehormatan dari Khalifah untuk mengangkat jabatan qadhi dari kalanga’ jago-ahli fiqih pengikut madzhab Hanafi, dan telah dibuat satu jabatan peradilan yang pcnting yang diangkat oleh Abu Yusuf yang disebut qadhil qudhat yang bertugas mengawasi, mengangkat, dan memecat qadhi-qadhi, serta meninjau keputusan keputusan yang mereka keluarkan, maka pada kurun itu, sudah ada pembagian wilayah peradilan tertentu dan sudah ada Ketua Mahkamah Agung yang mengatur serta mengatur persoalan mereka. Tetapi setelah beberapa tempat memisahkan dari dari pusat pemerintahan di Baghdad, maka masing-masing dari kawasan tersebut mempunyai qadhil qudhat sendiri, yang di Andalusia (Spanyol) disebut dengan qadhil jama’ah.
Dan bagi para qadhi dan ulama’ memiliki pakaian khusus yang membedakan mereka dcngan rakyat umum, sedang qadhi-qadhi sangat berwibawa, dan memiliki pengawal khusus yang mengatur waktu-waktu berkunjung, dan beberapa orang pembantu yang mengendalikan pengaiuan masalah serta meneliti dakwaan-dakwaan mereka, sedang gedung kawasan menyelidiki kasus, berada di tengah-tengah kota, yang ialah gcdung yang luas dan higienis, demikian juga telah diputuskan hari-hari tertentu untuk mcmeriksa kasus, yang jika ada suatu keputusan yang tidak dijatuhkan pada hari-hari tersebut maka dipandang tidak sah, terutama pada hari-hari raya dan sebangsany. Dan pada kurun ini sudah diadakan pembukuan putusan secara tepat, dan pencatatan wasiat-wasiat dan hutang-hutang. Dan kekuasan peradilan semakin meluas, sehingga dimasukkan pula di dalamnya, kekuasaan kepolisian, Wilayatul Madhalim, Wilayatul Hisbah dan pengawasan mata duit dan Baitul Mal.[13]
Demikianlah, bahwa di dalam Islam yang berhak menyclesaikan perkara-perkara yang terjadi bukanlah semata-mata menjadi wewenangnya peradilan, akan namun di samping peradilan ada lagi lembaga Tahkim, yang diakui oleh Islam dan terdapat juga dalam perundang-seruan terbaru, sebagaimana halnya fiqih Islami mengakui adanya Wilayatul Hisbah dan Wilayatul Madhalim yang terpisah dari kekuasaan peradilan.
Dan demikian pula, maka peradilan Islam sudah mempunyai organisasi yang tepat yang mencakup seluruh daerah negara, sedang hakim-hakim di abad-era taqlid mengikuti pendapat iktikad madzhab mereka, sehingga aturan satu dilema dapat saja berlawanan-beda menurut perbedaan usulan imam madzhab hakim yang bersangkutan.
Peradilan di kala Daulat Usmaniyah[14]
Mesir sudah dibawa oleh Daulat Usmaniyah kepada keadaan keterbukaan di bidang hukum, dan hal ini menenteng juga kepada hal pengangkatan hakim-hakim dan kekuasaan peradilan, di samping membiarkan kekuasaan simpel lainnya berada pada wewenang raja-raja. Dan sehabis Daulat Usmaniyah meluaskan lebih jauh penafsiran mereka perihal makna tasamuh (toleransi) agama terhadap kalangan dzimmi yang melampaui apa yang digariskan Fuqaha’ sejauh tunduk mereka kepada kekuasaan peradilan di dalam daulat Islamiyah, maka Daulat Usmaniyah sudah memperkanankan berdirinya peradilan untuk kelompok-golongan agama di luar Islam, dan keadaan ini meningkat terus sehingga di samping ada peradilan untuk kalangan-golongan agama-agama di luar Islam, ada juga peradilan qushuliy.
