close

Sejarah Kerajaan Pajajaran Dalam Catatan Belanda

Sejarah Kerajaan Pajajaran Dalam Catatan Belanda Pajajaran sebagai kerajaan yang sudah sir Sejarah Kerajaan Pajajaran Dalam Catatan Belanda
Istana Bogor 1882 -1889


Sinom Mananggis
Pajajaran tinggal ngaran, karajaan Siliwangi, wangina kantun jenengan, harus luhung leungit bukti, iraha menyatna deui, nyait titinggal karuhun, pusaka Tanah Pasundan, naha moal hudang deui, Pajajaran taya bukti aya ngaran.

Seuweu putu Pajajaran, naha henteu katingali, gunung nu rampag ngajajar, éta téh minangka ajir, ciri pakuning bumi, tutunggul tinggal karuhun, ulah tungkul kajongjonan, pusaka pulihkeun deui, unggul cukul santosa cara baheula.

Sejarah Kerajaan Pajajaran Dalam Catatan Belanda
Pajajaran sebagai kerajaan yang sudah sirna dikenal Belanda semenjak tahun 1687. Tanggal 1 September tahun itu Sersan Scipio dengan pasukannya mendatangi kawasan Batutulis yang dicatatnya telah berbentukpuing-puing yang dikelilingi hutan renta. Seorang diantara anggota ekspedisinya menderita patah leher sebab ditubruk harimau di kawasan tersebut dua hari sebelumnya. Scipio mengenali dari anak buah Letnan Tanuwijaya (orang Sumedang) bahwa puing-puing itu peninggalan kerajaan Pakuan atau Pajajaran.

Tanggal 23 Desember 1687,’ G.J. Joanes Camphuijs menulis laporan kepada atasannya di Amsterdam yang diantaranya berbunyi : dat hetseve paleijs en specialijck de verheven zilplaets van den javaense Coning Padzia Dziarum nu nog geduizig door een groot getal tijgers bewaakt en bewaart wort (bahwa istana tersebut dan utamanya kawasan duduk yang ditinggikan kepunyaan raja Jawa Pajajaran sekarang masih dikerumuni dan di jaga serta dirawat oleh sejumlah besar macan). Laporan tentang harimau ini berasal dari penduduk Kedung Halang dan Parung Angsana yang mengiringi Scipio dalam ekspedisinya. Mungkin mereka itulah sumber isyu bahwa serdadu Pajajaran berganti wujud menjadi harimau.

Tiga tahun kemudian Kapiten Adolf Winkler ditugaskan memimpin ekspedisi khusus untuk menciptakan peta lokasi bekas Pakuan. Pada hari kamis tanggal 25 Juni 1690 Winkler beserta rombongannya tiba di lokasi bekas keraton. Ia mendapatkan een accrate steen vloering off weg (sebuah lantai atau jalan berbatu yang sungguh rapi) jalan itu menuju ke bekas paseban tua dan di situ beliau menyaksikan ada 7 batang pohon beringin.
Dari penduduk Parung Angsana yang mengiringinya Winkler menerima penjelasan bahwa yang dilihat mereka itu yakni peninggalan Prabu Siliwangi. 

  Pupuh Sunda Dangdanggula - Piwulang Sri Rama

Sejak dikala itu nama Siliwangi mulai masuk dalam catatan Kompeni Belanda. Daerah Bogor senantiasa dicatatnya dengan nama Pajajaran, bahkan Gunung Pangrango disebutnya Gunung Pajajaran. Juga Abraham van Riebeeck dalam ekspedisinya tahun 1703, 1704 dan 1709 senantiasa mencatat tentang ‘de opgank van Pakowang’ atau ‘rijsenden smallen toegank van pakowang’ dan ‘vreeselijjke diepe gragt’. Sejak permulaan era ke-18, nama Pajajaran, nama Pakuan dengan jalan masuknya yang sempit mendaki dan diapit oleh parit yang dalam lingkungan pejabat inti VOC di Batavia. Van Riebeeck bahkan tergila-asing oleh bekas  Kota Pakuan sehingga beliau mendirikan rumah peristirahatan di sana yang dinamainya ‘somerhuijsje Batoe Toelis’.

Praktis difahami jikalau kemudian tumbuh semacam asumsi dalam kalangan Kompeni Belanda bahwa keturunan Siliwangi adalah golongan aristokrat lokal. Mereka pun melihat bahwa di Pulau Jawa terdapat lapisan atau tingkatan kebangsawanan seperti di Eropa. Untuk penertiban gelar, G.J.Van Imhoff yang ningrat dan intelek serta penganut aliran romanrisme ajaran Rosseu itu pada tanggal 2 Maret tahun 1745 mengadakan zegelordonantie yang menetapkan tarif untuk permohonan gelar kebangsawanan yang terbagi atas 4 tingkat:

  • Pangeran – 150 ringgit
  • Adipati dan Tumenggung – 125 ringgit
  • Aria – 100 ringgit
  • Ngabehi dan Demang – 75 ringgit

Tanggal 25 mei 1750 pengelompokan dan tarif diubah menjadi :


Ngabehi, Demang dan Rangga – 60 ringgit.

Sebelum itu, lewat resolusi tanggal 15 November 1737 G.J. Adriaan Walckenier sudah mengahadiahkan gelar pangeran untuk Bupati Sumedang. Pemberian gelar-gelar tersebut ditinjau dari aneka macam segi,di antaranya dari  derajat keningratannya. Dalam kaitan ini, wajar sekali jika para santana berupaya mengambarkan dirinya sebagai keturunan langsung dari seorang tokoh yang terandalkan keningratannya. Untuk tempat Jawa Barat, tokoh Siliwangi menjadi jaminan uatama yang diakui keabsahannya oleh Pemerintah Hindia Belanda yang mewarisi tradisi itu dari Kompeni Belanda.

Rupa-rupanya hal ini semata-mata problem politik yang tidak disangkut-pautkan dengan persoalan disiplin ilmu Sejarah. Hal itu terlampau peka untuk diusik alasannya adalah mampu menggoyahkan kesetiaan kaum santana dan bangsawan pribumi yang menjadi andalan utama bagi kelangsungan kekuasaan Belanda di tempat ini. Itulah mungkin keunikan tokoh Siliwangi dalam jalinan hubungan antara para santana pribumi dengan Pemerintah Hindia Belanda di periode kemudian. Wajar seandainya terjadi penyadapan atau peminjaman nama ‘Prabu Siliwangi’ sebagai leluhur untuk jaminan bahwa dirinya memiliki darah kusumah. Hanya kalangan ini yang diberi peluang lebih besar untuk maju dan ikut memerintah oleh Pemerintah Hindia Belanda. sumber: Seminar Sejarah dan Tradisi Tentang Prabu siliwangi – Bandung 20-24 Maret 1985 oleh:Saleh Danasasmita