Banyaknya peradilan dan sumber hukumnya yang berlawanan-beda[15]
Pada tahun 1876, Mesir sudah meraih kesempurnaannya di bidang kekuasaan peradilan dan wewenangnya, memiliki jumlah peradilan yang sungguh banyak, dna undang-undang yang wajib dipraktekkan bukannya fiqih Islam secara keseluruhannya, sehingga [ada abad Raja Taufiq, di Mesir ada 5 peradilan yang aturan-hukumnya dari banyak sekali sumber yang berbeda-beda (peradilan-peradilan tersebut yakni sbb):
- Peradilan Syar’i, dan inilah peradilan yang tertua, dan sumber hukumnya adalah fiqih Islami.
- Peradilan Campuran, yang didirikan pada tahun 1875 dan sumber hukumnya adalah undang-undang abnormal.
- Peradilan Ahli (Adat), didirikan pada tahun 1883, dan sumber hukumnya adalah Undang-Undang Perancis.
- Peradilan Milliy (Peradilan Agama-agama di luar Islam), sumber hukumnya ialah Agama-agama golongan-kalangan di luar Islam.
- Peradilan Qunshuliy (Peradilan Negara-negara Asing), di mana pengadilan-pengadilan dari peradilan Qunshuliy ini mengadili menurut undang-undang negara masing-masing.
Demikianlah, banyaknya arah peradilan di Mesir, baik macamnya maupun kepribadiannya. Kemudian setelah itu timbullah pertumbuhan baru, di mana negara berusaha melepaskan kondisi yang berantakan di bidang peradilan ini, maka dikembalikanlah kekuasaan peradilan seperti kondisi sebelumnya, dan dihapuslah peradilan Qunshuliy dan Peradilan Campuran, lalu melangkah ke arah unifikasi peradilan sehingga dihapus pula Peradilan Milliyah dan Mahkamah-Mahkamah Syar’iyah, dengan keluarnya Undang-Undang No. 462 Tahun 1955 yang berlaku sejak Januari tahun 1956 dan masalah-kasus yang dihadapinya dibawa terhadap Peradilan Adiy (Adat) yang dahulu bernama Peradilan Ahliy, dan disusunlah Hukum Keluarga untuk kaum Muslimin dan undang-undang yang wajib diterapkan ialah undang-undang yang diambil dari fiqih Islami, dan undang-undang itulah yang pertama kali-diterapkan dalam Mahkamah Syar’iyah dengan diadakan pembetulan sebahagiannya, yakni yang berhubungan dengan Hukum Acara, sebagaimana dibuat bab-bab, maka demikian juga yang menyangkut Hukum Keluarga bagi ghairu Muslim.
[1]Muhammad Salam Madkur, Peradilan dalam Islam, Cet-2 (Surabaya: PT Bina Ilmu Offset, 1982), h. 31-32.
[2]Muhammad Salam Madkur, Peradilan dalam Islam, h. 32-33.
[3]Muhammad Salam Madkur, Peradilan dalam Islam, h. 33.
[4]Muhammad Salam Madkur, Peradilan dalam Islam, h. 34.
[5]Ibnul Qayim, Zadul Ma’ad & Abdullah bin Muhammad al-Qurtubi, Kutubus Sirah, Aqdhiyyatur Rasul saw, dalam Muhammad Salam Madkur, h. 38.
[6]Muhammad Khadhir Husain, Naqdhu Kitabil Islam wa Ushulil Hikam, (tt: Mathba’ah Salafiyah, 1344H), h. 92-95.
[7]Fathul Bari Juz 13, h. 183.
[8]Ibnul Qayim, A’lamul Muwaqqi’in, Juz 4, h. 93.
[9]Hasan Ibrahim, Tarikh Islam al-Siyasi, Juz 1, h. 526.
[10]Hasan Ibrahim, Tarikhul Islam al-Siyasi, h. 528.
[11]Muhammad Salam Madkur, Peradilan dalam Islam, h. 47-48.
[12]Muhammad Salam Madkur, Peradilan dalam Islam, h. 48-49.
[13]Ibnu Khaldun, Muqaddimah, h. 192-193.
[14]Muhammad Salam Madkur, Peradilan dalam Islam, h. 50.
[15]Muhammad Salam Madkur, Peradilan dalam Islam, h. 50-51.